Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115309 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andryansyah
"ABSTRAK
Perusahaan angkutan kereta api di Queensland-Australia pada saal ini mencoba mengaplikasikan baja tahan karat feritik 5CR12(H.T.) sebagai bahan bak angkut batubara. Permasalahan yang dihadapi adalah adanya batasan masukan panas maksimum per pass sebesar 1 kj/mm untuk pengelasan baja tahan karat feritik sesuai standar AS 1554.6 tentang pengelasan struktur baja. Batasan ini boleh dilampaui jika telah dilakukan pengujian terhadap prosedur pengelasan yang akan digunakan, dengan hasil yang memenuhi persyaratan standar di atas. Dengan dapat dilampauinya batasan tersebut diharapkan faktor ekonomis proses pengelasan dapat ditingkatkan. Untuk itu dilakukan penelitian ini, dengan judul Studi Pengaruh Masukan Panas Pada Proses Pengelasan Baja Tahan Karat Feritik 5CRI2(H.T.).
Pada penelitian ini dilakukan pengujian dengan memberikan masukan panas dari 0,45 kj/mm hingga 1,15 kj/mm, pada pelat dengan ketebalan 5mm. Harga batas maksimum ini ditetapkan berdasarkan adanya penembusan yang berlebih (excessive penetration), bila digunakan masukan panas yang melewati harga tersebut.
Dari pelat-pelat uji hasil pengelasan yang didapat, dilakukan pemotongan, permesinan, pengampelasan dan etsa, yang dilanjutkan dengan pengujian terhadap spesimen-spesimen tersebut. Pengujian yang dilakukan meliputi: uji tank, uji tekuk, uji kekerasan, uji struktur makro dan uji struktur mikro.
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah: (a) Pengelasan dengan menggunakan masukan panas antara 0,45 kJ/mm hingga 0,645 kj/mm tidak menghasilkan penetrasi yang penuh, (b) kekuatan tank, keuletan transversal, dan kemulusan (soundness) daerah terpengaruh panas setelah pengelasan dengan menggunakan masukan panas antara 0,67 kJ/mm hingga 1,15 kJ/mm masih dalam batasan yang diijinkan, (c) kekerasan maksimum setelah pengelasan pada daerah terpengaruh panas, dengan menggunakan * masukan panas yang berbeda, mendekati harga yang sama sebesar 300 HV, (d) Lebar daerah terpengaruh panas bergantung pada besarnya masukan panas yang diberikan, (e)
terjadi pembesaran butir yang sangat besar pada daerah dekat batas fusi dari daerah terpengaruh panas, (f) kelurusan kawat las pada proses pengelasan otomatis sangat berpengaruh terhadap hasil sambungan."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajria Azzahra Maharani
"Bahan interkoneksi solid oxide fuel cell (SOFC) yang paling unggul adalah baja tahan karat feritik (ferritic stainless steel). Namun, terdapat masalah dalam penggunaan baja tahan karat feritik sebagai bahan interkoneksi, yaitu terbentuknya lapisan Cr2O3 yang akan menghasilkan spesies gas Cr(VI), di mana ini akan menurunkan kinerja SOFC. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibutuhkan lapisan pelindung spinel berbahan NiFe untuk menekan pertumbuhan Cr2O3. Penelitian ini membahas pembentukan fasa spinel dan oksida dari lapisan NiFe dan NiFeCu yang dibentuk dengan proses mechanical alloying paduan lapisan, spark plasma sintering (SPS), perlakuan panas, dan oksidasi. Pembentukan fasa dan struktur kristal diamati dengan x-ray diffraction (XRD). Struktur mikro diamati menggunakan scanning electron microscope dan electron dispersive x-ray (SEM-EDX). Setelah proses SPS, dihasilkan beberapa fasa dari XRD diantaranya Fe-Cr, Fe-Ni pada lapisan NiFe, Fe-Ni-Cu pada lapisan NiFeCu serta beberapa fasa oksida (FeO dan Fe3O4). Fasa oksida terbentuk akibat proses mechanical alloying dilakukan dalam keadaan tidak vakum dan penggunaan temperatur tinggi pada SPS mendorong terjadinya oksidasi. Perlakuan panas atau heat treatment meningkatkan tingkat kompaksi antara substrat dan pelapis pada sampel sebelum dioksidasi. Doping Cu mampu meningkatkan kerapatan fasa Fe-Ni(-Cu) atau area terang pada paduan di lapisan. Fasa spinel Fe2NiO4 terbentuk setelah uji oksidasi pada temperatur 800C selama 100 jam, diikuti dengan fasa Fe2O3. Perlakuan panas dan doping Cu menghasilkan lapisan oksida Fe2O3/Fe3O4 pada lebih merata dan seragam. Perlakuan panas dapat meningkatkan resistansi oksidasi lapisan NiFeCu setelah oksidasi, ditandai dengan adanya pori pada lapisan oksida yang dihasilkan.

The most superior solid oxide fuel cell (SOFC) interconnect material is ferritic stainless steel. However, there is a problem in using ferritic stainless steel as an interconnection material, namely the formation of a layer of Cr2O3 which will produce Cr(VI) gas species, which will reduce SOFC performance. To overcome this problem, a protective layer of spinel made from NiFe is needed to suppress the growth of Cr2O3. This research discusses the formation of spinel and oxide phases from NiFe and NiFeCu layers formed by mechanical alloying of coating alloys, spark plasma sintering (SPS), heat treatment, and oxidation. Phase formation and crystal structure were observed by x-ray diffraction (XRD). The microstructure was observed using a scanning electron microscope and electron dispersive x-ray (SEM-EDX). After the SPS process, several phases were produced from XRD including Fe-Cr, Fe-Ni in the NiFe layer, Fe-Ni-Cu in the NiFeCu layer and several oxide phases (FeO and Fe3O4). The oxide phase is formed as a result of the mechanical alloying process carried out in a non-vacuum state and the use of high temperatures in SPS encourages oxidation. Heat treatment increases the degree of compaction between the substrate and the coating on the sample prior to oxidation. Cu doping can increase the density of the Fe-Ni(-Cu) phase or the bright area of ​​the alloy in the coating. The Fe2NiO4 spinel phase was formed after an oxidation test at 800°C for 100 hours, followed by the Fe2O3 phase. Heat treatment and Cu doping resulted in a more even and uniform layer of Fe2O3/Fe3O4 oxide on it. Heat treatment can increase the oxidation resistance of the NiFeCu layer after oxidation, indicated by the presence of pores in the resulting oxide layer."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Sujana
"Didalam tesis ini, laku panas feritik nitrokarburisasi dengan reaktor fluidised bed telah dilakukan pada temperatur 570 °C dengan menggunakan campuran gas yang mengandung LPG dan C02, serta menghasilkan lapisan kompon Fe23 (N,C) dan Fe4 (N,C) dengan ketebalan 3,03 - 39,26 p.m.
Pengaruh parameter proses yaitu komposisi gas dan waktu proses diteliti pengaruhnya terhadap karakteristik lapisan kompon yang terbentuk pada baja karbon AISI 1040 dan baja paduan AISI 4140. Hasil penelitian menunjukan variasi komposisi gas yang mengandung LPG menghasilkan ketebalan yang lebih rendah dibandingkan variasi gas yang mengandung CO2. Disamping itu zona difusi yang terbentuk pada atmosfir yang mengandung CO2 lebih besar dibandingkan dengan yang mengandung LPG.
Komposisi substrat mempengaruhi karakteristik lapisan yang terbentuk yaitu, baja AISI 4140 memberikan ketebalan lapisan yang lebih rendah dibandingkan baja AISI I040. Kesetabilan fasa c lebih baik pada atmosfir yang mengandung LPG, juga pada permukaan substrat baja AISI 4140.
Porositas dan sementit dapat terbentuk bila waktu nitrokarburisasi diperpanjang sampai 5 jam. Terbentuknya sementit pada baja AISI 4140 merendahkan ketebalan lapisan dan ini tidak terjadi pada baja AISI 1040. Hasil penelitian juga mengkonfirmasikan ketahanan aus meningkat akibat terbentuknya lapisan kompon baik pada baja AISI 1040 maupun pada baja AISI 4140. Tetapi dengan terbentuknya sementit dan porositas pada lapisan kompon, menurunkan sifat mekanisnya, sehingga kekerasan permukaan lapisan kompon dan ketahanan ausnya menurun.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa parameter proses yang paling sesuai untuk baja AISI 1040 dan baja AISI 4140 adalah dengan menggunakan komposisi gas 50% NH3, 49% N2 dan 1% LPG atau 50% NH3, 47% N2 dan 3% C02, dengan waktu roses 4."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Geraldo Joseph Frideandra
"Perilaku korosi dari baja tahan karat duplex 2205 dan feritik 410s diamati dalam berbagai konsentrasi larutan sodium klorida. Rangkaian pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Electrochemical Impedance Spectroscopy pada suhu ruang. Metode ini dilakukan untuk mengamati impedansi dari material uji. Konsentrasi larutan klorida disiapkan dengan variasi 1, 2, 3, 4 dan 5 w.t. Hasil pengujian terhadap kedua sampel menyatakan bahwa sistem dengan ketahanan korosi paling rendah adalah sistem yang menggunakan 3,5 w.t sodium klorida, yang serupa dengan kandungan klorida air laut. Hasil pengujian juga menyatakan bahwa baja tahan karat duplex 2205 secara umum lebih tahan korosi dibandingkan dengan feritik 410s pada setiap konsentrasi klorida.

Corrosion behaviour of SS 2205 and SS 410s were investigated in various concentrations of aqueous sodium chloride solutions. Experimental work was carried out by using electrochemical impedance spectroscopy method at room temperature to evaluate the impedance of the system. Sodium chloride solutions were prepared with various concentration i.e. 1, 2, 3.5, 4 and 5 w.t. The testing results were represented by Nyquist plot for both alloys. It was observed that the lowest corrosion resistance of both alloys was at 3,5 w.t NaCl which was similar to typical seawater solution. It was also observed that SS 2205 had better corrosion resistance along with greater impedance than the SS 410s in every NaCl concentration."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Maulidya
"Austenit sisa bersifat metastabil pada suhu ruang sehingga dapat bertransformasi menjadi martensit sehingga menyebabkan delayed crack, yang terjadi setelah beberapa lama proses produksi, pada bucket tooth excavator dengan material baja HSLA. Penelitian ini berfokus pada proses perlakuan panas yang dilakukan, yaitu pada tahapan austenisasi. Austenisasi dilakukan pada temperature 926°C dengan variable waktu tahan 28 menit, 43 menit, 58 menit, dan 73 menit. Sampel pengujian awalnya berupa keel block hasil normalisasi temper, yang kemudian dipotong menjadi balok dengan dimensi 4x1x4 cm. Karakterisasi dilakukan pada sampel as-QTT dan setelah ditempering, dimulai dari pengamatan struktur mikro menggunakan mikroskop optic dan Scanning Electron Microscope (SEM), serta pengujian kekerasan mikro (microvickers) dan kekerasan makro (Rockwell C). Setelah diamati, diperoleh bahwa sampel baja as-QTT memiliki struktur mikro yang didominasi oleh tempered martensit, namun ditemukan juga keberadaan lower bainite dan sejumlah kecil austenite sisa. Semua variabel temperatur tempering menghasilkan bentuk struktur mikro yang sama, namun memiliki presentase austenite sisa yang berbeda-beda. Seiring bertambahnya waktu tahan austenisasi, ukuran butir dan martensite menjadi semakin kasar. Kekerasan baja mengalami peningkatan seiring bertambahnya waktu austenisasi yaitu dari 486 HV menjadi 522 HV pada waktu tahan 58 menit, lalu menurun menjadi 450 pada waktu tahan 73 menit.

ABSTRACT
Retained Austenite is metastable at room temperature so that it can be transformed into martensite, causing delayed cracks, which occur after a long time of the production process, on bucket tooth excavators with HSLA steel material. This research focus on the heat treatment process carried out, especially in the austenitizing stage. Austenitizing was carried out at a temperature of 926°C with a variable holding time of 28 minutes, 43 minutes, 58 minutes, and 73 minutes. Initially the test sample was a tempered normalized keel block, which was then cut into blocks with dimensions of 4x1x4 cm. Characterization is carried out on as-QTT samples and after tempering, starting from observing microstructure using optical microscopy and Scanning Electron Microscope (SEM), as well as testing micro hardness (microvickers) and macro hardness (Rockwell C). After observing, it was found that the as-QTT steel sample had a micro structure dominated by tempered martensite, but the presence of lower bainite and a small amount of remaining austenite was also found. All tempering temperature variables produce the same microstructure, but have different residual austenite percentages. As the austenisation holding time increases, grain size and martensite become increasingly coarse. The hardness of steel has increased with increasing austenisation time from 486 HV to 522 HV at 58 minutes holding time, then decreased to 450 at 73 minutes holding time.
"
2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henry Pahlevi
"Penggunaan material baja cetakan (die steels) terutama dalam pembuatan komponen-komponen peralatan dalam industri manufaktur. Cetakan berfungsi sebagai wadah atau tempat untuk membuat benda/komponen dengan bentuk dan bahan tertentu yang sesuai dengan profit cetakannya. Saat ini kehanyakan produk yang ada masih merupakan barang yang didatangkan dari luar negeri (impor). Oleh karena itu penelitian ini akan menekankan pada pengembangan dan fabrikasi baja cetakan untuk keperluan industri manufaktur melalui proses pengecoran (foundry route). Material cetakan yang digunakan sebagai acuan adalah baja SKD 61(AISI H 13) yang umum dipakai proses die casting dan baja Stavac (AISI 420 modification) yang hiasa dipakai sebagai cetakan pada plastic injection.
Penelitian ini melputi perencanaan dan pembuatan bakalan cetakan dengan proses pengecoran yang meliputi perencanaan peleburan dan pengecoran (melting and casting design) yang meliputi pembuatan pola (pattern), pembuatan cetakan pasir dan penentuan material balance. Selain itu akan dilihat pengaruh perlakuan panas terhadap kekerasan, ketangguhan dan struktur mikro yang terbentuk. Perlakuan panas yang diberikan berupa annealing pada suhu 770° C untuk Stavac dan 850° C untuk SKD 61 yang dilanjutkan proses auslenisusi pada suhu 1010° C yang didahului preheat 650° C untuk kedua feats bakalan cetakan dengan menggunakan media udara untuk pendinginan. Proses selanjutnya berupa tempering pada suhu 200, 300, 500, 550, dan 600° C. Masing-masing proses menggzrnakan waktu tahan selama 1jam, kecuali pada preheat proses austenisasi selama 30 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan yang dihasilkan bakalan cetakan Stavac relatif sama dengan produk impor. Kekerasan tertinggi terjadi pada temper 550° C. Pada SKD 61 kekerasannya relat f lebih rendah yang disebabkan kadar karbon yang dihasilkan lebih rendah dan target. Kekerasan tertinggi untuk SKI) 61 terjadi pada temper 500° C. Ketangguhan kedua jenis bakalan cetakan melalui foundry route relatif lebih rendah dart produk impor yang disebabkan perbedaan poses pembuatan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
T5564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apriyan Tri Kusuma
"Ketahanan Korosi Sumuran pada 2205 Duplex Stainless Steels, ditentukan dengan uji elektrokimia dengan kadar 1 berat, 2 berat, 3,5 berat, 4 berat, 5 berat larutan NaCl dan 100ppm, 150ppm, 200ppm, 250ppm amonium molibdat pada 3,5 berat larutan NaCl. Hasilnya menunjukkan bahwa Baja tahan karat Duplex pada Larutan NaCl 3,5 berat memiliki ketahanan korosi yang paling rendah, diikuti oleh 4 berat, 5 berat, 2 berat, 1 berat. Sedangkan 100ppm, 150ppm, 200ppm, 250ppm amonium molibdat ditambahkan ke 3,5 berat larutan NaCl dan ditunjukkan bahwa penambahan amonium molibdat dapat meningkatkan Ketahanan pitting pada baja tahan karat Duplex 2205 pada larutan NaCl 3,5 berat.

Pitting Corrosion resistance of 2205 Duplex Stainless Steels, determined by electrochemical test at 1 wt, 2 wt, 3.5 wt, 4 wt, 5 wt of NaCl Solution and 100ppm, 150ppm, 200ppm and 250ppm of amonium molybdate at 3.5 wt of NaCl Solution has been investigated. The result show that Duplex Stainless Steels at 3.5 wt NaCl Solution had the most suspectible to pitting, followed by 4 wt, 5 wt, 2 wt, 1 wt. The 100ppm, 150ppm, 200ppm and 250ppm of amonium molybdate added to 3.5 wt NaCl Solution and its was shown that the addition of ammonium molybdate can increase pitting potential and reduce suspectibility on pitting of 2205 Duplex Stainless Steels at 3.5 wt NaCl solution."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
T49074
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Widiyono
"Telah dilakukan pengelasan pada Baja tahan karat austenitik AISI 304 yang mempunyai komposisi C = 0.051 %, Cr = 18,470 % , Si = 0,370 % Mn = 1,340 % , P = 0,029 %, S = 0,03 % , Ni = B.080 % dan Fe = 71,63 % dengan menggunakan las busur TIG. kemudian diberi perlakuan panas sampai 1050 °C selama 1 jam dan didinginkan dengan tiga parameter jenis media pendingin, yaitu udara, oli dan air, selanjutnya dilakukan uji sifat mekanis ( uji tarik, uji kekerasan, uji banding), uji metalografi, uji fraktografi dan uji korosi.
Berdasarkan hasil rata-rata uji tarik, untuk media pendingin udara. kekuatan tarik 52,32 kg/mm`, kekuatan luluh 24,03 kg/mm dan regangannya 48,65 %, untuk media pendingin obi, kekuatan tarik 52,22 kg/me`, kekuatan luluh 25,79 kg/mm- dan regangannya 43,63%, sedangkan untuk media pendingin air, kekuatan tarik 53,21 kg/mmi, kekuatan luluh 26,82 kg/ mm" dan regangannya 42,89%. Pada hasil uji kekerasan rata-rata untuk media pendingin udara, kekerasan yang tertinggi 150,3 Hv dan yang terendah 134 Hv, untuk media pendingin oli, kekerasan yang tertinggi 153 Hv dan yang terendah 137 Hv, untuk media pendingin air, kekerasan yang tertinggi 156.3 Hv dan yang terendah 140,8 Hv. Sedangkan hasil rata-rata dari uji korosi, untuk media pendingin udara, laju korosi pada daerah las 1,453 mpy, daerah HAZ dan logam induk 2,726 mpy, untuk media pendingin oli, laju korasi pada daerah las 1,14 mpy, daerah HAZ dan logam induk 1,4B mpy, untuk media pendingin air, laju korosi pada daerah las 0,656 mpy, daerah HAZ dan logam induk 1,103 mpy.
Berdasarkan hasil di atas dan jugs pengamatan dari hasil uji bending, uji metalografi, uji fraktografi, diketahui bahwa media pendingin air relatif lebih baik daripada media pendingin oli maupun udara."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handoko
"Dalam pengelasan antara baja karbon rendah dengan baja tahan karat banyak ditemukan masalah. Namun demikian di lapangan sering ditemui kondisi yang memaksa harus dilakukan pengelasan antara kedua baja tersebut, seperti pada peralatan atau konstruksi untuk tekanan tinggi, untuk pemakaian suhu tinggi atau lingkungan korosif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh masukan panas terhadap sifat mekanis sambungan las antara baja karbon rendah dengan baja tahan karat. Bahan yang digunakan adalah baja karbon rendah ST 41 Kelas E (BKI) dan baja tahan karat AIS1 304. Teknik pengelasan yang digunakan adalah las busur listrik menggunakan kawat las AWS E 309 denganvariasi masukan panas. Pengujian sambungan las meliputi uji tarik, uji tekuk, uji kekerasan dan metalografi. Dari penelitian ini diperoleh kuat tarik yang hampir sama yaitu sekitar 49,30 Kg/mm2 pada masukan panas 7291 - 6742 Joule/Cm dengan keuletan sekitar 27.97 %. Kegagalan uji tekuk terjadi pada masukan panas 7291 Joule/Cm dan 6742 Joule/Cm. Kekerasan rata-rata sebesar 299,9804 Hv dicapai pada logam las bagian atas dengan masukan panas 6742 Joule/Cm. Uji metalografi dengan mikroskop optik dan SEM-EDAX menunjukkan bahwa struktur mikro HAZ - baja tahan karat mengalami presipitasi karbida serta terbentuk retak pada struktur perbatasan antara logam las dengan baja karbon rendah. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masukan panas yang besar menghasilkan kuat tarik dan elongasi yang hampir sama dan lebar HAZ yang lebih besar, sebaliknya masukan panas yang kecil menghasilkan nilai kekerasan yang tinggi.

There are many problems encountered in welding mild and stainless steels. However there are many conditions forcing to weld between those steels., for instance in high pressure, high temperature or corrosive environmental condition. The purpose of this research was to study the influence of heat input on the mechanical properties of weld joint between low carbon steel and stainless steel. In this research low carbon steel ST 41 class E (BKI) and stainless steel AIS1 304 were used. Different heat inputs were applied by SMAW process and the welding electrodes used were AWS E 309 type. The tests of weld joint include tensile test, bending test, hardness test and metalography. The results show that the average tensile strength is of 49,30 Kg/mm2 obtained based on heat input 7291 and 6742 Joule/Cm with elongation of 27,97 %, The failure of bending test occured for heat input at 7291 Joule/Cm and 6742 Joule/Cm. The heat input of 6742 J/Cm gives an average hardness values about 299,9804 Hv. The metalographic examination with microscope optical and."
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 1999
JIRM-1-3-Des1999-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>