Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64593 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agita Maryalda Zahidin
"Latar Belakang: Kompleks prematur ventrikel (KVP) dikaitkan dengan risiko penurunan fungsi ventrikel dan gagal jantung, dan meningkatkan mortalitas jangka panjang. Variasi sirkadian yang rendah merupakan salah satu prediktor terjadinya kardiomiopati yang diinduksi oleh KVP. KVP idiopatik tipe independen merupakan salah satu bentuk dari KVP dengan gambaran distribusi variasi sirkadian yang rendah. Namun tidak semua KVP independen memiliki variasi sirkadian yang rendah. Belum ada studi yang menilai perbedaan fungsi sistolik intrinsik VKi menggunakan global longitudinal strain (GLS) pada KVP idiopatik independen dengan KVP idiopatik non-independen.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kompleks ventrikel prematur idiopatik tipe independen dengan GLS ventrikel kiri melalui ekokardiografi speckle tracking pada pasien tanpa penyakit jantung struktural.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan data pasien aritmia ventrikel idiopatik yang dikumpulkan di RSPJD Harapan Kita Jakarta pada bulan Februari 2021- Mei 2021. Evaluasi KVP idiopatik dilakukan dengan EKG 12 sandapan, pemeriksaan Holter monitoring 24 jam. Data dasar ekokardiografi diambil dan penilaian fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri (Vki) dilakukan menggunakan ekokardiografi speckle tracking dengan global longitudinal study (GLS).
Hasil: Dari 67 pasien KVP idiopatik yang disertakan dalam penelitian, didapatkan sebesar 27 pasien (40,2%) dengan KVP tipe independen dan 40 pasien (59,8%) dengan KVP non-independen. Sebanyak 31 (46,3%) pasien memiliki disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pemeriksaan GLS (kurang dari -18). KVP tipe independen (OR 5,3; IK 95% 1,10-33,29; p = 0,038), beban KVP 9% (OR 16; IK 95% 1,58-163,61; p = 0,019), jenis kelamin laki-laki (OR 6,58; IK 95% 0,80-0,99; p = 0,029), dan episode TV non-sustained (OR 13,88; IK 95% 1,77-108,53; p = 0,012) berhubungan secara signifikan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik Vki.
Kesimpulan: Kompleks ventrikel prematur idiopatik tipe independen berhubungan dengan penurunan sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui ekokardiografi speckle tracking. Evaluasi tipe KVP idiopatik perlu dilakukan karena berhubungan dengan prognosis pasien dalam praktik klinis.

Background: Premature ventricular complexes (PVC) was associated with a risk of decreased ventricular function and heart failure, and increased long-term mortality. Low circadian variation is one of the predictors of PVC-induced cardiomyopathy. Independent-type-PVC (I-PVC) is a form of PVC with a low distribution of circadian variation. However, not all I-PVC show low circadian variation. No studies have been performed to examine differences in intrinsic systolic function of left ventricle (LV) using global longitudinal strain (GLS) in independent versus non-independent idiopathic PVC.
Objective: To determine the relationship between I-PVC and intrinsic systolic function of LV using speckle tracking echocardiography in patients without structural heart disease.
Methods: A cross-sectional study was conducted using data from patients with idiopathic ventricular arrhythmias collected at RSPJD Harapan Kita Jakarta in February 2021-May 2021. Evaluation of idiopathic PVC was carried out using a 12-lead ECG, 24-hour Holter monitoring. Basic echocardiography was performed then LV intrinsic systolic function was assessed using speckle tracking echocardiography with global longitudinal study (GLS).
Results: Of the 67 patients with idiopathic PVC included in the study, 27 (40.2%) patients included in independent PVC group and 40 (59.8%) patients in non-independent PVC group. A total of 31 (46.3%) patients had LV systolic dysfunction on GLS examination (less than -18). Independent-type-PVC (OR 5.3; 95% CI 1.10-33.29; p = 0.038), PVC burden of 9% (OR 16; 95% CI 1.58-163.61; p = 0.019), male gender (OR 6.58; 95% CI 0.80-0.99; p = 0.029), and non-sustained VT episodes (OR 13.88; 95% CI 1.77-108.53; p = 0.012) was significantly associated with a decrease in LV intrinsic systolic function.
Conclusion: Independent-type-PVC was associated with decreased in LV intrinsic systolic function assessed by speckle tracking echocardiography. Evaluation of the type of idiopathic PVC needs to be considered since it is related with patient's prognosis in clinical practice.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pangeran Akbar Syah
"Latar belakang: Beberapa studi telah melaporkan terdapat disfungsi sistolik ventrikel kiri yang diukur oleh global longitudinal strain (GLS) pada pasien dengan stenosis mitral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri menggunakan penilaian global longitudinal strain (GLS) segera sesudah tindakan balloon mitral valvuloplasty (BMV) dan pada observasi jangka panjang
Metode: Dilakukan pemeriksaan ekokardiogafi dasar dan GLS pada pasien stenosis mitral yang akan BMV, lalu dievaluasi segera sesudah BMV yang berhasil (48 jam sampai 1 minggu), dan jangka panjang (6 bulan sampai 1 tahun).
Hasil: Dari 36 pasien yang diuji, rerata usia adalah 43.41±10.04 tahun, mayoritas perempuan (72%), mayoritas mempunyai irama fibrilasi atrial (56%), dengan median mitral valve area (MVA) sebelum BMV adalah 0.6 (0.2-1.3) cm2dan rerata mitral valve gradient (MVG) sebelum BMV adalah 12.95 ± 5.29 mmHg. Terdapat perbaikan singifikan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri yang diukur dengan GLS antara sebelum BMV, segera sesudah dan pada observasi jangka panjang sesudah BMV (-14.34± 3.05%, -15.84 ±3.11%, dan -17.29 ± 2.80% p<0.05).
Kesimpulan: Terdapat perbaikan yang signifikan pada GLS sesudah BMV dan semakin membaik pada pengamatan jangka panjang yaitu 6 bulan - 1 tahun sesudah BMV.

Background: Severeal studies have reported left ventricular systolic dysfunction as measured by the global longitudinal strain in patient with mitral stenosis. This study aims to determine changes in left ventricular systolic function using global longitudinal strain immediately after) balloon mitral valvuloplasty (BMV) and on long term observation.
Methods: Baseline echocardiography data and GLS will be taken before BMV, and will be followed up immediately after (48 hours to 7 days), and on long term (6 months to 1 year) after BMV
Result: Among 36 patients, the mean age was 43.41±10.04 y.o, female dominant (72%), majority have atrial fibrillation (56%), with median of mitral valve area (MVA)before BMV was 0.6 (0.2-1.3) cm2and mean of mitral valve gradient before BMV was 12.95 ± 5.29 mmHg. There is an significant improvement in instrinsic left ventricular systolic function as measured by GLS between before BMV and immediately after BMV (-14.34 ± 3.05%, -15.84 ±3.11% , and -17.29± 2.80% p<0.05).
Conclusions: There is a significant improvement in GLS before BMV compared to immediately after BMV. GLS immediately after BMV is still significantly improved in the long term evaluation (6 months until 1 year) after BMV
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bhayu Hanggadhi Nugroho
"Latar belakang: Aritmia ventrikular idiopatik, baik kompleks ventrikel prematur (KVP) maupun takikardia ventrikel (TV), dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri (VKi) yang akan menimbulkan kardiomiopati dan meningkatkan mortalitas. Banyak faktor yang berkontribusi menyebabkan terjadinya kardiomiopati akibat KVP (KA-KVP) meskipun mekanisme terjadinya belum sepenuhnya dipahami. Variasi sirkadian KVP dilaporkan berhubungan dengan terjadinya penurunan fraksi ejeksi VKi. Deteksi dini adanya disfungsi sistolik intrinsik Vki dapat dilakukan melalui pemeriksaan speckle tracking ekokardiografi dengan mengukur nilai global longitudinal strain (GLS). Sampai saat ini belum diketahui apakah variasi sirkadian KVP berhubungan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variasi sirkadian aritmia ventrikular idiopatik dengan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui speckle tracking ekokardiografi.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan total subjek 67 pasien (17 laki-laki [25,4%]; usia rata-rata 46.5 + 9.8 tahun; fraksi ejeksi ventrikel kiri 63,2% + 7,5%) dengan KVP yang berasal dari jalur keluar ventrikel dari pemeriksaan elektrokardiogram 12 sadapan. Semua pasien menjalani pemeriksaan Holter monitoring 24 jam dan speckle tracking ekokardiografi. Dilakukan perhitungan variasi sirkadian beban KVP dan nilai global longitudinal global (GLS) kemudian dilakukan analisis statistik untuk menilai hubungan kedua variabel tersebut.
Hasil: Sebanyak 31 pasien (46.3%) mengalami gangguan fungsi sistolik Vki (GLS lebih buruk dari -18%). Pasien dengan gangguan fungsi sistolik VKi memiliki GLS yang kurang negatif (-15.1% + 1.8% vs -21.3% + 2.0%; p=<0,001), beban KVP yang lebih tinggi (22.2% + 11.1% vs 13.9% + 8.3; p=0,001), variasi sirkadian beban KVP yang rendah (koefisien variasi beban KVP per 6 jam 26.8% + 15.6 vs 52.0 % + 28.2%; p=<0,001), dan episode TV non-sustained yang lebih sering (10 pasien [76.9%] vs 3 pasien [23.1%]; p=0,019). Sebanyak 70.6% pasien dengan jenis kelamin laki-laki mengalami gangguan disfungsi sistolik VKi (p=0,002). Pada analisis multivariat didapatkan beberapa prediktor terhadap gangguan fungsi sistolik Vki antara lain variasi sirkadian beban KVP yang rendah dengan [(koefisien variasi beban KVP per 6 jam < 35%), odds ratio (OR)=3.89 interal kepercayaan (IK)95%=1.09-13.80 p=0.036], episode TV non-sustained (OR=14.4, IK 95%=2.36-88.55, p=0.008), beban KVP > 9% (OR=6.81, IK 95%=1.35-34. Kesimpulan: Variasi sirkadian aritmia ventrikular idiopatik yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui speckle tracking ekokardiografi. Variasi sirkadian beban KVP per 6 jam < 35% memiliki risiko 3.89 kali lebih tinggi untuk terjadinya disfungsi sistolik ventrikel kiri

Background: Idiopathic ventricular arrhythmias (AVI) including premature ventricular complex (PVC) or ventricular tachycardia (VT) can cause left ventricular (LV) dysfunction which may lead to cardiomiopathy. The mechanisms of this cardiomyopathy remain elusive, many factors are believed to contribute. PVC burden is influenced by circadian rhythmicity and lack of PVC circadian variability was proposed as one mechanism of LV dysfunction. Since early detection of LV systolic dysfunction can be done by speckle tracking echocardiography examination, further studies are needed to assess intrinsic left ventricular systolic function and its correlation with PVC circadian variation in patients with idiopathic ventricular arrhythmias.
Objective: This study aimed to investigate the correlation between circadian variation of IVA and left ventricular intrinsic systolic function assessed by speckle tracking echocardiography.
Methods: The subjects of this cross sectional study were 67 consecutive patients (17 men [25.4%]; mean age 46.5 + 9.8 years; left ventricular ejection fraction 63.2% + 7.5%) with PVC originated from ventricular outflow tract based on 12 lead electrocardiogram. All patients underwent 24-hour Holter monitoring and speckle tracking echocardiography examinations. The circadian variation of PVC burden and global longitudinal strain (GLS) were determined and statistical analysis was conducted to evaluate their correlation. Results: A total 31 patients (46.3%) had impaired LV systolic function by GLS ( worse than -18%). Patients with impaired LV systolic function had a less negative GLS (-15.1% + 1.8% vs -21.3% + 2.0%; p=<0.001), a higher PVC burden ((22.2% + 11.1% vs 13.9% + 8.3; p=0,001), less variation in circadian PVC distribution (coefficient of variation 6 hourly 26.8% + 15.6 vs 52.0 % + 28.2%; p=<0.001), and more frequent episode of non-sustained VT (10 patients [76.9%] vs 3 patients [23.1%]; p=0.019). Total 70.6% patient with male gender experienced impaired LV systolic function (p=0.002). Independent predictors for impaired systolic LV function were less variation in circadian PVC distribution [(coeficient of variation < 35%), odds ratio (OR)=3.89, 95% confidence interval (CI)= 1.09-13.80, p=0.036)], episode of non-sustained VT (OR=14.4, 95%CI=2.36-88.55, p=0.008), PVC burden > 9% (OR=6.81, CI 95%=1.35-34.41, p=0.020), and male gender (OR=14.4, CI 95%=2.02-101.1, p=0.004).
Conclusion: Lack of circadian variation of IVA is associated with impaired LV systolic function by GLS. Coefficient of variation PVC burden < 35% has 3.89 times higher risk for development of left ventricular systolic dysfunction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Reno Indrisia
"Latar Belakang : Hubungan antara KVP dengan fungsi ventrikel kanan belum banyak diketahui. Disfungsi ventrikel kiri akibat KVP dikenal sebagai kardiomiopati akibat KVP( KM-KVP) dan dengan menghilangkan substrat KVP akan memperbaiki fungsi ventrikel kiri. Efek ablasi pada perubahan fungsi ventrikel kanan pada pasien dengan disfungsi veentrikel kanan yang subklinis belum diketahui.
Tujuan : Mengetahui perubahan parameter fungsi ventrikel kanan pasca ablasi pada kelompok yang mengalami disfungsi ventrikel kanan pre ablasi ataupun kelompok dengan fungsi ventrikel kanan yang normal pre ablasi.
Metode : Dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dasar dan speckle tracking pada 42 pasien dengan KVP idiopatik aksis inferior sebelum dan setelah 1 bulan pasca keberhasilan ablasi.
Hasil : Beban dan durasi kompleks QRS pada KVP secara signifikan lebih tinggi pada kelompok disfungsi ventrikel dibandingkan dengan kelompok dengan fungsi ventrikel kanan yang normal (p = 0,012 dan p = 0,09) . Terdapat perubahan parameter fungsi ventrikel kanan pada kelompok tidak disfungsi yakni FWLS 3,8 ± 2,1% (p< 0,001) dan GLS 2,3 ± 1,7% ( p< 0,001). Terdapat peubahan yang signifikan pada pasien dengan disfungsi yakni FWLS 9,7 ± 4,0 (p <0,001) dan GLS 7,5 ± 4,2 ( p <0,001). Analisis multivariat menunjukkan nilai FWLS dan GLS yang lebih rendah pre ablasi berkorelasi dengan perubahan fungsi ventrikel kanan yang lebih baik.
Kesimpulan : Pasien KVP simptomatik yang mengalami disfunfgsi ventrikel kanan mendapatkan keuntungan dari efek ablasi.

Background The relationship between premature ventricular contractions (PVC) and right ventricular (RV) function is not widely known. Left ventricular dysfunction due to PVC is known as PVC-Induced cardiomyopathy (PIC) and suppressing the PVC substrate would improve left ventricular function. The effect of PVC ablation on changes in right ventricular (RV) function in patients with subtle subclinical RV dysfunction remains unknown.
Objective Understanding the alterations in RV function parameters after PVC ablation.
Method :Basic and speckle-tracking echocardiography has been performed on 42 individuals with symptomatic idiopathic inferior axis PVC before and one month after a successful ablation.
Result The burden and QRS duration of premature ventricular contractions (PVC) were notably higher in the group with right ventricular (RV) dysfunction compared to those with normal RV function (p=0.012 and p=0.009, respectively). In both groups, measurements of RV function before and after ablation, specifically global longitudinal strain (GLS) and free wall longitudinal strain (FWLS), demonstrated significant changes. These improvements were more pronounced in the group with RV dysfunction (FWLS 9.7 ± 4.0, p< 0.001; GLS 7.5 ± 4.2, p< 0.001). Lower initial FWLS and GLS before ablation emerged as significant parameters in the multivariate analysis for the improvement of RV function post-ablation.
Conclusion :Patients with RV dysfunction had higher PVC burden and wider QRS duration. Patients with idiopathic PVC and impaired RV function may experience improvements in RV function after successful PVC ablation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Felani
"Latar Belakang: Studi sebelumnya telah menyebutkan bahwa kontraksi ventrikel prematur (KVP) beban tinggi dapat menjadi faktor resiko terhadap kejadian disfungsi ventrikel kanan, sebagaimana kejadian disfungsi ventrikel kiri atau kardiomiopati terkait KVP (KM-KVP) pada umumnya. Sampai saat ini masih belum terdapat penelitian khusus sebelumnya yang menganalisa antara besar persentase beban KVP idiopatik aksis inferior terhadap penurunan fungsi ventrikel kanan.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara besar persentase beban KVP idiopatik aksis inferior terhadap disfungsi ventrikel kanan menggunakan ekokardiografi speckle tracking.
Metode: Studi observasional potong lintang pada 24 pasien dengan KVP idiopatik aksis inferior beban tinggi yang didiagnosis di Poliklinik Aritmia dan dilakukan pemeriksaan ekokardiografi speckle tracking (global longitudinal strain / GLS dan free wall longitudinal strain / FWLS) di Poliklinik Ekokardiografi di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita sejak 1 Januari - 31 Maret 2023. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan antara besar persentase beban KVP terhadap disfungsi ventrikel kanan menggunakan ekokardiografi GLS dan FWLS ventrikel kanan.
Hasil: Dari 24 subjek penelitian, proporsi jenis kelamin perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (17 orang berbanding 7 orang), dengan mayoritas morfologi KVP adalah blok berkas cabang kiri (BBCKi) aksis inferior sebanyak 83.3%. Rerata besar beban persentase KVP pada populasi penelitian ini adalah 18.6 ± 9.6%. Besar persentase beban KVP secara bivariat ditemukan berhubungan dengan disfungsi ventrikel kanan melalui parameter GLS ventrikel kanan (p = 0.031), namun dari analisis multivariat tidak didapatkan hubungan secara independen terhadap disfungsi ventrikel kanan (p = 0.063, OR 1.18, 95% CI 0.99 - 1,41). Besar persentase beban KVP tidak berhubungan terhadap disfungsi ventrikel kanan melalui parameter FWLS ventrikel kanan dari analisis bivariat dan multivariat.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara persentase beban KVP terhadap disfungsi ventrikel kanan pada populasi pasien KVP idiopatik aksis inferior beban tinggi di RSJPD Harapan Kita.

Background: Previous studies have proved that high burden premature ventricular contractions (PVC) can be a risk factor for right ventricular dysfunction as similar to left ventricular dysfunction or PVC-induced cardiomyopathy (PIC) in general. There has been no previous specific study that analyzed how large percentage of idiopathic inferior axis PVC burden that could lead to right ventricular dysfunction.
Aim: To evaluate the association between idiopathic inferior axis PVC burden percentage and right ventricular dysfunction using speckle tracking echocardiography examination.
Methods: A cross-sectional observational study on 24 patients with high burden of idiopathic inferior axis PVC underwent right ventricular global longitudinal strain (GLS) and free wall longitudinal strain (FWLS) using speckle tracking echocardiography in outpatient clinic of National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) from January 1st - March 31st, 2023. Statistical analysis performed to find out the association between the percentage of idiopathic inferior axis PVC burden and right ventricular dysfunction using right ventricular GLS and FWLS.
Results: From the 24 study subjects, the proportion of female sex was higher than male (17 people compared to 7 people), with the majority of PVC morphology was inferior axis and left bundle branch block (LBBB) pattern as much as 83.3%. The average of the percentage of PVC burden in this study population is 18.6 ± 9.6%. The percentage of PVC burden was found to be associated bivariately with right ventricular dysfunction through the right ventricular GLS parameter (p = 0.031), but there is no independent association with right ventricular dysfunction from multivariate analysis (p = 0.063, OR 1.18, 95% CI 0.99 – 1.41). The percentage of PVC burden had no association to right ventricular dysfunction through right ventricular FWLS parameters from both bivariate and multivariate analysis.
Conclusion: There is no independent association between the percentage of PVC burden and right ventricular dysfunction in patients with high burden of idiopathic inferior axis PVC
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vellia Justian
"Introduction: The major cause of mortality and morbidity post-MI is the complications following the infarction. One of the most common MACE is malignant arrhythmia, this includes VF, VT and non-sustained VT. Malignant arrhythmia is caused due to the culmination of biochemical, electrophysiological, autonomic and genetic changes after an event of ischemia which results in myocardial damage and scarring, as well as left ventricular systolic dysfunction. Early risk stratification is important in AMI and cTnI and LVEF has been two accessible markers that has been studied in various aspects of AMI as prognostic markers, however there has been little studies of its role and correlation in post-AMI malignant arrhythmia. This research will therefore explore the correlation between myocardial damage (cTnI) and left ventricular systolic function (LVEF) with malignant arrhythmia in AMI patients. Methods: A retrospective cohort study was conducted on AMI patients who are admitted to the ICCU of Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta from November 2018 to May 2019. Patients who experienced severe infection and who has malignant arrhythmia when admitted were excluded. The association between cTnI and malignant arrhythmia was tested using Mann-Whitney test, while the association between LVEF and malignant arrhythmia was tested using Independent T-Test. Pearson’s Chi-Square test was done to test the relationship between systolic function status with malignant arrhythmia, All data analysis was performed on IBM SPSS Statistics. Results: Total of 110 patients were included in this study. 13.6% of total subjects experience malignant arrhythmia during hospitalisation. There is no significant correlation between cTnI and post-AMI malignant arrhythmia (p = 0.053, RR 1.2, 95%CI 1.1-1.2) but significant correlation between LVEF and post-AMI malignant arrhythmia was found, on both metric (t(108)=3.450, p = 0.001) and categorical (c2(1) = 6.132, p = 0.013, RR 4.8, 95%CI 1.15-20.4) assessment. There were major differences in the mean value of cTnI and LVEF between the two groups. Conclusion: This study has found statistically significant correlation between left ventricular systolic function (LVEF) with malignant arrhythmia in AMI patients, but no significant correlation between cTnI and malignant arrhythmia in AMI patients. Higher cTnI levels are more frequent in malignant arrhythmia group. Malignant arrhythmia is more common in AMI patients with lower LVEF.

Pendahuluan: Penyebab utama mortalitas dan morbiditas infark miokard akut (IMA) adalah komplikasi pasca infark. Salah satu MACE paling umum ditemukan adalah aritmia maligna, yang meliputi VF, VT dan VT sesaat. Aritmia maligna disebabkan oleh kombinasi perubahan biokimia, elektrofisiologi, otonomi, serta genetik setelah kejadian iskemik yang kemudian menyebabkan kerusakan dan fibrosis pada miokard. Stratifikasi risiko awal sangat penting dalam kasus IMA. cTnI serta LVEF merupakan dua marka yang mudah diakses dan telah dipelajari dalam berbagai aspek IMA. Akan tetapi, studi mengenai peran dua marka tersebut dalam aritmia maligna pasca-IMA masih sedikit. Studi ini akan mempelajari korelasi antara kerusakan pada miokard (cTnI) dan fungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF) dengan aritmia maligna pada pasien IMA. Metode: Sebuah studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien IMA yang dirawat di ICCU Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam periode November 2018 hingga Mei 2019. Pasien yang mengalami infeksi parah dan pasien yang mengalami aritmia maligna saat admisi tidak diikutsertakan dalam penelitiaan ini. Hubungan cTnI dengan aritmia maligna dianalisis melalui uji Mann-Whitney dan hubungan LVEF dengan aritmia maligna dianalisis oleh uji Independent T-Test dan pada hubungan status fungsi sistolik dengan aritmia maligna dianalisis menggunakan uji Pearson Chi-Square. Analisis data dilakukan dengan software IBM SPSS Statistics. Hasil: Total 110 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. 13.6% dari total pasien mengalami aritmia maligna selama masa hospitalisasi. Tidak ditemukan adanya hubungan signifikan antara cTnI dengan aritmia maligna pada pasien IMA (p = 0.053, RR 1.2, 95%CI 1.1-1.2), namun ditemukan adanya hubungan signifikan antara LVEF dengan aritmia maligna pada pasien IMA, baik pada data metrik (t(108)=3.450, p = 0.001) maupun data kategorik (c2(1) = 6.132, p = 0.013, RR 4.8, 95%CI 1.15-20.4). Terdapat perbedaan besar antara nilai rata-rata cTnI and LVEF pada kedua kelompok pasien. Kesimpulan: Studi ini menemukan korelasi yang signifikan secara statistikal antara fungsi sistolik ventrikel kiri dengan aritmia maligna pada pasien IMA, namun tidak ditemukan adanya korelasi signifikan antara cTnI dengan aritmia maligna pada pasien IMA. Nilai cTnI yang tinggi lebih umum ditemukan pada kelompok pasien dengan aritmia maligna. Kejadian aritmia maligna lebih umum pada pasien yang memiliki LVEF yang lebih rendah."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Yuda Herdanto
"Prevalensi aritmia ventrikel maligna pasca koreksi Tetralogi Fallot (TOF) masih tinggi. Deteksi dini aritmia pasca operasi dilakukan dengan perekaman holter EKG. Modalitas ini tidak tersedia luas di seluruh pelayanan kesehatan. Perlu adanya studi yang menilai hubungan antara fragmentasi QRS berat yang dinilai dengan menggunakan EKG 12 sadapan dengan kejadian aritmia ventrikel pasca koreksi TOF. Studi observasional (potong lintang) pada 59 pasien pasca koreksi TOF >1 tahun dari waktu operasi. Dilakukan pemeriksaan EKG  12 sadapan untuk menilai derajat fragmentasi QRS dan dinilai hubungannya dengan temuan aritmia ventrikel berpotensi maligna dari holter EKG 24 jam. Fragmentasi QRS pada penelitian ini diklasifikasikan sebagai berat (fragmentasi >5 sadapan) dan tanpa fragmentasi berat (0–5 sadapan).  Sebesar  37,3% pasien menjalani operasi koreksi TOF  pada usia >3 tahun. Terdapat 89,8% subyek dengan fragmentasi QRS, dan 57,6% diantaranya dengan fragmentasi QRS berat. Kejadian aritmia ventrikel berpotensi maligna ditemukan pada 40,7% subyek, dan 45,8% diantaranya tidak mempunyai keluhan. Berdasarkan analisis multivariat, fragmentasi QRS derajat berat (OR 8,6[95% IK1,9 – 39,5]) dan interval operasi >7 tahun (OR 8,9[95% IK2,2 – 35,9]) merupakan faktor independen aritmia ventrikel (p<0,05). Terdapat hubungan antara derajat fragmentasi QRS berat dengan kejadian aritmia ventrikel berpotensi maligna, dengan besar risiko delapan kali dibanding pasien tanpa fragmentasi QRS berat.

The prevalence of malignant ventricular arrhythmias after Tetralogy of Fallot (TOF) repair is high. Through ECG holter monitoring, early detection for post-operative arrhythmia can be achieved. Unfortunately, this modality is not widely available. Further study is necessary to evaluate the association between severe QRS fragmentation from 12-leads ECG and incidence of ventricular arrhythmias after TOF repair. This cross-sectional study was done in 59 repaired TOF patients >1 year from time of surgery. QRS fragmentation was defined as notches in QRS complex and classified as severe QRS fragmentation (>5 leads) and none-to-moderate QRS fragmentation (0 – 5 leads). Mean age of 193 + 151 months, 37.3% of patients underwent surgery > 3 years of age. QRS fragmentation was found in 89.8% of subjects, and 57.6% presented with severe QRS fragmentation. The incidence of potentially malignant ventricular arrhythmias was 40.7%, but 45.8% were asymptomatic. On multivariate analysis, severe QRS fragmentation (OR 8,6[95% CI1,9 – 39,5]) and over than 7 years of operating intervals (OR 8,9[95% CI2,2 – 35,9]) were found as independent factors for ventricular arrhythmia occurrence (p <0.05). There is an association between severe QRS fragmentation and incidence of potentially malignant ventricular arrhythmias, with eight times greater risk in patients with none-to-moderate QRS fragmentation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Rafid Ikhsani
"Perubahan gaya hidup seiring perkembangan zaman membuat kronotipe manusia semakin bervariasi. Kronotipe malam diketahui banyak dijumpai pada kalangan remaja akhir. Pola irama sirkadian memiliki hubungan dengan sistem imun dan penyakit alergi. Rinitis alergi merupakan penyakit alergi yang paling banyak dijumpai pada kalangan remaja dan dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kronotipe dan rinitis alergi pada pelajar sekolah menengah atas.

Metode: Pada penelitian potong lintang ini, analisis dilakukan pada 196 pelajar sekolah menengah atas yang telah menjawab empat kuesioner: International Study of Asthma and Allergy in Childhood Core QuestionnaireReduced Version Morningness-Eveningness Questionnaire, Epworth Sleepiness Scale dan Kuesioner Studi Kohort Faktor Risiko PTM Tahun 2011 Bagian Penggunaan Tembakau dan Kebiasaan Merokok. Data dianalisis menggunakan uji chi square dan analisis regresi logistik.

Hasil: Lebih banyak pelajar berkronotipe pagi (64,8%) dibandingkan tipe malam (35,2%). Sebanyak 28,1% pelajar mengalami rinitis alergi dalam 12 bulan terakhir. Kronotipe berhubungan signifikan dengan rinitis alergi (p<0,05; OR=2,273; CI 95% 1,198-4,311). Terdapat perbedaan proporsi rinitis alergi yang signifikan antara pelajar dengan kronotipe malam (39.1%) dan pelajar dengan kronotipe pagi (22%).

Kesimpulan: Terdapat perbedaan proporsi rinitis alergi yang signifikan antara pelajar sekolah menengah atas dengan kronotipe malam dan pelajar dengan kronotipe pagi.


Changes in lifestyle over the times make human chronotypes more varied. The evening type are known to be frequently found among late adolescents. Circadian rhythm has a relationship with the immune system and allergic disease. Allergic rhinitis is the most common allergic disease among adolescents and can reduce the patient's quality of life. This study aims to determine the relationship between chronotype and allergic rhinitis in high school students.

Method: In this cross-sectional study, 196 high school students answered four different questionnaires: the International Study of Asthma and Allergy in Childhood Core Questionnaire, the Reduced Version Morningness-Eveningness Questionnaire, Epworth Sleepiness Scale and Kuesioner Studi Kohort Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular Tahun 2011 Bagian Penggunaan Tembakau dan Kebiasaan Merokok. The data was analyzed using chi-square test and logistic regression.

Result: More students were morning type (64,8%) compared to evening type (35,2%). As many as 28.1% of students experienced allergic rhinitis in the last 12 months. Chronotype was significantly associated with allergic rhinitis (p<0,05; OR=2,273; CI 95% 1,198-4,311). There was a significant difference in the proportion of allergic rhinitis between high school students with evening chronotype (39,1%) and high school students with morning chronotype (22%).

Conclusion: There was a significant difference in the proportion of allergic rhinitis between high school students with evening chronotype and students with morning chronotype."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Lousiana
"Latar belakang: Latihan fisik anaerobik adalah latihan fisik yang dilakukan dalam waktu singkat dengan intensitas tinggi dan dapat merangsang apoptosis pada kardiomiosit ventrikel kiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi apoptosis kardiomiosit pasca latihan serta pasca henti latih latihan fisik anaerobik.
Metode : Identifikasi Caspase-3 dilakukan dengan cara pulasan imunohistokimia dan analisis kuantitatif persentase Caspase-3 yang dilakukan pada kelompok kontrol 4,8,12 dan 16 minggu, kelompok perlakuan latihan fisik anaerobik 4 dan 12 minggu serta henti latih 4 minggu pasca latihan (minggu ke 8 dan 16).
Hasil: Analisis data menunjukkan peningkatan persentase caspase-3 pada kelompok latihan fisik anaerobik 4 dan 12 minggu dengan p=0,027. Penurunan persentase capase-3 pasca henti latih yang bermakna juga ditemukan antara kelompok latihan fisik anaerobik 4 minggu dengan kelompok henti latih 4 minggu (p=0,0001) dan antara kelompok latihan anaerobik 12 minggu dengan kelompok henti latih 16 minggu (p=0,0001).

Introduction : Anaerobic physical exercise is a high intensity physical exercise performed in a short time. This exercise can stimulate apoptosis in left ventricular cardiomyocytes. The aims of this study is to analyze the expression of cardiomyocyte apoptosis after anaerobic exercise and detraining.
Methods : Caspase-3 expression is identified by immunohistochemistry labeling and quantitative analysis of the percentage of Caspase-3 in the control group 4,8,12 and 16 weeks, groups with 4 and 12 weeks of anaerobic physical exercise, and groups after 4 weeks of detraining ( week 8 and 16).
Conclucion: Data analyses showed a significant increase in the percentage of caspase-3 in the 4 and 12 weeks anaerobic physical exercise groups with p = 0.027. The percentage of Capase-3 after detraining showed a significant decline between the groups of 4 weeks of anaerobic physical exercise and detraining with p = 0.0001 and between groups of 12 weeks of anaerobic exercise and detraining with p = 0, 0001.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Bintoro
"Latar Belakang. Pemacuan ventrikel kanan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari tatalaksana bradikardi simptomatik, bradiaritmia, dan kelainan konduksi lainnya. Sayangnya terdapat efek buruk pemacuan ventrikel kanan terhadap disinkroni dan penurunan fungsi ventrikel kiri. Penelitian ini mencoba melihat secara potong lintang hubungan pemacuan ventrikel kanan terhadap kejadian disinkroni dan penurunan fungsi ventrikel kiri.
Metode. Seratus delapan belas pasien dengan disfungsi nodal AV diambil secara konsekutif untuk studi potong lintang, mulai bulan Maret hingga Mei 2013 didapat dari registri divisi Aritmia Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien menjalani pemeriksaan disinkroni dan fungsi ventrikel kiri dengan ekokardiografi. Dilakukan penilaian terhadap interval elektromekanikal dengan doppler jaringan, kemudian dinilai variabel nilai awal yang didapat dari rekam medis pasien.
Hasil. Dalam studi kami, 70 dari 118 (59.3%) pasien mengalami disinkroni dalam rerata durasi pemacuan 4.7 tahun. Terdapat perbedaan signifikan terhadap durasi waktu di kelompok pasien yang mengalami disinkroni intraventrikel dengan yang tidak mengalami disinkroni intraventrikel (5.29 vs 3.27 tahun). Setelah pemacuan ventrikel kanan 6.1 tahun, pasien paska pacu-jantung berisiko untuk mengalami disinkroni intraventrikel dengan OR 4.07 kali. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara pemacuan di apeks RV ataupun RVOT terhadap kejadian disinkroni. Terdapat kecenderungan kejadian disinkroni intraventrikel, disinkroni interventrikel, dan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien-pasien yang mendapatkan pemacuan apeks RV.
Kesimpulan. Semakin lama durasi pemacuan ventrikel kanan, semakin tinggi risiko kejadian disinkroni intraventrikel pada pasien pacu-jantung permanen dengan OR di atas 6.1 tahun adalah 4.07 kali.

Background. Right ventricular pacing is an established therapy from the management of symptomatic bradycardia, brady-arrhytmias, and other conduction disturbances. Unfortunately there are deleterious effects of right ventricular pacing on cardiac synchrony and left ventricular function. This study tried to look cross sectionaly the variable of pacing duration, lead locations to the occurrence of dyssynchrony and decrease left ventricular ejection fraction.
Method. One hundred and eighteen patients with AV nodal dysfunction (SND with AVN dysfunction, AF slow response, Total AV-Block, and AF post AVJ ablation) taken consecutively for this cross-sectional study, from March to May 2013 obtained from the registry division of the National Cardiac Arrhythmia Center Harapan Kita, Jakarta. Patients then undergone echocardiography assessment for cardiac dyssynchrony and left ventricular function. After we assessed of the electromechanical interval with tissue Doppler, we then assessed the value of the basic variables that was obtained from patient medical records.
Results. In our study, 70 of 118 (59.3%) patients had dyssynchrony at a mean duration of pacing disinkroni in 4.7 years. There are significant differences in the duration of time under pacing in the group of patients who experienced intraventricular dyssynchrony (5.29 vs. 3.27 years). In post-cardiac pacemaker patients, there were increased risk by year with peak after 6.1 years of OR 4.07 times. There were no significant differences between pacing lead at the RV apex or RVOT. There is a downward trend in intraventricular and interventricular dyssynchrony, also with poor left ventricular ejection fraction in patients receiving RV apical pacing.
Conclusion. The longer the duration of right ventricular pacing, the higher the risk of intraventricular dyssynchrony in patients with permanent cardiac pacemaker (OR for patients with RV pacing more than 6.1 years is 4.07x).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>