Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58697 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosana Kesuma Hidayah
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, sejauhmana melalui pidana penjara jangka pendek tujuan pemidanaan dapat tercapai.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Kalianda dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kalianda.
Pidana penjara yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan pada intinya mempunyai maksud agar pada masa pemidanaan terhadap terdakwa dapat dilakukan pembinaan, namun ternyata dalam hal terdakwa dijatuhi pidana penjara jangka pendek, karena pendeknya waktu pemidanaan, pembinaan justru tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu pidana penjara jangka pendek sebagai suatu sarana pemidanaan dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan perlu pengkajian lebih jauh terutama dari sisi hak asasi narapidana maupun dari sisi Hakim sebagai aparat yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang dihadapi terdakwa. Berangkat dari Mori Utilitarian yang mempunyai titik tekan pada aspek kemanfaatan, dimana berpijak pada teori ini bahwa suatu pemidanaan harus dapat memberi manfaat baik bagi pelaku maupun masyarakat, dan jika tidak mampu memberi manfaat maka suatu pemidanaan menjadi tidak bernilai. Selanjutnya berdasarkan penelilian yang dilakukan terungkap banyak hambatan yang menghalangi tercapainya tujuan pemidanaan melalui pidana penjara jangka pendek.
Menghargai hak asasi manusia dan menghormati martabat manusia harus berlaku bagi setiap orang atau setiap anggota masyarakat, termasuk anggota masyarakat yang sedang menjalani pidana penjara ataupun yang sedang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu dalam rangka melindungi hak asasi manusia dan martabat manusia, mengurangi kebebasan manusia haruslah menjadi bahan pemikiran sedalam-dalamnya sekalipun dengan alasan untuk menghukum seseorang yang melakukan tindak pidana. Pemidanaan yang lebih merugikan daripada tindak pidana yang dilakukan merupakan penindasan terhadap hak-hak asasi terpidana, karena walaupun memang pidana mengandung suatu penderitaan akan tetapi janganlah pidana membawa seseorang pada jurang kesengsaraan.

This research is aimed at conducting a research in perspective of human rights as regards to what extent the short term imprisonment brings the accomplishment of the purpose of criminal punishment.
This research employing a qualitative methodology of research with location of research in Kalianda District Court and Kalianda Penitentiary Institution.
Imprisonment sentence exercised in penitentiary institution in essence is addressed to conduct a mental up-building to the accused during the criminal sentence nonetheless it turns out that mental up-building can not be realized to the accused sentenced to the short term imprisonment in the light of limited time for the criminal sentence and up-building. Therefore the short term imprisonment as a media of criminal sentence in term of bringing the accomplishment of the criminal sentence calls for further review particularly in the perspective of the criminal's human rights. Commencing from the Utilitarian Theory emphasized on the usefulness aspects place a criminal sentence oriented to contributed a benefit either to the actor or community, and when it fails to contribute a benefit, a criminal sentence shall became valueless. Henceforth the research reveals many barriers which impede the accomplishment of criminal sentence through a short term imprisonment.
Respecting Human Rights and the Human Dignity must be awarded to every body or every member of community including member of community who are in imprisonment or in face of conflict in the laws. Therefore, in term of protecting the human rights and human dignity, relieving freedom of human being shall serve as a deep analysis despite it is aimed at sentencing a person who commits criminal act. A criminal sentence which inflicts more losses rather than a criminal act committed constitutes an oppression to the human rights of the criminal despite an imprisonment bears the essence of suffering but the crime should not bring a person into misery.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setia Budi Hartono
"Pidana penjara seumur hidup akan selalu dihadapkan dengan suatu persoalan pergulatan tentang kemanusiaan. Disatu sisi pidana penjara seumur hidup digunakan sebagai sarana represif untuk melindungi masyarakat dari perbuatan dan pelaku kejahatan yang dipandang sangat membahayakan. Namun di sisi lain pidana penjara seumur hidup meniadakan hak narapidana mengakhiri masa menjalankan pidana. Garis kebijakan tujuan pelaksanaan pidana di Indonesia adalah pemasyarakan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Meskipun pidana penjara seumur hidup dalam kenyataannya masih digunakan, namun dalam praktik pelaksanaannya cenderung berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pemasyarakatan yang berorientasi pembinaan. Hal demikian ditempuh untuk mengatasi benturan kepentingan dalam konsep pemasyarakatan yang berorientasi kepada rehabilitasi dan resosialisasi narapidana untuk kembali ke masyarakat dan kepentingan untuk memisahkan narapidana dengan masyarakat dalam jangka waktu lama. Perlu kearifan dalam memandang tujuan pemidanaan yang tidak bermaksud semata memisahkan pelaku kejahatan dari masyarakat dalam jangka waktu lama demi alasan suatu pelanggaran hukum. Meskipun pemidanaan disahkan sebagai konsekuensi atas suatu perbuatan yang melanggar hukum, namun secara substansial dan pelaksanaanya hendaknya menghormati narapidana sebagai manusia yang dijadikan obyek pemidanaan. Bagaimanapun tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku kejahatan yang memiliki kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki. Jika demikian faktanya bukankah suatu hal yang berlebihan apabila pidana penjara diterapkan hanya semata-mata difokuskan kepada perampasan kebebasan seseorang selama hidup tanpa memberi kesempatan untuk kembali kepada masyarakat ?. Bukankah hal demikian merupakan pemidanaan yang cenderung melanggar HAM seseorang, yakni hak kebebasan yang menurut hukum dilindungi keberadaannya"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16454
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wemby Adhiatma Satrio Prayogo
"Tesis ini membahas mengenai pidana penjara yang dilaksanakan di rumah tahanan yang seharusnya dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan. Hal mengenai tempat pelaksanaan pidana sebenarnya sudah diatur dengan cukup baik dalam beberapa peraturan di Indonesia salah satunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut disebutkan jika lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pidana penjara sementara rumah tahanan adalah tempat untuk seorang yang berstatus sebagai tersangka/terdakwa menjalani masa tahanannya. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri, dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, desertasi, artikel dan berita online. Kesimpulan dari penelitian ini ditemukan adanya narapidana yang menjalani pidana penjaraanya di rumah tahanan, termasuk para pejabat yang dijatuhi pidana penjara namun ditempatkan di rumah tahanan. Efektifitas pembinaan di rumah tahanan menjadi dipertanyakan karena sarana dan prasarananya yang berbeda dengan lembaga pemasyarakatan, selain itu pembinaan di lembaga pemasyarakatan sendiri diragukan efektivitasnya. Perlu adanya suatu pembaruan dalam undang-undang pemasyarakatan agar menjadi lebih jelas untuk masalah fungsi lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan terutama untuk masalah penempatan tahanan dan narapidana, kemudian fasilitas yang perlu ditambah agar pembinaan bisa menjadi efektif serta diperlukan suatu bentujk pemidanaan alternatif yang menggantikan pidana penjara untuk mencegah terjadinya Overcrowded, baik di rumah tahanan dan juga lembaga pemasyarakatan.

This thesis discusses imprisonment which is carried out in a detention center which should be carried out in a correctional facility. Matters regarding the place of the execution of the crime are regulated quite well in several regulations in Indonesia, one of which is Law Number 12 of 1995 concerning Corrections. In this law, if the correctional facility is a place to carry out sentences while the detention house is a place for a person who is a suspect/defendant to serve his term of detention. The method used in this research is the normative juridical using primary legal materials in the form of regulations, government regulations, and ministerial decrees, and secondary legal materials in the form of books, journals, theses, theses, dissertations, articles, and online news. The conclusion of this study found that there are prisoners serving prison terms in detention centers, including officials who were sentenced to imprisonment but were placed in detention centers. The effectiveness of guidance in a detention center is questioned because the facilities and infrastructure are different from those of the correctional facility, besides that, he can trust the guidance in the correctional institution itself. There is a need for reform in the law so that it becomes clearer for the problem of the function of prisons and detention centers, especially for the problem of placing prisoners and prisoners, then the facilities that need to be added so that guidance can be effective and an alternative form of punishment is needed to prevent overcrowding, both in detention centers and prisons."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Qarnain
"Filosofi Pemidanaan di Indonesia telah sejak lama bergeser dari pembalasan ke pengembalian narapidana ke masyarakat, terlebih lagi dalam hal pidana perampasan kemerdekaan, yang mengalami perubahan filosofi dari “penjara” menjadi “pemasyarakatan”. Tetapi dalam praktiknya, ternyata tidak banyak yang berubah. Pemasyarakatan masih belum dapat disebut rehabilitatif karena masih banyak sekali permasalahan seperti overstaying, tingkat residivisme yang tinggi, overcrowded, kerusuhan yang seringkali terjadi di Lapas dan Rutan, sering kaburnya warga binaan, maraknya peredaran narkotika di dalam Lapas dan Rutan, hingga terjadi pungutan liar. Untuk mengatasinya, Kementerian Hukum dan HAM kemudian memunculkan suatu ide “Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan”, yang ketentuannya tertera pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018. Highlight dari revitalisasi pemasyarakatan ialah mengutamakan perubahan perilaku warga binaan dan mengubah tantangan kelebihan penghuni Lapas dan Rutan menjadi peluang untuk menciptakan SDM yang unggul melalui empat tahapan pembinaan, yaitu super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security sesuai dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh warga binaan. Penelitian ini bersifat normatif dengan mengutamakan studi kepustakaan, lalu didukung oleh wawancara dan observasi yang penulis lakukan di berbagai UPT Pemasyarakatan untuk mengonfirmasi dan mengklarifikasi data yang penulis temukan dari studi dokumen. Untuk menemukan solusi atas permasalahan pemasyarakatan, diadakan pula perbandingan dengan negara-negara yang sukses di bidang pemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi pemasyarakatan belum menimbulkan perubahan yang cukup berarti karena terdapat beberapa hambatan, sehingga diperlukan perubahan dari segi struktural dan sistemik untuk membantu menyukseskan revitalisasi ini.
The philosophy of criminalization in Indonesia has developed its orientation from retribution to rehabilitation, precisely in the case of criminal deprivation of liberty, which has changed its philosophy from "prison" to "correctional". Unfortunately, in practice, it has not much changed. Corrections still cannot be called rehabilitative because there are still many problems such as overstaying, high recidivism rates, overcrowded, riots that often occur in prisons and jails, frequent prison escapes, rampant narcotics circulation in prisons, to the occurrence of illegal levies. To overcome this, the Ministry of Law and Human Rights then came up with the idea of "Revitalization of the Correctional System", which is listed in Minister of Law and Human Rights Regulation Number 35 Year 2018. The highlight of the revitalization is to prioritize changes in the behavior of inmates and change the challenges of overcrowding to the opportunity to create superior human resources through four stages: super maximum security, maximum security, medium security, and minimum security, in accordance with the level of risk possessed by inmates. The method of the research is normative research by using library studies supported by interview and observation in various correctional institution to get confirmation and clarification of the data that the author got from the document research. In addition to develop the correctional system in Indonesia, This research also use comparative studies with other countries in the penitentiary field. The result of the research concluded that the revitalization of the correctional facilities has not caused significant changes because there are several obstacles, so that structural and systemic changes are needed to help the success of this revitalization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulastri
"Penahanan menyebabkan terputusnya interaksi anak dengan dunia luar. Kondisi ini membuat anak menunjukkan tanda-tanda stres sehingga dibutuhkan dukungan sosial pada anak yang berada di lapas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat stres anak selama menjalani penahanan. Desain penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 49 dengan kriteria merupakan anak pidana yang telah menjalani 1/3 masa penahanan berjenis kelamin laki-laki, dan baru menjalani penahanan pertama kali. Analisis yang digunakan univariat, bivariat (chi square). Hasil penelitian yang didapatkan masih rendah dalam hal dukungan emosional, dukungan instrumental, dan dukungan informasional. Rekomendasi penelitian ini untuk meningkatkan kualitas dukungan dalam bentuk peer group support dan training of parents.

Penahanan menyebabkan terputusnya interaksi anak dengan dunia luar. Kondisi ini membuat anak menunjukkan tanda-tanda stres sehingga dibutuhkan dukungan sosial pada anak yang berada di lapas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat stres anak selama menjalani penahanan. Desain penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 49 dengan kriteria merupakan anak pidana yang telah menjalani 1/3 masa penahanan berjenis kelamin laki-laki, dan baru menjalani penahanan pertama kali. Analisis yang digunakan univariat, bivariat (chi square). Hasil penelitian yang didapatkan masih rendah dalam hal dukungan emosional, dukungan instrumental, dan dukungan informasional. Rekomendasi penelitian ini untuk meningkatkan kualitas dukungan dalam bentuk peer group support dan training of parents."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S46589
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iqrak Sulhin
"Di dalam perkembangan praktek pemenjaraan, muncul berbagai permasalahan yang membuat pertanyaan besar mengenai kemampuan pemenjaraan itu sendiri dalam mencapai tujuan berdasarkan rasionalitasnya. Sejak abad ke-19, diskursus dan praktek pemenjaraan dilakukan melalui strategi pendisiplinan yang dalam penologi disebut dengan rehabilitasi atau reformasi. Berdasarkan rasionalitas ini, dikembangkan sejumlah teknologi yang berupaya menghilangkan sifat kriminal sehingga mencegahnya melakukan kembali kejahatan setelah bebas dari penjara.
Namun, munculnya residivisme, terbentuknya budaya penjara, stigma dan penolakan masyarakat terhadap mantan narapidana, digunakannya penjara sebagai instrumen kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan sebuah paradoks, inkonsistensi, atau diskontinuitas antara praktek pemenjaraan dengan rasionalitasnya.
Disertasi ini mencoba menjelaskan secara filosofis diskontinuitas praktek pemenjaraandengan menggunakan kerangka berfikir Michel Foucault. Metodologi yang digunakanadalah analisa diskursus arkeologi/genealogi yang juga dikembangkan oleh Michel Foucault. Disertasi ini mengembangkan lebih jauh argumentasi Michel Foucault di dalam discipline and punish mengenai bekerjanya kekuasaan destruktif dalam pemenjaraan, dengan mengkaitkannya dengan sejumlah permasalahan yang merupakan bentuk diskontinuitas diskursus/praktek pemenjaraan. Untuk menjaga jarak dengan pemikiran Foucault, disertasi ini menggunakan pendekatan kapabilitas manusia dari Amartya Sen untuk menjelaskan kondisi manusia di dalam pemenjaraan.
Kesimpulan disertasi ini adalah pemenjaraan merupakan sebuah diskursus/praktek yang diskontinu. Sebuah kondisi yang paradoks atau inkonsisten dengan rasionalitas yang mendasarinya. Disertasi ini mengkonseptualisasi kondisi diskontinuitas diskursus/praktek tersebut sebagai irrasionalitas pemenjaraan. Refleksi filosofis penelitian ini tidak berujung pada peniadaan penjara sebagai bentuk penghukuman. Namun, diskontinuitas praktek pemenjaraan mendorong perlunya diskursus alternatif dari penghukuman.

In the development of the practic of imprisonment, there some emerging issues that make the big questions about the ability of imprisonment itself to achieving the goal beased on its rationality. Since the 19th century, the discourse and practice of imprisonment done through a disciplinary strategy in penology called rehabilitation or reformation. Based on this rationalities, imprisonment developed a number of technologies that seek to reduce the criminal nature that can prevented the prisoners from reoffending after release from prison.
However, the emergence of recidivism, a prison culture, stigma and social rejection of former inmates, and the used of prison as an political and economic power suggests a paradox, inconsistency, or discontinuity between the practice of imprisonment with the rationality. This dissertation tries to explain philosophically the discontinuity of imprisonment practices using Michel Foucault frameworks. As well as the archaeology/genealogy discourse analysis which also developed by Foucault.
This dissertation develops further Foucault?s arguments in Discipline and Punish about the destructive power of imprisonment, by linking to a number of problems which is a form of discourse/practice discontinuity. To keep a distance with Foucault?s thinking, this dissertation uses the human capability approach of Amartya Sen in explaining the human condition in imprisonment.
The conclution of this dissertation is imprisonment as a discourse/practice is discontinued. A paradox conditions or inconsistency with the underlying rationality. This dissertation conceptualize such discourse/practice discontinuity as an imprisonment irrationality. Philosophical reflection of this study does not lead to the elimination of prison as a form of punishment. However, the practice discontinuity of imprisonment urges the need for an alternative discourse in punishment."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D1496
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinny Fauzan
"ABSTRAK
Nama : Dinny FauzanProgram Studi : Magister KenotariatanJudul : Kedudukan Notaris dalam Pembuatan Akta yang Memuat Keterangan Palsu Studi Kasus PutusanNomor 1039/Pid.B/2015/PN.DPS Pembimbing : Dr. Siti Hajati Hoesin, S.H., M.H. Dr. Pieter Everhardus Latumeten, S.H., M.H. Notaris dalam mengkonstantir semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang disampaikan oleh para pihak kepadanya dalam pembuatan akta otentik, sering sekali menemukan kendala berupa adanya keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak. Keterangan palsu yang dimaksud adalah keterangan yang dituliskan di dalam akta tersebut yang tidak sesuai dengan keinginan dari para pihak baik yang sengaja maupun yang tidak sengaja. Keterangan palsu bisa berasal dari keterangan yang didapat dari para pihak yang menghadap Notaris atau keterangan yang ditulis oleh pihak notaris itu sendiri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kerangkanya. Jika kesalahan dilakukan secara sengaja oleh pihak penghadap, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan tuntutan berupa ganti rugi atau tindak pidana pemalsuan terhadap pihak yang merugikan tersebut dan pihak Notaris tidak dapat dipersalahkan apabila pihak Notaris dapat membuktikan apabila tidak terlibat dalam kesengajaan tersebut. Kedudukan akta autentik dapat diabatalkan, apabila keterangan daripada pihak tersebut dapat dinyatakan. Kata kunci:Keterangan Palsu, akta otentik, tanggung jawab, notaris

ABSTRACT
Name Dinny FauzanStudy Program Master of NotaryTitle The Notary rsquo s Position in the production of a deed Containing false Information. Case Study of Decision Number 1039 Pid.B 2015 PN.DPS Counsellor Dr. Siti Hajati Hoesin, S.H., M.H. Dr. Pieter Everhardus Latumeten, S.H., M.H. Notary in writing down all actions, agreements and stipulation presented by the parties to him in the drawing up of authentic deed often comes across impediments in the form of false information presented by the parties. What is meant by the false information is an information that is written in the deed that is not in accordance with the wishes of the parties either intentional or accidental. False information can be derived from the information obtained from the Parties to Notary or statements written by Notary Party itself. This study is a normative juridical that relies on the principles of the written law. While this type of data used is secondary data in the form of legislation in the form of books relating to the research and resources of the website or document from the Internet to support the interests of research written by the author. If an error is made deliberately by the parties, then the party who feels aggrieved can file a claim for damages or a criminal act of forgery against the adverse party and the Notary can not be blamed if the Notary can prove if they are not involved in the deliberation. The position of authentic deed if there is any false information provided by the parties to the Notary can be null and void. Keywords False Information, Authentic Act, Responsibility, Notary "
2018
T50605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Qarnain
"Filosofi Pemidanaan di Indonesia telah sejak lama bergeser dari pembalasan ke pengembalian narapidana ke masyarakat, terlebih lagi dalam hal pidana perampasan kemerdekaan, yang mengalami perubahan filosofi dari “penjara” menjadi “pemasyarakatan”. Tetapi dalam praktiknya, ternyata tidak banyak yang berubah. Pemasyarakatan masih belum dapat disebut rehabilitatif karena masih banyak sekali permasalahan seperti overstaying, tingkat residivisme yang tinggi, overcrowded, kerusuhan yang seringkali terjadi di Lapas dan Rutan, sering kaburnya warga binaan, maraknya peredaran narkotika di dalam Lapas dan Rutan, hingga terjadi pungutan liar. Untuk mengatasinya, Kementerian Hukum dan HAM kemudian memunculkan suatu ide “Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan”, yang ketentuannya tertera pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018. Highlight dari revitalisasi pemasyarakatan ialah mengutamakan perubahan perilaku warga binaan dan mengubah tantangan kelebihan penghuni Lapas dan Rutan menjadi peluang untuk menciptakan SDM yang unggul melalui empat tahapan pembinaan, yaitu super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security sesuai dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh warga binaan. Penelitian ini bersifat normatif dengan mengutamakan studi kepustakaan, lalu didukung oleh wawancara dan observasi yang penulis lakukan di berbagai UPT Pemasyarakatan untuk mengonfirmasi dan mengklarifikasi data yang penulis temukan dari studi dokumen. Untuk menemukan solusi atas permasalahan pemasyarakatan, diadakan pula perbandingan dengan negara-negara yang sukses di bidang pemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi pemasyarakatan belum menimbulkan perubahan yang cukup berarti karena terdapat beberapa hambatan, sehingga diperlukan perubahan dari segi struktural dan sistemik untuk membantu menyukseskan revitalisasi ini
.The philosophy of criminalization in Indonesia has developed its orientation from retribution to rehabilitation, precisely in the case of criminal deprivation of liberty, which has changed its philosophy from "prison" to "correctional". Unfortunately, in practice, it has not much changed. Corrections still cannot be called rehabilitative because there are still many problems such as overstaying, high recidivism rates, overcrowded, riots that often occur in prisons and jails, frequent prison escapes, rampant narcotics circulation in prisons, to the occurrence of illegal levies. To overcome this, the Ministry of Law and Human Rights then came up with the idea of ​​"Revitalization of the Correctional System", which is listed in Minister of Law and Human Rights Regulation Number 35 Year 2018. The highlight of the revitalization is to prioritize changes in the behavior of inmates and change the challenges of overcrowding to the opportunity to create superior human resources through four stages: super maximum security, maximum security, medium security, and minimum security, in accordance with the level of risk possessed by inmates. The method of the research is normative research by using library studies supported by interview and observation in various correctional institution to get confirmation and clarification of the data that the author got from the document research. In addition to develop the correctional system in Indonesia, This research also use comparative studies with other countries in the penitentiary field. The result of the research concluded that the revitalization of the correctional facilities has not caused significant changes because there are several obstacles, so that structural and systemic changes are needed to help the success of this revitalization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Pribady
"Pemberian remisi kepada narapidana baik narapidana sipil maupun militer merupakan perintah dari undang-undang sebagai rangsangan agar narapidana bersedia menjalani pembinaan untuk merubah perilaku sesuai dengan tujuan Sistem Pemasyarakatan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui Pemberian Remisi Terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan sipil dan Lembaga Pemasyarakatan Militer dihubungkan dengan Sistem Peradilan Pidana. Adapun sifat penelitian adalah yuridis normatif. Bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap. Data yang terkumpul dipilah dan dianalisis secara yuridis dan terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara sistematis dengan metode deduktif dan induktif. Pelaksanaan pemberian remisi untuk narapidana sipil melibatkan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM untuk diteruskan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, juga melibatkan Hakim Pengawas dan Pengamat. Sedangkan untuk narapidana militer pemberian remisi melibatkan Unit Pelaksana Teknis Lembaga pemasyaraktan Militer setempat untuk diteruskan kepada Kantor Wilayah Hukum dan HAM setempat setelah mendapat persetujuan dari Pusat Pemasyarakatan Militer (PUSMASMIL) yang juga melibatkan Hakim Pengawas dan Pengamat. Hambatan yang dihadapi dalam pemberian remisi adalah belum adanya sarana peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan sebagai payung hukum yang kuat yang merupakan landasan yuridis dan struktural sebagai penunjang atau dasar bagi ketentuan-ketentuan operasionil suatu pelaksanaan pemberian remisi khususnya narapidana militer, disamping adanya tindakan indisipliner dari narapidana, sehingga diupayakan untuk melaksanakan semaksimal mungkin peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan ketentuan operasionil suatu peraturan pemberian remisi khususnya yang terdapat di dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. Dari penelitian lapangan ditemukan bahwa pemberian hak remisi di LP klas IIA Paledang Bogor sudah baik kendati ditemukan pula sejumlah hal yang menjadi kelemahan yang bisa mendorong tidak tercapainya dalam pelaksanan pemberian remisi. Dari penelitian lapangan Masmil Cimahi dalam pelaksanaan pemberian remisi terdapat hambatan yang dihadapi dalam pemberian remisi yaitu belum adanya peraturan secara khusus dan tegas sebagai payung hukum yang kuat yang merupakan landasan yuridis dan struktural sebagai penunjuang atau dasar bagi ketentuan hak-hak narapidana militer perihal pelaksanaan remisi.

The administration of remission to imprisoners civil or millitary is order of the law as a stimulation so that imprisioners are ready to receive the counseling to change the behavior according to goal of community system. The research is done to know the administration of remission to imprisoners civil an related with the goal of community system. The nature of this research in normative yuridic. The materials of library and study of documents and completing data. The data gathered will be interpreted systematic logically. The result shows that implementation of remission administration is a right of imprisoners and also as stimulation so that imprisoners are ready to receive the counseling to change the behavior according to the goal of Community System. The Implementation of remission for civil imprisoners involves Unit of Technique Implementor of Comminity, Regional of fice of law Departement and Human Right to be continued to Directorate General of Community, also involver the controlling Judge and observer. For the implementation of remisson for military imprisoners involves Unit of Tecnique Implementor of Community to be continued to Direcotorate General of Commonity after release from General Community Millitary (PUSMASMIL), also involves the controlling Judge and observer. The problem found in adminitration of remission is there is not yet the facility of statutes regulation and rule of implemetation as law umbrella to be supporting of base for operational the remission yuridical and structural foundation as supporting of base for operational requirement especially for the implementation of milltary remission administration, beside there is indiciplinary action of imprisoner, so that it is attempted to implement as maximum as possible the statutes and operational implementation rule of remission administration especially found in the law of Community. From the field research is found that remission administration in LP Klas IIA Paledang Bogor is right, but there is few problem that can be reach for implementation of remission administration. From the field research in military prisoners Community (Masmil Cimahi) the implementation of remission that there is found problem of remission administration. The problem found in adminitration of remission is there is not yet the facility of statutes regulation and rule of implemetation as law umbrella to be supporting of base for operational the remission yuridical and structural foundation as supporting of base for operational requirement especially for the implementation of milltary remission administration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28182
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>