Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143363 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anna Mariani Kartasasmita
"Penelitian ini adalah upaya untuk menemukan pengaruh latar belakang budaya Individualisme-Kolektivisme, Self-construal dan Ideologi fender terhadap Gaya penanganan konjlik mendominasi, integrasi, menghindar dan mengalah. Satu set kuesioner telah dibagikan dan diisi oleh 272 orang partisipan yang tinggal di Jakarta, Depok, Bogor, Tanggerang dan Bekasi. Temuan dari penelitian ini adalah; 1). Individualisme terbukti mempengaruhi Gaya penanganan konflik Mendominasi secara signifikan sebesar 78%; 2). Kolektivisme terbukti mempengaruhi Gaya penanganan konflik Menghindar secara signifikan sebesar 55%; 3). Self-construal Independen terbukti mempengaruhi Gaya penanganan konflik Mendominasi secara signifikan sebesar 59% dan Gaya penanganan konflik Integrasi sebesar 47%; 4). Self-construal Interdependen terbukti mempengaruhi Gaya penanganan konflik Menghindar secara signifrkan sebesar 71%; 5). Ideologi fender terbukti mempengaruhi Gaya penanganan konflik Integrasi secara signifikan sebesar 38%; 6) Ideologi fender Tradisional tidak terbukti berpengaruh secara sign fkan terhadap Gaya penanganan konflik Menghindar dan Mengalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya penanganan konflik banyak dipengaruhi oleh self-construal. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah mengenai latar belakang budaya dan situasi konflik nyata."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17834
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Rini Harmianti
"Dalam semua organisasi, setiap anggotanya akan berinteraksi dan tergantung satu sama lain pada saat melakukan pekerjaan. Saling ketergantungan ini dapat menciptakan suatu kerja sama di antara mereka dan kerja sama itu menjadi merupakan faktor penting yang dapat melandasi koordinasi antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Di dalam organisasi, kerja sama tidak selalu tercipta dalam semua situasi kerja, sebaliknya justru konfliklah yang sering mewarnai kehidupan organisasi. lvancevich dan Matteson (1990) menyatakan bahwa situasi saling ketergantungan dapat menyebabkan dua hal yang bertolak belakang yaitu kerja sama atau konflik. Konflik ini dapat terjadi bila sedikitnya terdapat dua partisipan, baik individuai atau kelompok, yang memiliki tujuan atau prioritas yang berbeda.
Konflik dapat dialami oleh siapa saja dalam posisi apa saja, namun konfiik akan Iebih sering dihadapi oleh manajer karena posisi manajer di dalam organisasi yang terletak di posisi tengah (middle line) di antara manajer puncak dan karyawan operasional (Robbins,1989). Hal tersebut membuat manajer berinteraksi dengan banyak orang, yaitu dengan atasan, dengan rekan kerja yang setingkat atau dengan bawahannnya. Dalam interaksi tersebut, konflik dapat terjadi. Konflik harus diwaspadai oleh manajer karena kehadirannya dapat berkembang menjadi parah dan sulit terpecahkan karena terdapat kontes "menang-kalah". Akibat yang dihasilkan konflik dapat pula mengganggu kerja sama yang telah ada sebelumnya dan dapat mengakibatkan ketegangan individu. Secara Iebih luas konflik dapat pula menyebabkan motivasi kerja partisipan menurun sehingga dapat menghambat unjuk kerjanya atau kelompok (Wexley & Yuki, 1984).
Karena dalam perkembangannya konflik dapat berkembang menjadi merugikan maka gaya penanganan konflik yang tepat mutlak harus ditampilkan manajer. Thomas (dalam Sekaran 1989) menyatakan terdapat lima gaya penanganan konflik yang biasa di tampilkan manajer. Menurut Robbins (1989) tidak ada satu gaya penanganan konflik yang tepat untuk semua situasi. Namun pendapat itu berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Kilmann & Thomas (dalam Robbins & Hunsaker, 1996) yang menyatakan bahwa walaupun variasi gaya penanganan konflik dapat ditampilkan oleh manajer sesuai konflik yang dihadapinya, setiap manajer memiliki kecenderungan untuk manampilkan satu gaya penanganan konflik. Gaya ini merupakan gaya konflik dasar yang ada pada diri manajer dan merupakan gaya penanganan konflik yang sering diandalkan manajer.
Dari kelima gaya penanganan konflik yang ada terdapat gaya penanganan konflik secara kolaborasi yang menurut Benfari (1991) merupakan solusi menang-menang, sedangkan menurut Wexley & Thomas (1984) merupakan teknik pemecahan masalah yang integratif. Berdasarkan hal tersebut kolaborasi merupakan gaya penanganan konflik yang paling efektif karena akar masalah atau konflik yang dihadapi dapat diselesaikan dengan cara damai dan dapat memuaskan berbagai pihak. Dalam hal ini peneliti ingin meneliti mengenai sikap manajer terhadap gaya kolaborasi dengan pertimbangan bahwa dengan mengetahui sikap tersebut peneliti dapat mengetahui kecenderungan manajer untuk menampilkan perilaku kolaboratif daiam menghadapi situasi konflik.
Untuk mengetahui penyebab internal yang dapat mempengaruhi konflik maka peneiiti mencoba untuk meiihatnya dari sudut pandang teori motivasi, karena motivasi dianggap dapat menjelaskan semua perilaku yang disadari manusia (Newstrom & Davis, 1993). Sedangkan teori motivasi yang akan dilihat hubungannya denga gaya penanganan konflik secara kolaborasi adalah teori motif sosial yang dikemukakan oleh McClelland, yaitu motif berprestasi (achievement motive), motif afiliasi (affiliation motive), dan motif kekuasaan (power motive). Sementara itu Robbins (1989) menyatakan bahwa ketiga motif itu terdapat daiam diri individu dengan derajat yang berbeda-beda. Dengan demikian setiap motif dapat memberikan sumbangan secara berbeda terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin melihat (a) apakah motif berprestasi, motif afiliasi dan motif kekuasaan secara bersama-sama memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi yang dimiliki manajer (b) motif mana sajakah yang memberikan sumbangan yang paiing bemakna terhadap gaya penanganan konfiik secara kolaborasi.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian korelasional dengan teknik pengambilan data lapangan dan tanpa memberikan manipulasi kepada responden penelitian, yang dilakukan pada 125 kepala bagian di PT. X yang berlokasi di darah Tangerang. Daiam penelitian ini ada dua instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen pertama untuk mengukur motif sosial yang mengukur kedekatan seseorang dengan ciri-ciri orang yang memiliki motif tertentu secara teoritis (skala motif sosial) dan instrumen yang kedua untuk mengukur sikap terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi (skala gaya penanganan konflik secara kolaborasi).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada subjek peneiitian ini, motif berpresfasi, motif afiliasi dan motif kekuasaan secara bersama-sama ternyata tidak memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi karena secara jelas ditunjukkan bahwa hanya motif berprestasi yang memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya kolaborasi. Selain itu jika dilihat hubungan masing-masing motif terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi dengan teknik koreiasi parsial diperoleh hasil bahwa motif berprestasi memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara koiaborasi dan kedua motif yang Iain, motif afiliasi dan motif kekuasaan tidak memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi. Penelitian ini juga mengungkapkan adanya perbedaan yang signifikan antara gaya penanganan konflik secara kolaborasi yang dimiliki responden yang berlatar belakang SMA, Akademi dan perguruan tinggi.
Untuk penelitian lebih Ianjut peneliti menyarankan agar pengukuran variabel gaya penanganan konflik juga dilakukan pada gaya kompetisi, kompromi, menghindar dan akomodasi agar dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh gaya penanganan konflik yang ada pada diri manajer. Selain itu untuk mempertajam hasil penelitian, subjek peneiitian juga dapat diambil dari kalangan manajer lini pertama dan manajer puncak sehingga dapat diketahui perbedaan yang ditampilkan ketiga golongan manajer dalam menghadapi konflik Sedangkan untuk alat yang digunakan daiam penelitian ini sebaiknya dilakukan pengukuran construct validity agar lebih yakin bahwa alat ukur tersebut memang mengukur suatu konstruk variabel yang hendak diukur."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2736
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emilia Jakob
"Konflik adalah sesuatu yang umum dijumpai dalam interaksi sehari-hari antar individu yang satu dengan individu lainnya. Konflik yang ditangani dengan baik dapat membawa perubahan yang positif dalam kelompok. Bagaimana konflik dapat tertangani dengan baik membutuhkan ketrampilan perilaku asertif. Perilaku asertif menuntut penghargaan terhadap hak-hak individu dan hak-hak orang lain. Dalam perkawinan masyarakat patriakal, kedudukan antara pria dan wanita seringkali sulit untuk diletakkan dalam tingkat yang sama karena lelaki umumnya memegang kepemimpinan, kekuatan dan kekuasaan yang legirimare sementara perempuan akan berada dalam posisi subordinate yang biasanya memiliki ketergantungan terhadap mereka yang lebih dominan. Sehingga perempuan mungkin akan lcbih sulit untuk berperilaku asertif. Untuk jangka panjang perilaku tidak asertif akan membuat individu semakin kehilangan rasa harga dirinya, meningkatkan perasaan terluka dan marah serta mungkin sekali menghasilkan perilaku agresif yang merupakan bentuk Iain dari peri;aku tidak asertif.
Straus (1979) menyusun alat ukur Conflict Tacrics Scale (CTS) untuk melihat pola penanganan konflik dalam keluarga CTS ini terdiri dari 3 skala yaitu skala reasoning, verbal aggression dan violence. Metode reasoning membutukan perilaku asertif dan aktif tertuju pada pemecahan masalah, sementara metode verbal aggression dan violence memiliki dimensi agresi di dalamnya. Untuk itu dilakukan peneiitian ini guna melihat apakah alat ukur CTS ini juga dapat digunakan untuk melihat pola penanganan konflik pada pasangan-pasangan di Jakarta.
Teori yang digunakan sebagai landasan meliputi perkawinan, konfiik dan resolusinya, asertivitas umum dan dasar-dasar konstruksi tes. Data yang diperoleh berasal dari 71 subyek, dengan karakteristik jangkauan usia 20 - 40 tahun, sudah menikah minimal selama satu tahun Iamanya, sebagian besar memiliki pendidikan akhir diploma dan saljana serta tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Reliabilitas CTS dihitung dengan menggunakan rumus koetisien Alfa Cronbach mendapatkan hasil; skala reasoning memiliki indeks reliabilitas 0.61, skala verbal aggression 0.55 sementara skala violence memiliki indeks reliabilitas 0.75.
Uji validitas CTS dilakukan dengan rnengkorelasikan alat ukur ini dengan alat ukur lain yaitu Rarhus Assertfveness Scale yang mengukur perilaku asertif secara umum. Hasil dari uji validitas ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku aserlif dengan metode penanganan konflik, baik dengan menggunakan reasoning, verbal aggression maupun violence. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum alat ukur CTS ini belurn merupakan alat ukur psikologis yang cukup baik untuk melihat pola penanganan konflik sebagaimana yang diharapkan. Masih ada beberapa perbaikan yang perlu dilakukan untuk menghasilkan sebuah alat ukur yang dapat melihat pola penanganan konflik pada pasangan-pasangan di Indonesia.
Namun demikian ada beberapa hal yang menarik berkaitan dengan hasil yang didapat melalui penelitian ini. Antara Iain adalah tidak adanya perbedaan metode penanganan konflik yang dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki dalam perkawinan sebagairnana yang dipersepsikan oleh pihak perempuan. Akan tetapi terdapat hubungan yang signifikan antara metode penanganan konflik yang dilakukan oleh suami dan istri. Perilaku asertif juga dijumpai lebih tinggi pada perempuan dengan pendidikan sarjana dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan SMA. Untuk penelitian lanjutan disarankan untuk melakukan beberapa perbaikan item seperti menambah jumlah item sehingg mencakup berbagai macam taktik yang mungkin digunakan oleh pasangan yang sedang berkonflik, khususnya untuk skala reasoning. Perbaikan lainnya adalah memperjelas item-item dalam skala reasoning sehingga benar-benar memiliki konstruk perilaku asertif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38188
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfahmi
"Tawuran antar warga seperti yang terjadi antara Kampung Tambak dan Kampung Anyer di Pegangsaan, Jakarta merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dikaji secara mendalam, karena konflik terjadi diantara warga di dua perkampungan yang sebelumnya memiliki hubungan yang harmonis. Bahkan banyak diantara warga kedua kampung masih berhubungan keluarga karena banyak terjadi perkawinan diantara mereka. Konflik tersebut berlangsung cukup lama dan cenderung keras. Selama kurun 1990-1993, peserta konflik masih terbatas pada kalangan pemuda/remaja kedua kampung tersebut, namun sejak 1994 hingga 2001 peserta konflik meluas menjadi bersifat massal, sehingga berkembang menjadi tawuran antar kampung.
Konflik antar pemuda berawal dari menguatnya identitas kolektif masing-masing kelompok tersebut. Konflik berawal dari sikap arogansi sekelompok pemuda Kampung Tambak, salah satunya dengan menguasai kawasan Tugu Proklamasi dan sekitarnya tanpa memberi kesempatan pada pemuda Kampung Anyer ikut memanfaatkan lahan tersebut, memicu pecahnya konflik terbuka antara kedua kelompok pemuda tersebut. Di satu sisi Pemuda Kampung Tambak bersikap arogan ingin mendominasi pihak lain, sedangkan di sisi lain pemuda Kampung Anyer memberi perlawanan terhadap sikap tersebut.
Semakin sering dan keras konflik, semakin banyak menyeret solidaritas dari warga sekampung lainnya untuk bersama-sama membela harga diri kampung mereka. Identitas kolektif tersebut dibangun secara sosial terutama atas dasar kesamaan teritorial, dimana terjadi interaksi sosial yang kontinyu. Melalui interaksi tersebut, atribut kesamaan secara simbolis dibangun dan didefinisikan, dari sinilah trust dan solidaritas berkembang diantara warga sekampung.
Konflik berlangsung keras karena konflik menyangkut isu-isu non-realistik, berupa nilai-nilai inti (core values) dan kepentingan kelompok yang samar-samar atau abstrak (vaguely defined class interest) yaitu harga diri dan dendam. Konflik juga berlangsung lebih lama karena tujuan konflik yang tidak jelas menyulitkan peserta konflik untuk mendefinisikan kapan mereka telah mencapai tujuan tersebut, sehingga konflik menjadi berlarut-larut. Selain itu, para pemimpin di masing-masing pihak kurang mampu membujuk warganya menghentikan konflik, hal ini disebabkan kerekatan hubungan antara warga dan para pemimpinnya cenderung lemah, selain itu juga masyarakat cenderung terpecah-belah karena kohesi sosial antar warga juga cenderung rendah. Intensitas konflik dan kerasnya konflik lambat laun makin mempertegas batas-batas pemisah antara warga kedua kampung dan meningkatkan solidaritas diantara warga sekampung untuk bersama-sama memerangi pihak lawan.
Berbagai upaya mengatasi konflik telah dilakukan oleh aparat pemerintah setempat, diantaranya dengan memfasilitasi pertemuan antar tokoh masyarakat dan pemuda setempat dari kedua pihak untuk membuat konsensus damai selain membentuk satgas yang terdiri dari sejumlah pemuda dari pihak-pihak yang berseteru, namun berbagai upaya tersebut belum mampu mengatasi konflik. Ini disebabkan konsensus tersebut tidak mampu merembes ke seluruh warga kampung karena kohesi sosial masyarakat yang cenderung rendah dan juga para tokoh dan pemuda yang dilibatkan bukanlah orang-orang yang berpengaruh dan memiliki kepemimpinan yang efektif di lingkungan komunitasnya.
Berbeda dengan upaya pemerintah tersebut, program resolusi konflik yang dikembangkan institusi lokal Forum Warga Cinta Damai (FWCD) ternyata cukup efektif meredam konflik. Sejak berdiri pada pertengahan 2001, forum tersebut menyelenggarakan berbagai kegiatan-kegiatan bersama dengan melibatkan warga yang berpengaruh dari berbagai social fieldnya, seperti kelompok bermain (peer group) pemuda, remaja, ibu-ibu, para bapak, serta kelompok pengajian, kelompok arisan dan sebagainya. Kegiatan tersebut membuat seluruh individu terhubung satu sama lain. Meski mereka berasal dari berbagai social field, namun hubungan antar mereka menjadi cikal bakal perekat antar social field dalam komunitas masyarakat yang berkonflik. Langkah ini cukup efektif merekatkan kembali hubungan sosial antar warga di kedua kampung yang bertikai, dan hasilnya selama tahun 2002 tawuran antar warga tak terjadi lagi.
Program community development tersebut merangsang antar individu dalam komunitas untuk menjalin kerjasama dalam mencapai tujuan-tujuan bersama. Melalui program tersebut, dilakukan upaya merekonstruksi kembali hubungan sosial antar warga, dengan mendefinisikan ulang batas-batas kolektifitas antar warga kedua kampung. Seiring dengan tumbuhnya jaringan baru yang menjembatani berbagai golongan masyarakat, turut berkembang norma-norma baru yang mengedepankan prinsip hidup damai penuh persaudaraan dalam lingkungan ketetanggaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Tresnawardhani Ruky
"Konflik interpersonal yang terjadi dalam Iingkungan kerja adalah kondisi pertentangan yang timbul antara sedikitnya dua pihak yang memiliki hubungan keterkaitan dalam pekerjaan, yang disebabkan oleh adanya perbedaan mendasar dalam persepsi masing-masing pihak mengenai tujuan, ide dan kepentingan, serta perbedaan lain yang sifatnya Iebih pribadi dan emosional. Salah satu penyebab terjadinya konflik interpersonal dalam perusahaan adalah perbedaan latar belakang budaya. Dengan semakin meningkatnya arus tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia, maka situasi-situasi multinasional alau multikultural yang rawan terhadap konflik pun akan semakin banyak tercipta. Konflik tersebut bisa bersifat fungsional maupun disfungsional bagi organisasi, yang berkaitan dengan pendekatan yang digunakan para manajer dalam menghadapi konflik, yailu pendekatan tradisional, pendekatan hubungan kemanusiaan dan pendekatan interaksionis.
Kemampuan untuk menangani konflik secara efektif merupakan salah satu keterampilan interpersonal yang penting dikuasai oleh para manajer. Terdapat beberapa gaya penanganan konflik yang merupakan cara atau metode yang cenderung diterapkan oleh individu dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya, yaitu fighting atau competitive, smoothing atau accomodating avoiding, bargaining dan problem solving atau collaborative.
Penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu studi eksploralif yang berusaha menjawab permasalahan lentang pendekatan yang digunakan oleh para manajer Indonesia dalam menghadapi konflik, dampak dari terjadinya konflik dalam suatu organisasi menurut para manajer Indonesia, faktor- faktor penyebab terjadinya konflik antara TKA dan TKI dalam suatu perusahaan, dan kecenderungan gaya penanganan konflik tertentu yang diterapkan oleh para manajer Indonesia dalam menghadapi konflik dengan atasan atau rekan kerja berkebangsaan asing. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan studi tentang konfIik dalam organisasi. Sedangkan dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi penyusunan modul yang efektif dalam pelatihan mengenai konflik dan gaya penanganan konflik dalam organisasi. Penelitian ini melibatkan 10 orang partisipan, yang seluruhnya merupakan manajer Indonesia yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Adapun metode pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik cenderung dipersepsi negatif, dengan menggunakan pendekatan tradisional terhadap konflik. Sedangkan sumber-sumber konflik interpersonal antara TKI dan TKA dalam perusahaan menurut para partisipan adalah faktor komunikasi, faktor struktur organisasi, faktor kepribadian dan faktor budaya. Dari hasil penelitian ini, tidak ditemukan suatu pola yang jelas tentang gaya penanganan konflik yang cenderung diterapkan oleh para manajer Indonesia. Namun demikian, penelitian ini memberikan hasil yang senada dengan penelitian yang dilakukan terhadap pekerja Malaysia, yang menunjukkan adanya kecenderungan penggunaan gaya penanganan konflik kolaborasi dan kompromi dengan menggunakan mediator, dan penelitian-penelitian Iain yang menemukan bahwa gaya penanganan konflik yang berorientasi pada pemecahan masalah (kolaborasi dan kompromi) pun digunakan dalam budaya kolektivistik.
Sebagai saran kiranya dapat dilakukan studi perbandingan dengan masalah serupa, yaitu konflik interpersonal antara TKI dan TKA, dengan menggunakan baik TKA dan TKI sebagai partisipan, dan dengan karakteristik TKA yang Iebih beragam serta berasal dari beberapa perusahaan. Hal ini dimaksudkan unluk memperoleh gambaran tentang permasalahan yang Iebih Iengkap. Selain itu, penelitian dapat difokuskan pada karakteristik partisipan yang Iebih heterogen, agar didapatkan data yang Iebih lengkap. Unluk itu sebaiknya jumlah partisipan dalam penelitian pun diperbesar agar dapat mewakili heterogenitas tersebut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2694
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Layyina Humaira
"Perawat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan proses pemulihan pasien. Memperhatikan dan meningkatkan kepuasan kerja sangat penting demi meningkatkan kualitas perawat. Salah satu hal yang dapat menghambat kepuasan adalah timbulnya konflik. Oleh karena itu setiap individu perlu untuk menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Ada lima macam gaya penyelesaian konflik yang dapat digunakan oleh individu, yaitu kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar, dan akomodasi.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti adanya hubungan antara gaya penyelesaian konflik dan kepuasan kerja pada perawat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan desain non-experimental dan tipe field study. Partisipan penelitian ini berjumlah 87 perawat yang bekerja di dalam sebuah rumah sakit. Kepuasan kerja diukur dengan menggunakan Minnesota Staisfaction Questionnare, sedangkan gaya penyelesaian konflik dengan menggunakan Thomas-Kilmann MODE Instrument yang telah diubah menjadi bentuk skala.
Hasil yang di dapat dari perhitungan One Way Anova adalah bahwa gaya penyelesaian konflik tidak berhubungan dengan kepuasan kerja. Sementara itu gaya penyelesaian konflik yang paling banyak dipilih oleh partisipan adalah gaya kolaborasi.

Nurses are unseparated part of the entire patient?s recovery process. To increase the quality of nurses, it is important to pay attention to job satisfaction among them. Conflict can become a block of job satisfaction. That?s why it is important for individual to use the right strategy to solve the conflict. There are five conflict resolution styles that can be used by individual; competition, collaboration, compromise, avoidance, and accommodation.
The aim of this study is to seek the correlation between conflict resolution style and job satisfaction of nurses. This research is using quantitative method, nonexperimental design, and field study. The participants of this research were 87 nurses whose work in a hospital. Job satisfaction was measured by Minnesota Satisfaction Questionnaire, meanwhile conflict resolution style was measured by Thomas-Kilmann MODE Instrument which had been change in to scale.
By using One Way Anova, the result show that conflict resolution style was not correlated with job satisfaction. In the meantime, the conflict resolution style which has been most chosen by participant is collaboration style."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
303.69 HUM h
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnain
Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Riset, 2003
303.6 ISK p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnaen
Jakarta: Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, 2004
303.6 KON (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Afrizal Azhar
"Secara garis besar penelitian ini menjelaskan tentang Konflik yang terjadi antara Etnik Batak Toba dan Mandailing berhadapan dengan Etnik Minangkabau di Kinali Kabupaten Pasaman yang meletus pada bukan Juli tahun 2000. Konflik Kinali bukan merupakan konflik agama karena pihak yang bertikai adalah orang Batak yang Kristen dan orang Mandahiling yang Islam berhadapan dengan orang Minangkabau yang juga beragama Islam. Konflik di Kinali ini disebabkan oleh beberapa faktor budaya sehingga memunculkan kurangnya toleransi dalam hubungan antar etnik, pola interaksi yang cenderung disertai dengan stereotype, prejudice, kebencian dan dendam. Pola interaksi yang buruk yang dijalani selama ini sebenarnya disadari oleh masing-masing etnik tetapi tidak ada usaha untuk melakukan konsolidasi menjadikan hubungan yang ada menjadi lebih balk lagi. Maka konflik yang masih berupa tension dan disagreement ini akhirnya pecah menjadi konflik kekerasan.
Tesis ini juga menemukan fenomena baru tentang sikap orang Batak yang tidak adaptif dalam pola hubungannya dengan kebudayaan dominan yang ada di Kinali padahal beberapa penelitian oleh para ahli sebelumnya menganggap bahwa orang Batak adaptif terhadap kebudayaan dominan. Berdasarkan basil penelitian ini, hal ini disebabkan oleh sikap diskriminatif orang Minang Kinali terhadap orang Batak dalam berbagai segi kehidupan yang mereka jalani selama ini yang akhirnya berbuah keengganan untuk membaur dan bergaul secara normal dan wajar.
Konflik Kinali juga telah menyadarkan orang dan kelompok yang bertikai tentang berbahayanya kandungan konflik yang apabila muncul dan meletus menjadi konflik kekerasan akan mendatangkan kerugian yang begitu besar kepada semua pihak. Keadaan setelah konflik membuktikan hal tersebut dimana interaksi yang terjadi diantara pihak yang pernah bertikai menunjukkan keteraturan sosial yang berlaku yang ditandai oleh sikap saling menghargai dan toleransi. Tetapi seperti dipercayai oleh para penganut teori konflik bahwa keadaan harmoni adalah sesuatu yang temporer dan konflik akan selalu muncul menyertai keadaan yang harmoni. Maka tugas kita semualah untuk mampu menjaga keadaan harmoni sehingga tidak meletus menjadi sebuah konflik kekerasan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusran Anizam
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui secara lebih mendalam dan rinci mengenai permasalahan yang ada dalam rangka konflik etnis dan bagaimana upaya penanggulangannya. Dengan demikian dapat diformulasikan strategi dan program apa yang perlu dikembangkan untuk mengendalikan konflik.
Berdasarkan basil penelitian, diketahui beberapa permasalahan dalam rangka konflik etnis, serta dapat dipilah-uraikan menjadi permasalahan yang melatarbelakangi konflik terbuka secara mendasar, permasalahan antara, dan pencetus konflik terbuka itu sendiri. Pada awalnya, beberapa masalah bersifat personal dan bukan antar komuniti etnis. Namun dalam waktu yang lama, permasalahan tersebut ibarat snow-ball, sehingga cenderung bertumpang tindih dengan intensitas yang bervariasi diantara masing-masing masalah.
Dan penelitian ini juga diketahui bahwa upaya penanggulangan yang dilakukan terhadap konflik belum optimal dan tidak efektif, sehingga membawa korban dalam jumlah yang besar pada saat konflik terbuka dan hingga kini belum dapat direhabilitasi. Demikian halnya dengan kebijakan yang koersif; selama bertahun-tahun permasalahan konflik laten yang ada di masyarakat tidak dikendalikan menjadi penggerak perubahan sosial yang konstruktif. Bahkan permasalahan semakin kompleks dan rumit untuk diselesaikan, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan memicu konflik terbuka kembali.
Oleh karenanya secara aspiratif dengan berlandaskan pada kajian konseptual, direkomendasikan beberapa strategi dan program pengendalian konflik, baik secara jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang terhadap masing-masing masalah, yang disertai dengan asumsi dan subyek yang berkompeten dalam merealisasikannya. Sehingga menjadi aplikatif bagi penanggulangan konflik etnis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>