Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175238 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Im, Young Ho
"ABSTRAK
Teka-teki sebagai salah satu jenis foklor hadir dalam khasanah tradisi lisan. Karena disampaikan secara lisan, belum banyak ahli bahasa maupun sastra yang tergerak untuk mengkajinya. Mencermati kenyataan tentang teka-teki yang ada dalam tiap masyarakat bahasa, beberapa peneliti terdahulu berupaya mengenali sifat keuniversalan teka-teki. Berbagai pendekatan dipakai dalam meneliti teka-teki itu untuk memahami dan mengklasifikasikan teka-teki. Dan para peneliti itu, muncul sejumlah definisi teka-teki yang berbeda-beda Namun, umumnya mereka sepakat bahwa teka-teki terdiri dari pertanyaan dan jawaban.
Penelitian terhadap teka-teki bahasa Indonesia tergolong langka Sampai saat ini pembicaraan mengenai teka-teki masih dalam kerangka tradisi lisan, khususnya folklor. Belum ada ahli bahasa yang memperhatikan secara khusus mengenai teka-teki bahasa Indonesia. Hal ini membuka peluang untuk dilakukannya penelitian teka-teki dari segi kebahasaan, karena bagaimanapun teka-teki merupakan bentuk komunikasi verbal yang menggunakan bahasa.
Sejumlah masalah yang dapat dilihat dalam teka-teki dari segi kebahasaan adalah secara garis besar, masalah pokok dalam penelitian ini adalah menganalisis struktur teka-teki dan ciri keambiguan yang tersirat dalam teka-teki berbahasa Indonesia.
Hal lain yang menjadi masalah adalah berkenaan dengan istilah teka-teki dalam bahasa Indonesia. Selama ini istilah 'teka-teki' bersinonim dengan 'terkaan', 'tebakan'. Sementara di dalam bahasa Inggris setiap istilah yang mengacu pada 'riddles', yaitu 'pun', 'puzzle', dan 'riddle' jelas batasan dan ciri-cirinya, tetapi tidak demikian halnya di dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, perlu dirumuskan istilah dan ciri-ciri setiap teka-teki yang ada di Indonesia
Secara khusus yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) mengklasifikasikan teka-teki berbahasa Indonesia berdasarkan struktur dan ciri keambiguannya; 2) merumuskan istilah dan pengertian teka-teki berbahasa Indonesia; 3) melihat kaitan antara wit dan humor dalam masing-masing jenis teka-teki. Dalam hal ini jenis teka-teki mana saja yang mengandung wit dan humor, mana yang hanya humor saja tetapi tidak mengandung wit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasikan tipe wacana teka-teki dalam bahasa Indonesia dengan menganalisis ciri keambiguan yang membentuk teka-teki dan strukturnya. Selain itu, penelitian ini bertujuan memberikan argumentasi tentang adanya ciri keambiguan dalam masing-masing tipe teka-teki yang timbul akibat terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama serta menimbuikan kelantipan dan humor. Untuk mencapai tujuan itu, yang dibahas di dalam penelitian ini mencakup pokok-pokok berikut:
(1) analisis. struktur dan ciri keambiguan dalam teka-teki,
(2) klasifikasi teka-teki,
(3) teka-teki dan pelanggaran prinsip kerja sama,
(4) kelantipan dan humor dalam teka-teki.
Keistimewaan permainan bahasa, dalam teka-teki adalah suatu proposisi yang sering kali terasa aneh atau sulit dan menggelikan atau mengejutkan setelah dihubungkan dengan jawabannya. Salah satu unsur yang unikan dalam teka-teki adalah adanya keambiguan untuk menangkap pesan penutur, yaitu berupa unsur yang disengaja yang akan mengaburkan analog informasi. Keambiguan dalam informasi-informasi yang tidak sempurna itu ditunjukkan oleh hadirnya berbagai aspek kebahasaan selain aspek kontekstual.
Keambiguan merupakan unsur terpenting dalam teka-teki, karena tanpa adanya kedua unsur tersebut, proposisi itu bukan teka-teki, melainkan pertanyaan biases Dengan demikian, dapat disebutkan di sini bahwa keberadaan keambiguan yang disebabkan melalui permainan bahasa (manipulasi informasi) merupakan unsur penting yang hams ada dalam teka-teki.
Ciri keambiguan dalam teka-teki ditunjukkan melalui permainan bahasa, mulai dari segi fonologis sampai dengan segi wacana, maupun permainan kontekstual berdasarkan pengetahuan sosial budaya atau pengalaman sendiri (pertautan).
Perrnainan atau manipulasi kebahasaan yang ada di dalam teka-teki juga dapat dipandang sebagai kecerdasan penutur dalam berbahasa. Hal itu merupakan wujud kemampuan seseorang dalam mengeksplorasi bahasa secara kreatif. Dengan demikian, dari segi kebahasaan dapat dikatakan bahwa teka-teki tidak saja menyangkut masalah verbal tetapi juga berhubungan dengan kemampuan manipulasi kebahasaan oleh penutur, yaitu munculnya kelantipan (wit) sebagai akibat adanya permainan atau manipulasi kebahasaan.
Berdasarkan ciri keambiguitasan, diperoleh tipe teka- teki berbahasa Indonesia, yaitu 'teka-teki terkaan', 'teka-teki soalan', 'teka--teki permainan wacana', dan 'teka-teki plesetan'. Tipe-tipe ini sekaligus menunjukkan pula istilah teka-teki berbahasa Indonesia, sehingga tidaklah istilah 'teka-teki', 'terkaan', dan 'tebakan' sebagai bentuk sinonim"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
D511
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
"ABSTRAK
Masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan mengembangkan diri menjadi masyarakat modern dalam beberapa hat tidak melepaskan dirinya dari simbol-simbol dan idiom-idiom budaya. Pemanfaatan simbol dan idiom budaya dalam kehidupan modern cenderung dijadikan sebagai pengikat (hook) keterkaitan mereka dengan dunia masa lalu (nenek moyang) sebagai salah satu jati diri bangsa. Selain itu, simbol dan idiom budaya merupakan kekayaan budaya yang efektif untuk dipakai sebagai mnemonic terutama yang berkaitan dengan nilai moralnya.
Salah satu simbol atau idiom budaya yang kerap dipakai dalam upaya membangun manusia Indonesia adalah kesenian wayang purwa. Kesenian yang sarat dengan ajaran dan nilai-nilai luhur ini merupakan sarana multidimensional yang dapat dikatakan lengkap. Karakter tokoh-tokoh pewayangan merupakan satu simbolisasi dari watak manusia, cerita-cerita wayang merupakan pesan keteladanan untuk dihayati oleh masyarakat.
Pemanfaatan tokoh wayang pun ternyata tidak terbatas di daiam rangkaian ceritanya saja, tetapi ada kecenderungan pemanfaatan tokoh-tokoh wayang di luar cerita yang dipakai secara khusus oleh masyarakat untuk menghadirkan citra tertentu. Tokoh Semar, misalnya, muncut secara mandiri, yakni hadir sebagai merek dagang (batik Semar), sebagai jenis makanan khas Solo (semar mendem), sebagai akronim yang bersifat politis (supersemar), sebagai tempat menyimpan uang (celengan semar), bahkan sebagai ilmu pemikat wanita (semar mesem). Tokoh mistis ini kerap pula hadir dalam cerita-cerita mutakhir dalam bentuk novel atau drama, seperti yang dikaji dalam penelitian ini.
Kepopuleran tokoh Semar sebagai sebuah wacana tradisional tidak dapat diragukan lagi, karena pada tokoh ini tergambar suatu citra manusia-dewa yang menjadi representasi dari rakyat jelata, perpaduan dunia laki-laki dan wanita, kearifan manusia, pembimbing moral para ksatria, dan lain sebagainya. Namun, citra yang demikian itu lambat laun menjadi terkontaminasi akibat dari kepopulerannya itu. Artinya, kemunculan Semar tidak terbatas lagi pada kerangka wayang purwa, tetapi juga di dalam kehidupan modern sebagai simbol budaya modern. Pada keadaannya yang demikian, citra Semar tidak lagi utuh tetapi sudah mengalami perubahan makna sesuai dengan bentuk barang yang diperjualbelikan itu. Dengan demikian, telah terjadi massifikasi, proses pemassalan pada tokoh ini.
Dalam kaitan itulah, penelitian ini dilakukan, yaitu mengenai tokoh Semar yang telah mengalami massifikasi seperti yang tampak dari karya Sindhunata dan N. Rtiantiarno. Kedua karya tersebut sama-sama menampilkan tokoh Semar yang kehilangan identitas diri sebagai akibat dari perubahan citra dirinya di masyarakat, Sementara itu, satu karya lakon carangan Semar Mbabar Jatidiri karya Tim Delapan PEPADI Pusat menampilkan citra Semar yang sesuai dengan konvensi budaya, yakni sebagai pembimbing dan pengayom.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dalam dua cerita Semar., Semar Mencari Raga dan Semar Gugat, digambarkan tokoh Semar yang dekaden. Ia kehilangan dan mempertanyakan jatidirinya. Massifikasi tokoh ini sebagai dampak dari popularitasnya di masyarakat. Dalam Semar Mencari Raga, Semar tidak ubahnya seperti botol yang dapat diisi oleh cairan apa saja. Hal itu berkaitan dengan raga Semar yang ditempati oleh roh-roh lain, sehingga begitu banyak wajah Semar. Kaitannya dengan masyarakat Indonesia saat ini, banyaknya wajah Semar (tokoh ini mewakili identitas rakyat jelata yang dekat dengan kesengsaraan sosial) di masyarakat identik dengan banyaknya kesengsaraan yang merebak. Dalam Semar Gugat, tokoh ini meminta keadilan atas perilaku ksatria yang menjadi momongannya, Arjuna. Arjuna telah memotong kuncung Semar --salah satu identitas diri Semar-- sehingga Semar merasa terhina dan peristiwa itu merupakan salah satu wujud simbolik dari kesewenang-wenangan para penguasa terhadap rakyat jelata. Pada Semar Mbahar Jatidiri, tokoh Semar hadir secara utuh dan membeberkan bagaimana mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lakon ini sarat denngan pesan-pesan politik pemerintah.
Mitologi wayang dalam pembangunan budya, sosial, dan politik Indonesia tetap menjadi acuan pokok pemerintah Orde Baru. Hal itu disebabkan oleh kuatnya penghayatan elite politik kita (pemerintah) terhadap budaya Jawa.
Seringnya simbol dan idiom budaya dipakai dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan berkurangnya makna simbolik dari simbol atau idiom tersebut. Massifikasi atas simbol dan idiom budaya tersebut merupakan salah satu akibat dari pengeksposan secara besar-besaran simbol atau idiom itu di masyarakat. Masyarakat tidak mempunyai jarak lagi dengan simbol dan idiom itu. Akibat lainnya, citra simbol atau idiom itu tidak bermakna lagi seperti seharusnya."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rahmah Az Zahra
"Penelitian ini mengkaji perbandingan penokohan dan tema dalam cerita rakyat Namukkunkwa Seonyeo dari Korea dengan cerita rakyat Jaka Tarub dari Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode close reading dengan analisis penokohan dan tema dalam cerita rakyat dilihat dari pengaruh kebudayaan masyrakat tempat kedua cerita rakyat berasal. Hasil dari penelitian ini adalah perbedaan penokohan dalam kedua cerita rakyat dipengaruhi oleh nilai dan kebudayaan pada masyarakat sumber cerita rakyat berasal, sedangkan persamaan yang ada dalam kedua dongeng dipengaruhi oleh struktur geografis tempat kedua cerita rakyat berasal yang cenderung mirip sehingga menimbulkan beberapa persamaan nilai kebudayaan dalam masyarakat tempat cerita rakyat berasal.

This research is focused on comparing the characters and themes between Korean folklore Namukkunkwa Seonyeo with Indonesian folklore Jaka Tarub. The method that used in this thesis is close reading method with analysist about the characters and themes of folklores judging from culture of people in folklores origin place. The result of the study is the difference between this two folklore affected by the value and culture of people in the origin place where this two folklores came, whilst the equation between this two folklore affected by the similarity in geographic where the origin places of this two folklore so as some of the culture between the origin places have similarity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Triana Lolitasari
"Perkembangan teknologi digital di Korea Selatan secara tidak langsung mempengaruhi kesusastraan mereka. Salah satu contohnya adalah digitalisasi karya sastra, khususnya cerita rakyat. Perubahan media cerita tentunya menyebabkan perubahan isi maupun cara penyampaian. Penelitian ?DIGITALISASI CERITA RAKYAT KOREA KONGJWI dan PATJWI: SEBUAH PERBANDINGAN? bertujuan untuk menjelaskan digitalisasi cerita rakyat di Korea yang menyebabkan cerita tidak lagi disampaikan hanya melalui bentuk teks melainkan telah mengalami penambahan efek suara, gerak, dan penyederhanaan cerita dalam bentuk digital. Bentuk digital ini dipublikasikan dan dapat diakses secara bebas. Pemaduan dari berbagai media dalam cerita digital membuat cerita tersajikan dengan lebih baik dan memberikan kesan lebih kepada penonton.

The advancement of digital technology in South Korea indirectly has affected Korean Literature. One of the examples is digitalization of Korean folklore. The digitalization give effects to the folklore itself and creates a new way in storytelling by using digital medias. A research about ?Digitalization Korean Folklore Kongjwi and Patjwi: A Comparison" has a purpose to explain the whole things about the folklore itself. The Digitalization of Korean folklore made the story of it to be no longer only be submitted through a text but has experienced the addition of sound effects, motion, and simplification of the story which is then presented in digital form. This digital form has been published and can be freely accessed by anyone. The proper integration of various medias in the digitalized story makes the story more interactive and gives more impression to the audience.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Handayani Hasan
"ABSTRAK
Dalam khazanah sastra lisan, cerita rakyat merupakan bentuk yang menarik untuk diteliti. Terkadang terdapat persamaan motif cerita rakyat di satu daerah dengan cerita rakyat di daerah lainnya. Hal tersebut merupakan hal yang menarik untuk diteliti baik dari segi unsur-unsur intrinsik yang ada dalam cerita, maupun ditelusuri asal-usul dan penyebarannya. Salah satu bentuk motif yang sering muncul dalam cerita rakyat di Indonesia yaitu motif tentang penipuan terhadap suatu tokoh. Motif ini muncul pada cerita rakyat Jaka Tarub yang berasal dari Jawa Barat, dan Air Tukang yang berasal dari Maluku. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam kedua cerita tersebut. Melalui perbandingan kedua cerita tersebut, maka dapat diketahui persamaan dan perbedaan antara kedua cerita rakyat yang berbeda latar belakang wilayahnya. Metode penelitian yang digunakan yaitu bersifat kualitatif dengan pengumpulan data berupa studi pustaka. Hasil dari penelitian yaitu cerita Jaka Tarub dan Air Tukang memiliki persamaan pada segi tema, amanat, alur dan latar; dan perbedaan dari kedua cerita muncul pada segi penokohan dan latar."
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016
400 JIKKT 4:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Ada dua hal yang akan disampaikan, pertama akan disampaikan asal-usul perkembangan dan kepopuleran cerita kancil secara ringkas, kemudian kedua akan disampaikan garis besar pemikiran mistik Jawa sebagai ungkapan ringkas yang melatar belakangi isi yang terkandung di dalam teks episode ajaran Keyong kepada Kancil, Serat Kancil Saloka Darma.
Karya tulis ini bertujuan menganalisa episode ajaran Keyong kepada Kancil di dalam Serat Kancil Saloka Darma, dengan merekonstruksikan motif ajaran yang serupa di dalam Serat Cabolek (motif ajaran Bima-sucinya), Serat Wedhatama dan Serat Wirid."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S11683
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"Kresna merupakan tokoh pendukung dan pelindung (pengayom) tokoh-tokoh yang memiliki- sifat benar, utama, dan adil, yaitu Pandawa. Ia pun juga sebagai tokoh penjaga dan pemelihara alam semesta dan telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama Jawa. Tokoh Kresna mengalami "hidup" cukup lama, baik dalam karya sastra Jawa Kuna rnaupun Jawa Baru.
Bagaimana peran dan sifat tokoh Kresna dalam karya sastra Jawa, mengapa tokoh Kresna memiliki berbagai macam peran dan sifat, mengapa tokoh Kresna tampil berbagai wujud dalam masa yang cukup lama, merupakan permasalahan yang akan dipecahkan.
Penelitian ini bersifat deskriptif bertujuan mendapatkan keterangan yang selengkap-lengkapnya tentang obyek yang diteliti, yaitu peran dan sifat tokoh Kresna dalam karya sastra Jawa.
Metodenya yaitu mencari kemungkinan hubungan keterangan dan mengkaji peran dan sifat tokoh Kresna dari suatu sumber data dengan sumber data lainnya dengan menggunakan prinsip hermeneutik, yaitu dengan melakukan explaining (penjelasan), interpreting (penafsiran), dan translating (penerjemahan). Tokoh Kresna yang hidup di berbagai zaman di dalam karya sastra Jawa Kuna dan Jawa Baru akan dijelaskan dan diinterpretasikan menurut konteks peristiwa dan zamannya. Metode penelitian ini terdiri dari kajian isi teks dan penjelasan latar belakang budaya. Dalam penelitian ini digunakan teori mengenai simbol. Terdapat 3 kategori simbol, yaitu simbol sebagai tanda konvensional, simbol sebagai suatu jenis dari tanda ikonik, dan simbol sebagai sebuah tanda konotasi. Simbol juga berarti membandingkan dan membuat analogi antara tanda dan obyek yang diacu. Penelitian ini menerapkan simbol sebagai sebuah tanda konvensional. Dalam pengertian (konteks) ini, tokoh Kresna yang hidup di berbagai zaman di dalam karya sastra Jawa Kuna dan Jawa Baru, secara konvensional dipandang oleh masyarakat Jawa mengandung simbol tertentu, seperti Kresna sebagai simbol raja binathara (dewa raja) dan raja pinandhita (pendeta raja).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa tokoh Kresna memiliki berbagai macam peran dan sifat, ini tergantung pada konteks peristiwa dan zamannya. Tokoh Kresna dapat tampil berbagai wujud dalarn waktu yang cukup lama karena kelompok-kelompok masyarakat pendukung mengangkatnya sebagai simbol dalam kehidupan mereka. Kelompok masyarakat istana yang mewakili penguasa tokoh Kresna tampil sebagai dewa raja (raja binathara = raja yang memiliki sifat bataral dewa) bersifat benar, utama, adil, dan melindungi (mengayomi). Di dalam Kelompok masyarakat yang sering mengolah rohani Kresna tampil sebagai pendeta raja (raja pinandhita = raja yang memiliki sifat pendeta), bersifat arif (wicaksana). Kelompok masyarakat yang kedua ini menyatu dengan lingkungan penguasa. Tokoh Kresna sebagai pendeta ini pada kesusasteraan Jawa Baru didukung oleh wujud boneka wayang kulit."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T10662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nalti Novianti
"ABSTRAK
Penelitian ini difokuskan pada pemahaman pembaca terhadap budaya dan masyarakat Kansai khususnya Osaka melalui unsur humor yang ada di dalam cerita rakugo Kansai, karya Katsura Beichoo.
Pemahaman atas humor didasarkan pada pilihan dari para informan, dan dianalisis melalui teori frame dari David Raskin. Kontradiksi frame menimbulkan faktor kejutan ( surprise ) pada puncline nya. Selain itu ketidakselarasan ( Incongruity ) juga menjadi pemicu timbulnya unsur humor sesuai dengan teori dari Alison Ross.
Unsur humor yang terdapat dalam rakugo Kansai dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang ada dalam lingkung masyarakat Kansai, dan Osaka pada khususnya. Osaka yang dikenal sebagai kota dagang yang kaya akan budaya pedagangnya (shounin bunka ). Dari budaya pedagang yang ingin menjaga hubungan baik antar sesama itulah sistem hubungan pararel muncul dan lahir lah budaya tertawa (wahha bunka ).
Dalam penelitian ini, metode wawancara digunakan untuk menguji pemahaman informan terhadap hal yang melatar balakangi unsur humor dalam rakugo Kansai. Informan terdiri dari dua kelompok, yaitu orang Kansai dan non Kansai. Data yang terkumpul dianalisis melalui teori Sperber dan Wilson mengenai teori relevansi, yang akan menghubungkan antara cerita dan budaya.
Dari analisis terhadap hasil wawancara, disimpulkan bahwa : Orang Kansai yang dibesarkan dalam lingkung budaya yang sama dengan latar cerita rakugo Kansai, tebih memahami setiap latar betakang dari unsur humor di dalam rakugo Kansai. Sedangkan orang non Kansai mengerti akan unsur humor yang terdapat di dalam cerita rakugo
Kansai, namun pendapat yang dinyatakan oleh informan non Kansai, lebih mengarah kepada pandangan stereotype mereka terhadap orang Osaka.
Penelitian ini difokuskan pada pemahaman pembaca terhadap budaya dan masyarakat Kansai khususnya Osaka melalui unsur humor yang ada di dalam cerita rakugo Kansai, karya Katsura Beichoo.
"
2007
T 20515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryadi
"ABSTRAK
Dalam perjalanan kebudayaan bangsa Melayu dan Nusantara pada
umumnya dikenal apa yang disebut chirografik. Rada masa ini
masyarakat tradisional mulai mengenal aksara dan menggunakannya
da1am kehidupan mereka; akan tetapi di sisi lain tradisi lisan
masih bercokol pula dengan kuat. Maka muncullah tradisi resitasi
(recitation) sebagai usaha untuk menyolaraskan antara tradisi
lisan yang sudah mantap dan tradisi tulis yang baru datang.
Masyarakat Hinangkabau yang memiliki tradisi lisan yang kuat
tampaknya juga tidak luput dari pengaruh tradisi keberaksaraan
itu. Hal ini tentu disebabkan oleh persinggungan mereka dengan
kebudayaan-kebudayaan lain. Hal itu dapat dilihat dari tradisi
Basimalin yang diapresiasi oleh masyarakat Minangkabau di daerah
Payakumbuh, Sumatera Barat.
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan beberapa aspek menge-
nai teks dan konteks tradisi Basimalin. Sebagai tradisi pertun-
jukan yang berpedoman kepada naskah tertulis, maka naskah yang
digunakan itu sangat menarik diteliti. Akan tetapi di sisi lain
pertunjukannya sendiri, dengan segala aspek yang terlibat di
dalamnya juga menarik untuk diamati.
Penelitian ini dilakukan. dengan field .research di daerah
Tarantang dan sekitarnya, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota,
Propinsi Sumatera Barat. Masyarakat daerah ini mengapresiasi
tradisi Basimalin.
Penelitian terhadap naskah Basimalin menunjukkau bahwa teks
ini cukup tua, walaupun secara kodikologi diperkirakan umurnya
masih muda. ini mengindikasikan kekonstitenan penyalinnya ketika
mengerjakan atau menyalin teks ini.
Dari segi kebahasaan tampak bahwa pengaruh Dialek Payakumbuh
(dilaek O) sangat kentara dalam teks ini. ini menunjukkan bahwa
teks ini disalin oleh orang yang berasal dari daerah ini.
walaupun penelitian ini baru bersifat awal, tapi yang hendak
dituju di sini adalah usaha pendomumentasian tradisi ini.
Diharapkan kekhasan yang terdapat dalam pertunjukan Basimalin
ini; lengkap dengan kekhasan (bahasa) naskahnya, akan dapat
diteliti lebih lanjut oleh para peneliti lain.
Pertunjukan Basimalin dilakukan dengan cara resitasi. Cara
seperti ini sebenarnya kurang begitu dikenal dalam tradisi kesu-
sastraan Minangkabau. Dalam tradisi kesusastraan Minangkabau
jarang sekali digunakan pakem meskipun setelah dikenalnya aksara
Arab~Melayu dan Latin banyak hasil sastra Minangkabau dituliskan
dengan kedua aksara tersebut. Akan tetapi dalam kenyataannya
sampai sekarang versi tulisan itu tetap saja tidak popular; yang
populer tetap saja versi lisannya. "
Pada akhir tulisan ini dilampirkan pula hasil transliterasi
naskah tersebut (tidak lengkap). Dengan demikian pembaca dapat
mengidentifikasi kekhasan bahasa naskah ini."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesia, dahulu disebut Nusantara, sangat kaya dengan ragam budaya dan etnis. Dari kekayaan itu, banyak sekali cerita dan legenda yang berkembang di masyarakat, disampaikan dari lisan ke lisan dan terawat hingga kini. Cerita-cerita tersebut sarat dengan pesan moral, etika, spiritualitas, dan kearifan lokal.
Di antara cerita-cerita itu ada yang sangat populer, misalnya cerita Malin Kundang, Jaka Tarub, Tangkuban Perahu, Danau Toba, Timun Emas, Bawang Merah Bawang Putih, dan lain-lain. Namun, masih banyak pula cerita-cerita menarik yang selama ini tak diketahui dan hampir terlupakan. Cerita-cerita itu hampir ada di seluruh daerah di Indonesia.
Inilah buku yang menguak cerita-cerita Nusantara yang selama ini tersembunyi dan belum banyak diketahui. Ditulis oleh para pencerita ulung yang berpengalaman dan malang-melintang di berbagai media cetak, juga dengan riset serius, terungkaplah cerita-cerita baru tentang kekayaan budaya dan kearifan Nusantara di berbagai daerah di Indonesia"
Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2017
398 IND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>