Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92544 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Elsy
"Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri. Sejak kecil ia memerlukan perawatan dan kasih sayang seorang ibu, setelah besar dan dewasa butuh seorang teman untuk mendampingi hidupnya sehingga terbentuklah sebuah keluarga. Setelah tua atau jompo serta dalam kondisi yang lemah kembali lagi ia membutuhkan perawatan untuk membantu kelangsungan hidup di hari tuanya.
Pada masyarakat tradisional yang umumnya terdiri dari keluarga luas, memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka merasa aman karena anak dan saudara-saudara lainnya masih merupakan jaminan yang paling baik bagi orang tuanya. Anak masih merasa berkewajiban dan mempunyai loyalitas menyantuni orang tua mereka yang sudah tidak dapat mengurus diri sendiri. Dalam kondisi fisik yang lemah dan sakit-sakitan, dalam kesepian, kebosanan dan menderita post power syndrome (sindroma setelah berakhirnya masa kekuasaan, umumnya setelah seorang pensiun) tidak ada pekerjaan setelah pensiun, anak-anak bertanggung jawab dengan penuh loyalitas dan hormat memelihara, membiayai, mendidik dan mengawasi orang tua sebagaimana pernah mereka lakukan terhadap anak-anaknya. (Rianto Adi, 1999: 193-194)
Sistem keluarga pada masyarakat tradisional Jepang dikenal dengan istilah ie. Sistem ie ini berlangsung sejak zaman Tokugawa sampai akhir perang dunia II. Pada zaman Meiji (1869-1912) sistem ie ini dikukuhkan dalam undang-undang Meiji. Pada zarnan Meiji 80% dari aktifitas perekonomian adalah pertanian, sehingga pada masa itu masyarakat Jepang dikatakan masyarakat agraris. Dalam masyarakat agraris, sebuah ie mempunyai fungsi penting sebagai organisasi manajemen ekonomi dalam lingkungan keluarga.
Menurut Nakane Chia (1967 : 1) ie adalah unit sosial dasar dari tempat tinggal bersama anggota suatu rumah tangga yang anggotanya terdiri dari kerabat dan non kerabat. Sebuah ie dipimpin oleh kepala ie yang disebut dengan kucho. Kacho ini kemudian harus digantikan oleh chonan (anak laki-laki sulung) sebagai pewaris yang apabila telah menikah tetap tinggal dengan ayah (kepala ie) dan ibunya. Oleh karena itu, dalam sebuah ie terdapat dua atau tiga generasi yang tinggal bersama. Chonan ini mempunyai hak untuk berbagi dalam mengelola kekayaan ie, memberikan sumbangan kerja untuk ekonomi ie, dan kepada siapa kepala ie dapat bergantung di usia tuanya. Dengan kata lain, chonan ini harus merawat dan menanggung hidup orang tuanya di hari tua. Oleh karena itu, masa pensiun merupakan masa yang paling menyenangkan bagi kepala ie karena kehidupannya diurus dan diperhatikan oleh chonan dan istrinya.
Setelah pensiun orang tua atau kepala ie yang telah mewariskan ie kepada anaknya itu akan mendapat penghormatan yang cukup dan mempunyai peran yang sesuai dengan usianya dalam masyarakat. Ia mempunyai kedudukan dan peranan yang menonjol sebagai orang yang dituakan, yang dianggap bijaksana dan berpengalaman membuat keputusan dan kaya pengetahuan. Di sisi lain, meskipun sebagai menantu kedudukan wanita rendah, akan tetapi perannya sebagai ibu dari anak-anak akan dihormati, dan pada masa tuanya sebagaimana tradisi yang terdapat pada ie keberadaan wewenangnya akan diserahkan kepada menantu perempuannya."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T14637
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tokyo: The International Society for Educational Information, 1989
952 INT j
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Epica Mustika Putro
"Christmas, atau kurisumasu dalam Bahasa Jepang, merupakan hari perayaan umat Kristen pada tangal 25 Desember untuk merayakan hari kelahiran Jesus Kristus. Akan tetapi di Jepang, walaupun jumlah penganut Kristen tak lebih dari 1% dari seluruh jumlah penduduknya, orang Jepang pada umumnya ikut merayakan kurisumasu, walaupun mereka bukan pemeluk Kristen. Bahkan kurisumasu telah menjadi sebuah perayaan tahunan di Jepang.Ketika memasuki bulan Desember, suasana kurisumasu mulai terasa di berbagai tempat di Jepang. hiasan lampu-lampu (illumination) dan juga hiasan kurisumasu tree dapat ditemukan di berbagai tempat umum. Toko-toko dan tempat perbelanjaan mulai mengganti suasana tempat mereka dengan tema kurisumasu dan mulai menjual barang-barang bertemakan kurisumasu. Orang Jepang merayakan kurisumasu dewasa ini, khususnya dengan pasangan kekasih mereka, keluarga atupun Perayaan kurisumasu..., Epica Mustika Putro, FIB UI, 2006teman, dengan mengikut sertakan tradisi yang ada dalam kurisumasu, seperti hadiah, kurisumasu tree, makan kurisumasu cake, dan yang lainnya. Dari perayaan kurisumasu yang dilihat dewasa ini, perayaan kurisumasu pada umumnya di Jepang merupakan perayaan pada aspek sekuler dari kurisumasu tersebut, tanpa adanya hal yang berkaitan dengan keagamaan. Selain itu gerakan komersialisasi yang mengeksploitir kurisumasu untuk kepentingan keuntungan bisnis. Setelah ditelaah menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh James Barnett, yaitu seorang peneliti Christmas di Amerika, dan juga melihat kondisi perayaan kurisumasu di Jepang dewasa ini, orang Jepang dapat merayakan kurisumasu walaupun mereka bukan pemeluk Kristen, karena mereka dapat menerima permukaan-permukaan luar dari kurisumasu (kurisumasu tree, hadiah, illumination, dan yang lainnya). Selain itu juga mendapat dukungan yang kuat dari gerakan komersialisasi denagn mengatas namakan kurisumasu, sehingga kurisumasu dapat dirayakan secara luas oleh orang Jepang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13555
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Chatrine Margaretha
"Manbiki yang artinya adalah mencuri di pertokoan, adalah suatu bentuk kenakalan remaja yang saat ini sangat meresahkan masyarakat Jepang pada umumnya dan pemilik toko buku pada khususnya. Besarnya kerugian yang diderita pemilik toko buku akibat Manbiki, memaksa mereka untuk lebih memperketat keamanan di toko mereka. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mencegah atau paling tidak mengurangi maslaha Manbiki, seperti, memasang kamera pengawasan, memasang detektor di pintu masuk dan melakukan pendekatan yang lebih baik terhadap pembeli. Meningkatnya masalah Manbiki di tengah masyarakat Jepang merupakan suatu akibat dari beberapa hal, yaitu kurangnya pendidikan moral dan persaingan yang keras di sekolah, merenggangnya hubungan antara orangtua dan anak, lemahnya hukum yang ada, pengaruh yang besar dari komik dan semakin bertambahnya jumlah toko buku baru di Jepang. Upaya penanggulangan masalah Manbiki yang 70% dari pelakunya adalah remaja ini, tidak dapat dilakukan dengan sendiri-sendiri. Semua pihak yaitu pihak pemilik toko, pihak keluarga, pihak sekolah dan pihak pemerintah harus bekerja sama dan saling mendukung satu dengan yang lainnya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan ruetode deskriptif analisis, yaitu mengumpulkan data-data yang diperlukan, mendeskripsikan dan menganalisanya. Data-data yang penulis pakai didapat dari buku-buku, artikel koran dan Internet."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S15348
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frieska Sekar Nadya
"Jepang memiliki kebudayaan-kebudayaan tradisional yang sampai sekarang masih terus dijaga dan diselenggarakan. Salah satu kebudayaan tradisional tersebut adalah matsuri. Matsuri merupakan suatu kegiatan keagamaan yang diselenggarakan sedikitnya oleh satu unit keluarga untuk melayani kamisama (dewa). Salah satunya adalah hadaka matsuri. Hadaka matsuri yang masih ada hingga sekarang adalah Saidaiji Eyou di Okayama. Dalam Saidarji Eyou, para peserta berusaha mendapatkan shingi untuk mendapatkan keberuntungan selama setahun mendatang.
Mutsuro Takahashi (Tamotsu Yato, 1968:149), mengungkapkan bahwa di dalam matsuri Jepang, ketelanjangan mempunyai konotasi yang lebih luas. Hadaka dapat diartikan sebagai ketelanjangan secara total, atau hanya menutupi salah satu bagian tubuh, atau sebagian tubuh yang tidak berbusana. Hal ini mungkin akan membingungkan, khususnya untuk orang asing. Ketika mendengar kata "hadaka matsuri", yang ada di dalam benak mereka adalah orang-orang yang berpartisipasi dalam matsuri tersebut pasti `telanjang bulat', mengikuti definisi yang ada di dalam kamus. Akan tetapi, ternyata pelaku ritual tidak benar-benar telanjang bulat, mereka masih memakai fundoshi (cawat), kain berwarna putih yang digunakan khusus menutupi alat kelamin pria.
Menurut Yoneyama Toshinao (1986: 171), Yanagita Kunio juga membedakan matsuri menjadi dua, yaitu matsuri itu sendiri dan sairei. Sairei merupakan kegiatan keagamaan yang diselenggarakan dengan meriah dan disaksikan oleh banyak penonton. Saidayi Eyou, dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk sairei, karena diselenggarakan dalam bentuk yang besar dan meriah jika dibandingkan dengan penyelenggaraan awalnya. Akan tetapi, hal ini bukan berarti dengan adanya perubahan matsuri menjadi sairei, merupakan penurunan dalam kebudayaan atau keagamaan di Jepang. Sebaliknya hal ini dijadikan momen bagi bangsa Jepang untuk mempertahankan budaya matsuri tersebut."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T 20686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Dahsiar Anwar
"ABSTRAK
Pengertian konsep shomin shinko (kepercayaan rakyat) dari Kusunoki yang dipinjam untuk mendekati masalah syamanisme di Jepang tidak bisa difahami secara mendalam, tanpa terlebih dahulu rnenelaah konsep minkan shinko dan minkan densho dari para sarjana Jepang lainnya.
Istilah minkan shinko secara harafiah, juga berarti "kepercayaan rakyat". Kata minkan, dan kata shomin, jika di-Indonesia-kan sama-sama akan berarti "rakyat; sedangkan kata shinko berarti "kepercayaan". Namun demikian, sebagai suatu konsep ilmiah, di antara istilah minkan shinko dan shomin shinko terdapat konotasi anti yang berbeda. Bahkan dalam hal ini, konsep minkan, densho (tradisi rakyat), ternyata lebih mendekati pengertian shomin shinko ketimbang minkan shinko dari beberapa ahli tertentu.
Di dalam dunia ilmu pengetahuan di Jepang, konsep minkan shinko belum diartikan secara seragam. Beberapa ahli religiologi dan ahli folklor di sana mempunyai konsepsi yang berbeda tentang istilah ini, dan masing-masing memberikan batasan pengertian dari sudut pandangannya sendiri-sendiri. Ada yang menginterpretasikannya ke dalam berbagai macaw tahyul, ramalan, tabu, gejala-gejala kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan magis dan lain-lain. Ada yang memakainya dalam anti minkan shukyo (agama rakyat), untuk menunjukkan gejala-gejala kepercayaan yang ada kaitannya dengan agama Shinto sebagai agama asli orang Jepang. Ada yang menganggapnya sebagai bagian dari minkan densho (tradisi rakyat) yang tidak mengalami perubahan sejak masa purba hingga masa kini. Bahkan ada pula yang menginterpretasikannya sebagai gejala-gejala kepercayaan yang menyimpang dari ajaran-ajaran (dogma) agama Shinto dan Buddha.
Berbagai konsepsi tentang minkan shinko di atas mempunyai penjelasan yang kuat dari sudut pendekatannya masing-masing, tetapi dari bermacam konsepsi tersebut terdapat pula kelemahan-kelemahan atau segi-segi yang belum terpecahkan untuk menyimpulkan minkan shinko sebagai suatu esensi atau karakteristik kebudayaan Jepang oleh si pembuat konsepsi yang bersangkutan."
1987
D18
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subarno
"The Meiji restoration indicated an early process of modernization in Japan, a major political, economic, and social change that took place rapidly in the second half of the 19th century, by which Japanese society was transformed into the modern one. This process of modernization continued up to the end of Pacific War when Japan was defeated by the allied forces. In the post war era, Japan rushed to catch up with the industrialized west by focusing on her industrial and economic development. Consequently, less than two decades Japan has become a rich country.
Even though Japan has been an advanced and modern country, and accepted modern culture of the west and developed advanced industries based on what she has learned, she has at the same time, maintained her own culture, that has many characteristics, like: multi-layered, homogeneity, Japanization, and pragmatism. These features can be seen in religion too. Buddhism is absorbed side by side with Shinto and the two religions become harmoniously interwoven in the lives of the Japanese. This phenomenon strengthens folk religion, an indigenous primitive religion into which elements from Shinto, Buddhism, Taoism, Confucianism and other religions have been grafted and is expressed in the daily ritual and matsuri. Among them is the 0-Bon Matsuri.
0-Bon Marsuri is a part of ancestor worship, observed between 13-15th day of the seventh month, by placing offerings on the bondana and by otherwise seeking to please the ancestral spirits. For contemporary Japanese people, this observance has many functions, such as: to fulfill basic human needs, to strengthen solidarity among family groups, to be recreational event, and to break monotonous. That's why the phenomenon changes from religious ceremony to social custom."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leny Marliani
"Tema dari skripsi ini adalah pengaruh juku terhadap pendidikan sekolah pada peningkatan kemampuan akademis siswa Jepang sesudah Perang Dunia II.Juku mulai berkembang di Jepang pada pertengahan zaman Edo. Juku pada zaman Edo berkembang sebagai sarana untuk menyampaikan pendidikan dan ajaran dari suatu doktrin tertentu kepada para siswanya. Juku menjadi salah satu bagian dari sarana pendidikan yang berkembang di zaman Edo. Tetapi memasuki zaman Meiji tepatnya pada tahun 1872, pemerintah mengumumkan gakusei, yaitu sistem pendidikan formal model Barat yang menitikberatkan pada ilmu pengetahuan Barat. Pemberlakuan gakusei membuat kedudukan juku melemah, sehingga akhirnya juku berkembang menjadi pendidikan non formal yang berperan sebagai pelengkap dari pendidikan formal yang telah ditetapkan oleh pemerintah.Awal terjadinya booming juku atau perkembangan jumlah juku dalam jumlah besar di Jepang berawal pada tahun 1964, dimana generasi baby boom, yaitu sebutan untuk orang Jepang yang dilahirkan sesudah Perang Dunia II, mulai memasuki usia SMU. Pada sistem pendidikan di Jepang SMU bukan merupakan bagian dari pendidikan wajib, sehingga untuk dapat diterima di SMU siswa harus mengikuti ujian masuk yang kompetitif. Hal tersebut membuat banyak siswa Jepang yang kemudian mulai mengikuti juku.Saat ini peserta juku tidak lagi terbatas pada siswa SLTP semata melainkan ada juga siswa SD dan SMU. Alasan orang tua memasukkan anak mereka ke tempat juku walaupun dengan biaya pendidikan mahal adalah karena keinginan anak mereka sendiri yang ingin mendapat pelajaran tambahan, selain itu orang tua juga sadar bahwa pendidikan sangat penting bagi kehidupan anak mereka kelak. Bersekolah di sekolah berperingkat tinggi menjadi saiah satu ukuran terpenting atas kemampuan seseorang. Mengikuti juku merupakan suatu cara menghadapi kompetisi dalam pendidikan yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memperbaiki prestasinya di sekolah dan memperbesar kesempatan untuk dapat lulus ujian di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Siswa yang mengikuti juku akan memperoleh keuntungan lebih dalam berkompetisi dibanding siswa yang tidak mengikuti juku."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S13596
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Skripsi yang berjudul Fenomena Shoushika dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Jepang Dewasa Ini mengemukakan permasalahan tentang semakin sedikitnya jumlah populasi anak-anak yang ada di Jepang sekarang ini, akibat terus menurunnya tingkat kelahiran. Fenomena rendahnya jumlah anak di Jepang ini, dikenal dengan istilah shoushika. Sejak Perang Dunia ll, jumlah rata-rata kelahiran di Jepang telah mengalami pasang surut, namun sejak tahun 1975 rata-rata tingkat kelahiran anak di Jepang terus menurun dengan stabil dan tidak mengalami peningkatan hingga tahun 2003 ini. Dengan menurunnya rata-rata kelahiran, berarti jumlah populasi anak-anak berkurang, dan hal ini mengakibatkan terus berkurangnya jumlah populasi usia produktif, yang berarti bahwa jumlah sumber daya manusia di Jepang pun mengalami penurunan. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, penulis berusaha mendeskripsikan dan menganalisa faktor-faktor penyebab dari semakin berkembangnya fenomena shoushika serta pengaruh yang ditimbulkannya. Perubahan Cara pandang generasi muda Jepang sekarang ini, khususnya kaum wanita, dalam menilai pernikahan, keluarga, dan anak, merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan shoushika. Wanita Jepang saat ini, khususnya, sudah tidak melihat pernikahan. sebagai suatu keharusan, melainkan sebagai suatu pilihan hidup, sehingga mereka bebas untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Hal ini dikarenakan kesulitan yang dihadapi oleh wanita-wanita Jepang yang ingin berkarir dan juga berkeluarga untuk menjalankan keduanya secara bersamaan. Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi salah satu faktor penyebab berkembangnya shoushika, karena dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jepang, cara hidup dan kemakmuran bangsa Jepang juga mengalami perubahan. Sedangkan, pengaruh yang ditimbulkan oleh semakin berkembangnya shoushika, tidak hanya dalam segi kependudukan, tetapi juga mempengaruhi segi Ekonomi, pendidikan, social, dan berbagai segi kehidupan masyarakat Jepang, dan juga jumlah pajak yang dapat dikumpulkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, fenomena shoushika yang ada dalam masyarakat Jepang sekarang ini, merupakan ancaman bagi keberlangsungan hidup serta keberadaan bangsa Jepang di masa depan. Semakin menurunnya jumlah kelahiran dan jumlah populasi anak-anak di Jepang, akan menjadikan bangsa Jepang sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari generasi yang semakin menua, tanpa kehadiran anak_anak sebagai tulang punggung pembangunan dalam usaha mencapai kemakmuran."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S13935
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggit Enggar Y.
"Jepang sebagai salah satu negara industri maju di dunia, menghadapi masalah berkaitan dengan komposisi penduduknya yang didominasi oleh penduduk usia lanjut Hal ini kemudian menjadi masalah yang cukup serius bagi pemerintah Jepang karenaadanya fenomena lain yang muncul di masyarakat Jepang dalam 30 tahun terakhir yaitu semakin berkurangnya rata-rata jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu atap. Fenomena ini dikhawatiran menjadikan kemampuan keluarga Jepang untuk menopang kehidupan lansianya menurun. Berpijak dari fakta ini, pemerintah Jepang terus memikirkan langkah-langkah untuk mengatasi masalah lansianya. Masalah yang umum dihadapi oleh para lansia Jepang adalah masalah kesehatan dan perawatannya. Dari sekian banyak gangguan kesehatan, netakiri adalah kasus yang paling banyak diderita oleh lansia Jepang. Oleh karena itu, lansia-lansia ini memerlukan individu-individu yang akan merawat mereka. Dari hasil angket yang dilakukan, perawatan kesehatan lansia di Jepang masih didominasi oleh pihak keluarga. Namun, ada kecenderungan yang kuat bagi orang Jepang dewasa ini untuk mempercayakan urusan perawatan di masa tuanya kepada institusi pemerintah ataupun swasta. Kecenderungan inilah yang dilihat pemerintah Jepang dan juga pihak swasta untuk ikut menangani masalah perawatan kesehatan lansia. Melalui berbagai macam kebijakan, salah satunya adalah Kaigo Hoken Hou, dibentuklah suatu sistem untuk membantu lansia Jepang untuk merencanakan perawatan kesehatannya. Sistem yang ditunjang oleh beberapa Undang-undang yang terkait ini, semakin mendapat kepercayaan daari para lansia Jepang. Salah satu kunci keberhasilan dari sistem ini adalah layanan-layanan yang mereka sediakan bernuansa keluarga atau rumahan. Hal ini didasari satu fakta bahwa sebenarnya lansia Jepang masih menginginkan perawatan kesehatan mereka dilakukan keluarga ataupun dilakukan di tempat kediamannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13495
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>