Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 233984 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Trisni Utami Saksonodiningrat
"ABSTRAK
Peladang berpindah dan kerusakan hutan adalah merupakan permasalahan nasional yang perlu dipecahkan segera. Pentingnya usaha ini adalah dengan maksud untuk menjaga kelangsungan lingkungan dan untuk mencegah (menghindari) terjadinya kelangkaan sumberdaya alam yang terbatas. Oleh karena itu sistem manejemen yang bijaksana (tepat) yang dapat saling membagi keuntungan antara kebutuhan manusia dan keberlangsungan lingkungan sangat diperlukan.
Hubungan antara lingkungan alam dan manusianya selalu terjalin didalam setiap ekosistem. Dalam bentuk yang dasar hubungan ini terkait dengan usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan juga kelangsungannya. Oleh karena itu sangat pentingnya peranan lingkungan dalam kehidupan manusia. Maka intervensi manusia terhadap lingkungan seharusnya memberikan prioritas yang tinggi untuk mencegah berbagai konversi yang berlebihan yang dapat merusak keseimbangan lingkungan.
Di Lampung kerusakan hutan disebabkan oleh beberapa faktor yang komplek. Faktor-faktor tersebut adalah jumlah penduduk, migrasi, keterbatasan pemilikan lahan, keterbatasan lapangan kerja dan kemiskinan. Faktor-faktor ini mempengaruhi manusia untuk menciptakan beberapa jenis intervensi terhadap hutan. Satu dari jenis intervensi itu merubah sebagian hutan menjadi areal peradangan dengan menjalankan sistem pertanian tradisional.
Kegiatan konversi hutan lindung yang dilakukan oleh peladang merupakan tindakan adaptif berkaitan dengan kondisi kesejahteraannya. Namun demikan adaptasi itu tidak hanya terpola sesuai dengan kesejahteraannya saja tetapi juga peranan kelembagaan yang mendukung adopsi inovasi.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan beberapa masalah kunci yang terkait dengan proses adopsi inovasi diantara peladang berpindah dan peladang yang telah menetap. Masalah-masalah itu adalah proses pengolahan lahan, kesejahteraan peladang, pola adaptasi dalam hubungannya dengan proses adopsi inovasi.
Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Tingkat kesejahteraan peladang mempengaruhi tingkat adaptasi. Semakin sejahtera peladang semakin adaptif.
2 Semakin efektif peranan kelembagaan memberikan penyuluhan semakin adaptif peladang dalam penerimaan inovasi.
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari satu kelompok peladang yang belum dipindahkan dihutan lindung dan satu kelompok peladang yang sudah dipindahkan melalui program resettlement. Setiap kelompok itu di wawancarai 100 responden yang dipilih secara purposive proporsional. Untuk mendapatkan data, penelitian ini menggunakan beberapa teknik yaitu observasi, interview dengan kuesioner, wawancara mendalam dan teknik dokumenter. Tipe penelitian ini adalah studi perbandingan eksplanatif. Prosentase, chi square, korelasi Pearson, korelasi ganda dan t test adalah beberapa teknik dalam menganalisis data.
Hasil dari penelitian ini disarikan sebagai berikut: Peladangan berpindah telah terjadi karena kemiskinan dan tidak memiliki lahan. Dalam menghadapi kondisi itu para peladang mengembangkan pola adaptasi tertentu melalui pengorganisasian teman dekat dan keluarganya pada beberapa kantong peladangan didalam mana proses sosialisasi berladang berlangsung.
Dalam pengertian ini peladang berpindah bukanlah dimaksudkan untuk merusak lingkungan tetapi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dengan dipindahkan ke daerah baru maka mereka harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Sayangnya mereka menemui beberapa kesulitan untuk beradaptasi secara baik. Ditunjukkan dari analisa korelasi Pearson bahwa hubungan antara tingkat kesejahteraan peladang dan adaptasi di hutan lindung adalah signifikan dengan r = 0,6034, sedangkan hubungan antara tingkat kesejahteraan peladang dan adaptasi di transmigrasi lokal dengan r = 0,5011 pada taraf kepercayaan 0,05 (95%). Lebih jauh pada tingkat kepercayaan yang sama hubungan antara peranan kelembagaan dan adaptasi tidaklah signifikan dengan r = 0,1459. Ketiadaan signifikansi pada hasil yang terakhir ini disebabkan oleh kegagalan para penyuluh untuk masuk dalam sistem lokal. Mereka belum bisa diterima oleh peladang. Analisa korelasi ganda menunjukkan hubungan yang signifikan 0,5887 antara tingkat kesejahteraan, peranan kelembagaan dan pola adaptasi dalam penerimaan inovasi pada taraf 0,05.
Dari rata-rata tingkat pendapatan peladang di daerah kawasan hutan lindung lebih besar dari pada peladang yang dipindahkan melalui program translok. Hal ini disebabkan oleh rendahnya hasil panen dan rendahnya nilai tukar di daerah yang baru. Namun demikian dalam dimensi non ekonomi ada perubahan dalam status pemilikan tanah dari petani penggarap menjadi petani pemilik.

ABSTRACT
Shifting cultivation and forest degradation system are national problems need to be solved urgently. The importance of this effort is to maintain environmental sustainability and to avoid scarcity of limited natural resources. Therefore, proper management system that is able to share advantages between human needs and environment sustainability is highly required.
The relationship between natural environment and the human organism therein is always interrelated in the ecosystem. In the fundamental form, this relationship is connected with the human efforts to fulfill his need as well as survival. Therefore the environment role is very important for human life. Human intervention to the environment should give more priority to prevent any conversions on land use that may cause environment degradation.
In Lampung, forest degradation is caused by some complex factors. Those are number of population, migration, limitation of land ownership and employment opportunity, and poverty. These factors influence people to create several kinds of forest intervention. One of which into occupy protected forest into cultivation area by operating agricultural system through indigenous knowledge.
That conversion is actually an adaptive action in respond to social and economic condition. Nevertheless this adaptation is patterned not only in accordance with socio economic condition but also the role of institution that supported innovation adoption.
This research is intended to explain some key issues related with process of adopting innovation in shifting and relocated shifting cultivations. Those are the process of cultivation, the prosperity of cultivator, adaptation patterns, and their relationship to the processes of innovation adaptation.
The hypothesis of this research are formulated as fallow:
1. The degree of cultivator welfare influence to degree of his adaptations. The more prosperous cultivator the more adaptive.
2. The more effective role of institution to inform public the more adaptive cultivator to adopt innovation.
Samples of this research consist of a group of un-shifted cultivator in protected area and shifted one through resettlement programmed. Each of those is an interview 100 respondent who is choosing purposive proportionally sampling. To obtain data are research is explanatory comparative study that applied some technique to obtain data observation, interview with questioner, in-depth interview, and documentation. Percentage, chi square, Pearson correlation, multiple correlation and t test are some techniques used to analyze data. It's show from Pearson correlation analysis that the relationship between degree of cultivator welfare and adaptation is significant (r = 0,6034 and r = 0,5011) on confidence level of 0,05 or 95%. Furthermore, on the same level of confidence, the relationship between institution role and adaptation is not significant (r = 0,1252 and r = 0,1459). The last of significance in letter result is caused by the failure of instructor to be in local system. Cultivaters do not accept them yet. Analysis by multiple correlations shows significant relationships (0,5887) among degree of prosperity, institutional role, and adaptation pattern in adopting innovation on confidence level of 0,05. Un-shifting cultivations have occurred in respond of poverty and landless ownership. In facing those conditions, cultivators developed certain pattern of adaptation by organizing their close friends and family on cultivation enclaves, in where cultivating socialization process has occurred. In this sense, un-shifting cultivation is not intended to damage forest owner but to melt survival.
Heaving shifted to the new area, un-shifting cultivator should adapt to new environment. Unfortunately, they meet some difficulties to be successful adaptation.
It is difference among cultivation income in protected area and transmigration area. This is caused by the low of yield and it's exchange value in the new area. Nevertheless in non-economic dimension, there is a change in status of ownership from land worker to land owner. But it seems meaningful in cultivator?s life.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prudensius, Maring
"Bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Sumber Agung merupakan keputusan yang dilakukan di tengah pangaruh berbagai faktor yang melingkupinya. Masyarakat Sumber Agung tinggal di pinggir kawasan hutan dan memanfaatkan lahan kawasan hutan. Praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan meliputi kegiatan berladang, tumpangsari, kebun monokultur dan kebun campuran. Dalam kenyataan, bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan tersebut telah menimbulkan kerusakan hutan karena banyak aspek yang telah memberikan pengaruh terhadap pilihan bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan tersebut.
Kajian ini menjelaskan hubungan interaktif antara bentuk-bentuk praktek pemanfaatan lahan kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga, pasar, pengetahuan lokal dan penerapan kebijakan pembangunan. Bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan merupakan keputusan yang dilakukan di tengah situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya. Untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan yang dilakukan dan mengungkap pertimbangan yang mendasarinya maka kajian ini mengacu kepaga kerangka teori pengambilan keputusan. Penelitian lapangan dilakukan sejak bulan Oktober 1998 - Oktober 1999. Penelitian dilakukan di kampung Sumber Agung, sebuah kampung berbatasan dengan kawasan hutan yang dihuni masyarakat yang sumber penghidupannya berasal dari pemanfaatan sumberdaya dan kawasan hutan gunung Betung.
Kajian ini mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Sumber Agung merupakan keputusan dalam menghadapi berbagai faktor yang saling berkaitan terutama upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga, ketersediaan pasar dan kepastian harga, pengalaman dan pengetahuan masyarakat lokal dan penerapan kebijakan pembangunan. Pada setiap praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan, pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga selalu menjadi pertimbangan masyarakat. Hal ini tercermin dari berbagai pilihan tanaman pada semua bentuk praktik pemanfaatan lahan yang selalu dipertimbangan untuk dapat memenuhi kebutuban pangan dan uang tunai dalam jangka pendek dan sebagai investasi jangka panjang. Pertimbangan ekonomi dalam pilihan tanaman tahunan selalu diintegrasikan dengan ketersediaan pasar dan harga jual. Pengetahuan teknis budidaya tanaman dan kemampuan memahami kesesuaian agroklimat dengan pilihan tanaman selalu dikembangkan dalam proses belajar dari pengalaman di lingkungan sekitarnya. Tidak konsistennya penerapan kebijakan pembangunan, di satu sisi telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengembangkan praktik pemanfaatan lahan hutan. Tetapi di sisi lain telah menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi masyarakat dan telah mengabaikan kemampuan dan pengalaman masyarakat dalam pengelolaan lahan kawasan hutan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T4694
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parinduri, Siti Khodijah
"Pada tahun 2015 kematian akibat PTM sebanyak 68 dan diproyeksikan di tahun 2030 meningkat menjadi 74 . Indonesia tahun 2013 berdasarkan data Riskesdas menunjukkan bahwa 69,6 dari diabetes melitus dan 63,2 dari hipertensi masih belum terdiagnosis. Upaya proaktif pemerintah ialah melalui pelaksanaan Posbindu PTM dimana menunjukkan jumlah kunjungan yang sangat berbeda di wilayah binaan Puskesmas Pasir Mulya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui lebih dalam gambaran manajemen, komunikasi, kemitraan dan inovasi dalam pelaksanaan Posbindu PTM dan faktor yang menentukan hasil evaluasi pelaksanaan Posbindu PTM. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan metode wawancara mendalam, focus group discussion FGD, telaah dokumen dan observasi di dua Posbindu PTM dengan kunjungan tertinggi dan terendah pada masyarakat dengan karakteristik yang hampir sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen SDM menjadi faktor yang memberikan banyak kontribusi dalam pelaksanaan Posbindu PTM, kemudian komunikasi dan inovasi perlu didukung oleh kemitraan. Pelaksanaan Posbindu PTM didukung oleh optimalisasi faktor-faktor manajemen, komunikasi, kemitraan dan inovasi yang saling berkaitan dalam meningkatkan keberhasilan pelaksanaan.

By 2015 the deaths due to PTM are 68% and projected in 2030 to increase to 74%. Indonesia in 2013 based on Riskesdas data shows that 69.6% of diabetes mellitus and 63.2% of hypertension are still undiagnosed. The government's proactive efforts are through the implementation of Posbindu PTM which shows a very different number of visits in the target area of the Pasir Mulya Public Health Center. The purpose of this study is to know more in the description of management, communication, partnership and innovation in the implementation of Posbindu PTM and the factors that determine the results of the evaluation of the implementation of Posbindu PTM. This study is a qualitative study with in depth interviews, focus group discussions FGD, document review and observation at two Posbindu PTM with the highest and lowest visits to people with similar characteristics. The results of this study indicate that human resource management is a contributing factor in the implementation of Posbindu PTM, communication and innovation need to be supported by partnership. The implementation of Posbindu PTM is supported by the optimization of management, communication, partnership and innovation factors that are interrelated in improving the successful implementation. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Khodijah Parinduri
"Pada tahun 2015 kematian akibat PTM sebanyak 68% dan diproyeksikan di tahun 2030 meningkat menjadi 74%. Indonesia tahun 2013 berdasarkan data Riskesdas menunjukkan bahwa 69,6% dari diabetes melitus dan 63,2% dari hipertensi masih belum terdiagnosis. Upaya proaktif pemerintah ialah melalui pelaksanaan Posbindu PTM dimana menunjukkan jumlah kunjungan yang sangat berbeda di wilayah binaan Puskesmas Pasir Mulya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui lebih dalam gambaran manajemen, komunikasi, kemitraan dan inovasi dalam pelaksanaan Posbindu PTM dan faktor yang menentukan hasil evaluasi pelaksanaan Posbindu PTM. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan metode wawancara mendalam, focus group discussion (FGD), telaah dokumen dan observasi di dua Posbindu PTM dengan kunjungan tertinggi dan terendah pada masyarakat dengan karakteristik yang hampir sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen SDM menjadi faktor yang memberikan banyak kontribusi dalam pelaksanaan Posbindu PTM, kemudian komunikasi dan inovasi perlu didukung oleh kemitraan. Pelaksanaan Posbindu PTM didukung oleh optimalisasi faktor-faktor manajemen, komunikasi, kemitraan dan inovasi yang saling berkaitan dalam meningkatkan keberhasilan pelaksanaan.

By 2015 the deaths due to PTM are 68% and projected in 2030 to increase to 74%. Indonesia in 2013 based on Riskesdas data shows that 69.6% of diabetes mellitus and 63.2% of hypertension are still undiagnosed. The government's proactive efforts are through the implementation of Posbindu PTM which shows a very different number of visits in the target area of the Pasir Mulya Public Health Center. The purpose of this study is to know more in the description of management, communication, partnership and innovation in the implementation of Posbindu PTM and the factors that determine the results of the evaluation of the implementation of Posbindu PTM. This study is a qualitative study with in-depth interviews, focus group discussions (FGD), document review and observation at two Posbindu PTM with the highest and lowest visits to people with similar characteristics. The results of this study indicate that human resource management is a contributing factor in the implementation of Posbindu PTM, communication and innovation need to be supported by partnership. The implementation of Posbindu PTM is supported by the optimization of management, communication, partnership and innovation factors that are interrelated in improving the successful implementation."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Keron A. Petrus
"Kebijakan pengelolaan hutan untuk tujuan komersial yang diberikan kepada pihak swasta atau Badan Usaha Milik Negara dan pengawasan langsung oleh negara (pemerintah pusat dan daerah), telah menciptakan ketidakadilan peran dan akses masyarakat lokal pada sumber daya hutan. Situasi ini menyebabkan kerusakan hutan meningkat, kemiskinan dan konflik sosial merebak di mana-mana. Untuk itu, masyarakat lokal perlu diberi peran dan ruang untuk membangun, membuat pengaturan internal di tingkat lokal. Pengaturan yang dibuat dan digunakan oleh rnasyarakat disebut institusi lokal.
Dalam kajian ini institusi lokal diartikan sebagai seperangkat aturan yang digunakan (working rules or rules-in-use) sekelompok orang untuk mengatur aktivitas-aktivitas bersama, peran-peran yang harus dijalankan oleh orang-orang tertentu, dan sekaligus menyelesaikan permasalahan atau konflik/sengketa atas aktivitas tersebut. Dengan demikian, institusi memberikan semacam perangkat atau pedoman bagi mereka yang terlibat agar melakukan kegiatan yang mengacu kepada kepentingan, harapan bersama sesuai yang telah disepakati.
Hutan sebagai sumber daya milik bersama dan terkait dengan berbagai kepentingan yang cenderung berbeda di satu sisi, dan sifat kodrat manusia yang kreatif, inovatif di sisi yang lain rnaka pemahaman terhadap institusi lokal tidak bersifat statis tetapi sebagai sesuatu yang dapat dikonstruksi dan direproduksi berdasarkan kepentingan tertentu. Tindakan individu akan cenderung dikorelasikan dengan berbagai serring sosial dan fisik sehingga memberi pengaruh signifikan pada dinamika instimsi lokal.
Pola hubungan atau relasi sosial antarindividu, ketersediaan dan sifat sumber daya, berkembangnya ekonomi pasar, intervensi kebijakan dan berkembangkannya berbagai mode dominasi dan kekuasaan negara atas sumber daya hutan adalah beberapa aspek yang memberi kemungkinan institusi Iokal dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi secara dinamis.
Kajian ini menjelaskan, institusi lokal yang dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi masyarakat desa hutan Sumber Agung dapat dikategorikan sebagai institusi yang belajar. Dalam pengertian institusi yang dikembangkan secara dinamis berdasarkan dinamika internal dan eksternal. Tercatat sejumlah perubahan sebagai strategi adaptasi. Di antaranya, penggantian personil kepengurusan, perubahan mekanisme mencapai konsensus, aturan-aturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dimodifikasi berdasarkan realitas yang ada.
Perubahan-perubahan tidak semata ditanggapi sebagai sesuatu yang lama diganti/dimodifikasi dengan yang baru, tetapi perubahan juga ditanggapi ketika terjadinya proses sosialisasi dan internalisasi atas mekanisme institusional dalam suatu kurun waktu tertentu.
Hal lain yang juga menggambarkan institusi lokal dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi secara dinamis ialah terdapatnya variasi dalam cara penanganan permasalahan dan konflik sengketa yang terjadi, dan pada dasarnya mengekspresikan ragamnya orientasi kepentingan di antara para pengguna terhadap hutan sebagai sumber daya milik bersama. Bagaimana masyarakat scara institusional menghadapi praktik dominasi dan kekuasaan negara atas hutan juga memperlihatkan dinamika yang cukup penting bagi institusi lokal selanj utnya.
Dalam konteks inilah, ingin ditegaskan bahwa institusi lokal yang terbentuk saat ini merupakan produk dari negosiasi berbagai orientasi kepentingan yang berbeda-beda. Ada kepentingan ekonomi subsisten, sistem ekonomi pasar, dominasi dan relasi kekuasaan negara terhadap sumber daya hutan sebagai sumber daya milik bersama.
Pada posisi seperti ini, dapat diasumsikan prinsip-prinsip institusional hasil temuan Ostrom (1990, 1994), bukanlah prinsip yang dapat diidealkan bagi sebuah institusi lokal. Karakteristik fisik dan sosial yang berbeda, prinsip tersebut dapat ditambahkan, atau sebaliknya dikurangi. Kajian-kajian selanjutnya akan memperkaya pemahaman tentang institusi lokal yang dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi oleh kelompok pengguna sebagai salah satu strategi menyelesaikan permasalahan kehutanan yang bersifat multidimensi.
The policy of forest management, that transfer forest exploitation for commercial purposes to private commercial institutions or state owned corporations, as well as direct monitoring and control from the govemment (both central and regional), have created unequal roles and access of the local (host) community to get the benefit from the forest resources. This situation has increased forest deterioration and the spread of poverty and social conflicts.
Therefore, the local (host) community must be given suficient roles and space in the formulations of local arrangement in the local community level in order to develop sustainable, in both economic and social, forest management. The arrangement formulated, developed and implemented by the local community is called local institution.
In this study, local institution refers to a set of working rules or effective rules of a group of society that control their daily collective activities, community roles that are attached to certain individuals as well as conflict resolutions mechanism. This institution provides the involved parties with a kind of tool and guidelines which refer to collective interests and expectations based on collective agreement in conducting daily activities.
Forest is a collectively owned resource and is closely related to various interest, which tend to be different on one side, and the nature of htunan being, which tend to be creative and innovative one the other side, therefore, the understanding that local institutions is something that can be reconstructed and reproduced instead of a static one. Individual action would be related to certain social and physical settings, so it will give significant impact to the dynamics of local institution.
There are some aspects that provide possibilities for establishing, developing modifying local institutions in dynamic ways. They are: social relation pattern amongst individuals within a society, availability and the nature of resources, the growing of market economy, policy intervention, the growing of various dominations, and state authority over forest resources.
This study explains that local institution, which is established, developed and modified by Sumber Agung village community can be categorized as learning institution. In the context that this institution is developed based on internal and external dynamics. Some changes as part of adaptation strategy have been recorded. Amongst them are personnel and mechanism changes to reach consensus, modifications on regulations on forest management and utilization in conjunction to the current realities.
Changes refer to not only the modification the old ones with the new ones but also internalization and socialization over the institutional mechanism within a certain period of time.
Other thing that also show that local institution established, developed and modified in a dynamic way is the variety of ways in the problem solving, conflict/dispute handling. Basically, it also expresses the variety of interest orientations amongst the stakeholders of the forest as a cornrnunally owned resource. The way how the community, as an institution, cope with the domination practice and state authority over the forest also shows the important dynamics for the next local institution.
In this context, this study would like underline that the local institution is a product of negotiation from various orientations of interests amongst the stakeholders of the forest. Amongst them are economic subsistent interest, the interests of market economy system, domination and authority relation over forest resources as communally owned resource.
In this position, it is assumed that institutional principles introduced by Ostrom (1990, 1994), are not the ideal principles for a local institutions. Due to the differences on social and political characteristics, those principles can be included or discharged. Further studies will enrich the understanding on the local institutions established, developed and modified by stakeholders as one of strategy to solve problems on forestry, which has multidimensional characters.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
D896
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Angga Niko Safaryanto
"Banjir lahar dingin Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2011 menyebabkan kerusakan lahan pertanian di Kecamatan Salam. Peristiwa ini menyebabkan penduduk yang mayoritas bergantung pada lahan pertanian melakukan adaptasi terhadap lahan pertanian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk adaptasi dan pola yang terjadi pada lahan pertanian terdampak banjir lahar. Penelitian ini menggunakan metode grid dengan ukuran 20 x 20 meter. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling. Daerah penelitian adalah wilayah terdampak banjir lahar dibagi berdasarkan jarak dari jalan utama tiap 500 meter.
Hasil penelitian ini adalah terdapat dua bentuk adaptasi lahan pertanian yaitu diversifikasi dan intensifikasi. Pola adaptasi penduduk terhadap kondisi lahan pertanian yang terjadi tergantung pada jarak terhadap jalan utama. Semakin dekat dengan jalan utama maka diversifikasi semakin besar dan intensifikasi semakin kecil.

Mount Merapi cold lava flood that occurred in 2011 caused damage to agricultural land in the district Salam. These events led to the majority of the population depends on agricultural land to adapt to agricultural land.
This study aims to determine the shape and pattern of adaptation that occurs in agricultural land affected by flooding lava. This study uses a grid with a size of 20 x 20 meters. Sampling was done by purposive sampling. The study area is a lava flood affected areas divided by the distance from the main road every 500 meters.
Results of this research is that there are two forms of adaptation of farmland namely diversification and intensification. Pattern adaptation of the population to agricultural land condition that occurs depending on the distance to the main road. The closer to the main road, the greater the diversification and intensification of getting smaller.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S64105
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Rafani Mochammad
"Laporan tugas akhir ini merupakan eksplorasi penerapan inovatif metode desain tipologi untuk pengembangan technoparkdi Emerald, Queensland, yang terletak di bekas lahan perguruan tinggi pertanian. Dengan menafsirkan ulang tata letak bengunan-bangunan tua agar sesuai dengan kebutuhan kontemporer, proyek ini menitikberatkan pada komposisi bangunan yang ada sebelum tahun 1885. Melalui analisis yang cermat dan manipulasi kreatif, penelitian ini mengembangkan komposisi arsitektur yang kohesif, yang mengintegrasikan pertanian dalam ruangan, kawasan pemukiman, fasilitas produksi, dan ruang rekreasi. Aspek kunci dari proyek ini melibatkan penelitian dan pemilihan jenis bangunan yang biasanya tidak digunakan untuk fungsi yang dimaksudkan, dengan fokus utama pada komposisinya. Inovasi tipologi muncul melalui adaptasi tipe-tipe fungsi tertentu atau wilayah geografis ke dalam konteks baru. Penelitian ini menunjukkan bagaimana pendekatan tipologi dapat memperlihatkan proses desain, meningkatkan koherensi, dan fungsionalitas lingkungan binaan yang dihasilkan. Proyek ini menyoroti kemampuan beradaptasi dan relevansi bangunan tua dalam praktek arsitektur modern, serta menampilkan potensi metode desain tipologi untuk mendorong solusi arsitektur yang inovatif.

This final project report explores the innovative application of typological design methods to create a technopark in Emerald, Queensland, on the site of a former agricultural college. By reinterpreting the layout of old building types to meet the contemporary needs, the project emphasises the composition of building types from before 1885. Through precise analysis and creative manipulation, this study develops a cohesive architectural composition integrating an indoor farm, residential areas, production facilities, and leisure spaces. A key aspect of the project involved researching and selecting building types not traditionally used for the intended functions, focusing primarily on their composition. Typological innovation emerged by adapting types typical of specific functions or geographical areas to new contexts. The study demonstrates how typological approaches can demonstrate the design process, enhancing the coherence and functionality of the resulting built environment. The project highlights the adaptability and relevance of old buildings in modern architectural practice, showcasing the potential of typological design methods to encourage innovative architectural solutions."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Garin Dwiyanto Pharmasetiawan
"Penempatan suatu bangunan sering kali ditentukan oleh suatu konsep yang berkembang pada suatu masa tertentu.Patirthān di Gunung Ungaran tersebar pada bagian lereng, lembah, dataran Rawa Pening, dan dataran pantai utara Semarang. Berdasarkan orientasinya dari puncak gunung, patirthān dapat ditemui pada sisi utara hingga tenggara gunung. Oleh sebab itu, kajian ini bertujuan mencari faktor yang melatarbelakangi persebaran dari patirthān di Gunung Ungaran. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi. Untuk mencapai tujuan penelitian, analisis dilakukan dengan metode komparasi dan klasifikasi untuk mencari perbedaan tinggalan yang memiliki konteks dengan patirthān berdasarkan posisi penempatan di gunung, kronologi relatif, dan bentuk dari patirthān-patirthān tersebut. Berdasarkan hasil analisis, patirthān di Gunung Ungaran dapat dibagi menjadi tiga tingkatan sakralitas, yaitu berdasarkan bentuk, fungsi, dan aktivitas yang dilakukan. Berdasarkan persebaran dari aspek yang ditentukan, penempatan patirthān di Gunung Ungaran memiliki pola yang acak. Konsep tirthā telah menyebabkan persebaran dari patirthān di Gunung Ungaran memiliki fungsi dogmatis. Fungsi tersebut berimplikasi pada peranan patirthān sebagai komponen penanda wilayah suci sekaligus penguat dari konsep meru bagi Gunung Ungaran. Patirthān dalam hal ini juga turut menjadi media pemujaan terhadap Dewa Siwa yang diyakini bersemayam di gunung.

The placement of sacred buildings such as patirthān was determined by certain concepts at the time. Patirthāns on Mount Ungaran are spread from the northern side to the southeast side of Mount Ungaran i.e. slopes, valleys, plains of Rawa Pening, and north coastal plains of Semarang. This study aims to find the factors behind the distribution pattern of the patirthāns. The stages of the research consisted of data collection, analysis, and interpretation. To achieve the research objectives, the analysis was carried out using comparative and classification methods to look for differences in sacred objects that have context with the patirthān based on placement on the mountain, the relative chronology, and the shape of the patirthāns. The results show that patirthāns on Mount Ungaran can be divided into three levels of sacredness based on the form, function, and activities carried out. The distribution on the specified aspect shows the placement of the patirthāns on Mount Ungaran has a random pattern. The concept of tirthā has caused the spread of patirthān on Mount Ungaran to have a dogmatic function. This function affected the role of patirthāns as a component of the sacred area marker as well as the reinforcement of the meru concept for Mount Ungaran. Patirthān also becomes a medium of worship of Lord Shiva, who is believed to reside in the mountain. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Willy Darmawan
"ABSTRAK
Air merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Ketersediaan sumber daya air merupakan masalah umum yang dihadapi masyarakat di kawasan karst. Inilah salah satu ciri khas Kabupaten Gunungkidul sebagai bagian dari kawasan karst Gunung Sewu yang membuat kawasan ini rawan kekeringan. Namun kawasan karst Gunung Sewu memiliki banyak potensi mata air dengan debit yang bervariasi. Mata air merupakan titik di mana air bawah tanah keluar dari permukaan bumi yang terjadi akibat luapan air di lapisan akuifer. Di kawasan karst munculnya mata air merupakan hasil pelarutan baik di permukaan maupun di tanah. Debit pada mata air karst sangat dipengaruhi oleh topografi dan struktur geologi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan spasial. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah variasi debit mata air di kawasan karst. Sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah ketinggian tempat, daerah tangkapan mata air, dan curah hujan di kawasan karst Gunung Sewu. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial kuantitatif dan uji korelasi dengan metode korelasi ganda. Sebaran mata air di kawasan karst Gunung Sewu menunjukkan pola yang mengelompok. Dari 18 mata air yang diteliti, setidaknya terdapat 8 kelompok mata air yang tersebar di kawasan karst Gunung Sewu. Debit yang tercatat untuk 18 sampel mata air tersebut bervariasi dari 2 liter per detik hingga 200 liter per detik. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda diperoleh nilai korelasi sebesar 0,763 dan koefisien determinasi sebesar 0,582 yang menunjukkan bahwa kombinasi variabel bebas berpengaruh terhadap besarnya debit mata air sebesar 58,2%. Secara spasial variasi debit mata air di kawasan karst Gunung Sewu dapat dilihat dari perbedaan ketinggiannya. Di daerah tangkapan yang sama, mata air yang terletak di ketinggian yang lebih rendah akan memiliki debit yang lebih tinggi. Kenaikan debit pegas untuk setiap perbedaan ketinggian 1 meter adalah 0,132 liter per detik.
ABSTRACT
Water is a natural resource that is needed in life. The availability of water resources is a common problem faced by communities in karst areas. This is one of the characteristics of Gunungkidul Regency as part of the Mount Sewu karst area which makes this area prone to drought. However, the Gunung Sewu karst area has many potential springs with varying discharge. A spring is the point where underground water comes out of the earth's surface which occurs as a result of water overflowing in the aquifer layer. In karst areas, the emergence of springs is the result of dissolving both on the surface and on the ground. The discharge of karst springs is highly influenced by topography and geological structure. The method used in this research is a spatial approach method. The dependent variable in this study is the variation of spring discharge in the karst area. While the independent variables used are altitude, spring catchment area, and rainfall in the Gunung Sewu karst area. The analysis used in this research is quantitative spatial analysis and correlation test with multiple correlation methods. The distribution of springs in the Gunung Sewu karst area shows a clustered pattern. Of the 18 springs studied, there were at least 8 groups of springs scattered in the karst area of ​​Mount Sewu. The discharge recorded for the 18 spring samples varied from 2 liters per second to 200 liters per second. Based on the results of multiple linear regression analysis, the correlation value is 0.763 and the determination coefficient is 0.582, which indicates that the combination of independent variables has an effect on the amount of spring discharge by 58.2%. Spatially, the variation of spring discharge in the karst area of ​​Mount Sewu can be seen from the difference in height. In the same catchment area, springs located at a lower altitude will have a higher discharge. The increase in spring discharge for each 1 meter height difference is 0.132 liters per second."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>