Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190627 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marliesa Qadariani
"Batam adalah salah satu pulau yang termasuk dalam wilayah Propinsi Kepulauan Riau dan berada di antara perairan Selat Malaka dan Selat Singapura. Pada tahun 1973, Pemerintah Indonesia nwnetapkan pulau Batam sebagai daerah industri melalui Keputusan Presiden RI Nomor 41 Tahun 1973. Hal itu diikuti dengan dibentuknya Badan Otorita Batam selaku pengelolanya. Sejak ditetapkannya Batam sebagai daerah industri, kemajuannya relatif pesat. Bahkan kini Batam berdasarkan Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999 telah berstatus sebagai daerah otonom yang berbentuk Kbta, yang dipimpin oleh Pemerintah Kota Batam. Untuk mengantisipasi perkembangannya, kegiatan-kegiatan berupa reklamasi pantai telah dilakukan. Salah satunya adalah reklamasi pantai di wilayah Teluk Tering yang merupakan hasil dari perjanjian antara Pemerintah Kota Batam dengan PT. Batamas Puri Permai. Persoalannya adalah dengan perubahan status Batam sebagai sebuah Kota yang mempunyai pemerintahan sendiri disatu pihak dan masih diakuinya kedudukan Otorita Batam sampai saat ini menimbulkan permasalahan mengenai siapa yang berwenang dalam hal pengelolaan tanah di Batam. Untuk menguraikan persoalan tersebut penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan kepustakaaan. Berdasarkan analisis yang dilakukan tampak bahwa perjanjian antara Pemerintah Kota Batam dengan PT. Batamas Puri Permai adalah kurang tepat jika ditinjau baik dari segi hukum pertanahan maupun dari segi hukum perikatan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Upik Hamidah
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
TA3647
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Markus Gunawan
"ABSTRAK
Kewenangan bidang pertanahan di Batam menjadi kewenangan Otorita Batam melalui hak pengelolaan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam. Beberapa masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana status hukum kewenangan bidang pertanahan yang dimiliki oleh Otorita Batam sehubungan dengan diundangkannya Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan bagaimana status hukum terhadap peraturan bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Otorita Batam apabila terjadi peralihan kewenangan kepada Pemerintah Kota Batam. Penults meneliti masalah tersebut dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dan empiris. Hasil penelitian memperlihatkan adanya kewenangan bidang pertanahan yang tidak sinergis antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam. Untuk menyelesaikan masalah tersebut pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan pemerintah tentang Hubungan Kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam. Dalam hal konsep kekhususan pengembangan kawasan Batam tetap dipertahankan, maka keberadaan Otorita Batam perlu dilengkapi dengan dasar hukum yang kuat, termasuk pengaturan mengenai kewenangan bidang pertanahan. Dalam hal pemerintah memandang bahwa Batam perlu dikembangkan sesuai dengan semangat Otonomi daerah, maka peran Pemerintah Kota Batam harus lebih dioptimalkan dengan memberikan segala kewenangan yang selama ini dimiliki oleh Otorita Batam, termasuk kewenangan bidang pertanahan.
"
2007
T18978
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tangkudung, Auderey Gamaliel Dotulong
"ABSTRAK
Pengelolaan kota Batam dapat menimbulkan permasalahan karena adanya dua organisasi pemerintah, yaitu Badan Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam. Kedua organisasi ini memiliki landasan hukum yang kuat dalam menjalankan kewenangannya mengelola kota Batam. Badan Otorita Batam dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 41 tahun 1973. Oleh karena pertambahan jumlah penduduk semakin tinggi maka pemerintah pusat membentuk kotamadya Batam pada tahun 1983 dengan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1983. Tugas pemerintah kota saat itu adalah untuk melayani warga masyarakat yang ada di Pulau Batam dan sekitarnya. Tugas pembangunan dijalankan oleh Badan Otorita Batam. Pada 1999 terbitlah Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otnomi Daerah. Dengan berlakunya undang-undang tersebut maka sejumlah daerah berpeluang untuk dimekarkan menjadi daerah otonom. Salah satunya adalah Kota Batam yang terbentuk berdasarkan HU No. 53 tahun 1999. Devas dan Rakodi ahli manajemen perkotaan mengatakan bahwa banyaknya aktor yang terlibat dalam pengelolaan kota dapat mengakibatkan konflik. Menurut teori Louis Pondy, konflik dapat terjadi karena perbedaan kepentingan, perbedaan pandangan, dan tujuan-tujuan atau juga karena perebutan sumber daya alam.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan terjadinya konflik dalam pengelolaan kola, khususnya dalam pengelolaan tata ruang. Untuk dapat membuktikan asumsi ini, dilakukan penelitian berdasarkan metode kualitatif yang mencakup observasi lapangan, wawancara terstruktur, Berta studi kasus. Observasi di lapangan dilakukan untuk melihat pengeloaan tata ruang dan proses perijinan yang berlaku di Batam. Wawancara dilakukan etas narasumber yang merupakan pemangku jabatan struktural dalam kedua organisasi pemerintahan di Batam, kalangan pengusaha dan warga masyarakat.
Dari hasil penelitian, ditemukan konflik dalam pengelolaan kota Batam antara Pemerintah Kota dan Badan Otorita. Konflik mengikuti pola Louis Pondy, yakni lima tahapan atau jenis konflik. Dapat disimpulkan bahwa telah terjadi konflik dalam pengelolaan kota Batam, khususnya dalam perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang. Konflik yang terjadi di Batam sudah dapat dikatakan konflik termanifestasi sesuai dengan model tahapan konflik Pondy. Dampak dari konflik tersebut terhadap pengelolaan kota antara lain berdampak pada pelayanan publik. Akibat lebih lanjut, berdampak pada perkembangan kota Batam.

ABSTRACT
The management of Batam City may create problems due to the fact that there are two governmental organizations, which is Batam Industrial Development Authority (BIDA) and Batam City Government. Both organizations are supported by strong legal foundations in running the management of Batam City. Batam Industrial Development was founded based on the Presidential Decree No. 41/1973. However, since the population of the city keeps increasing, the central government created Batam municipality in 1993 with the Government Regulation no. 34/1983. The duty of the city government at that time was to provide services to the people living on Batam Island and in the surrounding area. Meanwhile, the duty to develop Batam was conducted by BIDA. In 1999, Act No. 22 re Regional Autonomy was issued. This Act allowed several regions to be expanded into autonomic regions and one of them was Batam City which was founded based on Act No. 53/1999. Devas and Rakodi, urban management experts, said that the involvement of several actors in the management of a city may result in conflicts. According to Louis Pondy's theory, conflicts may occur for several reasons: different interests, different perspectives, and different objectives or because there is a rivalry in managing the natural resources.
The objective of this research is to prove that conflicts occurred in the city management, especially in the spatial management. To prove this assumption, a qualitative research was conducted that covers field observation, structured interviews, and case study. Field observation was carried out to see the spatial management and the licensing procedures that are applied in Batam. Government officers of both organizations, businessmen, and some people of Batam City were interviewed.
The finding of the research is the occurrence of conflicts between Batam City Government and Batam Industrial Development Authority in the managing Batam City. The conflict is in accord with the pattern described by Louis Pondy, which covers five steps or five types of conflicts. It can be concluded that there have been conflicts in the management of Batam City, especially in the spatial planning, spatial usage, and spatial control. According to Pondy's stages of conflicts, the conflicts that happened in Batam can be classified as manifested conflicts. The conflicts affect the public services which in the long run will hinder the development of Batam City.
"
2007
T20721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivi Ayunita Kusumandari
"ABSTRAK
Penyelenggaraan pemerintahan di Batam menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat karena kewenangan pengelolaan Kota Batam dimiliki oleh dua lembaga yaitu BP Batam dan Pemerintah Kota Batam. Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus KEK diharapkan dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun demikian, perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengaturan batas, pembagian wilayah atau zona, kelembagaan, serta kewenangannya. Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Berdasarkan penelitian, dualisme kewenangan antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam terjadi karena adanya kewenangan yang sama pada wilayah yang sama. Hal tersebut terkait dengan sejarah pengembangan kawasan industri Batam dengan Otorita Batam sekarang BP Batam sebagai pengelolanya. Permasalahan terjadi sejak ditetapkannya Batam sebagai daerah otonom, namun tidak menghapus keberadaan BP Batam beserta kewenangannya. Adapun dualisme kewenangan terjadi pada bidang pertanahan, perizinan, penataan ruang serta pungutan pajak, retribusi dan biaya pelayanan. Pembentukan KEK menjadi pilihan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan dualisme kewenangan karena wilayah Batam yang ditetapkan sebagai KEK akan ditentukan dengan jelas luas dan batas kawasannya, dimana pengelolaannya akan menjadi kewenangan BP Batam selaku Administrator. Sementara itu, Pemerintah Kota akan menjadi penyelenggara dan pengelola wilayah yang tidak termasuk dalam KEK. Kewenangan Pemerintah Kota yang terkait dengan penyelenggaraan dan masuk dalam wilayah KEK, akan dilimpahkan kepada BP Batam. Pada KEK juga terdapat kelembagaan yang masing-masing memiliki pembagian tugas, wewenang dan hubungan kerja yang jelas yaitu Dewan Nasional, Dewan Kawasan, Administrator dan Badan Usaha Pengelola. Pada penyelenggaraan KEK Batam, BP Batam akan ditetapkan menjadi Administrator sekaligus Badan Pengelola KEK Batam.

ABSTRACT
The governance of Batam raises legal uncertainty for the society because the authority of Batam is owned by two institutions namely BP Batam and Local Government of Batam. The establishment of Special Economic Zone SEZ is expected to be part of the solution to solve the problem. However, further review on boundary arrangements, zones, institutions, and authorities are required. The author used normative juridical research method in conducting this research. Based on the research, the dualism of authority between BP Batam and Local Government of Batam occurred because of the same authority in the same area. This is related to the history of the development of Batam industrial area which is managed by the Otorita Batam now BP Batam . The problem occurred since the establishment of Batam as an autonomous region, but did not remove the existence of BP Batam and its authority. The dualism of authority occurred in the field of land, licensing, spatial arrangement and tax collection, retribution and service fees. The establishment of SEZ is the right choice to solve the problem of dualism of authority because the Batam area which is designated as SEZ will be determined clearly the area and the boundary of the area, where the management will become the authority of BP Batam as Administrator. Meanwhile, the territories outside the SEZ will be authorized by the Local Government. The authority of the local government that is related to SEZ area will be delegated to BP Batam. SEZ has institutions that have clear division of authority and working relationships, namely the National Council, Regional Council, administrator and managing agency. In Batam SEZ, BP Batam will be set to become Administrator as well as managing agency of Batam SEZ."
2017
T49547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hery Hartawan
"Tesis ini membahas mengenai status tanah dikaitkan dengan subyek hukum pemegang Hak Pengelolaan dari tanah hasil reklamasi pantai di daerah Pantai Ancol Jakarta dan juga pengaruh tanah hasil reklamasi pantai terhadap pendapatan daerah. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dengan metode penelitian Hukum normatif. Dalam penelitian ini menemukan bahwa belum adanya peraturan yang komprehensip mengenai status hak atas tanah dari reklamasi pantai, baik peraturan hukum lingkup nasional maupun peraturan hukum dalam lingkup daerah, berkaitan dengan subyek hukum pemegang Hak Pengelolaan tanah hasil reklamasi pantai tersebut menjadi hal yang masih rancu. Seiring dengan hal tersebut peraturan hukum mengenai pendapatan daerah atas tanah hasil reklamasi pantai masih tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan adanya multitafsir terhadap pungutan yang dapat dikenakan terhadap tanah hasil reklamasi pantai. Hasil penelitian ini menyarankan adanya regulasi khusus terkait atas hak atas tanah hasil reklamasi pantai dan subyek hukum pemegang hak atas tanah tersebut; Pemerintah daerah hendaknya menyediakan perangkat hukum yang lengkap berkaitan dengan reklamasi pantai, sehingga dapat memacu peningkatan pendapatan daerah.

The focus of this study is about status upon land status associated to the legal subject as authorized party who hold ?Right of management? of land from coastal reclamation at Ancol Jakarta Coast and the effect of land from coastal reclamation to local revenue. This research is doing with yuridis normative approach with normative law research method. The research found that there isn?t comprehensive regulation about the right of land from coastal reclamation, national and local regulation scope, which is related to legal subject who hold "Right of management" upon land from coastal reclamation are still complicated. Accordingly the regulation about local revenue from land from coastal reclamation still overlap between one and another regulation which causes/creates a multi interpretation about levies charged upon land from coastal reclamation. The result of this research is that there is not comprehensive regulation about the right of land from coastal reclamation and regulation about local revenue from land from coastal reclamation. The result of this study suggests to provide particular regulations considering to the right of land from coastal reclamation and legal subject who hold the right of the land. The local government should provide a comprehensive legal infrastructure regard coastal reclamation which may improve the local revenue."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27419
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Roselina Effendi
"Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis dualisme kewenangan di Kota Batam yang melahirkan konflik kewenangan antara Badan pengusahaan Batam dan Pemerinta Kota Batam. Latar belakang dari dualisme kewenangan ini disebabkan oleh tumpang tindihnya regulasi yang mengatur Kota Batam dan tidak berjalannya reformasi hukum yang mengatur hubungan pusat dan daerah pasca reformasi. Tumpang tindih kewenangan di daerah pasca desentralisasi di Indonesia merupakan gejala umum yang memicu terjadinya konflik kepentingan di daerah.
Dalam mendeskripsikan dan menganalisis dualisme kewenangan di Kota Batam digunakan teori konflik, desentralisasi dan pendekatan berbasis negara dalam ekonomi politik serta hubungan pusat dan daerah. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dijabarkan berdasarkan metode penelitian kualitatif. Sehingga untuk mengumpulkan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan stakeholder dari Badan Pengusahaan Batam, Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Riau, DPRD, Kamar Dagang Indonesia Kota Batam dan Provinsi Riau. Disamping itu, dilakukan observasi langsung pada dua institusi serta didukung dengan data-data literatur berupa buku, peraturan perundang-undangan, jurnal dan website resmi BP Batam dan Pemko Batam.
Untuk mencapai objektifitas penelitian, digunakan teknik triangulasi dengan mengklarifikasi pada Pemerintah Pusat, Akademisi, LSM, Pengusaha dan Masyarakat. Data yang dikumpulkan direduksi dan disajikan, maka diperoleh kesimpulan bahwa dualisme kewenangan antara Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam merupakan akibat dari ketidaktegasan regulasi yang mengatur hubungan antar instansi di daerah serta hubungan pusat dan daerah. Besarnya kepentingan ekonomi politik pusat di Kota Batam. Sehingga, desentralisasi sebagai amanat UUD 1945 tidak dapat berjalan dengan baik di Kota Batam.
Untuk dapat mengatasi persoalan di Kota Batam, diperlukan ketegasan sikap politik pusat untuk mengakhiri konflik antar dua institusi ini dan melalui penelitian ini disarankan agar pemerintah pusat memberikan desentralisasi asimetris sebagai reorganisasi stuktur untuk mewujudkan Kota Industri Batam. Dengan demikian penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah pusat dalam mengambil keputusan politik, dan menjadi referensi bagi penelitian-penelitian berikutnya, terutama dalam penelitian terkait desentralisasi dan konflik kepentingan antara pusat dan daerah.

This research describes and analyze a dualism of authority in Batam that provoke a conflict of authority between BIFZA (Batam Indonesia Free Zone Authority) and Batam city government. This dualism of authority caused by overlap regulation that organize Batam city and legal reform, which control centralization & decentralization in Soeharto era, is not working. This conflict of authority in decentralization area in Indonesia is a general symptoms that trigger conflict of interest in a district.
Describing and analyzing dualism of authority in Batam city is using theory of conflict, decentralization, and state-based approach in politic economy and the relation between the capital & district. This research is a study case using qualitative research method. Thereby in collecting the data need to do a deep interview with a stakeholder from BIFZA, Batam city government, Riau Province government, DPRD, Chamber of Commerce in Batam & Riau Province. Direct observation to these two institutions which is supported by literature such as books, legislation, journal & official website of BIFZA & Batam city government.
To obtain the objectives of this research, researcher use triangulation techniques that clarifying information from capital government, academics, NGO, enterpreneur, and society. The collected data is reducted and presented. The conclusion is, dualism authority between BIFZA & Batam city government happens from indecision regulation; that control the relation between institutions in a district, the relation between capital and district, and how much politic economy central interest in Batam city. Thereby, decentralization as a mandate from UUD 1945 (State constitution of 1945) cannot work properly in Batam city.
To overcome the conflict in Batam city, politic assertiveness from the capital is needed. From this research conclude a reccomendation that capital government give asymmetry decentralization as structur reorganization to gain Batam industry city. Thereby, this research can be a reference for the next research, especially in research about decentralization and conflict of interest between capital government and district.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T45158
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fauzi
"Dengan berlakunya UU No 22 Tahun 1999, tentang Otonomi Daerah yang kemudian dilanjutkan dengan penggantinya UU No. 32 Tahun 2004, tentang Otonomi Daerah. Sebagaimana yang diatur pada pasal 18 ayat (1) dalam UU No. 32 tahun 2004 ini bahwa Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kemudian Pemerintah Daerah Kota Cilegon memberlakukan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kepelabuhanan, yang disertai beberapa Instruksi dan Keputusan Wali Kota Cilegon untuk mengatur masalah kepelabuhanan yang intinya bahwa di antara isi intruksi dan keputusan tersebut adalah perintah menghentikan semua bentuk perjanjian sewa peralran, jasa pelayanan kepelabuhanan dengan PT Pelindo II (Persero) Cabang Banten, dan penyerahan wewenang pemanduan dan penundaan kapal kepada Perusahaan Daerah Pelabuhan Cilegon Mandiri selaku BUMD kepelabuhanan. Sehingga terjadilah sengketa kewenangan pengelolaan kepelabuhanan antara PT Pelindo II (Persero) Cabang Banten dengan Pemerintah Daerah Kota Cilegon. PT. Pelindo 11 (Persero) melalui Pemerintah Pusat Cq Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 112 tahun 2001, mencabut dan membatalkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kepelabuhanan. Selanjutnya Pemerintah Daerah Kota Cilegon mengajukan Permohonan Uji Materiil kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk meninjau kembali Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, yang kemudian oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dikabulkannya permohonan Uji Materiil tersebut dan melalui Keputusannya No. 21.P/HUK/2003, tanggal 28 Juli 2005, pada item b. "Menyatakan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 112 tahun 2003 tentang Pembatalan Peraturan Daerah No 1 tahun 2001, tentang Kepelabuhan di Kota Cilegon tidak sah dan tidak berlaku untuk umum?. Namun PT Pelindo II (Persero) Cabang Banten melalui Kejaksaan Tinggi Negeri Banten melalui suratnya No. B-656/0.61Gpt.1/04/2006 tentang Putusan Mahkamah Agung RI No.21.P/HUM/2003 tanggal 4 April 2006 memberikan penjelasan dan penegasan kepada seluruh Pengguna Jasa Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri (DUKS) agar tetap melakukan kewajibannya sesuai dengan Kesepakatan Karawaci dan Surat Perjanjian antara PT Pelindo 11 (Persero) Cabang Banten dengan Pemerintah Daerah Kota Cilegon, Kabupaten Serang dan Pengusaha Pengguna Jasa DUKS. Dengan demikian menyikapi hal tersebut di atas seharusnya Pemerintah Pusat bertindak sebagai regulator untuk mengatur dan menentukan pengelolaan Pemerintahan yang baik (good governance) dan juga sebagai koordinator untuk penyelesaian sengketa kewenangan pengelolaan kepelabuhanan di Kota Cilegon."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17332
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ema Hermawati
"Faktor iklim seperti temperatur, kelembaban, curah hujan dan angin setempat mempengaruhi kehidupan nyamuk Anopheles termasuk perilaku menggiggit. Kepadatan menggigit nyamuk Anopheles betina, yang diukur melalui Angka Man Biting Rate, (MBR) tentunya akan berpengaruh terhadap kejadian kasus malariabaru. Telah dilakukan studi untuk rnenganalisis hubungan antara kepadatan menggigit (MBR) Anopheles sundaicus dan fluktuasi iklim dengan jumlah kasus malaria di Desa Nongsa Pantai dan Teluk Mata Ikan, Kota Batam selama bulan Juli sampai Oktober 2004, Studi menggunakan rancangan ekologi-korelasi dengan data selcunder angka MBR dan data kasus berasal dari penelitian sebelumnya oleh Susanna (2005) bexjudul "Pala Penularan Malaria di Ekosistem Persawahan, Perbukitan, dan Pantai (Studi di Kabupaten Jepara, Purworejo dan Kota Batam)". Sedangkan data iklim diperoleh dari stasiun Meteorologi Hang Nadim Batam.
Hubungan dianalisis melalui angka korelasi (r) pada p value = 0,05 dan pembacaan graik berdasarkan waktu Hasil uji statistik menunjukkan bahwa Suhu berkorelasi Sedang dan negatif (r = -0,491) dengan MBR., suhu maksimum 28°C terjadi di minggu ke-7 (Agustus) sementara MBR maksimum 13,5 terjadi di minggu ke-15 A (Oktober), Kelembaban berkorelasi kuat dan positif (r = 0,722) dengan MBR, maksimum teljadi di minggu ke-i5 (Oktober) yaitu 86% bersamaan dengan angka MBR maksimum, grafik memprediksikan kelembaban maksimum akan mempengaruhi angka MBR di mjnggu yang sama.
Curah hujan berkorelasi kuat dan negatif (r = -0,653) dengan MBR, curah hujan maksimum 49 mm teljadi di minggu ke-9 (September), graiik memprediksi saat curah hujn maksimum enam minggu kemudian mempengaruhi angka MBR. Kecepatan angin berkorelasi kuat dan negatif (r = -(1,646) dengan MBR, kecepatan angin maksimum 7 knot texjadi di minggu ke-7 (Agustus), graiik memprediksi saat kecepatan angin maksimum delapan minggu kemudian mernpengaruhi angka MBR.
Dari hasil prediksi, disarankan program surveilans vektor dilakukan segexa setelah kelembaban, curah hujan dan kecqpatan angiu mencapai nilai rnaksimum. Antara kasus malaria dan angka MBR tenjadi hubungan yang sedang dengan arah negatif (r = -0,453), angka MBR maksimmn ada di rninggu ke-15a(Oktober) sedangkan kasus tertinggi yaitu 25 kasus terjadi diminggu ke-8 (Agustus).
Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa suhu, kelembaban, curah hujan dan kecepatan angin berkorelasi sangat lemah dengan kasus malaria. Suhu berkorelasi negatif (r = -0,044), kelembaban berkorelasi negatif (r = -0,206), curah hujan berkorelasi positif (r = 0,l98), dan kecepatan angin berkorelasi positif (r = 0,l36) dengan kasus malaria. Prediksi tidak dilakukan pada hubungan yang sangat lemah."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T31591
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>