Ditemukan 117249 dokumen yang sesuai dengan query
Ignatia Rahma Sari
"Perubahan, tuntutan, dan tantangan yang terjadi merupakan ciri khas yang akan dihadapi oleh individu ketika memasuki usia dewasa muda. Memiliki harga diri yang tinggi sangat diperlukan bagi individu untuk mampu menghadapi segala perubahan yang terjadi dengan baik. Salah satu faktor yang berperan pada keberlangsungan harga diri adalah bahasa cinta yang ditunjukkan oleh orang tua. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat keterkaitan antara masing-masing dimensi bahasa cinta orang tua dengan harga diri pada dewasa muda. Partisipan merupakan 241 dewasa muda yang berusia 18-25 tahun dan berdomisili di Indonesia. Variabel harga diri diukur menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES) dan variabel bahasa cinta orang tua diukur menggunakan Parental Love Languages Scale (PLLS). Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bahasa cinta orang tua words of affirmation (r = .30, p < .001), quality time (r = .32, p < .001), acts of service (r = .29, p < .001), giving gift (r = .24, p < .001), dan physical touch (r = .18, p < .01) dengan tingkat harga diri. Penelitian ini merupakan eksplorasi lebih lanjut terkait teori Lima Bahasa Cinta dan dapat dijadikan sebagai dasar intervensi terkait peningkatan harga diri pada dewasa muda.
The emergence of changes, demands, and challenges is a characteristic that will be faced by someone when entering the phase of emerging adulthood. Having high self-esteem is necessary for individuals to be able to deal with the changes that occur. One of the factors that play a role in the continuity of self-esteem is the love languages shown by parents. In this study, researcher investigated the relationship between each dimension of parental love language and self-esteem in emerging adulthood. Participants were 241 emerging adults aged 18-25 years. The variable of self-esteem was measured using Rosenberg Self- Esteem Scale (RSES) and the parental love language was measured using the Parental Love Languages Scale (PLLS). The results showed that there was a positive and significant relationship between words of affirmation (r = .30, p < .001), quality time (r = .32, p < .001), acts of service (r = .29, p < .001), giving gift (r = .24, p < .001), and physical touch (r = .18, p < .01) with self-esteem. This research is a further exploration of the theory of the Five Love Languages and can be used as a basis for interventions related to self-esteem in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Haura Athaya Rachman
"Masa dewasa muda merupakan sebuah masa transisi dari remaja ke dewasa di mana individu memiliki tanggung jawab yang lebih besar, mempunyai ekspektasi masa depan, dan banyak tuntutan di saat yang sama. Banyaknya tantangan yang dialami dewasa muda menyebabkan dewasa muda menjadi rentan terhadap gangguan mental. Kematangan emosi menjadi salah satu aspek penting yang harus dimiliki oleh dewasa muda agar mereka dapat menghadapi periode yang kompleks ini. Salah satu faktor yang paling berperan dalam membentuk kematangan emosi dewasa muda merupakan bahasa cinta orang tua. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara bahasa cinta orang tua dan kematangan emosi pada dewasa muda. Partisipan terdiri dari 260 dewasa muda yang berusia 18-25 tahun dan berdomisili di seluruh Indonesia. Kematangan emosi diukur menggunakan Emotional Maturity Scale (EMS) dan bahasa cinta orang tua diukur menggunakan Parental Love Language Scale (PLLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bahasa cinta orang tua dengan kematangan emosional. Diantara lima bahasa cinta yang paling tinggi korelasinya adalah perkataan afirmasi (r = .374, p < .01), diikuti dengan waktu berkualitas (r = .197, p < .01), tindakan melayani (r = .152, p < .01), penerimaan hadiah (r = .160, p < .01), dan sentuhan fisik (r = .126, p < .05) dengan tingkat kematangan emosi.
Emerging adulthood is a transitional phase from adolescence to adulthood, marked by increased responsibilities, future expectations, and simultaneous demands. The numerous challenges faced during this period make young adults vulnerable to mental health disorders. Emotional maturity is identified as a crucial aspect for young adults to navigate this complex period successfully. One significant factor shaping emotional maturity in young adults is the parental love language. The purpose of this study was to examine the relationship between parental love languages and emotional maturity in emerging adult. The study involved 260 young adults aged 18-25 from various regions in Indonesia. Emotional maturity was assessed using the Emotional Maturity Scale (EMS), while the parental love language was measured using the Parental Love Language Scale (PLLS). The results indicated a positive and significant relationship between parental love languages and emotional maturity. Among the five parental love languages, the highest correlation is found in words of affirmation (r = .374, p < .01), followed by quality time (r = .197, p < .01), acts of service (r = .152, p < .01), receiving gifts (r = .160, p < .01), and physical touch (r = .126, p < .05), all associated with emotional maturity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Syalva Fuzi Annisya
"Mahasiswa sering dihadapkan dengan permasalahan akademik maupun non akademik saat berada di fase emerging adulthood dan tidak jarang mahasiswa memiliki masalah kesehatan mental pada fase tersebut. Dibutuhkan kemampuan resiliensi yang baik agar mahasiswa mampu menjalani dan melewati segala macam tantangan hidup. Hadirnya cinta dan kasih sayang orangtua yang tepat ditemukan dapat meningkatkan kemampuan resiliensi mahasiswa. Dalam penelitian ini, analisis statistik pearson product-moment correlation, simple regression, dan multiple regression digunakan untuk melihat hubungan antara parental love language dengan resiliensi mahasiswa serta mengetahui lebih lanjut variabel parental love language secara umum sekaligus dimensinya (word of affirmation, quality time, act of service, giving gifts, dan physical touch) dalam memprediksi resiliensi mahasiswa. Sebanyak 289 mahasiswa Indonesia berusia 18-25 tahun yang masih menjalin kontak hubungan aktif dengan kedua atau salah satu pihak dari orangtua (Ayah atau Ibu) diuji dengan menggunakan alat ukur Parental Love Language (Pohan dkk., 2021) dan Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC 10) (Fathanah, 2014). Hasil penelitian menunjukan hubungan yang signifikan dan positif antara parental love language secara umum dan dimensi word of affirmation, acts of service, quality time, dan giving gifts dengan resiliensi mahasiswa. Selain itu, ditemukan bahwa parental love language secara umum dapat memprediksi resiliensi mahasiswa terlebih pada dimensi word of affirmation, acts of service, dan physical touch.
Students in the emerging adult phase frequently face academic and non-academic problems, and mental health issues are not uncommon. Students must have strong resilience skills in order to face and overcome various life challenges. The presence of appropriate parental love language was found to increase students' resilience abilities. In this study, Pearson product-moment correlation, simple regression, and multiple regression were used to examine the relationship between parental love language and student resilience and to discover more about parental love language variables in general as well as their dimensions (words of affirmation, quality time, acts of service, giving gifts, and physical touch) in predicting student resilience. Parental Love Language Scale (Pohan dkk., 2021) and the Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC 10) (Fathanah, 2014) were used to assess 289 Indonesian students aged 18 to 25 who were still in active contact with both or one of their parents (father or mother). The results reveal a significant and positive relationship between parental love language in general, as well as the dimensions of word of affirmation, acts of service, quality time, and gift giving, with student resilience. Furthermore, parental love language in general has been found to predict student resilience, particularly in the dimensions of words of affirmation, acts of service, and physical touch."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nadhira Melati Putri
"Cara pandang atau evaluasi seorang individu terhadap dirinya sendiri akan cenderung positif apabila ia memiliki self-esteem yang baik. Individu pada tahap perkembangan dewasa muda (usia 18-29 tahun) dihadapi dengan berbagai tugas perkembangan serta tuntutan kehidupan di kesehariannya, sedangkan disisi lain penting juga untuk menerapkan perilaku mempromosikan kesehatan. Individu yang memiliki self-esteem yang baik diharapkan lebih mampu untuk melakukan perilaku mempromosikan kesehatan dengan lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti mengenai hubungan antara perilaku mempromosikan kesehatan dan self-esteem pada dewasa muda. Responden dalam penelitian ini berjumlah 798 orang dari berbagai macam daerah di Indonesia. Perilaku mempromosikan kesehatan diukur dengan Health Promoting Lifestyle Profile II (HPLP II) dan self-esteem diukur dengan Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Kedua alat ukur tersebut telah di adaptasi ke dalam bahasa Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dimensi perkembangan spiritual terdapat hubungan yang positif dan signifikan dengan self-esteem. Sementara itu, pada dimensi tanggung jawab kesehatan, hubungan interpersonal, aktivitas fisik, nutrisi, dan manajemen stres tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan self-esteem.
The way individuals perceives or evaluates themselves are tend to be more positive when they have a good self-esteem. Individuals in the phase of emerging adulthood (18-29 years old) are faced with various developmental task and the demands of life, but on the other hand, to put in mind it is also important for them to implement health promoting behavior on daily basis. This study aims to investigate the relationship between health promoting behavior and self-esteem in emerging adulthood. Respondents in this study consist of 798 emerging adulthood from various regions in Indonesia. Health promoting behavior were measured by Health Promoting Lifestyle Profile II (HPLP-II) and self esteem were measured by Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Both of this instrument has been adapted in Bahasa Indonesia. The results shows that spiritual growth is positively and significantly correlated with self-esteem. Meanwhile, health responsibility, interpersonal relationships, physical activity, nutrition, and stress management are not significantly correlated to self-esteem."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Gabriella Igari Tatiana Shaya Rani
"Obesitas pada dewasa muda dikaitkan dengan keadaan transisi emosional dan pola hidup dari masa remaja yang mempengaruhi pada citra tubuh dan harga diri. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi hubungan citra tubuh dengan harga diri pada dewasa muda obesitas di Jakarta. Desain penelitian menggunakan cross sectional. Jumlah sampel 100 orang dengan kriteria inklusi Dewasa muda Laki-laki dan Perempuan (berusia antara 18 sampai 29 tahun) yang memiliki IMT ≥30 kg/m2 dan berdomisili di kota Jakarta. Instrumen yang digunakan adalah Multidimensional Body–Self Relations Questionnaire - Appearance Scales (MBSRQ-AS) dan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). Analisis menggunakan univariat dan bivariat dengan uji statistik Chi Square. Hasil penelitian didapatkan karakteristik usia responden terbanyak pada 22 tahun, median IMT 32 kg/m2, IMT terendah 30 dan tertinggi 41 kg/m2. Citra tubuh rendah dialami oleh 32 orang dan harga diri rendah dialami oleh 26 orang. Terdapat hubungan citra tubuh dengan harga diri (p = 0,001). Penelitian merekomendasi dewasa muda berfokus kepada kesehatan keseluruhan jiwa dan raga, menjaga kesehatan mental, bijak dalam memproses informasi, dan berfokus kepada pengembangan diri serta penghargaan terhadap kemampuan dan pencapaian diri, bukan hanya pada penampilan fisik untuk meningkatkan citra tubuh dan harga diri rendah.
Obesity in young adults is associated with emotional and lifestyle transition states from adolescence that affect body image and self-esteem. The purpose of the study was to identify the relationship between body image and self-esteem in obese young adults in Jakarta. The research design uses cross sectional. The sample size of 100 people with inclusion criteria is young adults, males and females (aged between 18 and 29 years) with a BMI of ≥30 kg/m2 and are domiciled in Jakarta. The instruments used are the Multidimensional Body–Self Relations Questionnaire - Appearance Scales (MBSRQ-AS) and the Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). The analysis used univariate and bivariate with the Chi Square statistical test. The study results were obtained with the characteristics of the age of the most respondents at 22 years, the median BMI was 32 kg/m2, the lowest BMI was 30 and the highest was 41 kg/m2. Low body image was experienced by 32 people and 26 people experienced low self-esteem. There was a relationship between body image and self-esteem (p = 0.001). Research recommends that young adults focus on overall physical and mental health, maintain mental health, be wise in processing information, and focus on self-development and appreciation of abilities and achievements, not just physical appearance to improve body image and low self-esteem."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Laili Kurnia
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self esteem dan compulsive buying pada wanita dewasa muda. Compulsive buying merupakan perilaku belanja yang tidak terkontrol, berulang-ulang, dan memiliki dorongan kuat untuk berbelanja yang dianggap sebagai cara untuk menghilangkan perasaan negatif seperti stress dan kecemasan. Sementara self esteem adalah penilaian yang diberikan seseorang terhadap dirinya yang diekspresikan melalui sikap menerima atau menolak dirinya sehingga terlihat sejauhmana individu meyakini bahwa dirinya mampu, penting, sukses, dan berharga. Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan 2 instrumen pengukuran yang mengukur self esteem dan compulsive buying. Partisipan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 105 orang wanita dewasa muda dengan rentang usia 20 ? 40 tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara self esteem dan compulsive buying pada wanita dewasa muda, dengan nilai r = -0.416.
The current study examined the relationship between self esteem and compulsive buying among young adulthood women. Compulsive buying is a shopping behavior in which the afflicted consumer has overpowering, uncontrollable, chronic, and repetitive urge to shop as a means of alleviating negative feelings of stress and anxiety. Meanwhile, self esteem is the evaluation a person makes of her/himself, expressed an attitude of approval or disapproval and indicates whether or not the person believes her/himself to be capable, significant, successful, and worthy. Using quantitative method, self esteem and compulsive buying instruments have been developed and given to 105 young adulthood women. Result indicated that there are negative and significant relationship between self esteem and compulsive buying among young adulthood women, with r = -0.416."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Kyla Kansa
"Kepuasan hubungan dapat memberikan berbagai dampak positif untuk hubungan itu sendiri dan kehidupan individu yang terlibat di dalamnya. Mengekspresikan cinta melalui bahasa cinta dapat dipertimbangkan untuk memperoleh kepuasan hubungan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kaitan antara konsep bahasa cinta oleh Gary Chapman (2004) dengan kepuasan hubungan pada partisipan berusia 19-30 tahun yang sedang menjalani hubungan romantis; berpacaran atau bertunangan atau menikah. Bahasa cinta diukur dengan The Five Love Languages (FLL) Scale dan kepuasan hubungan diukur dengan Relationship Assessment Scale (RAS). Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara bahasa cinta dan kepuasan hubungan. Artinya semakin tinggi bahasa cinta, maka akan semakin tinggi pula kepuasan hubungan. Hasil korelasi setiap dimensi bahasa cinta menunjukkan dimensi waktu berkualitas berkorelasi paling tinggi dengan kepuasan hubungan, diikuti dengan perkataan afirmasi, pemberian hadiah, sentuhan fisik, dan tindakan melayani. Penelitian ini mengeksplorasi teori Bahasa Cinta dan dapat menjadi referensi untuk program intervensi terkait kepuasan hubungan terutama pada dewasa muda.
Relationship satisfaction brought out positive consequences for the relationship itself and the individuals that are involved in the relationships. Expressing love through love languages given due consideration to obtain relationship satisfaction. This study explored the relationship between love languages by Gary Chapman (2004) and relationship satisfaction in the participants with the range of age 19-30 years old and being in the romantic relationship; dating or engaged or married. The Five Love Languages Scale is used for assessing love languages and Relationship Assessment Scale (RAS) is used for assessing relationship satisfaction.The result indicates the positive correlation between love languages and relationship satisfaction significantly. It means that the higher love languages, the higher relationship satisfaction. This study also correlated each of dimensions of the love languages with relationship satisfaction, and the highest correlation was quality time, followed by words of affirmation, receiving gifts, physical touch, and acts of service. This study explored theory of Love Languages and could be used as reference for interventions program that related to relationship satisfaction, especially in young adults."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mauluna Salsabila
"Konsep bahasa cinta menguraikan bagaimana kita mengekspresikan cinta dan memperoleh perasaan dicintai melalui lima bahasa cinta utama yaitu: word of affirmation, quality time, act of service, receiving gift, dan physical touch. Mengenali perbedaan dalam bahasa cinta dapat berdampak signifikan pada keberhasilan suatu hubungan romantis karena dapat memenuhi kebutuhan emosional pasangan dengan tepat. Sementara itu, tingkat kebutuhan emosional seseorang untuk dicintai berasal dari pola kelekatan di masa kecil. Eksplorasi dari kemungkinan hubungan keduanya berkontribusi pada pemahaman hubungan romantis dan dapat meningkatkan kemampuan untuk menavigasi hubungan intim. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara pola kelekatan dan bahasa cinta dewasa awal di Indonesia. 142 peserta yang pernah atau sedang berada dalam hubungan romantis dengan rentang usia 18-25 tahun dan tinggal di Indonesia (N=142) mengikuti penelitian ini. Pola kelekatan diukur menggunakan Experienced in Close Relationships-Revised (ECR-R) dan bahasa cinta diukur menggunakan Five Love Languages Scale (FLLS). Pada penelitian ini ditemukan hubungan yang signifikan antara pola kelekatan dan bahasa cinta sehingga hipotesis penelitian terbukti dan dapat diterima. Penelitian ini dapat digunakan sebagai preliminary study dalam menyelidiki dinamika hubungan antara pola kelekatan dan bahasa cinta.
One aspect of romantic relationships that is currently becoming a topic of conversation is the concept of love languages introduced by Chapman. His theory outlines how we express love and get the feeling of being loved through five main love languages: word of affirmation, quality time, act of service, receiving gifts, and physical touch. Recognizing the differences in love languages can significantly impact the success of a relationship because it can properly address the emotional needs of a partner. Meanwhile, the level of one's emotional need to be loved comes from attachment patterns in childhood. Further exploration of the two's possible relationships contributes to a more comprehensive understanding of romantic love and ultimately enhances our ability to navigate intimate relationships. This research aims to explore the relationship between love language and attachment style. 142 participants who had or were in a romantic relationship aged 18-25 years and lived in Indonesia (N=142) participated in this study. Attachment styles were measured using Experienced in Close Relationships-Revised (ECR-R) and love language was measured using the Five Love Languages Scale (FLLS). In this study, a significant relationship was found between attachment patterns and love language so that the research hypothesis was proven and accepted. This research can be used as a preliminary study in investigating the dynamics of the relationship between attachment patterns and love language."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yuanita Zandy Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self esteem pada perempuan dewasa muda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional study. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 101 perempuan dewasa muda. Pengukuran kekerasan dalam pacaran menggunakan alat ukur The Revised Conflict Tactics Scales 2 dan pengukuran self esteem menggunakan Rosenberg Self Esteem Scale. Hasil dari penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self esteem perempuan dewasa muda (r = -0,252, p<0,05). Ketiga bentuk kekerasan yaitu psikologis, fisik dan seksual juga berhubungan signifikan dengan self esteem.
This research investigates the relationship between dating violence and self esteem on young women. This study uses a quantitative approach with cross sectional study design. One hundred and one young women were served as a participants in study. Measurement of dating violence using The Revised Conflict Tactics Scales 2 and measurement of self esteem using Rosenberg Self Esteem Scale. The result of study authenticate that there is a significant relationship between dating violence and self esteem on young women (r = -0,252, p<0,05). The third form of violence, that is psychological, physical, and sexual has a significant relationship with self esteem."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S44811
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Devirianty
"Fear of intimacy merupakan hambatan yang menghalangi dewasa muda untuk membangun keintiman dalam rangka membentuk hubungan romantis dengan pasangan. Self-esteem rendah sebagai faktor internal yang memungkinkan seseorang untuk mempunyai fear of intimacy tinggi, merupakan salah satu akibat dari fenomena perceraian yang semakin marak di Indonesia sekarang ini. Dewasa muda yang berasal dari keluarga bercerai cenderung mempunyai self-esteem yang rendah dibandingkan dewasa muda dari keluarga utuh, dan karena itu cenderung mempunyai fear of intimacy yang tinggi. Penelitian ini mencoba untuk mencari dan menemukan arah korelasi self-esteem dengan fear of intimacy pada dewasa muda melalui pendekatan kuantitatif. 103 partisipan yang terdiri dari tiga kelompok berdasarkan status perkawinan orangtua (menikah, bercerai, janda/duda meninggal) mengisi alat ukur yang terdiri dari adaptasi Fear of Intimacy Scale (FIS) dan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). Pengolahan data dengan teknik chi-square menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan ( Pearson?s r = - .368, p value = 0.00) antara skor self-esteem dan skor fear of intimacy. Korelasi negatif yang ditemukan mengindikasikan bahwa semakin baik self-esteem seseorang maka semakin rendah kecenderungan fear of intimacy. Oleh karena itu, self-esteem anak yang orangtuanya bercerai (cenderung rendah) perlu mendapat perhatian khusus agar tidak tumbuh menjadi faktor internal yang menimbulkan fear of intimacy saat anak berusia dewasa muda.
Fear of intimacy are barriers that prevent young adults to build intimacy in order to form a romantic relationship with a partner. Low self-esteem as internal factors that enable a person to have a high fear of intimacy, is one result of the growing phenomenon of divorce in Indonesia today. Young adults from divorced families tend to have lower self-esteem than young adults from intact families, and therefore tend to have a high fear of intimacy. This study tries to seek and find the direction of the correlation of self-esteem and fear of intimacy in young adults through a quantitative approach. 103 participants consisting of three groups based on parental marital status (married, divorced, widow / widower dies) fill the adaptation of Fear of Intimacy Scale (FIS) and the Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). Data analysis with chi-square technique showed a significant negative correlation (Pearson's r = - .368, p value = 0:00) between the scores of self-esteem and fear of intimacy scores. Negative correlation that was found indicating that if a person's has better self-esteem, they would have the lower the tendency of fear of intimacy. Therefore, the self-esteem of children whose parents divorce (rather low) need special attention so it wont grow into internal factors that give rise to fear of intimacy when children were in young adult."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56876
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library