Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3714 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zulkarnain Barasila
"Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efikasi kombinasi phormoterol/budesonid turbuhaler dengan kombinasi nebulisasi salbutamoi/ipratropium bromid. Pengobatan utama asma akut adalah inhalasi agonis fa kerja singkat. Pasien asma saat ini menggunakan 2 obat, untuk pelega dan pengontrol. Saat ini sudah ada inhaler berisi kombinasi agonis- kerja lama onset cepat dan konikosteroid. Kombinasi ini bisa digunakan untuk pengontrol dan pelega. Uji klinis acak terbuka dilakukan pada 76 pasien berusia anlara 12 - 60 tahun yang datang ke RS Persahabatan dengan skor asma 8 - 12. Pasien lersebut dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing 38 pasien. Kelompok pertama mendapat kombinasi formoterol/budesonid 4,5/160 {lg turbuhaler (kelompok T), kelompok kedua mendapat kombinasi nebulisasi salbutamoi/ipratropium bromid 2,5/0,25 mg (kelompok N). Setiap kelompok mendapat inhalasi tiap 20 menit, total 3 kali pemberian. Tidak ada perbedaan bermakna padajenis kelamin, tinggi dan berat badan, APE awal dan skor asma awal antar kedua kelompok. Tampak peningkatan APE dan penurunan skor asma yang bermakna pada tiap kelompok, namun perubahan ini tidak berbeda bermakna antar kedua kelompok pada tiap interval waktu yang diamati. Efek samping, nyeri tenggorok, tremor, berdebar, terjadi pada kedua kelompok namun hanya ringan. Satu pasien pada kelompok T mengalami 3 efek samping sekaligus, 5 lainnya hanya tremor. Enam orang pada kelompok N hanya mengalami tremor. Kombinasi formoterol/budesonid turbuhaler dan kombinasi salbutamoi/ipratropium bromid nebulisasi secara klinis tidak berbeda bermakna dalam mengobati asma akut sedang, namun kombinasi salbutamoi/ipratropium bromid nebulisasi memiliki efek samping lebih ringan. (Med J Indones 2006; 15:34-42).

The aim of this study was to compare efficacy combination of phormoterol/budesonide turbuhaler vs. salbutamoi/ipratropium bromide nebulization. Main therapy for acute asthma is inhaled short acting ^2-^Sonist. Asthma patients are using two drugs, controller and reliever. Recently there is device-containing combination of long-acting p2-ugonist with rapid onset and corticosteroid. This combination can act as reliever and controller. An opened randomized clinical trial of 76 patients between the ages of 12 and 60 years presenting to Persahabatan Hospital with asthma score between 8-12 participated in this study. After initial evaluation, patients were divided into two groups. Thirty-eight patients were administered combination offonnaterol/budesonide 4.5/160 {lg via turbuhaler (T-group) every 20 minutes, total of three doses, and another 38 of salbutamoi/ipratropium bromide 2.5/0.25 mg via nebulizer (N~group) also with the same manner. There were no statistical difference in sex, mean age, high, weight, initial PEFR, and asthma score between two groups. The significant increased of PEFR and decreased of asthma score were observed in both groups. However, there were no significant difference of PEFR and asthma score between the two groups within every time-interval. Adverse events were mild including hoarseness, tremor and palpitation. Of T-group, 1 subject was suffered from 3 adverse events simultaneously (hoarseness, tremor and palpitation), 5 subjects were only tremor. Of N-group, all 6 subjects were only suffered from tremor. A combination of formoterol/budesonide turbuhaler and a combination of nebulized salbutamoi/ipratropium bromide are clinically equivalent for treatment moderate acute asthma. However, nebulized salbutamoi/ipratropium bromide had less adverse effects. (Med J Indones 2006; 15:34-42)."
Depok: Medical Journal of Indonesia, 15 (1) January-March 2006: 34-54, 2006
MJIN-15-1-JanMarch2006-34
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Allen Widysanto
"Parameter yang menilai derajat asma dan asma kontrol saling tumpang tindih secara bermakna. Walaupun terjadi korelasi antar parameter namun tidak ada satu komponen tunggal yang dapat secara akurat mengklasifikasikan setiap individu penyandang asma. Beberapa alat ukur berupa kuesioner yang telah divalidasi, seperti Asthma Control Test ( ACT ), Asthma Control Scoring System ( ACS ) dan Asthma Control Questionnaire (ACQ ) telah dipublikasi saat ini, namun belum dilakukan perbandingan antar kuesioner tersebut.
Asthma Control Test adalah suatu kuesioner yang berisi 5 pertanyaan dan dapat diisi sendiri oleh penyandang asma. Lima pertanyaan tadi mencakup frekuensi gejala, pembatasan aktiviti, penggunaan obat pelega, dan persepsi sendiri mengenai kontrol asma. Asthma Control Scoring System adalah suatu kuesioner yang sifatnya kuantitatif dan berisi 3 parameter yaitu gejala klinis, fungsi paru ( VEP1 ) dan persen eosinofil pada sputum induksi. Khusus parameter eosinofil disebut sebagai parameter opsi pada kuesioner ini. Kantrol asma dihitung berdasarkan skor 0-100% untuk tiap pertanyaan.
Tujuan penelitian adalah untuk menilai hubungan antara ACT dan ACS pada penderita asma persisten baik sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi. Disain penelitian yang digunakan adalah kohort dan pengumpulan sampel dilakukan secara quota di poli paru RSUD Dr Moewardi, Surakarta. Jumlah sampel yang diteliti sebesar 32 orang yang seluruhnya tergolong dalam asma persisten. Janis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang (34%) dan perempuan 21 orang (66% ). Sampel yang termasuk derajat asma persisten ringan sebesar 17 orang ( 53% ), asma persisten sedang 14 orang ( 44%) dan asma persisten berat 1 orang (3% ).
Tidak ada korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi dengan koefisien kesepakatan (x) : 0, 06, p : 0, 86. Sebaliknya, korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan korelasi sedang yang bermakna (K: 0,56; p : 0,001 ). Perbedaan rata-rata skor ACT balk sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi adalah bermakna ( p : 0,001 ), sedangkan hasil yang sama juga diperlihatkan pada perbedaan rata-rata skor ACS baik sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi ( p : 0,001 ). Cut off point ACS sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi sebesar 60%.
Kesimpulan : Hasil menunjukkan bahwa terdapat korelasi sedang dan bermakna pada penilaian skor ACS dan skor ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi pada cut off point ACS sebesar 60%.

The individual parameters to define asthma severity and asthma control overlap significantly. Although correlation exists between the various parameters, no single component can accurately classify the entire individual. Validated measures, such as ACT, ACS, ACQ, for assessing asthma control are now available, but no comparison between the existing measures has been performed. Asthma Control Test is a five item self administered survey, scored from 0-5 points and only assessed asthma control from symptom frequency, activity limitation, rescue medication and self-perception of control.
Asthma Control Scoring System is a quantitative measure of asthma control incorporating 3 parameters (respiratory symptoms, FEV, and percentage eosinophit in induced sputum as an option parameter). Asthma score is quantified based on 0-100% for each component.
The purposes of this study were to assess the correlation between ACT and ACS in persistent asthmatic patients either before of after inhaled corticosteroid (ICS) treatment. The study design was cohort study and the sample was collected by quota sampling. A total of 32 patients (male 11 persons (34%) and female 21 persons (66%)) which was diagnosed as persistent asthma fulfilled the criteria of this study. Samples were categorized as mild persistent asthma (53%), moderate persistent asthma (44%) and severe persistent asthma (3%).
The correlation of ACS score based on ACT category score before ICS showed no agreement (agreement coefficient (K: 0,06) ; p : 0,86 ). In contrary, the correlation of ACS score based on ACT category score after ICS showed significantly moderate agreement ( K : 0,56 ; p : 0,001 ). The mean difference of ACT score before and after treatment showed significant level (p: 0,001). Likewise, the mean difference of ACS score before and after treatment showed significant level (p: 0,001). Cut off point of ACS score after inhaled corticosteroid was 60%.
Conclusion: The result showed that there was a moderate correlation statistically significant agreement between ACS and ACT assessment when ACS score of 60% was used as the cut off point.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18027
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Matondang, Faisal Rizal
"Pendahuluan: Tingginya angka kesakitan dari asma dan biaya pengobatan telah menjadi beban besar bagi masalah kesehatan. Tujuan pengobatan asma adalah tercapainya asma yang terkontrol mendekati fungsi paru normal, tidak ada gejala asma, tidak ada keterbatasan aktifiti dan memburuknya asma. Penggunaan Asthma Control Test ACT , Asthma Symptom Control ASC dan Asthma Control Questionnaire ACQ dapat secara mudah memberitahukan tingkat keterkontrolan asma. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kesesuaian antara ketiga kuesioner dalam menilai tingkat keterkontrolan asma di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang dan analisis deskriptif pada 45 subjek pasien asma di klinik asma PPOK RSUP Persahabatan melalui wawancara dan pengisian kuesioner untuk mengetahui tingkat keterkontrolan asma.
Hasil: Tingkat keterkontrolan asma dengan ACT sebanyak 42,2 terkontrol baik, 42,2 terkontrol sebagian dengan ASC dan 42,2 tidak terkontrol berdasarkan ACQ. Terdapat hubungan penggunaan obat kortikosteroid semprot dengan kuesioner ACT p=0,031 . Terdapat hubungan antara pendidikan p=0,047 , kebiasaan merokok p=0,037 dan penghasilan p=0,040 dengan keterkontrolan asma ASC. Terdapat hubungan antara penghasilan p=0,025 dengan kuesioner ACQ. Kesesuaian antara ketiga kuesioner ini dengan nilai kappa 0,877 kesesuaian yang baik.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara penggunaan obat kortikosteroid semprot, kebiasaan merokok dan penghasilan pada ketiga kuesioner keterkontrolan asma. Kesesuaian antara ketiga kuesioner terdapat kesesuaian yang baik.

Introduction: The high prevalence of asthma and costs of asthma therapy place a considerable burden on health care systems. Asthma attacks and symptoms can be controlled by an appropriate treatment and proper use of medicines. The goals of asthma therapy are to achieve asthma control near normal lung function, absence of asthma symptoms, no activity limitations and no episodes of worsening asthma. The use of Asthma Control Test ACT , Asthma Symptom Control ASC and Asthma Control Questionnaire ACQ can make easier to control asthma. This study rsquo;s purpose is to see the suitability between the three questionnaires in assessing the level of control asthma in Persahabatan Hospital.
Methods: Research with cross sectional design and descriptive analysis on 45 subjects of asthma patients in the clinic asthma PPOK RSUP Persahabatan through interviews and filling questionnaires to determine the level of control of asthma.
Results: Asthma control rate with ACT was 42.2 well controlled, 42.2 partially controlled with ASC and 42.2 uncontrolled under ACQ. There was association of spray corticosteroid drug use with ACT questionnaire p = 0,031 . There was a relation between education p = 0,047 , smoking habit p = 0,037 and income p = 0,040 with ASC asthma control. There is a relation between income p = 0,025 with ACQ questionnaire. Compatibility between these three questionnaires with a kappa value of 0.877 good suitability.
Conclusion: There is an association between the use of spray corticosteroid drugs, smoking habits and income in the three questionnaires of asthma control. The suitability between the three questionnaires has good suitability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barnes, Peter J.
London : Manson , 1994
616.238 BAR c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Stalmatski, Alexander
London : Kyle Cathie, 1999
616.238 STA f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Purwanto
"Asma merupakan penyakit penyempitan saluran pernapasan yang dapat hilang timbul pada manusia karena adanya hipersensitivitas pada saluran pernapasan tersebut. Karena sifatnya yang hilang-timbul, asma dapat mempengaruhi produktivitas kerja seseorang melalui serangan asma. Senam Asma Indonesia merupakan salah satu exercise penunjang dalam pengobatan asma, karena dengan mengikuti Senam Asma Indonesia otot-otot pernapasan dibentuk sedemikian rupa agar pada waktu serangan asma otot-otot pernapasan tersebut dapat berfungsi secara optimal untuk membantu bernapas. Kegiatan Senam Asma Indonesia dilakukan di berbagai klub asma yang ada di Indonesia. Di DKI Jakarta saja terdapat lebih dari 20 klub. Kegiatan klub asma diawasi oleh minimal seorang dokter spesialis paru atau dokter umum. Selain kegiatan Senam Asma Indonesia juga dilakukan penyuluhan tentang asma dan pengukuran fungsi paru melalui PFR (Peak Flow Rate).
Berdasarkan temuan ternyata 74% responden memiliki sikap dan perilaku yang baik, hanya 24 % responden pernah berkunjung ke IGD, angka rata-rata absensi dari sekolah/pekerjaan 2,25 ± 3,08 per bulan hari dengan absensi 3 bulan terakhir sebesar 3,4 ± 5,42 hari, Biaya penanggulangan penyakit asmanya rata-rata per-orang setiap bulannya sebesar Rp. 24.220,- ± Rp.28.066; , dengan pengeluaran 3 bulan terakhir per-orang sebesar Rp. 47.020,- ±Rp. 47.144,-. Kelompok dengan biaya berobat S Rp. 10.000,- per bulan paling banyak (43%).
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata tidak perbedaan bermakna antara responden yang mengikuti dan yang tidak mengikuti program senam Asma Indonesia dalam hal biaya pengobatan, absensi, perilaku, sikap dan pengetahuan."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Uktolseja, Frederique Jeanne
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian serangan asma bronkhial di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, karena penelitian ini belum pernah dilakukan dan kunjungan kesakitan setiap tahun meningkat.
Rancangan penelitian adalah kasus kontrol tanpa matching dengan jumlah sampel keseluruhan 378 orang terdiri dari 189 kasus dan 189 kontrol. Dengan hipotesis, asma bronkhial dipengaruhi oleh faktor-faktor risiko seperti infeksi saluran nafas atas (rinitis, faringitis, tonsilitis), lingkungan (inhalasi alergen, inhalasi iritan, faktor psikis dan perubahan udara) dan alergi (riwayat genetik, riwayat atopi, alergi obat dan alergi makanan).
Data diolah dengan analisis univariat, analisis bivariat, analisis stratifikasi dan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik unconditional. Perangkat lunak yang dipakai adalah program epi info 6 versi 6.04a dan program Egret versi 0.19.5. Data diolah dengan analisis univariat, analisis bivariat, analisis stratifikasi dan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik unconditional. Perangkat lunak yang dipakai adalah program epi info 6 versi 6.04a dan program Egret versi 0.19.5.
Dari hasil penelitian faktor-faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian serangan asma bronkhial adalah perubahan udara (OR= 102.04), inhalasi alergen (OR = 92.29), faktor psikis (OR=27.01), riwayat genetik (OR=8.52) dan faringiitis (OR =5.02).
Telah dibuktikan bahwa rinitis, faringitis, inhalasi alergen, faktor psikis, perubahan udara, riwayat genetik, riwayat atopi dan alergi makanan secara bersama-sama berperan dalam terjadinya serangan asma bronkhial. Saran kepada IGD RSUPNCM agar SOP/ form khusus asma bronkhial digunakan lebih baik, dan perlu kerja sama antar dokter spesialis, petugas rekam medik dan epidemiolog. Dan saran terhadap masyarakat adalah penyuluhan melalui PKMRS dan konsultasi pernikahan.

Factors which Influencing Asthma Bronchiale Attack in the Emergency Installation Unit in Cipto Mangunkusumo General Hospital in Jakarta 1995 ? 1996This study which to identification risk factors that related with asthma bronchiale attack in Emergency Installation Unit in Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta, since this study haven't been done and the visit of the patients every year have develop.
The design of this study is unmatched case control with the number of samples 378 persons, 189 cases and I89 controls. The hypothesis is asthma bronchiale attack influenced by upper respiratory tract infection (rhinitis, pharyngitis, tonsilitis), environment (allergen inhalation, iritant inhalation, psychic factor, wheather adchange) and allergie (genetic history, atopic history, drugs allergic and food allergic).
The data will be analysed univariat, bivariat, stratification and multivariat done by logistic unconditional regressions. Software will be use is Epi Info 6 6.04a version and Egret 0.19.5 version.
Factors which is significant to the event of asthma bronchiale attack are wheather adchange (OR= 102.04), allergen inhalation (OR 92.29), psychic factor (OR= 27.01), genetic history (OR=8.52) clan pharyngitis (OR=5.02).
The suggestion to the Emergency Installation'unit Cipto Mangunkusumo General Hospital is to use SOP 1 specific form of asthma bronchiale, and the need to collaborate between specialist doctors, medical record officials and epidemiologist. To the community should be suggested health education and marriage counselling.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Utami Iriani
"Polusi udara di DKI Jakarta terus menunjukkan peningkatan bahkan beberapa polutan telah melewati nilai ambang batas. Meningkatnya kadar polutan di udara menimbulkan serangan asma dan bronkitis pada masyarakat. Tahun 2001 penyakit saluran napas bawah adalah termasuk penyakit 10 besar di Indonesia dan di Jakarta berada pada peringkat 15 besar.
Studi ekologi dengan analisis time trend ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi parameter ISPU dengan serangan asma/bronkitis. Data yang digunakan adalah data skunder harian iklim (radiasi matahari, kelembaban, suhu arah angin, kecepatan angin), parameter ISPU (PM10, SO2, 03, NO2) dari BPLHD DKI Jakarta dan kunjungan rawat jalan dan rawat inap dari pasien yang terserang asma/bronkitis dari 5 RS (Fatmawati, Pasar Rebo, Koja, Sumber Waras, Cipto Mangunkusumo) yang masing-masing mewakili wilayah di DKI Jakarta.
Dan data per minggu selama tahun 2002-2003 ditemukan radiasi matahari di Jakarta 151,65 W/m2, kelembaban 75,68 %, suhu 27,95°C, arah angin 159,93°, kecepatan angin 1,83 m/s. Rata-rata per minggu PM10 73,95 µg/m3, SO2 38,72 µg/m3 , 03 53,21 µg/m3 , NO2 40,56 µg/m3, ISPU 87,99 dan 67,9 % dalam kategori sedang. Rata-rata per minggu kunjungan asmalbronkitis 47 kali. Radiasi matahari mempunyai korelasi positif dengan 03 dan ISPU. Kelembaban mempunyai korelasi negatif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Suhu mempunyai korelasi positif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Arah angin mempunyai korelasi negatif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Kecepatan angin berkorelasi positif dengan NO2 dan berkorelasi negatif dengan PM10, SO2, dan 03. Asma dan bronkitis mempunyai korelasi positif dengan NO2 dan berkorelasi negatif dengan 03. Hasil analisis time trend dalam periode tiga bulanan didapatkan pola kunjungan asma dan bronkitis tidak mengikuti pola konsentrasi kualitas udara ambien dan ISPU.
Disimpulkan bahwa keadaan suhu dan kelembaban di Jakarta masih nyaman dengan radiasi matahari yang cukup. Arah angin Selatan Tenggara dengan kecepatan sepoi lembut. Semua parameter ISPU masih di bawah baku mutu dan sebagian besar udara Jakarta selama tahun 2002-2003 dalam kategori sedang. Tingginya konsentrasi NO2 di udara sejalan dengan meningkatnya jumlah kunjungan pasien yang terserang asrna/bronkitis. Perlu adanya kerjasama lintas sektor untuk membuat suatu sistem kewaspadaan dini bagi penderita asmalbronkitis tentang buruknya kualitas udara. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam hubungan kausalitas diperlukan penelitian lebih lanjut dalam waktu yang lama dan dengan desain kohort.

Relationship Between Climate, Pollutant Standard Index (PSI) and Asthma Bronchitis Attack in DKI Jakarta 2002-2003 (Ecology Time Trend Study in 5 General Hospitals in DKI Jakarta)Air pollution in DKI Jakarta increases continuosly every year even some pollutant have been over threshold limit value. This can cause asthma attack and bronchitis to people whose exposed. In 2001, chronic respiratory diseases still in 10 big diseases class in Indonesia and 15 in Jakarta.
Ecology study with time trend analysis is aimed at finding relationship between parameters of PSI with asthma attack and bronchitis. Climate data such as sun radiation, humidity, temperature, wind direction and wind speed is get from BPLHD Jakarta. Parameters of PSI such as PM10, SO2, 03, NO2 is get from BPLHD also. Asthma attack and bronchitis visit is get from 5 general hospitals in Jakarta which each hospital represent every district.
From 2002-2003, it is found that the weekly average of sun radiation in Jakarta is 151,65 W/m2, humidity 75,68 %, temperature 27,95°C, wind direction 159,93°, wind speed 1,83 m/s. Weekly average of PM10 is 73,95 µg/m3, SO2 38,72 µg/m3, 03 53,21 µg/m3, NO2 40,56 µg/m3, ISPU 87,99 and 67,9 % data still in middle category, The weekly average of asthma /bronchitis attack visit is 47 times. Sun radiation have positive correlation with 03 and PSI. The humidity negative correlation with PM10, SO2, 03, NO2 and PSI. The temperature have positive correlation with PM10, SO2, 03, NO2. The wind direction in Jakarta from 2002-2003 have negative correlation with PM10, S02, 03, NO2 and PSI. The wind speed have positive correlation with NO2 and negative correlation with PM10, SO2, and 03. Asthma attack and bronchitis have positive correlation with NO2 and negative correlation with 03. The result of time trend analysis in 3 months period show that the trend pattern of asthma /bronchitis attack visit doesn't follow the trend pattern of PSI parameters.
It is conclude that the temperature and humidity of Jakarta still comfort for human with enough radiation intensity. Wind direction is South East and in slow speed. All PSI parameters still under treshold limit value and most of the air condition of Jakarta in 2002-2003 is still in the middle category. The highest concentration of NO2 is, the more asthma/bronchitis patient's visit. It is need over sector cooperation to make early detection system for asthma/bronchitis sufferer about how bad the air quality. To get better conclusion of causality it is need more research in long term, for instance (5-10) years and in cohort design.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13131
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budhy Djayanto
"ABSTRAK
Asma telah dikenal sejak zaman Hipocrates (abad ke- 4-5 . SM). Pada saat itu sampai ditemukannya IgE sekitar 20 tahun yang lalu diagnosis asma terutama didasarkan pada timbulnya gejala klinis misalnya sesak dan mengi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang kedokteran, beberapa hal yang belum diketahui tentang timbulnya asma dan timbulnya serangan asma mulai tersingkap; antara lain aspek fisiologis, aspek patologis, aspek imunologis dan aspek psikologis (Wirjodiardjo, 1990).
Asma merupakan penyakit kronik yang tersering dijumpai pada anak. Penyakit asma dapat mudah dikenal bila ditemukan gejala yang berat misalnya serangan batuk dengan mengi setelah latihan berat atau timbul waktu udara dingin. Kadang-kadang dapat juga ditemukan gejala yang ringan seperti batuk kronik dan berulang tanpa mengi yang dapat menyulitkan dokter, pasien atau keluarga pasien. Gambaran klinik dan perjalanan penyakit asma berbeda pada bayi, anak kecil dan anak yang lebih besar sesuai pertambahan usia (Rahajoe H. H., 1983).
Asma dapat mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Asma yang merupakan penyakit kronik juga dapat memberikan masalah biologis, psikologis dan sosial pada penderita maupun keluarganya bila tidak ditanggulangi secara komprehensif antara penderita; orangtua; saudara kandung; dokter dan guru pada anak yang sudah sekolah (Steinhauer, 1974; Sudjarwo dan Suiaryo, 1990).
Dampak negatif asma yang utama pada anak sekolah adalah terganggunya pelajaran di sekolah. Di Amerika Serikat, sepertiga dari waktu absen di sekolah disebabkan oleh asma (Godfrey, 1983 b). Besar kecilnya angka absensi ini akan menjadi salah satu faktor yang menentukan intensitas gangguan terhadap tumbuh kembangnya dikemudian hari. Asma dapat timbul pada setiap umur, tetapi biasanya jarang timbul pada bulan-bulan pertama kehidupan. Delapan puluh persen asma pada anak mulai timbul pada usia di bawah 5 tahun (Blair,1977; Godfrey, - 1983 b).
Asma sangat erat hubungannya dengan hiperreaktivitas saluran nafas, hal ini dikemukakan oleh Boushey dkk (1980), Rahajoe dkk (1988), Gerritsen (1989) dan Pattemore dkk (1990).
Faktor alergi berperan pada asma anak. Sekitar 2/3 dari seluruh anak dengan asma mempunyai dasar alergi (Carlsen dkk, 1984). Bahkan menurut HcNicol dan Williams (1973), jika semua anak dengan asma diteliti sepanjang usianya; maka akan didapat bukti adanya faktor alergi yang berperan. Faktor alergi pada asma menyebabkan berbagai reaksi immunologik dengan hasil akhir berupa gejala asma. Keadaan atopi lebih banyak dijumpai pada penderita asma dan keluarganya dibanding kelompok kontrol (tidak asma). Asma juga lebih sering ditemukan pada keluarga penderita asma dibanding kelompok kontrol (Si.bbald dkk, 1980; Zimmerman dkk, 1988)"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>