Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202723 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harahap, Hendra
"Penelitian ini berjudul "Realitas Petani dan Organisasi di Media Massa : Hegemoni Negara Dalam Wacana Media". Tema ini diangkat berdasarkan pertimbangan (1) adanya empati penulis terhadap pehindasan petani, (2) Keinginan untuk merefleksikan aktivitas organisasi petani dan NGO dengan media selama ini dan (3) secara akademis, ingin mempraktikkan pendekatan hegemoni Gramsci terhadap realitas petani dan organisasi petani serta relasi negara-pers-petani. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis nuansa ideologis pemberitaan media massa tentang realitas gerakan dan organisasi petani; sengketa tanah, (2) Merefleksikan hubungan terutama SPSU dan FSPI dengan media massa selama ini.
Tiga realitas aktivitas organisasi petani yang diliput media akan menjadi subjek penelitian. Ketiga organisasi itu adalah Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI). Analisis isi (framing analysis) digunakan dalam mengeksplorasi, melihat representasi ideologi pada tema-tema untuk rasa petani, pendirian dan kongres petani serta sengketa tanah.
Penelitian ini menggunakan teori hegemoni. Hegemoni, menurut Gramsci, dilakukan melalui penyebaran nilai-nilai, gagasan-gagasan, asumsi-asumsi kepada seluruh formasi sosial budaya yang aria. Tujuannya, agar tatanan dan formasi social budaya, politik yang dibentuk tersebut diterima, dianggap sah secara sukarela dan tanpa sadar melewati batas-batas kelas, gender serta faktor sosial lainnya.
Dari ketiga tema di atas, nilai-nilai umum, dianggap wajar yang dibentuk pers Indonesia tentang realitas petani dan organisasi petani adalah petani dan organisasi petani identik dengan kekerasan (konflik, melakukan tindak pemaksaan), bodoh, terbelakang, kurang berpendidikan; aksi organisasi petani mengganggu keamanan, ketertiban dan kenyamanan umum, ditunggangi, disusupi, komunis dan organisasi liar.
Pers sebagai wadah dalam perang posisi tidak.bersifat netral. Adakalanya pers beraliansi dengan negara dan kapital, namun dalam kasus dan wilayah tertentu pemberitaan pers memungkinkan untuk konsonan dengan kepentingan organisasi petani.
Sama dengan kalangan lainnya, pers Indonesia sejak 32 tahun lalu telah melekat kuat cirri "pembangunanisme" dalam dirinya. dengan memahami kondisi ini, pers Indonesia juga tidal( bisa dinilai hitam putih (sebagai perpanjangan tangan negara dan kelas kapitalis)."
2000
T2325
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjipta Lesmana
"Pekerjaan wartawan di era Orde Baru sering dilukiskan "sulit", karena di satu sisi wartawan gigih menuntut kebebasan seperti yang dijamin oleh Undang-Undang Pokok Pers, tetapi di sisi lain pemerintah menilai kebebasan pers tanpa pembinaan dapat menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi stabilitas nasional; padahal stabilitas nasional diyakini sebagai persyaratan mutlak bagi keberhasilan pembangunan nasional. Bagaimana pers, yang direpresentasikan oleh majalah Tempo, mengatasi kendala struktur dalam menjalankan tugasnya, tetapi pada waktu yang sama berupaya agar eksistensi penerbitannya tetap terjaga, itulah masalah yang hendak diteliti. Teori interaksi simbolik dipakai sebagai instrumen. Tujuannya, kecuali untuk menguji kebenaran ketiga asumsi dasar interaksi simbolik (Blamer, 1969:2), juga untuk mengkaji kegunaan model aksi Charon (1998) yang bertumpu pada definisi situasi (definition of situation) dalam memahami perilaku wartawan Tempo dalam hubungannya dengan pejabat-pejabat Departemen Penerangan.
Hubungan Tempo dan pemerintah dibatasi pada hubungan yang terjadi setelah keluarnya Undang-Undang Pokok Pers No 21 tahun 1982 hingga pembredelan majalah tersebut pada Juni 1994.
Ada empat pertanyaan penelitian yang diajukan: (1) Bagaimana obyek sosial didefinsikan sebagai berita? (2) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi definisi obyek sosial sebagai berita? (3) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan keputusan publikasi berita? (4) Bagaimana proses terjadinya konflik antara Tempo dan pemerintah?
Penelitian menggunakan desain kualitatif model interaksi simbolik (Muhadjir, 1990:125), mengambil majalah Tempo sebagai kasus studi. Data diperoleh dari wawancara mendalam (depth interview), analisis dokumen dan studi pustaka. Unit analisis adalah action, tindakan (Meltzer, 1964) dan dokumen; tindakan dari individu-individu yang berinteraksi sosial dan dokumen sebagai produk dari interaksi sosial. Duabelas informan Tempo dipilih dengan menggunakan teknik purposive dan snowball (Cresswell, 1994:148). Di kalangan pejabat, diwawancarai Subrata (mantan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika) dan Brigadir Jenderal TNI (Purnawirawan) Nurhadi Purwosaputro (mantan Kepala Pusat Penerangan ABM). Semua wawancara dilakukan oleh peneliti sendiri, berlangsung antara Juli 1996 sampai Nopember 1997, dengan menggunakan alat perekam. Dari hasil wawancara dibuat transcripts yang kemudian dituangkan ke dalam "kartu penulisan catatan" (Faisal, 1990) untuk dibuatkan kategori-kategori. Berita, laporan dan opini yang dianalisis, terutama, berita, laporan dan opini yang menimbulkan reaksi keras dari pemerintah. Sedang dokumen yang diteliti, antara lain, semua peringatan tertulis yang dikeluarkan Departemen Penerangan kepada Tempo, Keputusan Dewan Pers No 79/XIV/1974 tentang Pedoman Pembinaan Idill Pers, pidato-pidato Presiden Soeharto dan Menteri Penerangan Harmoko yang berhubungan dengan masalah pers.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa (1) ketiga asumsi dasar teori interaksi simbolik dan model aksi Charon, secara umum, dapat menjelaskan hubungan majalah Tempo dan pemerintah yang bernuansa konflik. Namun, action sesungguhnya tidak selamanya ditentukan oleh makna obyek atau definisi situasi. Faktor kekuasaan dapat menghambat publikasi berita oleh wartawan serta tersumbatnya proses negosiasi. (2) Konflik Tempo dan pemerintah terutama disebabkan oleh perbedaan perspektif dan tidak adanya shared-meaning tentang simbol-simbol signifikan serta pemaksaan makna berita oleh pemerintah. (3) Faktor budaya kiranya juga dapat menghambat efektivitas aplikasi teori interaksi simbolik. Budaya Tempo yang individualistis tidaklah cocok dengan budaya Orde Baru yang bersifat kolektivistis, sehingga konflik pun tidak dapat dielakkan. Konflik yang berakhir dengan pembredelan Tempo.

Symbolic Interactionism as a Perspective In Understanding Press-Government Relations A Case Study on Tempo magazineA tough working condition was facing every journalist during New Order. Press freedom, while rigorously fought by journalists due to its guarantee in the Press Law, was not regarded as a positive factor in the maintenance of national stability. The government even constantly and systematically obstructing freedom of the press. How journalists fight against structural constraints, while not embarrassing the government officials, especially those in the Ministry of Information that is the core issue to be explored in this study. Symbolic interactionism is used as the instrument. Its objective is to make a further comprehension on the three basic assumptions of the interactionism (Blumer, 1969:2), as well as to see the relevance of Charon's (1998) action model which put a heavy stress on definition of situation in understanding social interaction, i.e. Tempo journalists' actions vis-a-vis government officials.
The study is restricted to the era following the proceeding of 1982 Press Law (Law No 21/1982) up to the clamp down of Tempo license permit in June 1994.
Four research questions are raised: (1) How social object is defined as news; (2) What factors influencing object definition as news; (3) What factors influencing decision in news publication and (4) How conflict between Tempo and government is proceeded.
The study is qualitative in design using symbolic interactionism model (Muhadjir, 1990:125). Data is collected through in-depth interviews. Twelve Tempo journalists were selected according to the purposive and snowball techniques. The unit of analysis is action (Mmeltzer, 1964), individuals (journalists and government officials) interacting each other and documents, such as government press guidance policy, sanction letters issued by the Ministry of Information to Tempo and speeches by the President and Minister of Information relating to the press issue. On the government' side, two ex high-ranking officials were interviewed: Subrata, former Director General of Press and Graphics Guidance (Ministry of Information), and Army Brigadier General (retired) Nurhadi Purwosaputro, former Armed Forces spokesman. All interviews, conducted from July 1996 to November 1997 by the researcher himself, were taped.
It was found that (1) symbolic interactionism perspective and Charon's action model are very relevant in explaining Tempo﷓government relation that is frequently colored by conflicts. Action, however, is not always determined by the meaning of object (assumption No 1). External power is also to be taken for granted in making decision on news publication. Power could make negotiation process obstructed, as well; contrary to the belief that meaning could always be negotiated through interaction (assumption No 2). (2) Conflict between Tempo and government is notably caused by perspective differences in interpreting political and social phenomena which, in turn, blocking the process of shared-meaning on significant symbols. (3) Cultural determinant also plays vital role in the effectiveness of symbolic interactionism. Tempo's orientation to Time magazine, heavily influenced by individualist culture, is not in line with New Order dominant collectivist culture. In the event of such cultural differences, conflict is unavoidable. And whoever in power is on the upper hand in conflict resolution."
2001
D198
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Armando
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Zulhasril Nasir
Jakarta: FISIP-UI Press, 2007
324.22 ZUL k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Cesilia Faustina Sinur
"Penelitian ini difokuskan pada evaluasi terhadap pengaruh buruk yang dihasilkan oleh media, tepatnya dalam berita internasional, dan apakah berita zaman sekarang lebih dilihat sebagai negative atau positif. Penelitialn ini juga mengevaluasi dampak negatif dari topik berita itu sendiri dan apakah berita tersebut menimbulkan persepsi yang berat sebelah. Penelitian ini dilakukan dengan mengobservasi beberapa organisasi berita internasional seperti CNN, BCC, dan Al-Jazeera dan apakah sebagian besar berita difokuskan dari sisi negatif atau berhubungan dengan konflik. Penelitian ini juga dilaksanakan dengan mengadakan questionnaire atau wawancara dengan beberapa responden dan bagaimana mereka menanggapi berita-berita di media sekarang, begitu pula dengan melihat efek yang disebabkan oleh berita tersebut; tepatnya bagaimana berita negative akan mempengaruhi sikap responden dan apakah menimbulkan persepsi yang berat sebalah.

The research focused on evaluating the negative world news coverage within an international scale and whether news media today would be considered more as negative rather than positive. This research also focused on seeing the negative effects of negative world news coverage itself and whether it created a bias interpretation of the issue or party at hand. The research was conducted by observing a number of international, multi-national news media organisations such as CNN, BCC, and Al-Jazeera of their story coverage and whether it revolved around negative and conflict based topics; as well as through a series of questions conducted by interview and questionnaire to understand how the public perceived the news and whether it was also seen as negative and what were some of the impacts caused by their exposure towards news ? especially within a negative context and would it form a bias towards those issues and topics.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Affandy Achmad
"Skripsi ini membahas tentang Dewan Pers pada masa pemerintahan Orde Baru. Dewan Pers adalah sebuah lembaga tertinggi dalam pembinaan pers di Indonesia. Lembaga tersebut dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang Pokok Pers No. 11 tahun 1966. Anggota Dewan Pers terdiri atas wakil-wakil dari kalangan pers, pemerintahan, dan masyarakat. Fungsi pembinaan dan pembuat aturan membuat lembaga tersebut mendapatkan sorotan dari kalangan pers. Hal tersebut lebih disebabkan sebagian aturan-aturan yang dibuat oleh Dewan Pers sering dijadikan alat untuk mengekang kehidupan pers. Dengan mempelajari Dewan Pers, skripsi ini juga menggambarkan pola hubungan antara pemerintah dan pers. Melalui Dewan Pers pulalah dapat terlihat bagaimana pola kebijakan propaganda yang diterapkan oleh Orde Baru. Sepanjang masa kekuasaan Orde Baru, pemerintah selalu menentukan prinsip-prinsip dan ideologi tunggal kepada setiap organisasi kenegaraan maupun organisiasi sosial masyarakat. Akan tetapi bagaimana hal tersebut dapat diterapkan pada kehidupan pers yang pada dasarnya memiliki budaya kebebasan bersuara? Di situlah Dewan Pers mengambil peran yang cukup penting. Untuk dapat mernbahas tentang Dewan Pers, maka diperlukan pembahasan tentang kehidupan pers pada zaman Orde Baru. Oleh karena skripsi ini juga mencantumkan berbagai peristiwa pembredelan yang terjadi pada periode tersebut. Reaksi Dewan Pers terhadap berbagai peristiwa pembredelan tersebut menjadi salah satu pembahasan utama dalam skripsi ini, karena berbagai aturan regulasi yang dibuat oleh Dewan Pers juga sangat berhubungan dengan berbagai peristiwa pembredelan tersebut. Situasi zaman pun turut menentukan kinerja Dewan Pers. Seperti yang terjadi pada 1980-an, pers masuk dalam era bisnis. Berbagai keputusan yang dihasilkan pun bersinggungan dengan perkembangan ekonomi pers. Sedangkan pada masa sebelumnya pendekatan keamanan terasa sangat kental sekali. Walaupun memang kedua unsur tersebut, yaitu pembangunan dan stabilitas keamanan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang menjadi dasar kebijakan sepanjang pemerintahan Orde Baru. Dewan Pers sepanjang periode Orde Baru berada dalam dilema dua kepentingan, yaitu kepentingan penguasa dan kepentingan kalangan pers. Pemerintah menginginkan Dewan Pers menjadi lembaga yang bisa digunakan untuk mengekang kehidupan pers, sedangkan kalangan pers mengharapkan lembaga tersebut menjadi jembatan jika terjadi perselisihan di antara keduanya. Dilema tersebutlah yang mewarnai kinerja Dewan Pers sepanjang periode Orde Baru, dan biasanya pemerintahlah yang menempati posisi dominan"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12116
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Khakim
"Kebebasan pers yang dialami masyarakat dan insan pers selepas masa otritarianisme, dalam pelaskanaannya menyisakan berbagai permasalahan. Media tidak bisa sepenuhnya memahami arti kebebasan, karena seringkali kebebasan itu diartikan sebagai tidak adanya kontrol yang bisa menahan laju berita media. Akibatnya, media bisa memberitakan apa saja dan seringkali meninggalkan kaidah jurnalistik sebagai pakem, menulis berita. Sebaliknya audiens, sebagai pembaca media, belum terbiasa dengan keterusterangan dan pengungkapan berita apa adanya, sehingga mengakibatkan berbagai keterkejutan yang merembet pada ketersinggungan dan akhimya terjadi konflik kekerasan dengan media. Diperlukan hubungan seimbang antara media dengan publik, agar terjadi saling kontrol.
Penelitian ini akan difokuskan untuk menjawab pertanyaan: (1) Bagaimana media mengkonstruksi realitas mengenai konstelasi politik dan pertentangan kepentingan antar interst group dalam masyarakat dan bagaimana publik mengkonsumsi berita tersebut? (2) Bagaimana organisasi pemberitaan media memanage produksi berita dan menempatkan kontrol publik dan tekanan eksternal lainnya dalam aktivitas manajemen media?
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada aktivitas produksi berita yang dilakukan media dan aktivitas konsumsi berita yang dilakukan oleh publik sehingga memunculkan konflik akibat kesenjangan persepsi dan subyektifitas atas peristiwa. Aktivitas produksi berita yang dimaksud adalah sejauh mana media melakukan proses konstruksi realitas atas peristiwa dalam item berita yang disajikan dengan segala faktor internal newsroom dan ekstemal yang mempengaruhinya. Sedangkan aktivitas konsumsi berita dimaksudkan sejauh mana publik memahami dan memaknai berita media yang dikonsumsi dari media, serta respon yang muncul sehingga memunculkan konflik.
Sebagai fokus penelitian ini, kajian secara khusus akan menyelami peristiwa konflik antara masyarakat NU dengan harian Jawa Pos yang muncul ke permukaan yang dikenal dengan aksi 'Pendudukan' Barisan Ansor Serbaguna (Banser) atas Kantor Redaksi Harian Jawa Pos di Gedung Graha Pena, Surabaya pada tanggal 6 Mei 2000, yang berujung pada tidak terbitnya Jawa Pos edisi Minggu, 7 Mei 2000.
Untuk mencari jawaban, penelitian dilaksanakan dengan menggunakan paradigma kritis dengan metode penelitian kualitatif. Untuk bisa menggali, penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) dengan multi level analisis: analisis teks, analisis wacana dan analisis sosial budaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus ini, ditemukan beberapa poin dalam elemen struktur framing yang menjadi penyebab ketegangan Jawa Pos dengan pembaca, baik yang menyangkut teknis pemilihan dan penggunaan kata yang menyusun kalimat berita, tidak terpenuhinya prinsip dasar jurnalistik maupun dalam pemilihan tema framing sebagai alat mengkonstuksi peristiwa yang ternyata berbeda dengan sikap politik dan pandangan politik yang diyakini audiens. Khusus mengenai angle dan framing yang dipilih, merupakan keterkaitan langsung media atas kepentingan dan kehendak pasar yang menghendaki media kritis terhadap peristiwa yang sedang diangkat.
Di level praktik wacana, rutinitas Jawa Pos dalam memproduksi berita mengutamakan ada pada aktualitas dan kontroversi persitiwa dengan melakukan dramatisasi adanya konflik yang panas, ironis dan kontroversial. Ditemukan adanya praktek kekerasan informasi oleh media dan lebih dekat pada ciri Jurnalisme Perang (War Journalism) dari pada ciri yang Jurnalisme Damai (Peace Journalism). Di sisi lain, Jawa Pos pada dasarnya merupakan penganut jurnalisme yang membawa misi kemanusiaan, kebersamaan dan menjaga kedekatan dengan pembacanya. Dalam hal ini rutinitas Jawa Pos masuk dalam ciri-ciri Jurnalisme Empati atau yang oleh pihak Jawa Pos disebut sebagai Jumalisme Emosi. Betaberita Jawa Pos lebih kuat dipengaruhi oleh orientasi oplag atau orientasi pasar/kapital sebagai ideologi dari pada ideologi kelompok atau latar individu wartawan dan organisasi.
Di level konsumsi teks, ada upaya dari publik dalam hal ini Masyarakat NU untuk melakukan perimbangan berupa hegemoni tandingan (counter hegemony) terhadap hegemoni wacana yang dilakukan oleh media. Aktivitas kontra hegemoni ini dilakukan dengan cara memaknai peristiwa dan wacana politik secara langsung melalui komunikasi kultural baik yang sifatnya organisasional maupun melalui interpersonal. Hasil dan pemaknaan langsung ini berupa munculnya realitas subyeklif yang berbeda antara yang dikonstruksi media dengan yang dimaknai langsung oleh publik.
Perbedaan realitas subyektif ini menimbulkan adanya kesenjangan informasi dan menganggap media telah melakukan 'kesalahan', yang kemudian melahirkan prasangka, bahwa media telah memiliki agenda politik melalui potensi kekuatan hegemoni yang dimiliki. Prasangka itu menguat, ketika ditemukan faktor pendukung, sebagaimana kejadian serupa di masa lalu dan menjelma menjadi kesadaran untuk menghentikan praktek hegemoni ini dengan cara berdialog dan bernegosiasi untuk klanfikasi (pihak NU menyebutnya sebagai !obi atau Isiah). Publik enggan menggunakan mekanisme jumalistik penggunaan hak jawab karena dianggap tidak efektif untuk bisa mengembalikan citra negatif.
Kinerja profesional Jawa Pos terganggu dengan aktivitas negosiasi tersebut, karena mengganggu kerja rutin memproduksi berita. Keputusan 'sehari tidak terbit' yang diambil Jawa Pos merupakan klimaks dari terganggunya secara teknis dan psikologis proses produksi berita akibat komplain yang dilakukan oleh publik kepada redaksi. Jawa Pos sebagai industri media tidak banyak terpengaruh terhadap konflik dengan masyarakat NU ini, dan memutuskan untuk mengabulkan semua tuntutan yang diminta, meskipun lemah dalam pelaksanaannya. Jawa Pos hingga kini tetap sebagai industri media yang telah melakukan ekspansi usaha secara nasional di bidang penerbitan serta bidang lain, sebagaimana pabrik kertas dan real estate. Dalam mengembangkan industrinya, Jawa Pos lebih mementingkan aspek ekonomi dengan memberikan porsi yang besar bagi 'kemajuan' yang ingin dicapai bersama antara Jawa Pos sebagai industri dengan kekuatan kapital tidak hanya nasional, tetapi juga global."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14325
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Arief Nugraha
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana media dalam hal ini media televisi (RCTI dan SCTV) memaknai realitas konflik yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia dalam proses produksi beritanya.
Penelitian tentang pola pemberitaan atau pendekatan jurnalistik yang digunakan media televisi dalam proses produksi berita seputar konflik di Indonesia, mengajukan pendekatan jurnalisme perdamaian dan paradigma konstruksionis yang memandang tidak adanya realitas obyektif termasuk dalam berita.
Penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif ini melakukan kajian terhadap kebijakan dan pandangan pengelola berita di RCTI dan SCTV atas realitas konflik yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia hingga masuk ke dalam proses produksi berita.
Studi kualitatif terhadap kebijakan dan pandangan pengelola berita di RCTI dan SCTV disertai analisis berita seputar konflik di RCTI dan SCTV, ditemukan bahwa pemahaman berita yang mencerminkan realitas serta prinsip jurnalisme berimbang dan obyektif dianggap sebagai paradigma tepat dalam menyikapi realitas di wilayah konflik.
Pandangan konstruksionis yang banyak diadopsi oleh pendekatan jurnalisme perdamaian (intervensi dan subyektif terhadap realitas di wilayah konflik demi penyelesaian konflik melalui pemberitaan media) dipandang sebagai bentuk jurnalisme sepihak dan tidak obyektif.
Pada kenyataannya, bagian pemberitaan RCTI dan SCTV pada proses produksi berita seputar konflik tanpa disadari melakukan konstruksi atas realitas seperti memilih angle, nara sumber, penokohan dan penekanan isu tertentu.
Akibat digunakannya pendekatan jurnalisme obyektif (objektifitas semu)- tidak melakukan intervensi subyektif pada proses produksi berita seputar konflik, maka media seringkali dituding mengeksploitasi konflik demi kepentingan bisnis. Dan lebih jauh lagi media dinilai tidak berperan dalam penyelesaian suatu konflik.
Diperlukan kebijakan manajemen RCTI dan SCTV untuk menempatkan program berita sebagai fungsi sosial televisi terhadap pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Salah satunya dengan melakukan intervensi subyektif terhadap suatu berita konflik dengan motif penyelesian masalah.
Program berita televisi sebagai social cost diharapkan dapat menciptakan model pemberitaan yang tidak berorientasi pada selera pasar atau rating, melainkan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian tudingan bahwa televisi hanya mengutamakan kepentingan komersial dapat diimbangi dengan fungsi pemberitaan yang konstruktif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Henri Subiakto
"Pers yang fungsi utamanya sebagai sarana penberitaan, mempunyai konsekuensi isi yang disajikan agar senantiasa menggambarkan realitas yang terjadi di masyarakat. Tapi dalam prakteknya, pers berada pada posisi yang sulit ketika dihadapkan kuatnya hegemoni negara melalui elit-elitnya, yang merambah ke berbagai aspek sosial politik, termasuk sebagai pembuat berita (news maker), dan sumber berita yang acapkali menentukan definisi realitas. Jadinya, kemandirian pers mengungkap berita menjadi pertanyaan yang menarik. Apakah pers dalam menjalankan fungsinya mengungkap dan mendefinisikan realitas itu bertumpu pada kemampuan dan visinya sendiri, ataukah sudah tunduk kapada kekuatan elit negara yang hegemonik tadi?
Melalui penelitian dengan metode analisis isi pada peraberitaan di Harian Kompas dan Republika, pernasalahan di atas dicoba dijawab. Kemandirian pers yang diteliti itu khususnya menyangkut kemandirian dalam mengungkap isu-isu kemasyarakatan yang pada akhir-akhir ini memang kebetulan banyak menenuhi agenda pemberitaan.Persoalan konflik tanah, perburuhan, pencemaran lingkungan, korupsi dan kolusi, demokratisasi, SARA, dan isu-isu kemasyarakatan lain yang sejenis, menjadi fokus penelitian.
Hasilnya, kemandirian pers dalam mengungkap berita sifatnya fluktuatif. Terkadang pers dapat menampilkan beritanya dengan kemadirian yang tinggi, terutama pada isu yang tidak sensitif, dan jenis tertentu yang memang menyangkut kepentingan yang mendasar, seperti persoalan tanah, perburuhan dan pencemaran lingkungan. Tapi pada kesempatan lain, pers terpaksa kompromi dengan kekuatan politis yang ada di luar diri mereka. Pada isu-isu yang sensitif menurut "kacamata" elit penguasa, definisi realitasnya lebih banyak ditentukan oleh sumber informasi yang berasal dari elit negara. Jadinya, kemandirian pers dalam mengungkap berita, bukan sekadar persoalan ketersediaan atau keterbatasan sumber daya dan perangkat peralatan yang dimiliki. Tapi persoalan kemandirian pemberitaan akhirnya lebih berkait dengan persoalan iklim politik. Yaitu siapa yang mempunyai posisi yang dominan dalam sistem politik tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>