Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169800 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arkananta Imannuelito Rahadyan
"Latar Belakang. Taenia solium merupakan parasit yang dapat mengakibatkan taeniasis dan sistiserkosis, tergantung pada fase parasit saat menginfeksi. Manusia diketahui merupakan host definitif dari parasit ini. Sebagai salah satu area endemik filariasis limfatik dan cacing yang ditularkan melalui tanah, Sumba Barat Daya memiliki kualitas sanitasi dan pola hidup higienis yang masih buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dari pemberian pengobatan masal untuk filariasis limfatik pada seroprevalensi taeniasis dan sistiserkosis. Metode. Studi ini merupakan studi pre dan post dengan menggunakan data sekunder yang sebelumnya telah diambil oleh tim peneliti filariasis, Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Terdapat 70 partisipan lokal yang terlibat pada penelitian ini. Pada tahun 2016, tim peneliti mengambil sampel darah sebelum melakukan pemberian pengobatan masal berupa albendazol (400 mg) dan dietilkarbamazine (6 mg/kg Berat Badan), dosis tunggal. Satu tahun kemudian, tim peneliti mengambil darah pada partisipan yang sama. Antibodi IgG terhadap rekombinan rES33 (untuk taeniasis) dan rT24H (untuk sistiserkosis) diukur dengan ELISA. Hasil kemudian dibandingkan diantara dua titik waktu. Usia dan jenis kelamin dianalisis sebagai faktor pemberat potensial.
Hasil. Satu tahun setelah pemberian pengobatan masal, seroprevalensi positif menurun dari 42.9% menjadi 21.4% untuk Taenia solium taeniasis (P = 0.003) dan dari 47.1% menjadi 22.9% untuk sistiserkosis (P = 0.001). Studi ini juga menemukan penurunan yang signifikan dari kasus positif pada peserta laki-laki (P < 0.0001), tetapi tidak pada perempuan. Prevalensi sistiserkosis pada anak-anak (P = 0.008) dan orang dewasa (P = 0.049) juga berkurang secara signifikan. Dalam kasus taeniasis, hanya orang dewasa yang menunjukan serokonversi yang signifikan (P = 0.021). Kesimpulan. Pemberian obat masal albendazol dan dietilkarbamazin sitrat dosis tunggal pada pasien Taenia solium taeniasis atau sistiserkosis dapat menurunkan kasus seroprevalensi positif pada kedua infeksi.

Background: Taenia solium is a parasite that can cause taeniasis and cysticercosis, depending on the stadium of the invading parasite at the time of infection. Humans are known to be the definitive and intermediate hosts of this parasite. As one of the endemic areas for lymphatic filariasis (LF) and soil-transmitted helminths, Sumba Barat Daya has poor sanitation and hygienic behavior. This study aimed to investigate the effect of mass drug administration for LF on the seroprevalence of taeniasis and cysticercosis. Metode: This study is a pre and post study using secondary data previously collected by the filariasis research team, Department of Parasitology, Faculty of Medicine, University of Indonesia. There were 70 local participants involved in this study. In 2016, the research team took blood samples before administering a single dose of albendazole (400 mg) and diethylcarbamazine (6 mg/kg body weight). One year later, the blood of the same participants were collected. IgG antibodies against recombinant antigens rES33 (for taeniasis) and rT24H (for cysticercosis) were measured by ELISA. The results were then compared between the two time points. Age and gender were analyzed as potential confounders.
Result: One year after the mass treatment, the positive seroprevalence decreased from 42.9% to 21.4% for Taenia solium taeniasis (P = 0.003) and from 47.1% to 22.9% for cysticercosis (P = 0.001). This study also found a significant reduction of positive cases in male participants (P < 0.0001), but not in females. The cysticercosis prevalence in children (P = 0.008) and adults (P = 0.049) were significantly reduced as well. In the case of taeniasis, only adults showed significant seroconversion (P = 0.021). Conclusion: Mass Drug Administration in a single dose of albendazole and diethylcarbamazine to patients with Taenia solium taeniasis or cysticercosis can reduce positive seroprevalence cases in both infections.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vira Nur Arifa
"Introduksi: Toksokariasis dilaporkan dengan prevalensi tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Mengingat kurangnya sistem surveilans yang memadai, beban toksokariasis yang sebenarnya di Indonesia mungkin diabaikan. Sumba Barat Daya sebagai salah satu daerah endemis filariasis limfatik (LF), telah memulai pemberian obat massal (MDA) sejak tahun 2014. Namun, dampak regimen obat ini terhadap toksokariasis belum diketahui.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, sebagai bagian dari penelitian yang lebih besar “Studi Berbasis Komunitas Terapi 2 Obat versus 3 Obat untuk Limfatik Filariasis di Indonesia Bagian Timur”. MDA diberikan kepada masyarakat dengan kombinasi dosis tunggal albendazol (400 mg) dan dietilkarbamazin sitrat (6 mg/kgBB). Sampel diambil sebelum dan sesudah MDA masing-masing pada tahun 2016 dan 2017. Antigen protein rekombinan rTc-CTL-1 IgG spesifik diukur dengan ELISA sebelum dan sesudah MDA.
Hasil: Sebanyak 70 partisipan terlibat, terdiri dari 35 subjek perempuan dan 35 subjek laki-laki dengan median usia 26 (jangkauan interkuartil:11-40) tahun. Rentang median dan IQR IgG spesifik rTc-CTL-1 terhadap toksokariasis yang diukur pada awal dan setelah MDA masing-masing adalah 0,94 (0,57 – 1,59) dan 1,11 (0,43 - 1,67). Tidak ada perubahan signifikan dalam kadar IgG spesifik rTc-CTL-1 setelah MDA. Tingkat seropositivitas IgG spesifik rTc-CTL-1 tidak mengalami penurunan yang signifikan; penurunannya hanya 1,4%, dari 94,3% sebelum MDA menjadi 92,9% setelah MDA. Analisis tambahan menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak memiliki efek perancu pada perbedaan positif IgG antara dua titik waktu.
Konklusi: Regimen MDA untuk LF yang terdiri dari albendazol dan DEC tampaknya tidak berpengaruh signifikan terhadap seroprevalensi toksokariasis di desa Karang Indah, kabupaten Sumba Barat Daya. Di masa depan, disarankan untuk melakukan penelitian yang lebih besar dengan ukuran sampel yang lebih besar dan durasi penelitian yang lebih lama.

Introduction: Toxocariasis has been reported at high prevalences in low to middle-income countries. Given the lack of adequate surveillance systems, the actual burden of toxocariasis in Indonesia is likely to be overlooked. Sumba Barat Daya as one of endemic areas for lymphatic filariasis (LF), has started mass drug administration (MDA) since 2014. However, the impact of this drug regimen on toxocariasis is not known.
Methods: This research was a prospective study, as a part of the larger study “Community Based Study of 2-Drugs versus 3-Drugs Therapy for Lymphatic Filariasis in Eastern Indonesia”. MDA was given to the community with combination of a single dose of albendazole (400 mg) and DEC (6 mg/kgBW). Samples were taken before and after MDA in 2016 and 2017, respectively. Recombinant protein antigen rTc-CTL-1 specific IgG was measured by ELISA before and after MDA.
Results:  A total of 70 participants were involved, consisting of 35 female and 35 male subjects with median age of 26 (interquartile range: 11 – 40) years old. The median and IQR of rTc-CTL-1 specific IgG against toxocariasis measured at baseline and after MDA was 0.94 (0.57 – 1.59) and 1.11 (0.43 – 1.67), respectively. There was no significant change in levels of rTc-CTL-1 specific IgG after MDA. The seropositivity rate of rTc-CTL-1 specific IgG had no significant decrease; the decrease was only 1.4%, from 94.3% before MDA to 92.9% after MDA. Additional analysis showed that age and gender had no confounding effect on the difference of IgG positivity between the two time points.
Conclusion: The MDA regimen for LF consisting of albendazole and DEC seemed to have no significant impact on the seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah village, Sumba Barat Daya district. In the future, it is recommended to conduct a larger study involving extended sample size and longer duration of the study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zahrotul Habibah
"ABSTRAK
Filariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di Indonesia Timur antara lain di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD). Untuk mengeliminasi filariasis, WHO membuat program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis dengan diethylcarbamazine citrat (DEC) dan albendazol setiap tahun selama 5 tahun berturut-turut. Untuk mengetahui keberhasilan POPM, perlu dilakukan evaluasi cakupan POPM setiap tahun. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui cakupan POPM filariasis di SBD pada tahun 2012-2013. Penelitan menggunakan desain cros sectional dengan mengevaluasi data POPM Dinas Kesehatan SBD pada tahun 2012 dan 2013. Cakupan POPM filariasis dihitung berdasarkan jumlah penduduk minum obat dibagi penduduk total dan jumlah penduduk sasaran. Target cakupan pengobatan penduduk sasaran adalah >85% dan dari penduduk total adalah> 65%. Hasil penelitian menunjukkan cakupan POPM filariasis berdasarkan penduduk total pada tahun 2012 adalah 1,96% dan tahun 2013 sebesar 1,13%. Cakupan POPM filariasis berdasarkan penduduk sasaran pada tahun 2012 adalah 2,51% dan tahun 2013 adalah 1,35%. Disimpulkan bahwa cakupan POPM filariasis berdasarkan penduduk sasaran dan penduduk total di SBD tidak mencapai target dan cakupan tahun 2013 lebih rendah dibandingkan tahun 2012.

ABSTRACT
Filariasis is a burden disease in community especially in East Indonesia as Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD). To eliminate filariasis, WHO developed a program called Massal Drug Administration (MDA) of filariasis using diethylcarbamazine cytrat (DEC) and albendazole every year in 5 years on continued. There is an evaluation every year to know the succeed of MDA. The purpose of this paper is to know how many percentage that covered of MDAin SBD on 2012-2013. This paper is cross sectional mode design by evaluated data MDA of filariasis from Dinas Kesehatan SBD on 2012-2013. The coverage of MDA of filariasis is counted by people who used drugs divided by total people and targeted people in that area. Target of coverage based on targeted people is >85% and for total people is >65%. This research shows that the coverage of MDA of filariasis based on total people on 2012 is 1.96% and on 2013 is 1.13%. The targeted people coverage of MDA of filariasis on 2012 is 2.51% and on 2013 is 1.35%. Consequently, the coverage of MDA of filariasis based on total and targeted people in SBD do not reach the target of MDA of filariasis by WHO and on 2013 it?s lower than 2012."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christianto
"Pendahuluan Fascioliasis merupakan infeksi parasit Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica yang tergolong infeksi tropis yang terabaikan, tetapi mulai mendapatkan perhatian di seluruh dunia. Data prevalensi fascioliasis manusia di Indonesia masih minim dan hubungannya dengan usia maupun jenis kelamin masih belum jelas. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia dan jenis kelamin terhadap seroprevalensi fascioliasis manusia di Desa Karang Indah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Metode Seratus sepuluh sampel plasma yang dipilih secara acak, berasal dari penduduk Desa Karang Indah. Antibodi IgG anti-FhSAP2 dideteksi pada sampel plasma menggunakan ELISA. Usia dan jenis kelamin merupakan data sekunder. Usia dikelompokkan berdasarkan 2 kategori (anak dan dewasa) dan 4 kategori (5- 10, 11-20, 21-35, dan >35 tahun).
Hasil Studi ini menunjukkan bahwa seroprevalensi fascioliasis manusia di Desa Karang Indah sebesar 10,9%. Seroprevalensi fascioliasis tertinggi pada kelompok anak (14%) terutama pada usia 11-20 tahun (14,3%) dan terendah pada usia di atas 35 tahun (4,3%) walaupun tidak ditemukan perbedaan signifikan antar kelompok usia. Kelompok laki-laki (14,9%) memiliki seroprevalensi fascioliasis lebih tinggi, tetapi tidak berbeda bermakna dengan kelompok perempuan (7,9%). Kesimpulan Temuan pada studi ini menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak berhubungan secara signifikan dengan seroprevalensi fascioliasis di Desa Karang Indah. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencari faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap seroprevalensi fascioliasis seperti perilaku, budaya, sanitasi, dan diet.

Introduction Fascioliasis is a parasitic infection caused by Fasciola hepatica and Fasciola gigantica which is classified as a neglected tropical disease, but it has recently gained significant attention all over the world. Data on the prevalence of human fascioliasis in Indonesiais lacking and its association with age and gender is still unclear. This study aims to determine the association between age and gender with the seroprevalence of human fascioliasis in Karang Indah Village, Southwest Sumba District, East Nusa Tenggara
Methods One hundred and ten plasma samples were randomly selected from villagers of Karang Indah. Anti-FhSAP2 IgG antibodies in plasma samples were detected with ELISA. Age and gender were obtained as secondary data. Age was grouped into 2 categories (children and adult) and 4 categories (5-10, 11-20, 21- 35, and >35 years).
Results This study demonstrated that the seroprevalence of human fascioliasis in Karang Indah Village was 10.9%. The highest seroprevalence was in children (14%) especially in the age group of 11-20 years old (14.3%), and lowest in the age group above 35 years old (4,3%); however no significant differences were found between the age groups. The males (14,9%) had a higher seroprevalence, but it was not significantly different from the females (7.9%).
Conclusion The findings in this study suggested that age and sex were not significantly related to the seroprevalence of human fascioliasis in Karang Indah Village. Further study is needed to find other factors that may affect seroprevalence of fascioliasis such as behaviour, culture, sanitation, and diet.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davin Nathan Wijaya
"Pendahuluan: Toksokariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit Toxocara canis dan Toxocara cati dengan inang definitif anjing dan kucing domestik. Infeksi pada manusia terjadi melalui ingesti telur matang. Manifestasi klinis toksokariasis meliputi visceral larva migrans dan ocular larva migrans. Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang berisiko terhadap infeksi Toxocara karena populasi anjing yang cukup tinggi. Namun, belum terdapat penelitian mengenai seroprevalensi toksokariasis di daerah ini. Selain itu, penelitian mengenai hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan seroprevalensi toksokariasis juga menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui seroprevalensi toksokariasis dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin di Desa Karang Indah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Metode: Sebanyak 110 sampel plasma dipilih secara acak dari sampel darah penduduk Desa Karang Indah yang dikumpulkan pada bulan Oktober 2016 – Desember 2016. Sampel plasma yang terpilih diuji menggunakan ELISA untuk mendeteksi antibodi IgG anti rTc-CTL-1 dengan hasil berupa nilai absorbansi (OD). Data sekunder, berupa usia dan jenis kelamin, didapat dari Tim Peneliti Departemen Parasitologi FKUI. Data usia dikelompokkan ke dalam dua kategori (anak-anak dan dewasa) dan empat kategori (5-10, 11-20, 21-35, dan >35 tahun).
Hasil: Penelitian ini menunjukkan seroprevalensi toksokariasis di Desa Karang Indah sebesar 80,91%. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan jenis kelamin dengan seroprevalensi toksokariasis (p>0,05). Seroprevalensi toksokariasis tertinggi terdapat pada kelompok usia >35 tahun (91,3%) dan terendah pada kelompok 11-20 tahun (52,4%). Kelompok jenis kelamin laki-laki memiliki seroprevalensi toksokariasis yang lebih tinggi (85,1%) daripada perempuan (77,8%).
Kesimpulan: Seroprevalensi toksokariasis di Desa Karang Indah tergolong tinggi. Usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap seroprevalensi toksokariasis. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko selain usia dan jenis kelamin.

Introduction: Toxocariasis is a disease caused by parasitic worms, Toxocara canis and Toxocara cati, with domestic dogs and cats as the definitive hosts. Human infections occur through ingestion of mature eggs. Clinical manifestations of toxocariasis include visceral larva migrans and ocular larva migrans. East Nusa Tenggara is an area that is at risk of Toxocara infection because the dog population is quite high. However, there has been no study regarding the seroprevalence of toxocariasis in this area. In addition, the researches on the association between age and gender with the seroprevalence of toxocariasis also showed inconsistent results. Therefore, this study aimed to determine the seroprevalence of toxocariasis and its association with age and gender in Karang Indah Village, Southwest Sumba Regency, East Nusa Tenggara.
Method: A total of 110 plasma samples were randomly selected from blood samples of people in Karang Indah Village collected between October 2016 – December 2016. Selected plasma samples were tested using ELISA to detect anti- rTc-CTL-1 IgG antibodies with the results in the form of absorbance values (OD). Age and gender as secondary data were obtained from the Research Team of the Parasitology Department of FMUI. Age data are grouped into two categories (children and adults) and four categories (5-10, 11-20, 21-35, and >35 years of age).
Result: This study showed that the seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah Village was 80.91%. There was no significant association between age and gender with the seroprevalence of toxocariasis (p>0.05). The highest seroprevalence of toxocariasis was found in the age group of >35 years (91.3%) and the lowest in the 11-20 years group (52.4%). The males had a higher seroprevalence of toxocariasis (85.1%) than women (77.8%).
Conclusion: The seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah Village was high. Age and gender had no effect on the seroprevalence of toxocariasis. Further research needs to be done to identify risk factors besides age and gender.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony William Brian Iskandar
"Pendahuluan: Taeniasis, infeksi cacing pita Taenia spp., merupakan penyakit yang masih endemik di beberapa daerah di Indonesia. Data prevalensi taeniasis Taenia solium di Kabupaten Sumba Barat Daya, Propinsi Nusa Tenggara Timur belum tersedia, sedangkan masyarakatnya diketahui memiliki ternak babi dan mempunyai kebiasaan mengonsumsi daging yang tidak matang, yang dapat meningkatkan risiko paparan terhadap larva T. solium. Uji serologi menggunakan metode ELISA diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan pemeriksaan mikroskopis, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosis taeniasis T. solium. Studi ini bertujuan mendapatkan seroprevalensi taeniasis T. solium di sebuah desa di Kabupaten Sumba Barat Daya, beserta hubungan usia dan jenis kelamin terhadap positivitas IgG anti-rES33.
Metode: Sebanyak 110 sampel plasma diperiksa menggunakan metode ELISA untuk mendeteksi kadar antibodi IgG anti-rES33, yang dinyatakan dalam satuan absorbansi densitas optik (OD). Data usia dikelompokkan ke dalam 2 kategori (anak dan dewasa) dan 4 kategori (5-10, 11-20, 21-35, dan >35 tahun). Hasil: Seroprevalensi taeniasis T. solium pada sampel Desa Karang Indah ditemukan sebesar 17,3%. Hasil IgG anti-rE33 positif ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada kelompok anak-anak (26,4%) dibandingkan dewasa (8,8%) (p=0,014), dengan seroprevalensi tertinggi (25,6%) pada kelompok usia 5-10 tahun. Kelompok perempuan secara signifikan memiliki seroprevalensi yang lebih tinggi (23,8%) dibandingkan laki-laki (8,5%) (p=0,036).
Kesimpulan: Usia dan jenis kelamin berhubungan signifikan dengan seroprevalensi taeniasis T. solium pada sampel Desa Karang Indah. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme terkait usia dan jenis kelamin yang menyebabkan perbedaan tersebut.

Introduction: Taeniasis, a tapeworm infection caused by adult Taenia species, can be found endemic in several regions in Indonesia. Data on prevalence of Taenia solium taeniasis in Southwest Sumba Regency, East Nusa Tenggara is not available, even though most of its residents work as pig farmers and consume undercooked pork, which may increase exposure to T. solium larvae. Serologic test using ELISA method was found to be more sensitive and specific than miroscopic examination, thus useful for diagnosing T. solium taeniasis. The purpose of this study was to determine the seroprevalence of T. solium taeniasis in one of the villages in Southwest Sumba Regency, as well as its association with age and gender.
Methods: A total of 110 plasma samples were examined using ELISA method to detect the concentration of anti-rES33 IgG, expressed in optical density (OD). Subjects were divided into age groups of 2 (children and adults) and 4 categories (5-10, 11-20, 21-35, and >35 years old).
Results: Seroprevalence of T. solium taeniasis was found to be 17.3%. Seroprevalence was significantly higher among children (26.4%) compared to adults (8.8%) (p=0.014), the highest being in the 5-10 year-old category (25.6%). Seroprevalence was also higher among females (23.8%) compared to males (8.5%) (p=0.036).
Conclusion: Age and gender were significantly associated with the seroprevalence of T. solium taeniasis in the samples from Karang Indah Village. Further research is needed to determine mechanisms related to age and gender which cause this association.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Assyifa Gita Firdaus
"Indonesia adalah negara endemisitas filariasis yang tinggi (13.032 kasus pada tahun 2015) dan Papua Barat adalah provinsi tertinggi ketiga dengan filariasis (1.244 kasus). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan filariasis sebagai masalah kesehatan masyarakat global yang harus dihilangkan melalui pemberian obat massal (MDA) dengan memberikan diethylcarbamazine citrate (DEC) dan albendazole, dosis tunggal, setahun sekali dalam lima tahun berturut-turut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi cakupan MDA di Papua Barat pada 2015 dan untuk menganalisis hubungan antara tingkat endemisitas filariasis dan cakupan MDA. Sebuah studi cross-sectional dilakukan dengan menggunakan data peserta MDA yang telah direkam oleh Dinas Kesehatan Papua Barat (total sampling) pada tahun 2015. Data tersebut mencakup jumlah total populasi yang mengonsumsi obat MDA, populasi target dan total populasi di setiap kabupaten Papua Barat. Target cakupan MDA yang ditentukan oleh WHO adalah> 65% dari total populasi dan> 85% dari populasi yang ditargetkan. Hasil menunjukkan bahwa cakupan MDA di Papua Barat pada 2015 per total populasi adalah 35% dan per populasi target adalah 45,2%, tidak mencapai target WHO. Tingkat endemisitas filariasis dikaitkan dengan cakupan MDA; per total populasi (chi-square p <0,001) dan per populasi yang ditargetkan (chi-square p <0,001). Area dengan tingkat endemisitas filariasis yang lebih rendah memiliki persentase cakupan MDA yang lebih rendah daripada area dengan tingkat endemisitas filariasis yang lebih tinggi.

Indonesia is a country of high filariasis endemicity (13,032 cases in 2015) and West Papua is the third highest province with filariasis (1,244 cases). The World Health Organization (WHO) states filariasis as a global public health problem that must be eliminated through mass drug administration (MDA) by giving diethylcarbamazine citrate (DEC) and albendazole, a single dose, once a year in five consecutive years. This study aims to evaluate the scope of MDA in West Papua in 2015 and to analyze the relationship between the degree of endemicity of filariasis and MDA coverage. A cross-sectional study was conducted using MDA participant data that was recorded by the West Papua Health Office (total sampling) in 2015. The data includes the total population taking MDA drugs, the target population and the total population in each district of West Papua. The MDA coverage target determined by WHO is> 65% of the total population and> 85% of the targeted population. The results show that MDA coverage in West Papua in 2015 per total population was 35% and per target population was 45.2%, not reaching the WHO target. The degree of filariasis endemicity is associated with MDA coverage; per total population (chi-square p <0.001) and per targeted population (chi-square p <0.001). Areas with lower levels of filariasis endemicity have lower MDA coverage percentages than areas with higher levels of filariasis endemicity."
Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reihana Zahra
"Latar belakang: Aspergilosis paru kronik (APK) merupakan komplikasi yang sering menyebabkan munculnya sekuela respiratori pada pasien bekas tuberkulosis (TB) paru. Diagnosis APK dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologi IgG spesifik Aspergillus. Metode tersebut memerlukan waktu tertentu, sumber daya, dan fasilitas khusus, sehingga sulit diterapkan di fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas. Metode baru Immunocromatography Test (ICT) LD Bio Aspergillus dilaporkan lebih mudah digunakan, cepat dan murah; tetapi akurasi diagnostiknya belum diketahui di Indonesia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi diagnostik LD Bio ICT Aspergillus dibandingkan dengan IgG spesifik Aspergillus pada pasien bekas TB.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan dari April 2019 – Oktober 2020. Perekrutan subjek dilakukan di RSUP Persahabatan dan prosedur pemeriksaan mikologi dilakukan di Laboratorium Parasitologi FKUI. Serum pasien bekas TB diperiksa menggunakan LD Bio ICT Aspergillus dan IgG spesifik Aspergillus Dynamiker ELISA. Hasil kedua pemeriksaan dibandingkan untuk melihat akurasi diagnosis LD Bio ICT.
Hasil: Dari 82 pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi, terdapat 57 pasien (69,5%) laki-laki, rerata usia pasien 51,27±12,55 tahun. Median IMT 18,67 (10,38-31,18). Sebanyak 40 pasien (48,7%) menunjukkan hasil positif IgG spesifik Aspergillus. Adapun hasil positif LD Bio ICT Aspergillus didapatkan pada 35 pasien (42,7%). Sensitivitas dan spesifisitas LD Bio ICT dibandingkan dengan pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus adalah 50,0% dan 64,3%, sedangkan nilai duga positif dan negatifnya adalah 57,1% dan 57,5%.
Simpulan: LD Bio ICT dapat digunakan untuk mendiagnosis APK pada pasien bekas TB Paru di fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas.

Background: Chronic pulmonary aspergillosis (CPA) is a common complication following prior pulmonary tuberculosis (TB) causing respiratory sequelae. Although CPA may lead to worse prognosis, it is still underdiagnosed. Serology test such as Aspergillus-specific IgG is the recommended test for CPA diagnosis. However, this diagnostic procedure is time-consuming, require a lot of resources and certain skills, making this procedure not always easy to implement in limited facilities. The LDBio Diagnostic introduced a novel, affordable, and easy to use serology test, LD Bio Immunocromatography Test (ICT). Nevertheless, LD Bio ICT’s diagnostic accuracy in Indonesia is still unknown.
Study aims: This study aimed to determine the diagnostic accuracy of LD Bio ICT with Aspergillus-specific IgG as comparison in previous pulmonary TB patients.
Methods: This cross-sectional study was conducted in April 2019 – October 2020. Subject recrutment was done in National Referral Centre Persahabatan Hospital and serological test was conducted in the Parasitology Laboratory, Faculty of Medicine Universitas Indonesia. Eighty two sera of previous pulmonary TB patients were serologically tested using LD Bio ICT Aspergillus (France) and Aspergillus-specific IgG was tested using Dynamiker ELISA kit. Results of both tests were then compared to determine the diagnostic accuracy of LD Bio ICT.
Results: Of 82 patients met the inclusion criteria, 57 patients (69.5%) were men, the mean age was 51.27±12.55 years old. The BMI median was 18.67 (10.38-31.18). Forty patients (48.7%) showed positive Aspergillus-specific IgG Dynamiker results. Meanwhile, 35 patients (42.7%) showed positive results of LD Bio ICT Aspergillus. Compared to this finding, LD Bio ICT sensitivity and specificity were 50.0% and 64.3% respectively. In addition, the positive and negative prediction value of LD Bio ICT in this study were 57.1% and 57.5%.
Summary: LD Bio ICT is useful for the diagnosis of CPA in previous pulmonary TB patients in resource-limited settings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rintis Noviyanti
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui daya tahan pemelihara lebah di PUSBAHNAS Perum Perhutani, Parung Panjang, Bogor-Jawa Barat. Sampel diperoleh dan 12 orang pemelihara lebah dan 11 orang bukan pemelihara lebah. Analisis kadar IqE total dan kadar IgE spesif 1k
terhadap bisa lebah madu (Apis mellif era) dilakukan dengan teknik ELISA, dan analisis kadar IgG total dilakukan dengan teknik RID. Hasil uji statistik non parametrik Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata kadar IgE dan IgG pada pemelthara
lebah. Rata-rata kadar IgE total pada pemelihara lebah lebih tinggi (1046,3 kU/l) dari bukan pemelihara lebah (957 kU/l). Rata-rata kadar IgG total pada pemelihara lebah lebih rendah (13,23 g/l) dari bukan pemelihara lebah (15,99 g/l). Rata-rata kadar IgE spesifik terhadap
bisa lebah madu (Apis mellifera) pada pemelihara lebah lebih rendah (1,59 PRU/ml) dari bukan pemelihara lebah (1,64 PRU/ml). Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar IgE total, kadar IgG total, kadar IgE spesifik dan jumlah sengatan
per bulan pada pemelihara lebah."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parhusip, Santi Sumihar Rumondang
"Latar belakang : Inflamatory Bowel disease (IBD) merupakan penyakit autoimun yang insidens dan prevalensinya meningkat terus setiap tahunnya. Modernisasi dan kemajuan industri suatu wilayah selalu diikuti dengan perubahan pola hidup termasuk pola diet cepat saji (western diet) yang tinggi protein dan karbohidrat serta rendah serat dan buah. Diet, dapat merubah komposisi mikrobiota usus (dysbiosis), suatu bakteri komensal yang menjaga homeostasis dan sistim imun mukosa usus sehingga dapat memicu timbulnya IBD serta peningkatan aktifitas penyakitnya (flare).IgG yang meningkat setelah makan, merupakan suatu antibody neutralisasi sebagai bagian toleransi imun pada orang sehat dimana pada IBD makanan dapat dikenali sebagai antigen yang melalui ikatan antigen-antibodi reaksi hypersensitivitas tipe III, kemungkinan dapat menyebabkan inflamasi usus terus menerus dan mempengaruhi aktifitas penyakit.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara IgG antibodi spesifik makanan dan aktivitas penyakit klinis pada pasien IBD
Metode: Studi potong lintang, melibatkan 113 pasien IBD yang diagnosisnya telah dikonfirmasi dengan kolonoskopi. Pada pasien yang setuju dilakukan pemeriksaan serum IgG spesifik makanan untuk 220 jenis makanan menggunakan teknik Elisa dan Immunoarray. Aktivitas klinis pada Kolitis Ulseratif (KU) dinilai menggunakan Indeks Mayo sedangkan pada Penyakit Crohn dinilai menggunakan Indeks Aktivitas Penyakit Chrons (Crohn Disease Activity Index)
Hasil: Proporsi antibodi IgG spesifik makanan tertinggi pada kelompok penyakit Crohn adalah kacang polong (100%), barley (97,9%), telur (95,9%), susu (81,6%), jagung (75,5%), agar-agar (69,4). %), kacang mede (69,4%) gandum (67,3%), oat (61,2%) dan almond (59,2%), sedangkan pada Kolitis Ulseratif adalah jelai (98,4%), kacang polong (96,8%), putih telur (92,2%), jagung (82,8%), plum (78,1%), kacang mede (67,2%), susu sapi (65,6%), gelatin (59,4%), almond (50%), kacang merah (48,4%) dan gandum (46,9%). Dari 220 jenis antigen makanan, pada KU didapatkan korelasi negatif yang cukup kuat pada jenis kacang mede dengan r = -0,347 (p=0,041) dan kacang Arab dengan r = -0.473 ( p=0.017); sementara di kelompok PC didapatkan korelasi positif yang cukup kuat pada jenis jelai dengan r = 0,261 ( p= 0,042).
Kesimpulan: Terdapat hubungan korelasi negative lemah antara antibodi IgG spesifik kacang mede, dan kacang Arab dengan aktifitas IBD, serta korelasi positive lemah antara antibody IgG spesifik jelai dengan aktivitas klinis IBD

Background : Inflammatory Bowel disease (IBD) is an autoimmune disease whose incidence and prevalence is increasing every year. Modernization and industrial progress of a region are always followed by changes in lifestyle, including a fast food diet (western diet) which is high in protein and carbohydrates and low in fiber and fruit. Diet, can change the composition of the gut microbiota (dysbiosis), a commensal bacteria that maintains homeostasis and the intestinal mucosal immune system so that it can trigger IBD and increase its disease activity (flare). IgG which increases after eating, is a neutralizing antibody as part of immune tolerance in humans. In healthy people, food IBD can be recognized as an antigen by triggering the antigen-antibody binding type III hypersensitivity reaction, possibly causing persistent intestinal inflammation and influencing disease activity.
Objective : To determine the relationship between food-specific IgG antibody and clinical disease activity in IBD patients
Methods: Cross-sectional study, involving 113 IBD patients whose diagnosis was confirmed by colonoscopy. In patients who agreed, food-specific IgG serum was examined for 220 types of food using the Elisa and Immunoarray technique. Clinical activity in Ulcerative Colitis (KU) was assessed using the Mayo Index while in Crohn's Disease was assessed using the Crohn Disease Activity Index.
Results: The highest proportion of food-specific IgG antibodies in the Crohn's disease group were peas (100%), barley (97.9%), eggs (95.9%), milk (81.6%), corn (75.5%), agar (69,4). %), cashews (69.4%) wheat (67.3%), oats (61.2%) and almonds (59.2%), while in Ulcerative Colitis were barley (98.4%), peas (96.8%), egg whites (92.2%), corn (82.8%), plums (78.1%), cashews (67.2%), cow's milk (65.6%), gelatin (59.4%), almonds (50%), kidney beans (48.4%) and wheat (46.9%). Of the 220 types of food antigens, the KU showed a strong negative correlation with cashew nuts with r = -0.347 (p=0.041) and chickpeas with r = - 0.473 (p=0.017); while in the PC group, there was a fairly strong positive correlation on the type of barley with r = 0.261 (p = 0.042).
Conclusion: There is a weak negative correlation between cashew and chickpea specific IgG antibodies and IBD activity, and a weak positive correlation between barley specific IgG antibodies and IBD clinical activity
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>