Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210498 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Wicaksono
"Tujuan penelitian pada tesis ini adalah ingin mengetahui penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan di daerah dalam rangka pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan selama periode tahun 1995 hingga tahun 2003. Selain itu penulis ingin pula mengetahui faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi perbankan dalam penyaluran kredit.
Studi ini menggunakan analisis regresi panel data penawaran kredit. Analisis regresi panel data ini adalah kombinasi dari cross section dan time series, dimana dalam analisis ini menggunakan variabel kapasitas kredit dan ratio modal terhadap aset yang merupakan unsur dari penawaran kredit. Sedangkan variabel PDRB riil dan suku bunga kredit yang merupakan unsur permintaan kredit. Untuk mengetahui dampak krisis yang terjadi pada tahun 1997, maka analisis regresi panel data ini ditambahkan dummy variabel.
Analisis penyaluran kredit dilakukan dengan menggunakan model Fixed Effect Cross Section Weight, model ini digunakan karena terdapat empat perbankan pada propinsi yang berbeda. Keempat perbankan di propinsi tersebut adalah perbankan pada propinsi DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera Barat.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah outstanding kredit yang terjadi pada perbankan di daerah tersebut dengan penilaian berdasarkan intercept dari yang terendah sampai yang tertinggi, sehingga outstanding kredit tersebut dapat memberikan gambaran mengenai kondisi perbankan di daerah, yang pada akhirnya akan merupakan masukan bagi Bank Sentral dan Pemerintah Daerah setempat.
Pola hubungan variabel lainnya yang mempengaruhi kredit sebagaimana teori pemberian kredit memiliki hubungan positif untuk kapasitas kredit, ratio modal terhadap aset, PDRB dan suku bunga kredit yang pengaruhnya lebih kuat terhadap faktor penawaran kredit, yang diharapkan sesuai dengan hipotesa.
Pengaruh kondisi perbankan dalam menyalurkan kredit dari faktor permintaan dan penawaran kredit masih cukup besar, sehingga perbankan di daerah sebagai lembaga intermediasi dapat iebih dioptimalkan kembali.
Penelitian selanjutnya guna meningkatkan fungsi intermediasi melalui penyaluran kredit disarankan dapat menggunakan data yang Iebih luas terutama pemanfaatan kredit tersebut sesuai dengan tujuannya, yaitu pemanfaatan pada sektor usaha produktif, seperti sektor-sektor ekonomi daerah yang bersangkutan sehingga dapat diketahui penyebab apa yang terjadl pada tingkat keleseuan sektor riil."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T17142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Dominica Fltri Masniari
"ABSTRAK
Implementasi UU No. 22 dan 25 tahun 1999 menuntut kemandirian daerah baik dalam mengelola sumber pendapatan dan juga menggali sumber pembiayaan bagj pembangunan. lmplikasi akibat adanya otonomi tersebut " mendorong setiap daerah mengembangkan sektor unggulan. Pengembangan sektor unggulan pada akhirnya dapat mendorong peningkatan penyaluran kredlt perbankan. Analisis interaksi antara perkembangan penyaluran kredit perbankan dan sektor unggulan menggunakan regresi data panel. Sementara analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengldentifikasi sektor unggulan di provinsl DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasil estimasi regresi data panel menunjukkan bahwa perkembangan sektor unggulan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan dan seballknya penyaluran kredit perbankan memlliki pengaruh yang signiflkan terhadap perkembangan sektor unggulan. Deteminan lain yang signlflkan memengaruhl dan paling elastis terhadap penyaluran kredit perbankan adalah Dana Pihak Ketiga, Jumlah Kantor Bank,Suku Bunga, Inflasi dan Rasio Non Performing Loan. Sementara determinan lain yang signifikan memengaruhl dan paling elastls terhadap perkembangan sektor unggulan adalah luas wilayah dan tenaga kerja"
2008
T20879
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sunaedi Pradja
"Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) merupakan salah satu upaya pemerintah dalam bidang kesehatan untuk mengatasi dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1997. Dalam rangka merespon krisis ekonomi tersebut UNICEF melalui program JPSBK melakukan kegiatan revitalisasi posyandu dengan memberikan makanan tambahan vitadele untuk balita di posyandu sebanyak lebih dari 150.000 balita.
Untuk mengetahui dampak efektivitas revitalisasi posyandu dan pemberian vitadele terhadap status gizi balita maka Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (PPK-UI) bekerjasama dengan UNICEF melakukan penelitian di 4 propinsi yaitu Sumatera Barat (Sumbar), Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim), yang dilakukan pada bulan Juni dan Juli tahun 2002. Data yang di analisis untuk pembuatan tesis ini adalah bagian dari penelitian yang dilaksanakan oleh PPK-UI.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita yaitu karakteristik balita, karakteristik orang tua, Nitadele dan penyakit infeksi. Desain yang digunakan dalam penelitian ini cross sectional. Sampel adalah ibu balita yang mempunyai balita berumur 10-60 bulan.
Dari hasil analisis dengan menggunakan indikator BB/U dan TB/U, ditemukan balita gizi kurang masing-masing sebanyak 30,7% dan 29,0%. Faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan status gizi balita berdasarkan indeks TB/U adalah pendidikan ibu balita (p=0,001), pendidikan bapak balita (p=0,003), pekerjaan bapak balita (p),001), pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan balita (p=0.411) untuk TB/U. Sedangkan menurut status gizi indeks BBIU adalah pendidikan ibu balita (p=0.004) dan penyakit ISPA (p=4.001), Hasil analisis multivariat diperoleh faktor yang paling dorninan untuk terjadinya status gizi kurang berdasarkan indeks TB/U adalah pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan balita dan menurut status gizi kurang berdasarkan indeks BB/U adalah penyakit ISPA.
Ada dua Cara ibu balita untuk mendapatkan vitadele yaitu membeli dan gratis, kemudian sebanyak 19.6% ibu balita menerima vitadele tidak rutin. Persentase jumlah vitadele yang diterima selama program tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan status gizi balita, tetapi mempunyai kecenderungan persentase jumlah vitadele yang diterima semakin sedikit, maka jumlah balita status gizi kurang meningkat. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa anggota keluarga yang ikut mengkonsumsi vitadele adalah (1) balita bukan sasaran, (2) ibu, (3) bapak, dan (4) anggota keluarga lainnya. Konsumsi vitadele terbanyak adalah balita bukan sasaran (72,5%), kemudian dua anggota keluarga (16,4%), tiga anggota keluarga (7,3%) dan semua anggota keluarga ikut mengkonsumsi (3,8%). Jarak akhir menerima vitadele sarnpai dengan saat penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna. tetapi mempunyai kecenderungan balita status gizi kurang meningkat dengan jarak akhir yang semakin melebar.

Social Security Net (JPS BK) is one of efforts by government in health area to reduce impact of economic crisis since 1997. in order to response this crisis, UNICEF through JPSBK program conduct the revitali7a-ion program of posyandu by giving food supplement vitadele for 150.000 under fives.
To find out effectiveness posyandu revitalization and vitadele distribution to nutritional status of under five, Center of Health Research University of Indonesia (PPKUI) by cooperation with UNICEF conducting research in 4 provinces such as, West Sumatra. West Java, Center of Java and East Java, which carried out at June and July 2002. Data which analyzed by this study is part of that research.
This study objective is to find out factors that related to nutritional status of under-five such as under-five's characteristics, parent's characteristics, vitadele and infectious disease. This study used cross sectional design. Sample is mothers who have under-five aged 10-60 month.
Results of the analysis using indicator BB/U and TB/U, found there are under-fives under nutrition 30.7% and 29,0%. Factors which have relation with nutritional status of under-five based on TB/U index is mother education (p=0,041), Father Education (p=0,003), Father Occupation (p =0,401), mother knowledge about monitoring under-five's growth (p O,011). While based on index BBIU are mother education (p-0,04) and acuter respiratory disease (p=0,001), from multivariate analysis the most dominant factor of under nutrition based on index TB/U is mother knowledge and based on index BB/U is acute respiratory disease.
Mother could get vitadele free or buying, 19,6% under-fives not received vitadele routinely. Percent number vitadele accepted during program has no significant relation with under-five's nutritional status, but tend fewer accepted percent vitadele could increase under-fives with under nutrition. Result of this study showed that there are non target which consume vitadele such as, non target under-five, mother, father, and other family member. The most consumed vitadele is non target under-five (72.5%). Two family member (16.4%), three family member (7.3%) and all family member (3.8%). time range from end for accepting vitadele to starting time of this study have no significant relation, but there is increasing in under-five's nutritional status if more range of time.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jayadi Nas
"Tesis ini memhahas tentang aspek politik dalam rekrutmen Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah_ Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui aspek politik dalam rekrutmen pengumpulan data dengan wawancara mendalam (indepth interview) dan analisis data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek politik dalam rekrutmen Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Depok Propinsi Jawa Barat Tahun 2000 memilikl pengaruh yang dominan. Hal ini dapat dilihat dari pemakaian kekuasaan dan pengaruh oleh Pemerintah, Partai Politik, DPRD, dan masyarakat setempat.
Dengan kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki Pemerintah, Pattai Politik, dan DPRD Kota Depok menetapkan kebijakan dan melaksanakan pencalonan dan pemilihan Kepala Daera dan Wakil Kepala Daerah Kota Depok. Konsekuensinya, aspirasi politilk masyarakat setempat diabaiKan dan kurang memiliki pengaruh yang signifikan.
Mengenai kebebasan dan kemandirian DPRD Kota Depok dalam rekrutmen Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Depok , hasil penelitian menunjukkan bahwa DPD Koa Depok rang bebas dan mandiri. Ada tiga faktor yang menyebabkan. Pertama, masih terlalu dominannya Pemerintah didalam menentukan kebijakan yang pada esensinyadapat ditentukan sendiri oleh DPRD bersangkutan. Kedua, campur tangan partai politik yang sangat dominan. Ketiga, keterbatasan kemampuan dan pengalaman anggota DPRD Kota Depok"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T5038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsanto Nursadi
"Pengelolaan B3 dan limbah B3 dilakukan oleh instausi yang bertanggung jawab , yaitu Menteri Negara Lingkungan Hidup. Instansi ini membentuk norma hukum urnum-kongkret berupa Peraturan Menteri Negara yang merupakan kewenangan atribusi dari UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meneg LH juga membentuk norma hukum individual-kongkret berupa perizinan-perizinan yang berkaitan dengan B3 dan limbah B3. Instansi sektoral berwenang membentuk norma hukum umum kongkret berupa kewenangan , misalnya Undang-undang tentang Perindusirian, tentang Kesehatan, tentang Pertambangan atau Mineral dan Batubara, tentang Tenaga Kerja, tentang Tenaga Atom/Nuklir, tentang Lalu Lintas Jalan. Kewenangan tersebut diwujudkan dalam pembentukan norma hukum Peraturan Menteri mengenai hal-hal tenentu, misalnya Peraturan Menteri Perindustrian tenumg Impor Bahan Berbahan Beracun. Instansi sektoral tersebut juga melakukan pengurusan dalam bentuk pembuatan norma hukum individual-kongkret berupa perizinan yang berkaitan dengan lingkungan seperti Izin Impor B3; Izin Penggunaan B3 untuk Industri, Pertambangan, Kesehatan; Izin Pengangkutan B3 dan limbah B3. Perizinan yang dikeluarkan oleh instasni sektoral memerlukan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab, karena instansi yang bertanggung jawab memang bertugas untuk menjaga dampak dari B3 dan limbah B3, sedangkan instansi yang berwenang lebih kepada perizinan dalam hal kegiatan di bidang masing-masing. Hasil penelitian nommatif menunjukkan bahwa Daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab kepada masyarakatnya dalam hal perlindungan lingkungan. Bentuk pertanggtuxgiawaban dari Daerah tersebut adalah melakukan pengaturan dan pengurusan terhadap urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Daerah membuat nonna hukum abstrak-umum dalam bentuk Peraturan Daerah bagi objek-objek tenentu yang langsung mengatur atau hanya berkaitan dengan lingkungan.Contoh Perda yang langsimg mengatur objek lingkungan, adalah Perda tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendaiian Pencemaran Air; tentang Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan; tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis; tentang Penertiban dan Pengendalian Hutan Produksi; tentang Pengelolaan Hutan; tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah; dan Perda tentang Izin Hinder Ordommxie (Izin HO). Contoh Peraturan Daerah yang ?l1anya? berkaitan dengan pengaturan linglcungan diantaranya adalah Perda tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah (salu di antaranya adalah pembentukan Badan Lingkungan Hidup Daerah) termasuk pembentukan Dinas-dinas Daerah tentang Pengelolaan Panas Bumi; tentang Irigasi; tentang Ketertiban Umum; tentang Pajak dan/atau Retribusi Daerah yang berkaitan dengan lingkungan; tentang Perikanan dan Usaha Kelautan; tentang RPJMD; teniang RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota; tentang Pemberian izin yang berkaitan dengan lingkungan. Perda-perda tersebut disebut berkaitan, karena yang diatur sebenarnya adalah objek yang lain, tetapi dekatfberkaitan dengan lingkungan. Daerah juga mengeluarkan norma hukum yang umum-konkret, berupa Peraturan Kepala Daerah tentang hal tertentu, rnisalnya tentang Baku Mutu Lingkungan di Jawa Timur. Nomm hukum yang individual-kongkret mempakan bentuk perwujudan kewenangan dan tanggung jawab daerah yang paling banyak, yaitu keluamya perizinan yang berkaitan langsung dengan lingkungan. Pengaturan dan pengurusan mengenai B3 dan limbah B3 kemudian didesentralisasikan ke Daerah berdasarkan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Umsan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khusus pada lampiran mengenai bidang Lingkungan Hidup. Urusan pemerintahan yang didesentralisasikan tersebut tergannmg pada Iuas daerah, lingkup Kabupaten/Kota diurus oleh pemerintahan Kabupatenfliota, sedangkan bila urusan pemerintahan sub-sub bidang B3 dan limbah B3 tersebut lintas Kabupaten/Kota diurus oleh pemerintahan Provinsi. Meskipun Daerah hanya memiliki kewenangan yang terbatas , tetapi Daerah tetap dapat melindungi daerahnya dalam bentuk pcngatumn dan pengurusan yang tidak langsung pada objek B3 dan Iimbah B3. Misalnya pengaturan lokasi khusus industri (yang mungkin menggunakan, menghasilkan dan mengolah limbah B3) dalam Perda tentang RTRW, pengaturan mengenai pengangkutan lintas batas daerah Provinsi-Kabupaten-Kota dengan tidak membebani retribusi tetapi pengaturan pengangkutannya, pengaturan bersama mengenai kemungkinan menyebar/mengalimya limbah B3 dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi atau bahkan amar provinsi. Selain itu, Daerah juga dapat melakukan pengurusan terhadap B3 dan limbah B3 yang menjadi kewenangannya dalam bentuk pengendalian perlzinan. Beberapa hal mengenai B3 dan lirnbah B3 saat ini sudah menjadi kewenangan Daerah, dan hal tersebut dilaksanakan dengan ketat dan konsekugn. Seperti misalnya, Daerah dapat menolak suatu lokasi Industri yang tidak sesuai dengan RTRW yang sudah ditetapkan, atau menolak berdasarkan tingkat bahaya dari indusrri B3 dan limbah B3 yang akan ditempatkan didaerahnya. Pada sisi lain, diluar kewenangan yang dimilild oleh Daerah yang berasal dari kewenangan atributif undang-lmdang, Daerah juga dapat memiliki pertimbangan dalam hal pengaturan dan pengurusan B3 dan limbah B3 dari sumber lain. Sumber lain yang dimaksud adalah prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Prinsip-prinsip tersebut memang tidak mengikat secara langsung subyek hukum Daerah, karena Daerah bukan merupakan subyek hukum intemasional, tetapi prinsip-prinsipnya dapat dijadikan rujukan dalam hal pembentukan norma hukum di Daerah.

The responsibility for hazardous substance and hazardous waste management lies with the State Minister of Environment. In this regard, the Minister has an attributive authority, being an authority directly attributed by the Indonesian Environmental Management Act, to establish general-concrete legal norms, in the form of ministerial regulations. In addition to establishing these norms, the Minister has also an authority to issue individual-concrete legal norms in the fomis of various licenses related to hazardous substances and hazardous wastes. In addition to the Minister of Environment, other sectoral departments or agencies also share responsibility in managing hazardous substances and wastes. These departments or agencies have the responsibility to create general-concrete legal norms based on various sectoral acts, such as industrial, public health, mineral and coal, labour, nuclear energy, and road traffic acts. Although not focusing on environmental management, these sectoral acts may to some extent still be applicable to hazardous substance and waste management Hence, one could find various regulations issued by sectoral departments or agencies, which regulate hazardous substance and waste management within their relevant sector. One example of this type of sectoral regulation is the regulation of Minister of Industry concerning the Importation of Hazardous Substances. The sectoral departments or agencies have also the authority to create individual-concrete legal norms in form of various licenses, such as the license to import hazardous substances, the license to use hazardous substances in industry, mining, and public health sectors, and the license of hazardous substance and waste transportation. When issuing sectoral licenses, departments or agencies should base their decisions on the recommendation given by the Minister of Environment as the authority responsible for controlling the impacts of hazardous substances and wastes. Regional government has also responsibility and authority in environmental management. For this, autonomous local government may create general-abstract legal norms in the form of bylaws that directly or indirectly regulate environmental protection. Examples of environmental bylaws are bylaws concerning water quality management and water pollution control, bylaws concerning the utilization of surface water, bylaws concerning forest and critical land rehabilitation, bylaws concerning control on production forest, bylaws concerning forest management, bylaws concerning underground water, and bylaws concerning nuisance license (license derived from Hinder Ordonanrie -the nuisance ordinance). Meanwhile, examples of bylaws that indirectly relate to environmental management are bylaws on organization and management of regional agencies, including provincial and district agency for the environment, bylaws on geothermal energy, bylaws on public order, bylaws on regional environmental taxes and charges, bylaw on fisheries, bylaws concerning regional development planning, bylaws conceming regional spatial planning, bylaws on licenses or authorization related to the environment. Local Regional government has also the authority to create general-concrete legal norms, in the form of govemor or regent/mayor regulation related to certain environmental issues, such as environmental quality standards. Local government has also the authority to create individual~concrete legal norms in the form of various licenses that directly correspond to environmental management. The latter authority appears to be the most frequently exercised authority at the local level. According to Government Regulation No. 38 of 2007 concerning the Distribution of Government Affairs among Central Government, Province, and District government (in particular in its annex on environmental management), the responsibility and authority for hazardous substance and waste management are decentralized to local govemrnent. Decentralization of hazardous substance or waste management to regions applies only to the extent that [its impacts of] are confined to each region. If the scope of management of the substance or waste is considered to be limited to one district, it will become the responsibility and authority of the respective district. If the scope of management of the substance or waste is considered a cross-district issue, it will become the authority of the provincial government in which those districts are located. Although local government has a rather limited authority in regulating and managing hazardous substances and waste, it may nevertheless Provide protection by enacting bylaws which are not directly intended to regulate the substances and wastes. For example, the regional govemment has certainly the authority, in their spatial planning, to designate certain areas for industry that uses, produces, or treats hazardous Wastes. They could also enact bylaws that specify how hazardous substances and wastes are to be properly and safely transported. In another example, a group of regional governments might form a joint bylaw concerning the possibility of hazardous wastes to spread or flow trom one district to others within one province or even to districts in other provinces. Furthermore, regional government may play a role in the management of hazardous substances and wastes by excersing its control over various licenses. Several aspects in the management of hazardous substances and wastes have indeed become the authority of local govemment. For example, regional government may retiise a proposal for an industrial use that it considers not in compliance with the previously determined regional spatial planning; or it may also refuse the proposal based on the magnitude of harms likely to result from the proposed industry. In addition to various attributive authorities, regional government may also resort to other sources of authority when it intends to play a role in the management of hazardous substances and wastes. These sources are intemational environmental principles. Although not directly binding for local government, since it is not part of multinational environmental agreements, these principles could nevertheless be used as references forthe formulation of legal norms at the local level."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D988
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mawardi
"Penelitian ini akan menganalisis dampak kebijakan investasi Pemerintah Daerah Jawa Barat pada sektor industri terhadap struktur penyerapan tenaga kerja di Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan daerah lainnya. Pemilihan Propinsi Jawa Barat sebagai basis penelitian dikarenakan Propinsi tersebut merupakan salah satu sentra industri yaitu di wilayah Bandung, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Botabek). Menarik untuk dijadikan kajian karena Botabek merupakan daerah penyangga Propinsi DKI Jakarta yang notabene merupakan pusat aktivitas perekonomian Indonesia.
Kurang lebih 60% pembangunan sektor industri di Indonesia didominasi oleh sektor industri pengolahan dan berada di Propinsi Jawa Barat. Kebijakan tersebut diharapkan dapat berdampak pada penyerapan jumlah tenaga kerja sekaligus mengurangi tingkat pengangguran regional. Konsekuensi logis adanya interregional effect akan berdampak pula pada daerah sekitarnya.
Investasi yang dilakukan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat di dalam penelitian ini bukanlah investasi yang sebenarnya, melainkan hanya merupakan skenario alternatif kebijakan investasi yang mungkin diambil, untuk menstimulasi pihak swasta sebagai pelaku utama dalam pembangunan sektor industri. Pemilihan skenario kebijakan investasi Pemerintah Daerah Jawa Barat tersebut berdasarkan kebutuhan msayarakat akan peluang memperoleh lapangan kerja di berbagai sektar industri pengolahan.
Adapun skenario yang dilakukan adalah dengan melakukan pengembangan sektor-sektor industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja. Setor-sektor yang dimaksud adalah sektor industri tekstil (sektor 9), industri kertas (sektor 11) dan industri barang dari logam (sektor 15). Pertimbanganya adalah ketiga sektor tersebut merupakan sektor penyumbang terbesar ketiga yaitu 17,3% bagi penyerapan tenaga kerja di Propinsi Jawa Barat setelah sektor pertanian 29,69% dan sektor perdagangan 24,96%.
Data awal yang digunakan untuk menganalisis dampak tersebut adalah Tabel Input-Output Antar Daerah (IRIO) Tahun 2000 hasil pemutakhiran data Input-Output Antar Daerah (IRIO) Tahun 1990 yang disusum oleh Bappenas.
Dari hasil simulasi dapat dikatakan bahwa kebijakan yang dilakukan Pemerintah Daerah Jawa Barat dengan mendorong pihak swasta untuk lebih banyak berperan dalam pembangunan ekonomi, terutama disektor industri tekstil (sektor 9), industri kertas (sektor 11) dan industri pengolahan barang dari logam (sektor 15) memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat, akan tetapi kurang signifikan dampaknya terhadap Propinsi DKI Jakarta dan daerah lainnya. Hal ini disebabkan karena keterkaitan antara sektor-sektor ekonomi di Propinsi DKI Jakarta dan lainnya relatif rendah bila dibandingkan dengan sektor-sektor sejenis di Propinsi Jawa Barat. Hal ini ditunjukan oleh rendahnya nilai keterkaitan kebelakang (backward linkages), keterkaitan kedepan (forward linkages) dan pure linkages. Dengan kata lain, dampak interregionalnya kecil atau kurang berarti."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T15721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusdy Djalil
""The Relation Of Knowledge, Attitude And Practice And The Fulfillment Of Cummulative Credit Points For Widyaiswara In The Center For Education And Training (Pusdiklat) Ministry Of Health And Sub Center (Bapelkes) In Jakarta And West Java".Based on the decree of the State Minister for Administrative Reform No.68/Menpan/1985 concerning cumulative credits for the official widyaiswara, the functional position of widyaiswara in the Ministry of Health was approved. As the staff of Bapelkes of the Ministry of Health, widyaiswara has a main task, which is to train Ministry of Health staffs. This study attempted to see the performance of widyaiswara in several Bapelkes in Jakarta and West Java.
There are many widyaiswaras who could not fulfill their tasks to gather cumulative credit points for them as arranged by the rule. The study observed factors affecting the cumulative credit points. The study design was cross sectional one to see the relationship of widyaiswara's characteristics and the fulfill-meat of cumulative credit points.
The respondents of this study are the widyaiswaras in the Pusdiklat and Bapelkes of Cilandak (Jakarta) and West Java consisting of the Bapelkes of Ciloto, Lemahabang and Bandung.
The data were collected through structured interview based on a set of questionnaire. A multivariate logistic regression analysis was performed to see factors whose relation to the cumulative credit points of widyaiswara were simultaneous observed.
The results showed that the factors having close relations to the cumulative credit points were the skills and ability in writing scientific papers, the knowledge of many kind of credit point forms used, the attitude to the position or job they have, and their kind attention to the process of gathering cumulative credit points.
Based on the findings we conclude that most of the widyaiswaras who fulfilled their cumulative credit points were the young age group, who graduated from university (S1), the groups who supported attitude to their position or job, levels of understanding to the learning process and the insight of many kinds of credit point forms used, groups who pay attention to the process of gathering cumulative credit points and have skill and ability to write scientific papers.
To improve the cumulative credit points gathered we would pay attention to some factors beyond that, especially the skill and ability to write a scientific papers.

Sejak ditetapkannya Surat Keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara Nomor 68/Menpan/1985 tentang angka kredit bagi jabatan widyaiswara, maka sejak itulah jabatan fungsional widyaiswara di Departemen Kesehatan diakui keberadaannya. Sebagai staf tetap Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes) Departemen Kesehatan, widyaiswara mempunyai tugas utama memberikan pelatihan. Penelitian ini mengenai kinerja widyaiswara dibeberapa Bapelkes di DKI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat.
Masih banyak widyaiswara yang belum dapat melaksanakan kewajibannya mengumpulkan angka kredit yang diwajibkan sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku. Penelitian ini melihat faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan perolehan pemenuhan angka kredit tersebut. Jenis penelitian adalah cross sectional untuk melihat' hubungan antara karakteristik widyaiswara dengan perolehan pemenuhan angka kredit yang disyaratkan dalam jabatan widyaiswara.
Sebagai responden dalam penelitian ini adalah widyaiswara yang bertugas pada Pusat Diktat Pegawai Depkes dan Bapelkes Cilandak di DKI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat (Bapelkes Ciloto, Bapelkes Lemah Abang dan Bapelkes Bandung).
Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur yakni berpedoman kepada kuesioner dan data sekunder dari Pusat Diktat Pegawai Departemen Kesehatan Selanjutnya analisis statistik dilakukan dengan uji regresi logistik multivariat (secara bersama-sama), dimaksudkan untuk melihat faktor mana yang paling erat hubungannya dengan pemenuhan angka kredit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang erat hubungannya dengan perolehan pemenuhan angka kredit adalah ketrampilan dalam penulisan karya tulis ilmiah, pengetahuan tentang macam/jenis formulir, sikap terhadap jabatan yang dipangku serta perhatian terhadap pengumpulan angka kredit.
Berdasarkan hasil temuan dapat disimpulkan bahwa sebagian besar widyaiswara yang dapat memenuhi angka kredit yang diwajibkan adalah widyaiswara dari kelompok usia muda, berpendidikan sarjana (S1), kelompok yang memiliki sikap mendukung terhadap jabatan yang dipangku, tingkat pengetahuan tentang proses belajar mengajar dan pengetahuan tentang macam /jenis formulir cukup baik, kelompok yang memiliki perhatian penuh terhadap pengumpulan angka kredit dan yang memiliki ketrampilan dalam penulisan karya tulis ilmiah.
Agar perolehan pemenuhan angka kredit dapat ditingkatkan, beberapa hal perlu mendapat perhatian, utamanya mengenai ketrampilan dalam penulisan karya tulis ilmiah."
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dzulfikar Fikri
"

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selaku lembaga perwakilan daerah yang memiliki karakter keterwakilan berdasarkan daerah-daerah pada hakikatnya memiliki karakter keterwakilan yang lebih luas dari DPR, karena dimensi keterwakilannya berdasarkan seluruh rakyat yang terdapat pada daerah-daerah tersebut. DPD sebagai lembaga negara baru setelah amandemen UUD 1945 awalnya diharapkan dapat merealisasikan sistem dua kamar (bicameral), sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPD memiliki fungsifungsi sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pertimbangan. Semua tugas dan wewenang DPD terbatas pada aspek-aspek yang terkait erat dengan daerah. Ini merupakan sebuah potensi bagi DPD untuk dapat berperan lebih dalam berbagai aspek dalam pemerintahan daerah termasuk dalam pembangunan. Pembangunan diawali dengan perencanaan dan dalam ini adalah tahap paling penting karena disinilah partisipasi dari berbagai pemegang kepentingan disuarakan dan disatukan menjadi sebuah rencana pembangunan yang komprehensif untuk dapat mendukung pembangunan sebuah daerah. DPD sebagai lembaga perwakilan yang menjadi perwakilan wilayah seharusnya dapat lebih dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan mengingat kompleksnya proses pembangunan dan berbagai macam kepentingan di dalamnya.


The Regional Representative Council (DPD) as a regional representative institution that has a representative character based on regions has a broader representation character than the DPR, because the dimension of representation is based on all the people in these areas. The DPD as a new state institution after the amendment of the 1945 Constitution was initially expected to realize a two-chamber system (bicameral), as a people's representative institution, the DPD has functions as stipulated in the 1945 Constitution. These functions are legislative functions, budget functions, and consideration functions. All the duties and powers of the DPD are limited to those aspects closely related to the regions. This is a potential for the DPD to be able to play a deeper role in various aspects of regional governance including in development. Development begins with planning and in this is the most important stage because this is where the participation of various stakeholders is voiced and united into a comprehensive development plan to be able to support the development of a region. The DPD as a representative institution that becomes the regional representative should be more involved in the development planning process given the complexity of the development process and the various interests in it.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ice Sesi Wulandari
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26761
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>