Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15008 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Purba, Esther R.
"Penelitian ini berusaha untuk menelaah masalah berikut:
1. bentuk bahasa tidak langsung (kansetsu kei) yang menyatakan ketidaksepakatan yang ada dalam percakapan antara pekerja Jepang (salaryinan) pada cerita bersambung Shiriusu no michi;
2. faktor pecan peserta dalam komunikasi yang memiliki hubungan power dan solidarity (hubungan vertikal) dalam pemakaian bentuk bahasa tidak langsung (kansetsu loci) yang menyatakan ketidaksepakatan tersebut.
Dengan demikian pertanyaan penelitian dari tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pemyataan ketidaksepakatan dinyatakan dalam bentuk tidak langsung oleh peserta komunikasi dalam teks percakapan cerita bersambung Shiriusu no Mich?
2. Apakah faktor peran peserta dalam komunikasi yang berhubungan dengan Power dan Solidarity dalam percakapan di cerita bersambung Shiriusu no Michi mempengaruhi pernyataan ketidaksepakatan menjadi bentuk tidak langsung atau langsung?"
2005
T18711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Syaftari
"Dalam mempelajari bahasa Jepang, kita menemukan banyak sekali cara-cara ekpresi atau pemakaian bahasa yang menarik, dengan mengingat cara-cara ekspresi bandingannya, misalnya dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, sebagai bahasa asing lain yang kita kenal. Diantara pemakaian bahasa yang menarik, misalnya dalam bahasa Jepang kita kenal penggunaan partikel wa, ga, mo, no, yang mengikuti subyek. Kemudian adalagi pemakaian bahasa sopan atau kei-go, seperti misalnya untuk menyatakan 'membaca', yaitu yomu, dapat diucapkan dengan berbagai cara, apakah menggunakan kata yomeru, oyomini-naru, yomimasu atau oyominishimasu. Dalam hal ini, penulis merasa tertarik oleh cara ekspresi 'pengandaian' dalam bahasa Jepang, yang sebagai referensi perbandingan, kita kenal dalam bahasa Inggris dengan apa yang disebut Conditional Clause atau Clause of Condition dan dalam hubungan ini, dikenal juga istilah If-caluse dan When-clause. Dengan dipakainya konjugasi If, maka arti 'pengandaian' (condition) atau 'perumpamaan' (supposition) tampil dengan jelas. Sebaliknya, dalam pembahasan tatabahasa Jepang, dikenal istilah joken hy?gen (Suzuki, 1977; 209), juga katei no hy?gen (Teramura, 1980: 65). Artinya 'pernyataan pengandaian' atau 'ekspresi pengandaian'. Disamping itu, perlu diketahui bahwa dalam kerangka struktur katsu-y? ('konjugasi'), yang tampil dalam pelajaran tatabahasa Jepang di sekolah (gakk? bunp?) dikenal istilah katei-kei ('bentuk pengandaian'). Jadi, yang disebut katei-kei ialah bentuk pengandaian yang tampil dalam kerangka struktur katsuy?. Seperti telah disinggung di atas, dalam bahasa Inggris dikenal pemakaian konjugasi If dan When, kalau ingin membuat kalimat yang menyatakan 'pengandaian' atau 'perumpamaan'. Dalam bahasa Indonesia, kita mungkin menggunakan kata-kata 'kalau', 'apabila', untuk if dalam bahasa Inggris, dan kata-kata 'kapan', 'jika', 'bilamana' untuk when, dan 'manakala' untuk whenever. Sedangkan dalam bahasa Jepang, cara menyatakan maksud 'pengandaian', kita menggunakan bentuk-bentuk: 1. -to 2. -ba 3. -tara 4. -nara (-naraba)"
1987
S13565
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Lusiana
"Pasif dalam bahasa Jepang dibagi menjadi 2 jenis, yaitu Pasif langsung dan Pasif Tak Langsung. Pasif langsung tidak ada keistimewaannya, tetapi pasif tak langsung mempunyai keistimewaan yang membuat penulis berusaha menganalisa keistimewaannya ini. Keistimewaannya adalah, ada kecenderungan pasif tak langsung ini mengungkapkan makna mengganggu, susah dan tidak menyenangkan. Skripsi ini mencoba menganalisa sejauh mana peran penggunaan kata kerja dalam pembentukan pasif tak langsung yang mengungkapkan makna mengganggu, susah dan tidak menyenangkan. Dari 72 kalimat yang diambil dari berbagai sumber, penulis berusaha mengelompokkan kata kerja yang bila dipakai dalam bentuk pasif mengungkapkan makna mengganggu, susah dan tidak menyenangkan. kesimpulan dari penganalisaan, adalah bahwa tidak benar pendapat Mikami Akira (1953) yang menyatakan bahwa, pasif tak langsung ini selalu mengungkapkan makna mengganggu, susah dan tidak menyenangkan, sehingga Mikami Akira menamakan pasif tak langsung ini 'Hata Meiwaku No Ukemi'(Pasif mengganggu tak langsung), dan hasil analisa ini mendukung pendapat Sakuma Kanae yang menamakan Pasif Tak Langsung ini Rigai No Ukemi."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Stanislausia Liem
"
ABSTRAK
Dalam beberapa bahasa di duuia ini dikenal pembagian feminim dan maskulin, bahkan dalam bahasa terentu terdapat pembagian bahasa laki-laki dan bahasa perempuan. Pembagian antara lain disebabkan dari perbedaan peran dan harapan sosial pada laki-laki dan perempuan (Wardhaugh, 1988; McGloin, 1990).
Salah satu bahasa yang dikatakan memiliki pembagian berdasarkan jenis kelamin adalah bahasa jepang. Perbedaan yang berdasarkan jenis kelamin ini dapat ditemukan pula pada kata gang. Irma sandang, akhir kalimat, dan sebagainya. Kemudian, secara khusus pada skripsi ini akan diangkat kehadiran jenis kelamin pada akhir kalimat, baik dalam bentuk parti kel akhir maupun kata bantu verba.
Menurut para ahli, pembagian langgam bahasa berdasarkan jenis kelamin sudah mulai mengalami pergeseran. Artinya laki-laki sudah mulai menggunakan bahasa perempuan, dan begitu juga sebaliknya One Endo (1995) mengatakan bahwa perubahan ini umumnya terlihat pada generasi muda, deagan alasan mereka ingin melepaskan diri dari ikatan dalam bentuk bahasa yang membelenggu kebebasan mereka meanampilkan jati diri.
Pergeseran tersebut di atas oleh penulis dianggap sebagai suatu ketidakkonsitenan, artinya penggunaan langgam bahasa tidak sesuai dengan jenis kelamin pembicara Pertanyaan yang timbul adalah apakah mereka yang berusia muda lebih tidak konsisten dibandingkaa mereka yang berusia lebih tua? Apabila dilihat dari sudut jenis kelamin, apakah perempuan lebih tidak konsisten dibandingkan laki-laki.
Guna menjawab pertanyaan tersebut di atas, dalam penelitian penulis menggunakan angket untuk mengumpulkan data, dan kemudian diolah dengan menggunakan t-test dan Chi-squared.
Hasil perhitungan statistik menununkkan bahwa secara umum pada kaum Adam usia tidak begitu mempengaruhi kekonsistenan berbahasa. Artinya mereka yang berusia 20-an (mewakili generasi muda) dan mereka yang berusia 40-an (mewakili generasi tua) menggunakan langgam bahasa yang sama. Sedangkan pada kaum Hawa, kelompok 40-an lebih konsisten, daripada kelompok 20-an. Jika dibandingkan menurut jenis kelamin, hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih konsisten daripada lak i -laki.
Mulainya perempuan bekerja di luar rumah merupakan salah satu penjelasan untuk pergeseran batasan langgam bahasa laki-laki dan perempuan (Baron, 1993). Oleh karena itu. untuk memperluas ruang lingkup penelitian lanjutan, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, dan sebagainya juga dijadikan fakttor yang mempengaruhi langgam bahasa yang digunakan seseorang selain jenis kelaminnya.
"
1997
S13684
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Alika Ramadhani
"Dajare merupakan salah satu permainan kata di Jepang yang memiliki bentuk seperti plesetan dari Indonesia yang digunakan sebagai candaan dalam pecakapan sehari-hari. Tetapi, orang Jepang yang mendengarkan dajare sering memberi respon dingin atau tidak tertawa. Sekarang ini, banyak media pop culture yang menyisipkan dajare ke dalam adegan percakapan. Orang asing yang mengartikan dajare sebagai candaan, sulit untuk memahami humor dajare yang diucapkan karena mitra tutur Jepang yang memberi respon dingin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dajare yang digunakan dan alasan dari respon mitra tutur terhadap dajare berdasarkan konteks situasi percakapan. Data diambil dari percakapan salah satu tokoh di gim ‘Uma Musume: Pretty Derby’ dengan metode kualitatif dan teknik simak-catat. Dari hasil analisis, ada enam bentuk dajare yaitu (i) homofoni, (ii) penambahan mora, (iii) pengurangan mora, (iv) penggunaan tanda baca berhenti, dan (v) penggunaan bahasa asing. Selain itu, ditemukan dajare yang mengkombinasikan jenis pembentukan dalam satu ujaran dajare. Berdasarkan konteks situasi, berbagai respon mitra tutur bisa terjadi karena jarak hubungan penutur dan mitra tutur, latar peristiwa pada percakapan yang berlangsung, dan pemahaman mitra tutur terhadap dajare.

Dajare is a word game in Japan that has a form like plesetan from Indonesia which is used as a joke in everyday conversation. However, Japanese people who listen to dajare often give a cold response or don’t laugh. Nowadays, many pop culture media insert dajare into a conversation scene. Foreigner who interpret dajare as a joke, is difficult to understand the humor of the spoken dajare because the Japanese interlocutor gives a cold response. This study aims to determine the form of dajare used and the reasons for the speech partner’s response to dajare based on situation context. The data is taken from the one of the characters’s conversation in the game ‘Uma Musume: Pretty Derby’using qualitative methods and note-taking techniques. From the results of the analysis, there are six forms of dajare, i.e. (i) homophony, (ii) mora addition, (iii) mora omission, (iv) pause transference, and (v) mix of languages. In addition, it was found there is a dajare that combines types of formation in one speech. Based on the context of the situation, various responses of the interlocutor can occur due to the relationship between the interlocutor, the conversation’s background, and the speech partner in understanding the dajare."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Widyaningsih Peni Lestari
"Giongo dan Gitaigo merupakan salah satu aspek bahasa Jepang yang menarik bagi para pembelajar bahasa Jepang yang berbahasa ibu bahasa Indonesia Namun karena jumlahnya yang begitu banyak sementara padanannya dalam bahasa Indonesia sangat terbatas, kadang-kadang giongo dan Gitaigo ini menjadi salah satu kendala pada saat belajar bahasa Jepang. Giongo dan gitaigo yang terdiri dari empat suku kata dengan bentuk pengulangan utuh dua suku kata awal merupakan Giongo dan gitaigo yang paling banyak ditemukan dalam novel Madogiwa No Tottochan yaitu sebanyak 54 buah. Namun dengan mengetahui bentuk giongo dan gitaigo, tidak berarti mengetahui makna yang terkandung dalam giongo dan gitaigo tersebut.
Penelitian tentang hubungan antara bentuk giongo dan gitaigo yang terdiri dari empat suku kata dengan bentuk pengulangan utuh dua suku kata awal dengan makna yang terkandung di dalamnya, menggunakan konsep yang dilemukakan oleh Shoko Hamano yang terdapat dalam The Sound-Symbolic System Of Japanese. Hamano membuat suatu kesimpulan bahwa distribusi atau letak konsonan maupun vokal di dalam giongo dan gitaigo, mempengaruhi makna yang terkandung dalam giongo dan gitaigo tersebut.
Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara distribusi atau letak konsonan maupun vokal di dalam giongo dan gitaigo dengan makna yang terkandung dalamnya. Namun tidak semua data menunjukkan makna sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Hamano. Ada beberapa perkeeualian yaitu pads giongo dan gitaigo seperti Bura-bura, gowa-gowa dan yore-yore. Adapun secara umum dapat diambil kesimpulan sebagai benkut: Pengulangan bentuk dasar secara utuh menunjukkan makna suatu gerakan atau kegiatan yang dilakukan berulang kali atau berkelanjutan; menunjukkan makna obyek yang rnelebar atau mengembang; juga menunjukkan makna keadaan yang tetap atau statis.
Konsonan awal yang mengalami palatalisasi seperti kyo atau cho menunjukkan makna adanya sifat yang kekanak-kanakan. Ada 33 kombinasi konsonan dan 16 kombinasi vokal yang ditemukan dalam 54 giongo dart gitaigo yang dianalisa dalam Bab III Penjelasan makna vokal yang dikemukakan oleh Hamano kurang spesifik atau terperinci sehingga lebih sulit untuk menguraikan makna berdasarkan kombinasi vokal dibandingkan dengan analisa berdasarkan kombinasi konsonan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S13934
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Arya Wirayodha
"Kosakata dalam Bahasa Jepang terbagi menjadi dua macam, yaitu kosakata yang dapat berdiri sendiri dan kosakata yang tidak dapat berdiri sendiri. Kemudian kosakata yang dapat berdiri sendiri itu terbagi lagi menjadi kata kerja, kata sifat-i, kata sifat-na, kata benda, kata keterangan, kata sambung, dan lain-lain. Pada kosakata yang tidak dapat herdiri sendiri terbagi menjadi partikel, kata bantu kata kerja dan lain sebagainya. Pada kata bantu kata kerja terdapat berbagai macam bentuk, diantaranya adalah bentuk [huruf Jepang] dan lain sebagainya. Di antara kata bantu kata kerja tersebut, bentuk-bentuk [huruf Jepang] merupakan bentuk-bentuk yang rumit pemakaiannya, di mana semua bentuk-bentuk tersebut dapat digunakan untuk mengungkapkan kalimat pengandaian atau syarat yang apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia akan menjadi kata-kata seperti, `kalau', `seandainya', `apabila' yang tidak berbeda pemakaiannya di dalam Bahasa Indonesia. Sehingga pembelajar Bahasa Jepang khususnya yang berbahasa Indonesia akan mengalami kesulitan karena [huruf Jepang] tersebut memiliki makna yang sama dan sulit untuk dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam skripsi ini penulis mencoba memperoleh gambaran mengenai kesulitan yang dialami pembelajar Bahasa Jepang dan juga penutur Bahasa Jepang asli dalam memahami dan menggunakan bentuk-bentuk kondisional khususnya [huruf Jepang]. Kemudian mengkaji Mang kebenaran teori-teori yang dijelaskan oleh Maeda dalam buku Jyouken Hyougen. Selain itu, penulis juga akan meneliti mengenai fungsi-fungsi [huruf Jepang] selain sebagai fungsi pengandaian. Sehingga dapat ditarik kesimpulan yang dapat digunakan untuk mencari cara yang lebih mudah untuk membedakan secara jelas bentuk manakah yang lebih tepat digunakan dalam kondisi tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13490
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Bertolak dari tiga masalah yang diajukan dalan pokok bahasan skripsi ini, saya mencari pengertian yang jelas tentang klausa bawahan dalam klausa wacana langsung, klausa wacana tidak langsung, dan klausa wacana semi langsung. Analisis ini berdasarkan teori-teori yang dikemukakan oleh Den Hertog (1973) dan Van Den Toorn (1976). Setelah menerapkan teori mereka, hasilnya adalah ketiga wacana itu mempunyai klausa bawahan sehingga dapat dimasukkan sebagai kalimat majemuk."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S15745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Universitas Bina Nusantara, 2005
NIGAKU 1:1 (2005)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Sutyaningsih
"Kajii Motojiro adalah seorang pengarang zaman Tai_sho yang mengidap suatu penyakit kronis yang cukup meng_khawatirkan. Karya-karyanya sebagian besar berisi catat_an pribadinya ketika ia berada di suatu tempat atau keti_ka ia sedang mengadakan suatu perjalanan. Nove1nya yang berjudul Fuyu no Hae, Yami no Emaki dan Kobi merupakan karya-karya Kajii Motojiro yang men_jadi bahan penelitian penulis dalam skripsi ini. Fuyu no Hae, Yami no Emaki dan Kobi banyak mence_ritakan tentang gelap atau kegelapan yang selalu dialami pengarang ketika ia sedang berjaian-jalan pada senja atau malam hari di suatu tempat yang umumnya sunyi. Unsur gelap yang terkandung di dalam ketiganya itu ternyata berhubungan erat dengan kesunyian hidup yang dialami pengarang atau Kajii Motojiro sebagai seorang penderita penyakit TBC atau paru-paru."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S13875
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>