Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156857 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitriani Kartawan
"ABSTRAK
Menjalin hubungan yang matang dengan teman sebaya, balk laki-laki maupun perempuan, merupakan salah satu tugas perkembangan individu remaja (Havighurst, dalam Rice, 1999). Namun remaja penyandang Gangguan Spektrum Autisme (GSA) masih mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, berkomunikasi dan berperilaku yang sesuai, sehingga menghadapi hambatan dalam pergaulannya, bahkan tidak dapat diterima di lingkungan sosialnya (Mesibov & Handlan, 1997). Padahai saat itu minat sosial mereka berkembang pesat dan kemampuan sosialnya juga terus berkembang (Ando & Yoshimura; Mesibov; Mesibov & Schaffer; Schopler & Mesibov, dalam Mesobov & Handlan, 1997). Oleh karena itu mereka seringkali merasa tidak bahagia (unhappiness) saat menyadari bahwa dirinya berbeda dengan teman-teman seusianya yang tidak autistik (Wing, dalam Mesibov & Handlan, 1997). Tak terpenuhinya kebutuhan mereka akan pertemanan dapat mengarahkan pada depresi dan bunuh diri (Stanton, 2001).
Tujuan dari panelitian ini adalah mengeksplorasi mengenai belief dan desire serta perilaku pertemanan pada remaja penyandang GSA. Belief dan desire merupakan mental states yang memiliki kaftan dengan perilaku (Flavell; McCormick; Wellman dalam Santrock 2004; Baron-Cohen & Sweetenham, 1997; Howiin, Baron-Cohen & Hadwin, 1999). Sedangkan perilaku sosial manusia dipengaruhi kemampuan untuk memikirkan dan memahami mental states orang lain (Shatz, dalam Lewis & Mitchell, 1994),
Masalah utama pada penelitian ini adalah: bagaimanakah belief desire dan perilaku pertemanan pada remaja penyandang GSA? Untuk menjawabnya, peneliti melakukan pendekatan studi kasus intrinsik, dengan menggali informasi lebih dalam melalui wawancara dan observasi.
Subyek Penelitian (SP) adalah seorang remaja penyandang GSA yang bersekolah di sekolah regular. Partisipan penelitian ada 4 orang, termasuk SP.
Analisa data dilakukan dengan transcribing dan coding basil wawancara dengan SP, ibunya, teman dan gurunya.

Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pertemanan SP sebagai remaja penyandang GSA memiliki ciri unik. SP sudah mampu menjalin pertemanan di sekolah. Namun belief, desire dan perilaku pertemanan SP masih terbatas pada pertemanan sesama jenis kelamin, bersifat egosentris, kurang mengandung aspek reciprocal (timbal-balik), kurang karakter intimacy dan menunjukkan masih adanya minat yang terbatas.

Peneliti juga menernukan adanya belief-desire-perilaku yang tidak koheren dalam pertemanan SP. Beliefnya mengenai ketidakharusan mengerjakan tugas bersama-sama dengan teman tidak sesuai dengan perilakunya; beliefnya mengenai gaya pakaian yang sama di kalangan remaja yang berteman koheren dengan desirenya namun tidak tercermin dalam perilakunya; beliefnya mengenai berbagi pikiran tidak selaras dengan desire-nya, namun belief tersebut koheren dengan perilakunya."
2007
T17823
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Kurnaini
"Penelitian ini ditujukan untuk menjawah pertanyaan mengenai apakah pelaksanaan program terapi perilaku dengan metoda /Ipplied Behavior- Analysis (ABA) efektif meningkatkan kemampuan anak yang menderita gangguan autisme. Autisme adalah sualu gangguan pervasif yang tcrjadi di dalam masa perkembangan yang ditandai dengan adanya hendaya dalam bidang komunikasi, intcraksi sosial, kognitif, motorik, dan poly perilaku stercotipik dimana gejala-gejala tersebut muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Aspek perilaku pada anak penyandang autisme seringkali menghambat terealisasinya potensi anak. Karma itulah maka penanganan pada anak penyandang autisme seringkali dipusatkan pada terapi perilaku. Terapi perilaku bertujuan dasar membentuk perilaku yang lehih dapat diterima di lingkungan sosial dan mengurangi perilaku yang bermasalah (lovaas, 1981). Salah satu terapi perilaku yang sangal popular adalah Applied Behavior Analyisi (ABA) yang telah diteliti terbukti dapat membantu mcmbentuk perilaku yang dapat diterirna oleh Iingkungan sosial pada anak peyandang autisme. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang mcndalam mengenai efektivitas pclaksanaan program terapi perilaku dengan menggunakan metoda Applied Behcmiour Analysis (ABA) disertai panduan materi yang meugacu pada keterampilan dasar latihan pada anak penyandang autisme oleh Maurice (1996) yang disesuaikan pada kemampuan dan perkembangan subyck yang telah menjalani terapi perilaku dengan metoda ABA selama satu setengah tahun. Karma itu pendekatan penelitian yang dipilih adalah pendekatan kualitatif. Metoda pengumpulan data yang digunakan dalam penclitian ini adalah metoda wawancara mendalam terhadap of ang ua dan terapis serta observasi terhadap anak. Dad hasil penelitian dipcroleh basil bahwa terdapat peningkatan antara kondisi sebelum subyck mendapatkan terapi perilaku dengan metoda ABA dan kondisi subyck setelah mendapatkan terapi perilaku dengan metoda ABA.
Selain itu didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan pada 3 aspek kemampuan yang diobscrvasi sclama 12 sesi pertemuan. Hasilnya adalah pada kemampuan meniru/imilasi subyek dapat melakukan gerakan menuang, memotong, mengetuk, putar tangan, berdiri, berputar, tepuk tangan, dan buka mulut. Pada kemampuan pra akademik, subyek dapat menyusun tujuh potongan bentuk menjadi gambar Benda utuh, subyek dapat mengenal ukuran bcsar dan ukuran kecil pada bendabenda idcntik yang sudah dikenalnya, dan subyek dapat menyusun 6 balok dengan susunan yang bervariatif Pada kemampuan bahasa reseptif, subyek dapat mengidentifikasi kursi, meja, lemari, pintu, TV, dan jendela, subyek dapat mengenali mama, papa, dan kiki (kakak pertama) melalui foto, dan subyek dapat mengenali anggota tubuh seperti tangan, kaki, mata, dan mulut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Levina
"Rentang gangguan bahasa pada anak penyandang aulisme cukup luas, mulai dari yang perkembangan kemampuan bahasanya sama sekali lidak berkembang sampai pada ekstrim yang lain, di mana perkembangan kemampuan bahasanya baik, lala bahasa dan pengucapan jugs baik (Wing & Gould, dalam Jordan & Powell, 1995), Anak penyandang autisme yang mengalami hambatan dalam bahasa ekspresif dan bahasa reseptif akan sulit untuk menyampaikan isi pikirannya maupun memahami kata-kata yang diterimanva. Anak penyandang aulisme yang mengalami hambalan pada area bahasa reseptif,, dapat mendengar kata-kata tetapi mereka lidak selalu memahami arti kata seperti pada anak-anak normal lainnva.
Kemampuan bahasa reseptif anak penyandang aulisme dapat ditingkatkan dengan menggunakan program Applied Behavior Analysis (ABA). Dalam program ABA, materi dasar untuk melalih kemampuan bahasa reseptif adalah kemampuan untuk memperhatikan, kemampuan untuk meniru atau melakukan imitasi, kemampuan memasangkan, kemampuan mengidentifikasi (Maurice. 1996). Setiap sesi pengajaran terdiri dari beberapa siklus dan setiap siklus terdiri dari beberapa kali trial (Puspita, 2003) . Setiap trial memiliki awal dan akhir yang jelas (Leaf & McEachin, 1999). Sebuah trial terdiri dari satu unit pengajaran yang terdiri dari komponen-komponen presenlasi dari discrirninative stimulus atau instruksi guru, respon anak , dan konsekuensi (reinforcement). Selain itu terdapat jeda waktu (interlrial interval) sebelum terapis menyajikan stimulus berikulnya (Sympson. 2005). Penilaian dilakukan setiap 10 kali anak melakukan trial untuk memudahkan menghitung persentase keberhasilan. Anak dikalakan lulus bila mampu minimal 80% benar dari keseluruhan total trial. Setiap pertemuan berdurasi 90 menit.
Setelah melakukan proses intervensi selama 3 minggu, terdapat peningkatan kemampuan subjek untuk memahami imitasi gerakan motorik kasar, Dalam hal perilaku imitasi gerakan mengangkal tangan telah melampaui kriteria keberhasilan. Perilaku imitasi gerakan tepuk tangan dan tepuk meja belum melampaui kriteria keberhasilan lelapi juga menunjukkan adanya peningkatan. Selama periode intervensi, subjek belum sepenuhnya mencapai kriteria keberhasilan gerakan imitasi motorik kasar dan halus. Dengan demikian tidak memungkinkan untuk melakukan intervensi kemampuan memasangkan dan kemampuan mengidentifikasi sebelum subjek menguasai gerakan imitasi karena untuk melatilh kemampuan reseptif lainnya, subjek harus menguasai kemampuan imitasi terlebih dahulu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ditha
"Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Agar interaksi berjalan dengan lancar dibutuhkan sikap saling memahami antara kedua belah pihak. Ketika individu memahami diri sendirilorang lain, mereka melakukan evaluasi/penilaian, yang merupakan bagian dari proses berpikir. Mereka membuat kesimpulan atau melakukan penalaran tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, diinginkan, niat, dan lain-lain, balk yang ada pada diri mereka sendiri maupun yang dialami oleh orang lain yang sedang berinteraksi dengan mereka. Sehingga interaksi dapat terjadi secara bermakna dan tujuan dari interaksi yang dilakukan dapat tercapai. Kemampuan dalam membuat kesimpulanlmelakukan penalaran tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, diinginkan, that, keyakinan, dan lain-lain, dikenal dengan istilah kemampuan mind-reading.
Kemampuan mind-reading tumbuh secara spontan dan alamiah pada masa kanak-kanak. Lain halnya dengan anak yang memiliki gangguan autis. Anak autis dikatakan mengalami mindblindness. Mindblindness adalah ketidakmampuan seseorang dalam melakukan penalaran mental stales, yaitu pemikiran, keyakinan, keinginan, niat, dan lain-lain, baik itu pada diri sendiri maupun orang lain (Baron - Cohen, Hadwin, & Howlin, 1999). Hal ini menyebabkan anak autis cenderung tidak sensitiflkurang empati pada perasaan orang lain, tidak mampu mernbayangkan apa yang diketahuildipikirkan oleh orang lain, tidak mampu memahami intensi orang lain, sulit memprediksi tingkah laku orang lain, dan lain-lain.
Ketidakmampuan anak autis dalam penalaran mental-states dapat dibantu dengan pelatihan mind-reading. Pelatihan yang dikembangkan oleh Howlin, Baron-Cohen dan Howlin (1999), terbagi atas tiga komponen. Komponen tersebut adalah pemahaman tentang informational states, pemahaman emosi dan pemahaman pura-pura (pretence). Peneliti memfokuskan pelatihan pada satu komponen saja yaitu pelatihan memahami emosi.
Anak autis mengalami kesulitan untuk memahami emosi orang lain maupun emosi din sendiri. Mereka juga memiliki keterbatasan dalam berbagi perasaan dengan orang lain. Keterbatasan dalam mengungkapkan dan memahami emosi seringkali menyebabkan anak autis mengalami kesulitan mengendalikan ekspresi emosi negatif yang sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga dapat berakibat buruk untuk anak itu sendiri dan orang di sekitamya. Selain itu respon emosi yang anak autis tampilkan seringkali tidak sesuai dengan situasi yang ada (Mash & Wolfe, 1999; Jordan & Powell, 1995).
Peneliti tertarik memfokuskan pelatihan pada pemahaman emosi karena dirasakan masaial-i emosi rnerupakan salah satu hal yang cukup signifikan dalam menghambat interaksi sosial anak autis. Diharapkan pelatihan ini dapat membantu mereka untuk lebih memahami emosi dirt sendiri maupun orang lain, dan dapat mengekspresikan emosi secara lebih tepat mendekati apa yang diharapkan oleh lingkungan.
Hasil pelatihan adalah subyek memahami perbedaan ekspresi wajah orang yang sedang mengalami emosi senang, sedih, marah dan takut, baik itu dalam bentuk foto maupun dalarn bentuk gambar skematik. la juga cukup memahami situasi-situasi yang dapat menimbulkan emosi senang, sedih, marah dan takut. Hanya saja is agak sulit membedakan antara emosi sedih dan takut. Subyek memahami jika keinginan seseorang terpenuhi maka ia akan merasa senang, begitu pula sebaliknya, jika keinginan seseorang tidak terpenuhi, maka ia akan sedih. Hanya saja jika keinginan tidak terpenuhi narnun dihadapkan oleh obyek pengganti yang juga menarik minatnya, maka subyek ragu dalam menjawab sehingga hares diingatkan lagi apa yang sebenamya ia inginkan. Subyek mengalami kesulitan untuk memisahkan antara keinginannya dengan keinginan tokoh dalam gambar. Subyek cukup memahami bahwa emosi dapat disebabkan oleh apa yang seseorang pikirkan, walaupun apa yang ia pikirkan berlawanan dengan realitas."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Kumalaningrum
"Skripsi ini membahas pola kalimat bercerita anak autis usia 8-11 tahun. Selain itu, dibahas pula jenis kalimat, penggunaan kelas kata untuk mengisi gatra, dan pemakaian konjungsi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif studi kasus pada tiga anak autis yang bersekolah di sekolah inklusi. Gambar Cookie Theft digunakan sebagai alat pancing bercerita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika bercerita, para informan sudah mampu membuat kalimat tunggal, kalimat bersusun, dan kalimat majemuk setara dengan variasi pola kalimat. Penggunaan kelas kata nomina dan verba banyak dilakukan. Konjungsi sudah dipakai untuk menghubungkan antarklausa dan antarkalimat dengan berbagai macam hubungan.

This thesis discusses the patterns of sentences to tell a child with autism aged 8-11 years. In addition, it also discussed the types of sentences, the use of the word class to fill sentence structure, and the use of conjunctions. This study uses a case study method in three autistic children who attend schools in the inclusion. Cookie Theft picture used as a stimulation to tell.
The results showed that when told, the informant was able to make direct sentences, compound sentences, and equivalent compound sentence with the variation pattern of the sentence. The use of the word classes of nouns and verbs is mostly done. Conjunctions are used to connect between clauses and between sentences with a variety of relationships.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43456
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Nasyaa Auraliesa
"Keluarga dengan anak berkebutuhan khusus seperti Gangguan Spektrum Autisme, sering dikaitkan dengan peran keluarga yang besar dalam menjaga tumbuh kembang mereka, termasuk membantu anak berkomunikasi, berinteraksi, serta melakukan aktivitas sehari-hari. Tentunya dalam membantu anak dengan spektrum autisme untuk tumbuh dan berkembang tidaklah mudah, orang tua sebagai pengasuh utama sering dikaitkan dengan kondisi psikologis yang lebih buruk dibandingkan dengan orang tua dengan anak yang normal. Saudara kandung sebagai anggota keluarga juga mengalami tingkat stress yang tinggi dalam menghadapi aktivitas sehari-hari dan juga menghadapi tekanan lingkungan sosial ketika mereka bersama saudara kandung dengan spektrum autisme. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan keberfungsian keluarga dengan distres psikologis pada saudara kandung dari anak dengan spektrum autisme. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dan menggunaka Teknik nonprobability sampling yang berhasil menyaring 136 partisipan penelitian. Keberfungsian keluarga diukur dengan Family Assessment Device (FAD) yang terdiri dari 60. Sementara distress psikologis diukur dengan General Health Questionnaire (GHQ-12) yang terdiri dari 12 item. Partisipan penelitian ini adalah 136 partisipan dengan rentang usia 18-35. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi dimensi Penyelesaian Masalah, dimensi Komunikasi dimensi Peran, dimensi Responsivitas Afektif,dan dimensi Keberfungsian Keluarga secara Umum berkorelasi negatif secara signifikan dengan  distres psikologis. Sedangkan dimensi Kontrol perilaku tidak berkorelasi dengan Distres Psikologis.

Families with children with special needs, such as Autism Spectrum Disorder, are often associated with a large family role in maintaining their growth and development, including helping children communicate, interact, and perform daily activities. Of course, helping children with the autism spectrum to grow and develop is not easy, parents as primary caregivers are often associated with worse psychological conditions than parents with normal children. Siblings as family members also experience high levels of stress in dealing with daily activities and also face pressure from the social environment when they are with siblings on the autism spectrum. Therefore, this study aimed to examine the relationship between family functioning and psychological distress in siblings of children with autism spectrum. This study used a quantitative design and used a non-probability sampling technique that successfully screened 136 participants. Family functioning was measured by the Family Assessment Device (FAD), which consisted of 60. Meanwhile, psychological distress was measured by the General Health Questionnaire (GHQ-12) which consisted of 12 items. The participants of this study were 136 participants with an age range of 18-35. The results of this study indicate that the dimensions of Problem Solving, Communication dimensions, Role dimensions, Affective Responsiveness dimensions, Affective Involvement dimensions, and Family Functioning dimensions in general have a significant negative correlation with psychological distress. While the behavioral control dimension is not correlated with Psychological Distress."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Rossiningtias
"Dating violence di kalangan remaja merupakan suatu masalah yang mempunyai dampak psikologis yang serius bagi remaja (Girls Incorporate, 2004). Perilaku agresif atau kekerasan dapat dijelaskan dengan berbagai teori, misalnya teori lasting (Lorenz, 1966) dan drive theory (Dollard, et al, 1939), namun teori-teori tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya menjelaskan perilaku agresif secara umum. Teori-teori tersebut tidak dapat menjelaskan perilaku kekerasan dalam dating violence karena merupakan perilaku agresif yang hanya ditujukan pada pasangan. Untuk menjelaskan terbentuknya perilaku kekerasan dalam dating violence lebih tepat dengan menggunakan teori social learning.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran umum dating violence yang terjadi di kalangan remaja dan memahami bagaimana remaja mempelajari kekerasan dari lingkungannya sehingga terjadinya dating violence. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk melihat gambaran umum dating violence yang terjadi pada remaja SMU dan pendekatan kualitatif untuk memahami perilaku remaja dalam dating violence.
Hasil dari kuesioner yang diisi oleh 240 siswa SMU terlihat bahwa rernaja perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi korban dan pelaku dalam dating violence, sehingga bentuk hubungan kekerasan yang terjadi adalah reciprocal. Kekerasan yang banyak terjadi adalah kekerasan emosional, dan kombinasi kekerasan fisik dan emosional. Pendekatan kualitatif digunakan untuk melihat secara mendalam proses terjadinya dating violence dengan menggunakan social learning theory. Hasil wawancara terhadap tujuh partisipan (satu laid-laid dan enam perempuan) yang kesemuanya adalah korban dan korban yang menjadi pelaku menunjukkan bahwa perilaku kekerasan tidak dipelajari dart keluarga maupun teman. Kekerasan dipelajari dalam hubungan berpacaran dimana korban meniru kekerasan dart pacamya sehingga kemudian melakukan tingkah laku kekerasan yang lama terhadap pacarnya. Reciprocal juga terjadi sebagai salah satu upaya untuk membela diri dari perlakuan pacarnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18116
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nailul Mona
"Mekanisme penularan membuat penyebaran perilaku tertentu dan ditiru di jaringan sosial. Mekanisme ini terjadi dalam dua cara, dengan kohesi dan kesetaraan struktural. Mekanisme ini juga dapat terjadi dalam perilaku bullying siswa remaja. Studi yang dilakukan pada jaringan peer group di pondok pesantren, terdiri dari enam generasi siswa SMA. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan campuran dan teknik snowball sampling dengan metode analisis jaringan sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penularan terjadi tidak hanya oleh kohesi dan kesetaraan struktural tetapi juga oleh kesetaraan struktural terbalik. Dan penularan oleh kohesi yang dominan dalam jaringan intimidasi ini.
Contagion mechanism makes certain behavior spread and imitated on social network. This mechanism occurs in two way, by cohesion and structural equivalence. This mechanism also can occur in the bullying behavior of teenage student. Study conducted on peer group network in the boarding school, consist of six generation high school student. This study using mixed method approach and snowball sampling technique with social network analysis method. The results shows that contagion occurs not only by cohesion and structural equivalence but also by reversed structural equivalence. And contagion by cohesion are dominant in this bullying network."
2016
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gendis Sekar Pitaloka
"Kualitas pertemanan yang baik merupakan hal penting untuk dimiliki oleh remaja, terutama remaja akhir. Adanya interaksi antara anak dan ayah akan meningkatkan kemampuan anak dalam menjalin hubungan pertemanan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara keterlibatan ayah dan kualitas hubungan pertemanan pada remaja akhir. Dalam penelitian ini, keterlibatan ayah diukur dengan menggunakan alat ukur Nurturant Fathering Scale dan Father Involvement Scale yang dikembangkan oleh Finley dan Schwartz 2004 , sedangkan alat ukur digunakan untuk mengukur kualitas hubungan pertemanan adalah McGill Friendship Questionnaire-Friend 39;s Functions yang dikembangkan oleh Mendelson dan Aboud 2012 . Partisipan penelitian ini adalah remaja akhir berusia 17 hingga 21 tahun N = 635 . Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keterlibatan ayah dan kualitas hubungan pertemanan pada remaja akhir. Dengan kata lain, semakin tinggi keterlibatan ayah, maka semakin tinggi pula kualitas hubungan pertemanan yang dimiliki.

A good friendship quality is important for adolescence, especially late adolescence. Interaction between father and his children will increase children rsquo s ability to develop friendship. The aim of this study was to examine the relationship between father involvement and friendship quality among late adolescence. In this study, father involvement was measured with Nurturant Fathering Scale and Father Involvement Scale developed by Finley and Schwartz 2004 , meanwhile friendship quality was measured with McGill Friendship Questionnaire Friend 39 s Functions developed by Mendelson and Aboud 2012 . Participants of this study consisted of late adolescence with aged between 17 and 21 years N 635 . This study was a correlational study which was conducted with a quantitative approach. The result of this study showed a positive and significant relationship between father involvement and friendship quality among late adolescence. In other words, the higher the father involvement, the higher their friendship quality is."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurrizka Sarah Dewi
"Kelompok pertemanan merupakan peran utama dalam perkembangan seorang remaja, karena remaja menghabiskan waktu lebih banyak bersama teman dibandingkan dengan keluarga. Akan tetapi, situasi pertemanan yang negatif seperti berada pada kelompok pertemanan menyimpang atau persepsi penerimaan teman yang rendah dapat mempengaruhi perilaku menyimpang seperti konsumsi alkohol di bawah umur. Penelitian ini merupakan follow-up study dari penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2017 dan 2018, secara spesifik bertujuan untuk memprediksi peran dari keanggotaan geng, persepsi penerimaan teman sebaya, dan jumlah uang saku terhadap perilaku konsumsi alkohol pada siswa SMA DKI Jakarta menggunakan regresi logistik. Penelitian ini menemukan bahwa hanya keanggotaan geng di tahun 2018 (B = 0,548, N = 521, p < 0,05) dan uang saku di tahun 2018 (B = 0,000, N = 521, p<0,05) dapat memprediksi perilaku konsumsi alkohol di tahun 2019.

Peer group plays as a main role in the development of adolescence, as they spend more time with friends than family. However, situation regarding friendship such as involved in deviant peer group and low perceived peer acceptance could influence deviant behavior in adolescent such as underage alcohol consumption. This study is a follow-up study of research conducted in 2017 and 2018, specifically aiming to predict the role of deviant peer group, perceived peer acceptance, and pocket money possession to adolescents alcohol consumption in high school students in DKI Jakarta. Results indicated using logistic regression that only deviant peer group in 2018 (B = 0,548, N = 521, p < 0,05) and pocket money possession in 2018 (B =0,000, N = 521, p<0,05) are able to predict alcohol consumption behavior in 2019.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>