Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 226222 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erawita Endy Moegni
"Infeksi menular seksual (IMS) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar, balk di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Di beberapa negara berkembang IMS pada usia dewasa muda bahkan menempati kelompok lima besar kunjungan ke fasilitas kesehatan.
Dalam konteks kesehatan reproduksi, IMS berkaitan dengan infeksi saluran reproduksi (ISR). Kesehatan reproduksi adalah keadaan proses reproduksi dalam kondisi sehat mental, fisik, maupun sosial terpenuhi dan tidak hanya babas dari penyakit atau kelainan pada proses reproduksi tersebut. Secara gender, wanita memiliki risiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan dengan kehamilan dan persalnan, jugs terhadap penyakit kronik dan infeksi. Berbagai jenis IMS pada wanita dapat menyebabkan ISR yang dapat menimbulkan bukan hanya keluhan fisik, ,gangguan psikologis, maupun gangguan keharmonisan perkawinan, namun dapat dapat disertai komplikasi yang lebih lanjut. Hal tersebut terjadi terutama karena keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak tepat, terutama untuk jenis IMS dan ISR pada wanita yang tidak menimbulkan gejala khas. Komplikasi IMS atau ISR pada wanita dapat berupa penyakit radang panggul (PRP), kehamilan di luar kandungan, kanker serviks, infertilitas, serta kelainan pada bayi dalam kandungan, misalnya beret badan lahir rendah (BBLR), prematuritas, infeksi kongenital danlatau perinatal serta bayi lahir mati. Separuh dari wanita dengan IMS di Indonesia mungkin tidak menyadari bahwa mereka menderita IMS karena ketidakmampuan untuk mengenali gejalanya, sehingga sebagian besar dari mereka tidak berobat. Infeksi menular seksual dan ISR merupakan masalah kesehatan masyarakat serius namun tersembunyi, sehingga sering disebut sebagai the hidden epidemic.
Prevalensi IMS yang paling banyak diteliti pada wanita adalah pada kelompok populasi risiko tinggi, misalnya pada wanita penjaja seks (WPS). Sedangkan pada kelompok populasi risiko rendah, prevalensi IMS pada wanita yang juga pernah diteliti, misalnya ibu hamil atau pengunjung klinik keluarga berencana (KB).
Tiga di antara IMS yang sering tidak menimbulkan gejala atau asimtomatis adalah sifilis, infeksi virus herpes simpleks (VHS), dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Sejauh ini pemeriksaan serologik ke-3 penyakit tersebut hanya dilakukan bila terdapat kecurigaan klinis maupun riwayat perilaku yang berisiko tinggi pada pasien. Setiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda-beda terhadap pemeriksaan ke-3 penyakit di atas pada wanita hamil, termasuk di Indonesia sendiri belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut.
Pola distribusi IMS bergantung pada berbagai penyebab, antara lain faktor lingkungan, budaya, biologis, dan perilaku seksual yang salah atau berisiko tinggi. Faktor lingkungan dan budaya, dalam hal ini perubahan nilai, misalnya kebebasan individu dalam masyarakat dan mundurnya usia pernikahan berperan besar dalam peningkatan insidens IMS secara umum. Faktor biologis, misalnya perbaikan gizi secara umum akan menyebabkan makin mudanya usia menarche pada remaja putri.' Hal ini menyebabkan kesenjangan antara kematangan biologis dengan usia menikah, sehingga sering terjadi kehamilan remaja. Sedangkan perilaku seksual berisiko, misalnya berganti-ganti pasangan seksual dan hubungan seks pranikah.1 Faktor risiko yang dihubungkan dengan sifilis, infeksi VHS tipe-2 dan infeksi HIV antara lain: status sosio-ekonomi rendah, lamanya melakukan aktivitas seksual, jumlah pasangan seksual multipel, promiskuitas, penggunaan narkotika, serta riwayat IMS lain."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Karunia Burhanudin
"ABSTRAK
Latar Belakang: Laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL) adalah suatu
bentuk oritentasi seksual (homoseksual) yang lebih ditekankan kepada perilaku seksual berupa
hubungan seksual terhadap sesama jenis. Perilaku seksual pada LSL ini cenderung bebas,
berganti-ganti pasangan, dan tidak menggunakan kondom sehingga terjadi peningkatan risiko
kesehatan tertentu seperti Infeksi Menular Seksual (IMS). Infeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dan Virus Herpes Simpleks (VHS) merupakan salah satu IMS dan dapat berinteraksi
sinergistik. Pada individu dengan HIV dan koinfeksi VHS dapat meningkatkan risiko transmisi
penularan HIV serta mempercepat perburukan ke arah AIDS. Di Indonesia, belum pernah
dilaporkan proporsi VHS pada populasi LSL baik yang terinfeksi HIV maupun yang tidak
terinfeksi HIV.
Tujuan: Mengetahui perbandingan proporsi seroprevalensi VHS-1 dan VHS-2 pada LSL dengan
dan tanpa HIV serta peranan pemakaian kondom.
Metode: Penelitian ini berdesain potong lintang pada 76 LSL yang terinfeksi maupun tidak
terinfeksi HIV di klinik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Wawancara
tentang kekerapan pemakaian kondom dan pemeriksaan serologis imunoglobulin G (IgG) VHS-1
serta VHS-2 dilakukan pada tahap awal penelitian.
Hasil: Dari 76 SP, 34 SP terinfeksi HIV dan 42 SP tidak terinfeksi HIV. Total proporsi
seroprevalensi VHS-1 dan VHS-2 masing – masing adalah sebesar 69,7% dan 23,7%. Proporsi
VHS-1 dan VHS-2 pada SP tanpa HIV adalah masing-masing sebesar 71,4% dan 14,3%.
Proporsi VHS-1 dan VHS-2 pada SP dengan HIV adalah masing-masing sebesar 67,6% dan
35,3%. Penggunaan kondom tidak berhubungan dengan kejadian terinfeksi VHS-1 (p=0,068; IK:
0,05-1,1) atau VHS-2 (p=0,447; IK: 0,09-2,8) pada kelompok LSL dengan HIV. Penggunaan
kondom berhubungan dengan kejadian terinfeksi VHS-1 pada kelompok LSL tanpa HIV
(p=0,036; IK: 0,52-0,9), tetapi penggunaan kondom tidak berhubungan dengan kejadian
terinfeksi VHS-2 pada kelompok LSL tanpa HIV (p=0,08; IK: 0,81-32,98).
Kesimpulan: Proporsi LSL dengan VHS-1 lebih tinggi dibandingkan dengan VHS-2, baik pada
kelompok tanpa dan dengan HIV. Proporsi LSL dengan VHS-2 pada kelompok HIV dua kali
lipat lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa HIV.

ABSTRACT
Background: Men who have sex with men (MSM) is homosexual orientation that emphasizes
on sexual behavior to the same sex. The sexual behaviors among MSM tend to have free sex,
multiple sexual partners, and perform unsafe sex, thus it may increase risk of infection to
sexually transmitted diseases (STD). Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Herpes
Simplex Virus (HSV) infection are examples of STD that are able to interact synergistically one
to another. Individual with HIV and co-infected with HSV may increase risk of transmission
HIV and progressively worsening to AIDS. In Indonesia, proportion VHS infection in those who
either with and without HIV in MSM population, is never been reported.
Objective: To compare proportion HSV-1 and HSV-2 seroprevalence in MSM with and without
HIV infection and its association with condom use.
Methods: It is cross sectional study to 76 MSM, either with or without HIV, coming to seek
health services in PKBI outpatients clinic. Interview regarding frequency condom use and
serological test immunoglobulin G to HSV-1 and HSV-2 was done in the early of research.
Results: Out of 76 MSM, 34 MSM are infected with HIV and 42 MSM those who are not. Total
proportion HSV-1 and HSV-2 seroprevalence respectively are 69,7% and 23,7%. Proportion
HSV-1 and HSV-2 to those who are not infected to HIV respectively is 71,4% and 14,3%.
Proportion HSV-1 and HSV-2 to those who are infected to HIV respectively is 67,6% and
35,3%. Condom use is not associated either with a risk of infection to HSV-1 (p=0,068; IK:
0,05-1,1) or HSV-2 (p= 0,447; IK: 0,09-2,8) in MSM who are infected to HIV. Condom use is
associated with a risk of infection to VHS-1 (p=0,036; IK: 0,52-0,9), but it is not associated with
risk of infection to HSV-2 (p=0,08; IK: 0,52-32,98) among those who are not infected to HIV.
Conclusion: Proportion MSM who are infected to HSV-1 is higher compared to HSV-2 in both
groups (with and without HIV). Proportion MSM who are infected to HSV-2 in HIV group is
twice higher compared to group those who are not."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rahadi Rihatmadja
"Sepengetahuan penulis, belum ada data koinfeksi VHS-2 dan T. pailidum pada individu yang terinfeksi HIV di Indonesia. Mengingat tingginya transmisi HIV melalui rute heteroseksual di Indonesia maka kiranya perlu dilakukan penelitian mengenai prevalensi kedua 1MS tersebut. Data yang diperoleh diharapkan dapat berguna bagi program pencegahan transmisi HIV di Indonesia. Diagnosis infeksi kedua IMS pada penelitian ini akan dinyatakan dengan kepositivan pemeriksaan serologik antibodi terhadap VHS-2 serta RPR dan TPHA.
Penelitian ini akan dilakukan di Poliklinik Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kelompok ini dibentuk sejak ,kasus AIDS ditemukan pertama kali di Indonesia tahun 1986. Pokdisus AIDS mengerjakan berbagai aktivitas yang terkait dengan pengendalian HIVIAIDS, termasuk pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan, Iayanan telepon hotline khusus AIDS, konseling dan pemeriksaan laboratorium, akses ke fasilitas diagnostik dan pengobatan, dan juga berfungsi sebagai pusat rujukan. Dalam kegiatannya tersebut Pokdisus AIDS telah membantu Iebih dari 1000 orang penderita infeksi HIVIAIDS memperoleh ()bat antivirus sejak tahun 1999. Dalam dua tahun terakhir, Pokdisus AIDS menangani kira-kira 700-800 kasus infeksi HIV baru. Selain kegiatan medis, Pokdisus AIDS juga melakukan berbagai penelitian pada populasi penderita HIVIAIDS khususnya di Jakarta. Dari penelitian yang pemah dilakukan, dapat dikemukakan di sini bahwa herpes simpleks merupakan salah satu infeksi oportunistik yang sering dijumpai, dan infeksi HIV di kalangan IDU amat tinggi, hingga mencapai 80%.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
5
1. Berapakah proporsi kepositivan pemeriksaan antibodi (IgG) terhadap VHS-2 pada pasien HIV/AIDS yang berobat di Pokdisus AIDS RSCM/FKUI?
2. Berapakah proporsi kepositivan pemeriksaan serologik terhadap Treponema pallidum (RPR dan TPHA) pada pasien HIVIAIDS yang berobat di Pokdisus AIDS RSCM/FKUI?
3. Faktor sosiodemografi dan perilaku seksual apakah yang berhubungan dengan kepositivan pemeriksaan IgG VHS-2, RPR dan TPHA pada pasien HIVIAIDS yang berobat di Pokdisus AIDS RSCM/FKUI?
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21451
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"HSV is known as a type of virus capable of causing infection in human being. The secondary herpes infection does not produce hazardous outcome in immunocompetent hosts because it usually heals spontaneusly within 1-2 weeks. However HSV reactivation in immunocompromised patients is a potential danger, leading to significant, morbidity, secondary bacterial and fungal infection, and occasionally disseminated viral infection, thus influencing the survival rate. The purpose of this paper was to describe the measures that could be performed to prevent HSV reactivation in immunocompromised patients. We concluded that anti-HSV titer screening, early detection of HSV shedding, lymphocyte and monocyte counts, and antiviral prophylaxis were essential in anticipating HSV reactivation in immunocompromised hosts."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
616.522 INF
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Yuridian Purwoko
"Sebagai kelompok yang mempunyai risiko tinggi tertular IMS, PSK pria nontransgender belum banyak diteliti. Di Indonesia baru tercatat satu penelitian di bidang sosiobudaya mengenai kelompok tersebut yang dilakukan di Yogyakarta dan belum ada satu pun penelitian di bidang kesehatan. Penelitian kesehatan Iebih banyak ditujukan pada PSK wanita, PSK pria transgender, atau ketompok MSM.
Diduga PSK pria di kota besar, khususnya Jakarta telah meningkat pasat sesuai perkembangan waktu, keterbukaan seksual, dan faktor ekonomi, namun hingga saat inl belum terdapat data penelitian mengenai faktor sosiodemografis PSK pria nontransgender, mencakup usia, pendidikan, pendapatan atau status ekonomi, dan pekerjaan lain. Juga belum diketahui data prevalensi penyakit IMS pada kelompok tersebut.
Karena belum terdapat data, dan berdasarkan penelitian mengenai PSK pria nontransgender di negara lain, serta belum ada program intervensi terhadap kelompok PSK pria nontransgender di Jakarta, maka ditegakkan dugaan bahwa prevalensi IMS pada kelompok tersebut masih tinggi, pengetahuan PSK pria nontransgender terhadap IMS yang masih rendah, sikap mereka yang kurang mempedulikan pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut, serta perilaku mereka yang cenderung berisiko tinggi tertular 1MS.
Pengukuran prevalensi memerlukan sumber dana, tenaga, dan waktu yang cukup besar, sehingga pada penelitian ini dibatasi pada tiga penyakit IMS yang menjadi prioritas pemberantasan penyakit menutar di Indonesia, yaitu gonore, sifilis, dan infeksi HIV/ AIDS. Proporsi kepositivan pemeriksaan kultur gonore, serologis sifilis, dan serologis infeksi HIV/ AIDS, dilakukan untuk mendapatkan perkiraan prevalensi penyakit tersebut pada PSK pria nontransgender di Jakarta.
Pertanyaan penelitian
? Bagaimana identitas atau faktor sosiodemografis PSK pria nontransgender, mencakup usia, pendidikan, pendapatan atau status ekonomi, dan pekerjaan lain.
? Berapa proporsi kepositivan kultur gonore, serologis sifilis, dan serologis infeksi HIV pada PSK pria nontransgender.
? Bagaimana pengetahuan, sikap, dan perilaku PSK pria nontransgender terhadap IMS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21448
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melda Suryana
"Latar belakang Infeksi malaria dalam kehamilan berefek serius terhadap ibu hamil maupun janin. Di Purworejo, Jawa Tengah dimana transmisi malaria terjadi sepanjang tahun dan tergantung musim, program pencegahan malaria belum difokuskan pada wanita hamil. Penelitian mengenai infeksi malaria dalam kehamilan masih sangat jarang dilakukan di Indonesia.
Tujuan : Mengetahui karakteristik kasus malaria pads wanita usia reproduksi dan hubungan yang valid antara kehamilan dengan infeksi malaria pada wanita usia reproduksi di Indonesia. Metode: disain penelitian Studi Kasus Kontrol tidak berpadanan. Responden adalah wanita usia 15-49 tahun yang datang ke tempat pelayanan kesehatan di 9 kecamatan endemis di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan bulan Juni-Juli 2003 dengan metode wawancara dan pengambilan sediaan apus darah tebal dan tipis.
Hasil : Terdapat 1065 subjek terdiri dari 64 kasus (4531% adalah wanita hamil) dan 1001 kontrol (33,17% hamil). Jenis parasit malaria menginfeksi adalah Pfalciparum (46.88%) dan sisanya P.vivax. kasus malaria asimptomatik terdapat pada 24 kasus (37.40%) dan dari 29 kasus wanita hamil sebanyak 44.83% asimptomatik. Wanita yang tinggal di daerah LCI dan tidak beraktivitas keluar rumah di malam hari bila hamil memiliki OR 6.42 (CI 95 % 1.34-30.79) dibandingkan wanita tidak hamil. Wanita hamil yang tinggal di daerah LCI namun beraktivitas keluar rumah di malam hari akan meningkat risikonya secara bermakna menjadi 27 kali (OR 27.39; CI 95 % 4.79-156.44) dibandingkan wanita tidak hamil yang tinggal di daerah dan memiliki aktivitas yang sama. Wanita yang tinggal di daerah dengan tingkat transmisi sedang (MCI) dan keluar rumah di malam hari, bila hamil memiliki OR 5.35 (CI 95 % 1.85-1232) dibandingkan wanita tidak hamil.
Kesimpulan : Kehamilan meningkatkan resiko untuk terkena malaria pada wanita usia reproduksi dan efeknya bcrbeda menurut aktivitas dan tingkat transmisi malaria daerah tempat tinggal. Program malaria perlu dimasukkan dalam pelayanan ANC pada program KIA.

Pregnancy as a Risk Factor of Malaria Infection among Women at Reproductive Age in Purwerejo Distric, Central Java, 2003Background : Malaria in pregnancy has serious effect for pregnant women and the fetus. In Purworejo where malaria is perennial and highly seasonal, malaria's program not yet focusing on pregnant women. Recently study about malaria and pregnancy still rare in Indonesia. Objective : To examine the characteristic of malaria cases among women at reproductive age and to prove the valid relationship between pregnancy and malaria infection among them.
Methods : Unmatched case control study. Subjects were collected from women (15-49 years old) who visited primaries health cares in 9 endemic subdistricts in Purworejo district, Central Java. Research was held on June - July 2003, by interviewing respondent using questionnaire and taking thick and thin blood smears.
Results: There were 64 cases (45.31% were pregnant) and 1001 controls (33.17% were pregnant). 46.88% cases were infected by P. falciparum and the rest were by P.vivax. There were 37.40% asymptomatic cases from all cases and 44.83% asymptomatic cases from 29 eases who were pregnant. Compare with nonpregnant women who lives in LCI areas and has no outdoor activity at night, pregnant woman who lives in the same areas and same activity, have risk 6 times fold to have malaria infection (OR 6.42; CI 95 % 1.34-30.79). But if pregnant woman, who lives in LCI areas, has outdoor activity at night then the risk become 27 times fold (OR 27.39%; CI 95 % 4.79-156.44) compare to nonpregnant women who lives in the same area and same activity. Woman who lives in MCI areas and has outdoor activity at night, if she become pregnant then she will have OR 5.35 (CI 95 % 1.85-12.72) than nonpregnant woman.
Conclusion: Pregnancy has a significant effect with malaria infection and the effect depend on the outdoor activity at night and level of malaria transmission of the living area.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12768
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajib Diptyanusa
"Status imunodefisiensi pada individu yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat mengakibatkan adanya peningkatan risiko infeksi, salah satunya adalah diare kronis yang disebabkan oleh Cryptosporidium spp. dan Giardia duodenalis. Pada populasi anak, infeksi tersebut dapat berdampak pada gangguan fungsi kognitif dan tumbuh kembang. Gambaran beban kedua penyakit tersebut masih belum jelas, sehingga diagnosis dan tata laksana menjadi terhambat. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi prevalensi, mendeskripsikan karakteristik klinis, dan mengidentifikasi faktor risiko infeksi Cryptosporidium dan Giardia pada anak yang terdiagnosis HIV. Penelitian bersifat potong lintang pada anak terdiagnosis HIV berusia 6 bulan hingga <18 tahun di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta selama tahun 2021. Penegakan diagnosis infeksi Cryptosporidium dan Giardia adalah berdasarkan hasil pemeriksaan PCR feses setelah diskrining secara mikroskopis dan pemeriksaan coproantigen. Karakteristik klinis dan identifikasi faktor risiko didapatkan dari data rekam medis dan pengisian kuesioner oleh pasien/walinya. Dari total 52 subjek, prevalensi kriptosporidiosis adalah 42,3%, sedangkan prevalensi giardiasis adalah 3,8%. Tidak ditemukan infeksi ganda Cryptosporidium spp. dan G. duodenalis. Gejala yang paling banyak dilaporkan adalah penurunan berat badan (19/52; 36,5%) dan diare (11/52; 21,2%). Analisis multivariat menunjukkan bahwa adanya gejala diare (AOR 6,5; 95%CI 1,16–36,67), sumber air minum air sumur (AOR 6,7; 95%CI 1,83–24,93), dan air minum yang tidak direbus (AOR 5,8; 95%CI 1,04–32,64) merupakan faktor risiko independen kejadian kriptosporidiosis pada studi ini. Penelitian ini menunjukkan tingginya prevalensi kriptosporidiosis asimtomatik dengan faktor prediktor adanya diare, sumber air minum berupa air sumur, dan air minum yang tidak direbus, sedangkan prevalensi giardiasis rendah dengan gejala yang tidak spesifik.

Immunodeficiency in individuals infected with Human Immunodeficiency Virus (HIV) may lead to increased risk of infection, particularly chronic diarrhea caused by Cryptosporidium spp. and Giardia duodenalis. These parasitic infections may cause long-term impact in children, including impaired growth and cognitive function. Actual disease burden is not well studied, hence delay in diagnosis and patient management. Current study aimed to estimate prevalence of cryptosporidiosis and giardiasis, to describe their clinical characteristics, and to identify risk factors of disease transmission in pediatric HIV patients. The cross-sectional study involved participants of children aged 6 months through 18 years with confirmed HIV infection in Sardjito General Hospital, Yogyakarta. Diagnosis of cryptosporidiosis and giardiasis was made using PCR after being screened with microscopic and coproantigen examinations. Clinical characteristics and risk factors were obtained from medical records and structured questionnaires. A total of 52 participants were included in the final analysis. The prevalence of cryptosporidiosis was 42.3%, while prevalence of giardiasis was 3.8%. There was no mixed infection observed. Most frequently reported symptoms include weight loss (19/52; 36.5%) and diarrhea (11/52; 21.2%). Multivariate analysis identified the following variables as independent risk factors of cryptosporidiosis: presence of diarrhea (AOR 6.5; 95%CI 1.16–36.67), well water as drinking water source (AOR 6.7; 95%CI 1.83–24.93), drinking untreated water (AOR 5.8; 95%CI 1.04–32.64). Current study showed the prevalent asymptomatic cryptosporidiosis with risk factors including diarrhea, well water for drinking, and drinking untreated water, whereas prevalence of giardiasis was found to be low with nonspecific symptoms."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Krisis ekonomi berdampak pacla meningkatnya jumlah anak jalanan. Auak
jalanan merupakan salah satu kelompok beresiko tinggi HIV/AIDS karena perilaku
beresiko mereka. Motivasi adalah keadaan dari dalam yang memberi energi untuk
mengorganisir dan mengarahkan pola-pola spesifik perilaku. Penelitian deskripsi
korelatif ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
anak jalanan dalam melakukan pencegahan HIV/AIDS di Depok. Instrumen yang
digunakan adalah lembar kuesioner, dengan 95 responden anak jalanan usia remaja
yang diperoleh secara purposive sampling. Analisis data dilakukan secara univariat
dan bivariat. Hasil penelitian secara univariat menunjukkan bahwa tingkat
pengetahuan sebagian besar anak jalanan cukup tinggi ( pengetahuan tinggi 64,2 %,
pengetahuan rendah 35,8 %), tingkat motivasi mereka dalam mencegah HIV/AIDS
tidak jauh berbeda (motivasi tinggi 52,63 dan motivasi rendah 47,4 %). Hasil
penelitian secara bivariat menunjukkan bahwa faktor internal yang mempunyai
hubungan signifikan dengan motivasi anak jalanan dalam mencegah HIV/AIDS
adalah faktor pengetahuan (p: 006) dan faktor pengalaman (p: 002). Sedangkan faktor
internal yang Iain tidak mempunyai hubungan signifikan dengan motivasi anak
jalanan dalam mencegah HIV/AIDS (faktor pendidikan p: 0,62, faktor keyakinan p:
0,095)."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2007
TA5560
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>