Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135091 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Acik Veriati
"ABSTRAK
Penulisan tugas akhir ini mengenai Modul Analisis Kemampuan Psikososial Remaja Di LAPAS Anak Pria Tangerang.
Minat untuk memilih judul tulisan ini berawal dari kenyataan bahwa hak Remaja yang berada di dalam LAPAS untuk memperoleh pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik mereka belum dapat dipenuhi oleh pihak LAPAS Anak secara optimal.
Remaja yang berada di dalam LAPAS sesuai dengan tahapan usia perkembangannya memiliki sejumlah tugas perkembangan yang harus dipenuhinya agar dapat berperan sebagaimana tuntutan lingkungan masyarakatnya. Salah satunya adalah tugas perkembangan psikososial yang menempatkan remaja pada tahap identity vs identity diffusion. Keberhasilan mereka mengatasi tahapan tersebut akan sangat menentukan keberhasilan mereka pada masa depan. Hal ini belum secara maksimal dipahami oleh pihak LAPAS Anak dalam merancang dan merencanakan jenis program
pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan remaja yang menjadi warga
binaannya. Hal ini mengakibatkan banyak program pembinaan yang salah sasaran dan belum mencapai tujuan secara optimal. Ini ditunjukkan dengan masih banyak remaja yang merasa tidak memiliki kemampuan dan penguasaan ketrampilan kerja yang memadai serta belum tercapainya identitas peran (pemilihan karir, nilai-nilai hidup dan peran seksual) mereka secara optimal.
Hal tersebut agak mengherankan mengingat selama ini berdasarkan basil pengamatan, banyak program kegiatan pembinaan kemandirian dan pengembangan diri yang telah diberikan oleh LSM, yayasan, instansi atau institusi di luar LAPAS. Mestinya kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan kepada remaja yang berada di dalam LAPAS Anak Pria Tangerang untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam hal peningkatan ketrampilan dan pencapaian tugas perkembangan psikososialnya. Berdasarkan hasil konseling dan bimbingan kelompok lebih lanjut, sebagian besar remaja mengaku bahwa keikutsertaan mereka dalam suatu program kegiatan hanyalah sebagai pengisi waktu luang dan untuk menghilangkan kebosanan saja. Menurut mereka, seringkali materi dan metode program pembinaan yang ada selama ini kurang sesuai dengan kebutuhan dan kurang memberikan manfaat seperti yang mereka harapkan. Hal ini membuat mereka seringkali kehilangan minat mengikuti program kegiatan.
Masalah di atas menunjukkan bahwa ada hal yang luput dari perhatian pihak LAPAS maupun penyelenggara dalam proses perencanaan program pembinaan bagi remaja yang berada di dalam LAPAS. Mereka seringkali melupakan proses analisis terhadap kebutuhan dan karakteristik masing - masing anak didik dalam penyelenggaraan suatu program pembinaan kemandirian. Penentuan jenis program pembinaan yang diberikan pada remaja yang berada di dalam LAPAS Anak hanya berdasarkan asumsi penyelenggara atas program yang mungkin dibutuhkan mereka tanpa melihat perbedaan kebutuhan dan karakteristik mereka secara lebih jauh.
Mengingat sampai saat ini analisis kebutuhan program yang berorientasi pada kebutuhan dan karakteristik anak didik belum pemah dilakukan di LAPAS Anak Pria Tangerang, maka penulis memilih merancang suatu "Modul Analisis Kemampuan Psikososial Remaja Di LAPAS Anak Pria Tangerang" yang bertujuan untuk mengidentifikasi kemampuan psikososial remaja. Berdasarkan basil identifikasi tersebut diharapkan petugas LAPAS Anak dapat membuat perencanaan program pengembangan kemampuan psikososial yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing - masing."
2007
T17664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Hartono
"Pembinaan narapidana di Lapas dilakukan bertahap mulai dari tahap masa pengenalan lingkungan (Mapenaling) sampai dengan masa asimilasi. Pada tahap Mapenaling narapidana mempersepsikan apa yang dialaminya melalui proses penilaian tentang atribusi pengamatannya dengan menggunakan kesadarannya (kognisi). Persepsi dan tingkah laku dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu bentuk keseluruhan atau totalitas dari rangsang (emergent) dan kekuatan-kekuatan (forces) yang ada dalam lapangan psikologi (Field theory: Lewin,1914) yang saling berinteraksi dan membuat hubungan konsonan, tidak relevan dan hubungan disonan. Hubungan yang terakhir inilah yang menimbulkan perasaan yang tidak enak atau tidak senang (disonansi kognitif) yang berakibat penilaian narapidana terhadap pembinaan menjadi negatif.
Dalam tulisan ini penulis mencoba merancang program intervensi untuk mengurangi disonansi kognitif narapidana dengan menerapkan Teori Sumber Perhatian dalam Kesadaran (Conscious Attentional Resourches Theory: Festinger, 1957) yang menekankan pada proses kognisi individu. Rancangan Program Mapenaling yang diusulkan di Lapas Paledang adalah intervensi berbasis evaluasi did pada tahap Mapenaling melalui latihan meditasi dan penyusunan Buku Panduan Melakukan Evaluasi Diri. Yang menjadi pertimbangan adalah efektivitas pelaksanaan program ini dan perlunya dukungan para Pemangku Kebijakan (Stake Holder) disamping kegiatan-kegiatan lain sebagai pelengkap."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutut Jemi Setiawan
"Anak didik pemasyarakatan sebagai seorang yang sedang menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Rumah Tahanan Negara harus dibina dan dibimbing sesuai dengan peraturan yang ada agar tujuan sistem pemasyarakatan untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana lagi dapat terwujud.
Bagi anak didik, kehadiran keluarga (orangtua) dan teman-temannya sangat penting karena kondisi psikologis anak yang masih labil mempengaruhi keberadaannya dalam Lapas/Rutan. Ketidakhadiran keluarga atau peran keluarga yang tidak tergantikan dapat mengakibatkan anak didik lebih mudah cemas, bingung, dan depresi dalam menghadapi permasalahannya. Melihat kondisi tersebut, peran wall sangat penting untuk mengatasi hal tersebut.
Konsep perwalian dalam Lapas 1 Rutan adalah sebagai pengganti orangtua bagi anak didik pemasyarakatan yang dapat berbicara dari hati ke hati dan membantu permasalahannya. Oleh sebab itu, dengan adanya wali diharapkan akan mampu mengulangi perasaan terpisah anak didik dari keluarganya; perasaan bingung, frustasi, cemas, dan depresi; dan membantu memecahkan permasalahan yg dihadapi Andik. Pentingnya tugas wali tersebut menuntut adanya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki petugas wali, yg meliputi : pengetahuan tentang perkembangan dan kondisi psikologis anak, Parenting skill, dan problem solving.
Kenyataan di lapangan, perwalian belum berjalan optimal. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah kurangnya pengetahuan dan/atau ketrampilan petugas sebagai wali. Akibatnya, wali kurang mampu mendeteksi dan memecahkan permasalahan anak didik; komunikasi antara wali dan anak didik tidak berjalan dengan balk; rendahnya tingkat kepercayaan anak didik terhadap wali; dan perkembangan anak didik selama dalam Lapas I Rutan tidak berjalan dengan baik atau terjadi gangguan.
Sebagai upaya mengatasi permasalahan tersebut, penulis mengajukan program pelatihan Parent Effectiveness Training (P.E.T). Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas wali sebagai upaya mengoptimalkan peran wall dalam menunjang proses pembinaan di Lapas 1 Rutan. Adapun alasan pemilihan program pelatihan P.E.T adalah : (1) P.E.T ditujukan bagi pars orangtua agar menjadi orangtua efektif, hal ini sejalan dengan konsep perwalian yaitu agar wali menjadi pengganti orangtua bagi anak didik, sehingga dengan dibekali pengetahuan dan ketrampilan P.E.T pelaksanaan wali menjadi lebih efektif; (2) P.E.T mengajarkan ketrampilan pada orangtua dalam membantu anak mengatasi masalah-masalah emosional dan tingkah laku maladaptif, hal ini sesuai dengan keadaan di Lapas t Rutan dimana terdapat anak didik yang mempunyai masalah-masalah emosional dan tingkah laku maladaptif yang perlu dilakukan pembinaan; dan (3) Konsep inti dalam P.E.T menggambarkan keadaan dalam Lapas 1 Rutan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Yuswanto
"Penulisan Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengembangkan program pembinaan narapidana untuk mengurangi kekerasan verbal antar narapidana, dengan cara memberikan pelatihan LVE (Living Values Education) sebubungan dengan adanya pennasalahan tindakan kekerasan verbal yang dilakukan narapidana selama menjalani masa pidananya di dalam Rumah Tahanan Negara Jakarta Timur.
Teuri yang dirujuk sebagai dasar dalam pembuatan rancangan program pelatihan untuk mengurangi kekerasan fisik melalui pelatiban LVE adalah teori pembinaan narapidana, teori agresifitas, teori Kognitif, teori Cognitif behaviorisme dan teorl masa perkembangan manusia.
Analisis pemecahan masalah berangkat dari adanya sejumlah pennasalahan, permasalahan yang ada di dalam Rumah Tahanan Negara Jakarta Timur. Salah satu permasalahan yang menjadi minat untuk diselesaikan oleh penulis adalah masalah tindakan kekerasan verbal yang dilakukan narapidana. Karena biasanya dimulai dari tindakan kekerasan verbal, kemudian dapat berakibat, tindakan kekerasan fisik, kekerasan domestik, dan meluas menjadi anarkis, cacat fisik dan bahkan bisa meninggal dunia.
Sebagai salah satu langkah untuk membantu mengatasi permasalahan yang ada di Rutan, diantaranya adalah melalui pelatihan untuk mengurangi tindakan kekerasan verbal antar narapidana, dengan cara memberikan pelatihan LVE selama 6 hari kerja kepada 20 orang narapidana sebagai contoh dengan latar belakang tindak pidana dengan kekerasan. Untuk dapat terlaksananya pelatihan LVE tersebut maka dibuatlah rancangan program pelatihan LVE begi narapidana.
Program pelatihan LVE ini, sangat memperhatikan beberapa hal yang berhubungan dengan kebutuhan suatu pelatihan, seperti : identifikasi kebutuhan pelatihan, sasaran pelatiban, pelatih/instruktur pelatihan, materi, metode, alat bantu, durasi pelaksanaan, tempat pelaksanaan, biaya dan evaluasi pelatihan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramdani Boy
"Sistem Pemasyarakatan erat kaitannya dengan pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan yang dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan penjatuhan pidana. Pelaksanaan sistem hilang kemerdekaan yang berlangsung selama kurun waktu tertentu merupakan refleksi-refleksi historis dalam perkembangan falsafah Peno Koreksional dari masa ke masa. Secara singkat dapat dikatakan sejarah Pemasyarakatan memuat value oriented atau value centered, karena sistem nilai yang berlaku di masyarakat.(Sujatno, 2004).
Konsepsi pemasyarakatan ini bukan semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu sistem pembinaan, suatu methodologi dalam bidang "Treatment of Offenders" Sistem Pemasyarakatan bersifat multilateral oriented, dengan pendekatan yang berpusat pada potensi-potensi yang ada, baik pada individu yang bersangkutan maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat. Secara singkat sistem pemasyarakatan adalah konsekuensi adanya pidana penjara yang merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang kemerdekaan.(Sujatno, 2004).
Sistem pidana penjara mulai dikenal di Indonesia dalam Wet Roek Van Slmfrecht Poor Nederland Indie atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tepatnya pasal 10 yang berbunyi: Pidana terdiri atas :
(a) Pidana Pokok terdiri dari Pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan.
(b) Pidana tambahan terdiri dari : Pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim (Soesilo, 1986).
Tujuan pidana ini timbul karena adanya pandangan-pandangan yang beranggapan bahwa orang yang melakukan kejahatan adalah merugikan masyarakat, oleh karena itu dianggap sebagai musuh dan sudah sepantasnya kepada mereka dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Dalam usaha melindungi masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh pelanggar hukum, maka diambiI tindakan yang dianggap paling baik dan yang berlaku hingga sekarang, yaitu dengan menghilangkan kemerdekaan bergerak sipelanggar hukum berdasarkan putusan hakim berupa pidana penjara dan pidana kurungan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Lapas sebagai organisasi yang mempunyai tugas dan fungsi lama pentingnya dengan beberapa institusi-institusi lainnya dalam sistem peradilan pidana seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Tugas dan fungsi dari Lapas adalah melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU No. 12 tahun 1995). Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Lapas menerapkan sistem pemasyarakatan yang menjadikan metode pembinaan bagi narapidana dan anak didik.
Narapidana dan anak didik pemasyarakatan mendapatkan pembinaan selama menjalani pidana di dalam Lapas. Pada pembinaan narapidana dilakukan secara bertahap (Gunakaya, 1988), yaitu :
1. Tahap Pertama adalah dilakukan penelitian tentang diri narapidana baik mengenai sebab-sebab melakukan kejahatan, sikap, dan keadaan diri keluarga narapidana dan korban dari tindakannya, serta instansi yang menangani perkaranya seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
2. Tahap kedua, narapidana diberi tanggung jawab lebih besar karena telah memperlihatkan keinsyafan dengan memupuk rasa harga dirinya dan tata krama. Pada tahap ini, sangat ideal dimasaukan rancangan program pelatihan inokulasi stres terhadap narapidana.
3. Tahap ketiga, narapidana telah menjalani setengah dari masa pidananya dan dilakukan asimilasi dengan masyarakat luar Lapas. Terlihat adanya kemajuan baik secara fisik, mental dan juga segi keterampilan.
4. Tahap keempat atau pembinaan terakhir adalah masa pemberian pelepasan bersyarat, apabila narapidana telah menjalani dua per tiga dari masa pidananya serta telah memenuhi persyaratan administrasi dan subtantif."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T18784
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarwono
"Penelitian ini berfokus pada pelaksanaan program terapi Criminon untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan program dengan membandingkan apakah ada perubahan sebelum dan sesudah mengikuti program terapi Criminon dikaitkan dengan pencapaian tujuan khusus dan tujuan umum. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan disain deskriptif.
Dari analisis terhadap hasil wawancara, disimpulkan bahwa : Efektifitas program terapi Criminon yang dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan Klas II A Narkotika secara umum bisa dikatakan cukup efektif hal ini bisa dilihat dari pencapaian tujuan khusus dan tujuan umum.
Tujuan khusus: 1). Mampu meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi, 2). Sebagian besar memahami materi yang diberikan, 3). Peserta memahami nilai-nilai etika yang perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari 4). Memahami sifat-sifat sosial dan anti sosial, memahami prinsip golden rule, yaitu jika tidak suka orang berbuat sesuatu terhadap kita maka kita jangan melakukan terhadap orang lain.
Tujuan umum: 1). Peningkatan rasa percaya diri, 2). Selama di lembaga pemasyarakataan mampu menahan sugesti dan tidak menggunakan narkoba, 3). Tidak mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan lingkungan, 4) Berusaha menumbuhkan rasa kedisiplinan, 5). Merubah perilaku yang tidak baik kearah yang lebih baik, 6). Tumbuh rasa optimisme untuk menjalani hidup tanpa tekanan narkoba.
Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program terapi adalah 1). anggaran, 2). sumber daya manusia, 3). sarana dan prasarana. Saran-saran untuk mengatasi kendala-kendala tersebut:
1. Anggaran. Menjalin kerja sama dengan pihak ketiga.
2. Sumber Daya Manusia. Menciptakan instruktur baru.
3. Sarana dan Prasarana. Memprioritaskan adanya ruangan khusus untuk kegiatan Criminon.

The focus of this study is trying to find out how far the effectivity of Criminon Therapy Programme?s implementation by comparing the changes between before and after someone join in the programme and in relation with the achievement of special and general purpose of the programme. This study is classified as a qualitative research with a descriptive design.
Interview?s result analysis gives some conclusions that the effectivity of Criminon Therapy Programme?s implementation in Class IIA Jakarta Narcotics Prison is good enough in general and it reflects from the achievement of special and general purposes of the programme
The special purposes are (1). Able to increasing the communication skills; (2). Most of curriculum which given can be understood. (3). All participants have a good understanding of ethics values which have to implemented in daily life. (4). Able to comprehend the social and anti-social characters and also the golden-rule principle which define as if we don?t want someone do the bad things, so do not do the same things to another one.
The general purposes are (1). The increasing of self-confident. (2). Ability to resist and overcome a suggestive feeling related to narcotics using and also not using it as long as he live in prison; (3). Get no difficulties in socialize with community; (4). Trying to raise discipline; (5). Behaviour changes from bad into good ones (6). Growing up some optimism in living a life without pressure to use narcotics.
The implementation of this programme is facing some difficulties which are (1). budget (2). human resources and (3). facility. Here are some suggestions to overcome those difficulties :
1.Budget ; Collaboration with some third parties in running this programme.
2.Human Resources ; Create some new instructors.
3.Facility ; Availability of special room for Criminon activities as a top first priority."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 25419
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Aswani
"Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang menyaakan, bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan (narapidana) menjadi manusia seutuhnya baik sebagai pribadi, anggota masyarakat maupun sebagai insan Tuhan. Untuk itu suasana yang kondusif, tertib dan kesehatan jasmani dan psikologis yang terpelihara dari warga binaan pemasyarakatan merupakan sesuatu yang sangat berarti dan diharapkan olel, sebuah institusi lembaga pemasyarakatan di Iingkungan Departemen Hukum dan HAM RI. Undang-undang nomor 12 tahun 1995 telah menggariskan hak-hak yang dimiliki oleh warga binaan lembaga pemmasyarakatan, tanpa kecuali. Adapun hakhak tarsebut antara lain mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jamani. Selain itu UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 juga mencantumkan tentang Hak untuk Hidup : Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf hidupnya, hidup tenterani, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta berhak atas lingkungan hidup yang balk dan sehat.
Bunuh diri (suicide) di dalam lembaga pemasyarakatan dapat terjadi dan merupakan kasus yang paling fatal karena merupakan gangguan psikologis yang paling berbahaya dan wargabinaan yang melakukan bunuh diri dapat menimbulkan kericuhan pada teman-teman sekamarnya maupun orang-orang sekitarnya. Data yang diambil dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang bunuh din di dalam lembaga pemasyrakatan di seluruh Indonesia yang terlihat cenderung meningkat Pada tahun 2004 ada 19 kasus, tahun 2005 sebanyak 21 kasus, dan tahun 2006 dari Januari Dktober sebanyak 17 kasus.
Berdasarkan kejadian diatas maka perlu upaya identifikasi resiko bunuh diri (suicide risk) terhadap warga binaan pemasyarakatan oleh petugas kesehatan lembaga pemasyarakatan melalui pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuannya dalam memberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan fisik dan psikologis warga binaan sehingga dapat dilakukan pencegahan bunuh diri warga binaan di lembaga pemasyarakatan.
Selanjutnya Petugas kesehatan lembaga pemasyarakatan akan dapat berfungsi sebagai pintu terdepan untuk deteksi diri bunch diri dan terampil untuk melakukan prevensi dan mencegah terulangnya tindakan bunuh diri, kemudian bila menemukan warga binaan yang berisiko bunuh did akan dapat melakukan konseling psikologik dan atau merujuk warga binaan untuk tindakan medik psikiatrik.
Dengan demikian maka diperlukan upaya advokasi kepada Diijen PAS untuk pelatihan bagi petugas kesehatan lembaga pemasyarakatan agar mampu melakukan identifikasi asesmen bunuh diri, Akhirnya sangat diperlukan kerja sama dengan psikolog, pckerja sosial, konselor, psikiater dan rumah sakit untuk pelaksanaan konseling dan atau rujukan bagi warga binaan yang berisiko bunuh diri."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Kumalasari
"Kontroversi tentang pempidanaan anak terus berlangsung . Di satu sisi ada pihak yang tetap menjatuhkan pidana terhadap anak-anak yang melakukan kriminal di sisi lain ada pihak yang menganggap bahwa anak-anak yang melakukan kriminal tidaklah sepantasnya untuk dipidana melainkan harus dilakukan pembinaan.
Kenyataan menunjukkan bahwa hakim yang menangani perkara anak lebih cenderung mempidana daripada membina. Hal ini dapat di lihat dari data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa hampir 90% dari total perkara yang diajukan ke pengadilan anak dikenakan sanksi pidana (Suara Karya, 2004).
Dengan semakin meningkatnya jumlah anak-anak yang hams menjalani masa pidana di dalam Lapas Anak Pria Tangerang maka semakin penting pula peranan Lapas Anak Pria dalam melakukan pembinaan terhadap mereka. Adapun tujuan dilakukannya pembinaan agar mereka dapat menyadari kesalahan, tidak mengulangi perbuatannya untuk ke dua kalinya dan dapat diterima kembali oleh masyarakat.
Hal ini sesuai UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah, dan Batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan (selanjutnya disebut WBP) agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Pembinaan yang dilakukan di dalam Lapas meliputi pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar WBP menjadi manusia seutuhnya. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan kepada pembinaan bakat dan keterampilan agar WBP dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang babas dan bertanggung jawab (Sujatno, 2002:18).
Mereka yang berada di dalam Lapas Anak umumnya berada pada rentang usia 8 -18 tahun. Pada tahap ini mereka berada pada tahap anak-anak dan remaja. Pada tahap ini mereka lebih sering berkumpul bersama-sama dengan teman-teman sebayanya dan membentuk gang.
Keberadan mereka di dalam suatu geng merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dengan teman-teman sebayanya sehingga mereka saling meniru dan melakukan hal-hal yang dilakukan oleh teman-temannya. Dengan demikian perbuatan kenakalan yang dilakukan sebagain besar merupakan pengaruh dari teman-temannya agar mereka dapat diterirna tanpa menghiraukan apakah perbuatan yang dilakukannya baik atau buruk.
Berdasarkan sudut Pandang hukum seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya Oleh karena itu meskipun mereka masih pada tahap anak-anak mereka harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan sebagai konsekuensinya mereka harus menjalani masa pidana di dalam Lapas Anak.
Mengingat posisi mereka yang belum dewasa tetapi sudah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum membuat mereka mempunyai hak-hak khusus di dalam Lapas Anak.
Adapun hak-hak mereka di dalam Lapas (Wadong, 2000:79) adalah :
1. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan;
2. mendapatkan perawatan baik jasmani mapun rohani;
3. mendapatkan kesempatan sekolah;
4. menerima kunjungan;
5. mendapatkan pengurangan masa menjalani pidana (remisi).
Aspek utama yang lebih ditekankan dalam pembinaan di dalam Lapas Anak adalah pada aspek kepribadian, salah satunya adalah pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) yang dilakukan dalam bentuk pendidikan formal mapun non-formal.
Pendidikan non-formal dapat diselenggarakan melalui kesempatan untuk memperoleh informasi seluas-luasnya dari luar misalnya membaca majalah atau koran, menonton TV, mendengarkan radio dan sebagainya.
Untuk mengejar ketinggalan di bidang pendidikan formal diupayakan Cara belajar melalui program kejar paket A (setara dengan Sekolah Dasar), kejar paket B (setara dengan Sekolah Menengah Pertama), dan kejar paket C (setara dengan Sekolah Menengah Atas) (Sujatno, 2004.19).
Narapidana meskipun mereka kehilangan kemerdekaannya namun mereka tetap dapat menjalankan kehidupan sehari-hari mereka di dalam Lapas. Dalam arti hilangnya kemerdekaan bukan berarti hilang pula hak-hak mereka yang lain dalam hal ini adalah kesempatan untuk mempero[eh pendidikan.
UUD 1945 Pasal 31 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pengajaran (pendidikan). UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III ayat 5 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Terlaksananya pendidikan di dalam Lapas Anak bukan suatu hal yang mudah mengingat latar belakang keberadaan mereka di dalam Lapas Anak yang berbeda-beda dengan tingkat kemampun yang berbeda-beda pula. Berdasarkan hal ini maka perlu dilakukan program pembinaan yang berbeda-beda dengan program pembinaan pada umumnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18785
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Runturambi, Arthur Josias Simon
Bandung: CV Lubuk Agung, 2011
340.06 JOS s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Triana Hapsari
"Implikasi penjatuhan pidana menimbulkan permasalahan tersendiri bagi anak yaitu hidup tanpa kehadiran orang tua atau keluarga. Peristiwa ini sangat merugikan proses perturnbuhan kepxibadiannya. Disebutkan dalam UU bahwa para andikpas harus dijamin hak-haknya agar dia dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang mempunyai harkat dan martabat Serta mampu mengelola masa depannya. Salah satu hak yang harus dipenuhi oleh pihak LPA adalah hak atas lingkungan keluarga dan perawatan alternatif. Salah satu wujudnya adalah hak untuk mengeluhkan masalah yang dihadapi Melihat kondisi ini maka, Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Surat Edarannya nomor KP.10.13/13/1 tanggal 10 Mei 1973 menetapkan peraturan bahwa para petugas pemasyarakatan di LPA berperan untuk menjadi wali sebagai pengganti orangtua dan kawan bagi andikpas dalam Lapas. Tujuan dari pembentukan sistem perwalian ini adalah diharapkan para andikpas memiliki tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Sehingga kerisauan dan tekanan yang dialami selama menjalani masa hukumannya dapat disalurkan dan ditemukan pemecahannya secara tepat.
Berdasarkan hasil observasi, diskusi, dan kuesioner maka penulis menyimpulkan bahwa sistem perwalian ini berjalan kurang optimal dikarenakan banyaknya hambatan yang dialami para wali tersebut, antara lain : kurangnya kesadaran dan pemahaman mengenai tugas dan fungsinya sebagai wali, kurangnya pengetahuan mengenai tahap-tahap perkembangan anak dan kurangnya keterampilan sebagai wali. Oleh karena itu penulis mencoba untuk membuat program pelatihan sebagain upaya untuk meningkatan kompetensi petugas wali melalui metode Parenting Skills Workshop Series (PSWS) di LPA Pria Tangerang."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17791
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>