Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217488 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmat Kusmiadi
"Wilayah Bandung luasnya k.l. 400.000 ha. berpenduduk l. 3,5 juta jiwa, terdapat 1.379 buah industri/pabrik, yang memanfaatkan air bawah tanah dari 1.900 buah sumur bor. Keseimbangan neraca air di wilayah ini sudah defisit, karena berbagai pelanggaran yang dilakukan pemakai air, antara lain perizinan (SIPA dan SIPPAT); pembayaran retribusi; pengambilan air yang melebihi batas; pembayaran retribusi; pencemaran lingkungan. Defisit neraca air ini semakin dipercepat dengan adanya pembangunan villa, rumah mewah, hotel dan obyek wisata secara besar-besaran oleh "developer" yang menanam modalnya di kawasan Bandung Utara yang ditetapkan Pemerintah sebagai kawasan tangkapan/peresapan air hujan.
Ada empat faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijaksanaan pengawasan dan pengendalian pengambilan air bawah tanah di wilayah Bandung, yang dijadikan subyek dalam menyusun instrumen penelitian, yaitu : (1) Kamunikasi dan koordinasi; (2) Sumberdaya; (3) Sikap aparat pelaksana dan masyarakat yang terkait; serta (4) Struktur Birokrasi instansi pelaksana kebgaksanaan.
Metoda penelitian yang digunakan ialah penelitian empirik berupa studi kasus dengan metoda deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, observasi, dan mengajukan kuesioner kepada beberapa pejabat. Sebagai pengontrol, penulis mengajukan kuesioner kepada pengusaha, pakar dan masyarakat. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif terhadap jawaban kuesioner.
Hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa penyebab masalah serta alternatif pemecahannya antara lain sebagai berikut :
1. Perubahan Kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Dept. Pertambangan dan Energi; Dirjen GSM/Dit. GTL tentang pengelolaan air bawah tanah terutama mengenai :
· Lebih memperjelas dan mempertegas mengenai batasan/pengertian industri ;
· Wewenang pemberian SIPA industri dan pertambangan galian golongan C, serta pengawasan dan pengendaliannya diserahkan kepada Daerah Tk. II;
2. Merubah Perda Propinsi DT. I Jawa Barat No. 3/1988, terutama yang menyangkut mekanisme dan prosedur perizinan agar lebih disederhanakan dan diserahkan kepada Daerah Tingkat II;
3. Perlu dibuat Perda Propinsi DT. I Jawa Barat, yang mengatur pelestarian dan konservasi sumber daya air disertai dengan sanksi yang tegas baik berupa denda maupun ancaran hukuman kurungan.
4. Upaya kongkrit lainnya yang perlu dilaksanakan oleh aparat dalam rangka implementasi kebijaksanaan agar lebih efektif antara lain ialah :
· Upaya pemasyarakatan dan komunikasi yang lebih meluas sampai ke tingkat aparat pemerintahan terendah (Kelurahan dan Kecamatan);
· Meningkatkan frekuensi penyelenggaraan rapat koordinasi antar instansi;
· Mengadakan penataran singkat tentang kebijaksanaan pengelolaan air bawah tanah bagi aparat yang langsung melayani masyarakat, untuk menjadi media komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat industri, penduduk dIl. Penyesuaian tarif retribusi air yang terlalu rendah. Hasilnya, selain meningkatkan PAD, perlu disisihkan sebagian guna membiayai kegiatan usaha pelestarian sumber daya air. Formulasi kebijaksanaannya perlu dipertimbangkan secaramatang agar tidak ada pihak yang dirugikan. Untuk itu perlu ada konpensasi berupa pemberian insentif pengembalian sebagian retribusi bagi pengusaha yang mengolah air limbah sendiri dan mengembalikannya ke dalam tanah;
· Kepada masyarakat kelas menengah ke atas (dikaitkan dengan permohonan SIMB) diwajibkan membuat sumur resapan air hujan untuk pelestarian air;
4. Untuk Upaya pelestarian jangka panjang, perlu dikembangkan teknologi daur ulang air limbah, sumur injeksi, dan danau buatan. Sedangkan industri yang banyak menggunakan air bawah tanah yang izin usahanya habis, maka tidak perlu diberikan izin perpanjangan, akan tetapi diberi kemudahan untuk merelokasi usahanya ke daerah lain yang lebih cocok dan prospektif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danu Pratama Aulia
"Pada praktiknya, Polri terkadang membutuhkan bantuan TNI dalam melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, belum ada pengaturan yang secara komprehensif mengatur mengenai perbantuan TNI kepada Polri. Menanggapi hal ini, Polri dan TNI menyepakati nota kesepahaman, perjanjian kerjasama, dan pedoman bersama untuk mengatur mengenai perbantuan TNI kepada Polri dalam memelihara Kamtibmas. Dengan metode penelitian yuridis-normatif, tulisan ini menelaah keberlakuan nota kesepahaman, perjanjian kerjasama, dan pedoman bersama antara Polri dengan TNI berdasarkan peraturan perundang-undangan serta doktrin-doktrin hukum. Dalam hal ini, Nota Kesepahaman, Perjanjian Kerjasama, dan Pedoman Bersama antara Polri dengan TNI masih bertentangan dengan UU TNI yang mengatur bahwa pengerahan OMSP harus berlandaskan pada kebijakan dan keputusan politik negara. Salah satu cara untuk menyediakan landasan hukum OMSP dengan selaras dengan UU TNI adalah dengan mengaturnya dalam UU yang merupakan peraturan yang disepakati bersama oleh Pemerintah dengan DPR RI.

In practice, the National Police sometimes needs the help of the National Armed Force in order to maintain safety and public order. So far, there has been no law that comprehensively regulate military involvement in helping the police to maintain safety and public order. The National Police and National Armed Force then agreed on a memorandum of understanding, agreement, and joined guidelines to regulate military involvement in helping the police to maintain security and public order. With normative legal research, this paper discusses the binding power of memorandum of understanding, agreement, and joined guidelines used by The National Police and National Armed Force. In this case, the memorandum of understanding, agreement, and joined guidelines between Indonesian National Police and Indonesian National Armed Force contradict Law Number 34 of 2004 because it does not stated that a national state policy is a prerequisite for involving the military in protecting safety and public order. One way to provide this national state policy is for the government along with the house of representative to create a new law to regulate military involvement in protecting safety and public order."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sunggono
Jakarta: Sinar Grafika, 1994
340 BAM h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Marissa Tanjung
"Pembuktian kartel menjadi tantangan utama bagi otoritas persaingan untuk menemukan perjanjian yang mendasari terbentuknya suatu perilaku kartel. Senjata jitu pembasmi kartel yang telah diakui beberapa negara di dunia yaitu dengan menerapkan kebijakan leniency, salah satunya diterapkan negara Australia dan dikenal dengan kebijakan Immunity. Penerapan pemberian Immunity di Australia dianggap perlu diterapkan di Indonesia dalam upaya penuntasan penyakit kartel. Oleh karenanya penelitian ini bertujuan untuk membahas dan memberikan penjelasan mengenai regulasi kebijakan leniency yang diterapkan di Australia serta mengkaji urgensi penerapan kebijakan leniency tersebut dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. Bentuk penelitian ini yaitu penelitian yuridis normatif Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan menghasilkan bentuk penelitian deskriptif-analitis dengan menyajikan gambaran objektif mengenai keadaan yang sedang diteliti. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa dalam menerapkan kebijakan imunitas, ACCC menetapkan dua sistem kekebalan yaitu Civil Immunity dan Criminal Immunity dan satu sistem kekebalan alternatif yang dikenal dengan Cooperation Policy. Dalam menerapkan kebijakan tersebut ACCC melibatkan lembaga lain yaitu CDPP untuk menangani pemberian Criminal Immunity. Bahwasannya keberhasilan kebijakan imunitas di Australia perlu dicontoh dan diterapkan oleh Indonesia dengan perumusan kebijakan yang bijak dalam upaya pembasmian kartel.

Proving a cartel becomes the main challenge for competition to find an agreement that forms a cartel’s behaviour. The main weapon of cartel extermination that has been recognized by several countries in the world is by implementing a leniency policy, one of which is implemented by Australia and is known as the Immunity Policy. The application of Immunity in Australia is considered necessary to be applied in Indonesia as an effort to eradicate cartel disease. Therefore, this study aims to discuss and provide an explanation of the leniency policy that applied in Australia as well to examine the urgency the leniency policy in business competition law in Indonesia. The form of this research is normative juridicial research. The method used is a qualitative method and produces a descriptive-analytical research form by presenting an objective picture of the situation being studied. This study concludes that in implementing the immunity policy, the ACCC establishes two immune systems, namely Civil Immunity and Criminal Immunity and an alternative immune system known as the Cooperation Policy. In implementing the ACCC policy, another institution, namely CDPP, is involved to provide criminal immunity. That the immunity policy in Australia needs to be imitated and implemented by Indonesia with a wise policy formulation in the effort to eradicate cartels."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Yessi Yolanda Sarah BR.
"Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 2015 seluas 2,61 juta hektar merupakan kebakaran terparah yang terjadi sejak tahun 1997 sehingga pemerintah membentuk Perpres No.1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Penelitian ini menganalisis kasus pelaksanaan supervisi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada tujuh kawasan prioritas BRG tahun 2019 dengan menggunakan teori implementasi kebijakan Merilee S. Grindle (1980). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan design studi kasus. Temuan penelitian ini menunjukan faktor banyaknya kepentingan, ketidakjelasan wewenang aktor pelaksana, dan karateristik kelembagaan merupakan faktor penghambat keberhasilan suatu kebijakan. Disisi lain, transparansi sebuah implementasi kebijakan merupakan faktor penting dalam keberhasilan kebijakan. Kurangnya transparansi dalam sebuah implementasi kebijakan akan menimbulkan konflik karena semakin banyak konflik, akan mempersulit implementasi suatu kebijakan.

Forest and land fires in Indonesia in 2015 covering an area of 2.61 million hectares were the worst fires that occurred since 1997 so that the government formed Presidential Decree No.1 of 2016 concerning the Peat Restoration Agency. This study analyzes the implementation of supervision in Industrial Plantation Forest Areas (HTI) in the Seven Priority Areas of BRG in 2019 using the theory of implementation of the Merilee S. Grindle policy (1980). This study used a qualitative method with a case study design. This research shows that many factors of interest, unclear authority of implementing actors, and institutional characteristics are factors inhibiting the success of a policy. On the other hand, the transparency of a policy implementation is an important factor in the success of the policy. Lack of transparency in a policy implementation will create conflict because more conflicts will make it difficult to implement a policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinambela, Hotman
"Di kota Metropolitan seperti DKI Jakarta, ketertiban umum adalah hal yang sangat penting bahkan dapat dikategorikan sebagai kebutuhan primer. Penyelenggaraan ketertiban umum merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah, dan untuk itu Pemerintah diberi kewenangan untuk memaksa publik menaati peraturan yang ada demi terselenggaranya ketertiban umum. Faktanya, ketertiban umum di DKI Jakarta masih jauh dari yang diharapkan. Dengan demikian perlu ditelusuri bagaimana seluk beluk penyelenggaraan ketertiban umum di DKI Jakarta.
Secara teoritis, hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi rasa keadilan. Penegakkan hukum diperlukan untuk memastikan bahwa barang siapa yang melanggar hukum akan dikenai sanksi tanpa terkecuali. Penyelenggaraan ketertiban umum di katakan berhasil, jika Pemerintah berhasil menyusun hukum yang baik dan penegakkan hukum yang efektif. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah : (1) mendeskripsikan rasa keadilan publik DKI Jakarta terhadap peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah DKI Jakarta, (2) mendeskripsikan efektivitas penegakkan Perda tersebut, dan (3) merumuskan cara terbaik penyelenggaraan ketertiban umum di DKI Jakarta.
Penelitian dilakukan terhadap 204 orang responden masyarakat DKI Jakarta. Pengumpulan data mengenai rasa keadilan dilakukan melalui wawancara terbuka dengan responden. Jawaban masing-masing responden kemudian dikelompokkan, sehingga terlihat variasi rasa keadilan publik terhadap Perda 11/1988. Untuk mengetahui efektivitas penegakkan Perda 11/1988, dilakukan wawancara dengan para pejabat di Dinas Ketentraman Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat, sebagai bagian dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta yang bertanggung jawab melakukan penegakkan Perda yang terkait dengan ketertiban umum. Untuk mengkorfirmasi hasil wawancara, dilakukan juga pengumpulan data melalui observasi (Pengamatan) langsung ke lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rasa keadilan publik Jakarta relatis rasional. Artinya, terdapat kecenderungan bahwa publik akan menerima peraturan yang obyektif dan masuk akal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa publik Jakarta akhirnya dapat menerima lalu lintas yang semeraut oleh karena memang secara obyektif masalah lalu lintas memang sangat kompleks. Hal yang mengusik rasa keadilan publik lebih dari pada adanya kewenangan Kepala Daerah (Gubernur) untuk mengambil kebijakan di luar peraturan yang ada, seperti izin Gubernur untuk penggunaan jalur hijau menjadi tempat usaha. Kewenangan Gubernur tersebut cenderung menimbulkan perdebatan karena rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan. Pemberian izin oleh Gubernur untuk menggunakan jalur hijau atau ruang publik lainnya untuk kegiatan bisnis tentu akan menguntungkan sekelompok masyarakat (pengguna). Di sisi lain akan ada pihak yang merasa dirugikan atau merasa tidak diberi kesempatan yang sama. Hal-hal sedemikian mengusik rasa keadilan publik.
Secara organisatoris, penegakkan Perda 11/1988 ada dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Dinas Ketentraman Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat (DKKPM). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa selama ini penegakkan peraturan yang dilakukan DKKPM bersifat represif seperti menangkap para penyandang masalah kesejahteraan sosial (Pengemis, wanita tuna susila, anak jalanan), menggusur para penggarap yang tinggaI di bantaran kali, serta menertibkan pedagang kaki lima. Untuk melaksanakan tugas-tugas DKKPM memang tidak diperlukan kualifikasi profesionalisme, Yang diperlukan adalah kekuatan fisik, kesiapan mental, dan keberanian untuk menanggung resiko berhadapan dengan masyarakat pelanggar Perda.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Pemerintah Propinsi DKI Jakarta belum memiliki strategi penyelanggaraan ketertiban umum yang komprehensif. Yang ada adalah strategi insidentil dan jangka pendek. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya masalah ketertiban umum yang selesai secara tuntas. Sulitnya menyelenggarakan ketertiban umum di DKI Jakarta terkait dengan kompleksitas persoalan yang terjadi di DKI Jakarta. Jumlah penduduk DKI Jakarta tidak sebanding lagi dengan daya dukung lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Berkenaan dengan dampak/pengaruh penyelenggaraan ketertiban umum terhadap ketahanan DKI Jakarta, hasil penelitian menunjukkan pengaruh Perda yang dirasakan adil 62,2%; pengaruh penegakkan Perda 26,5%; pengaruh peningkatan Perda 11,3%.
Mengingat kompleksitas ketertiban umum tersebut, maka diperlukan pendekatan yang komprehensif. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah : (1) meningkatkan partisipasi publik dalam perencanaan dan pelaksanaan ketertiban umum sehingga dirasakan adil, (2) meaakukan perubahan Perda 11/1988 untuk mengakomodir dinamika rasa keadilan yang berkembang di masyarakat, (3) meningkatkan kinerja DKKPM sebagai aparat penegak Perda melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan (4) meningkatkan koordinasi di lingkungan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk terbangunnnya suatu sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan ketertiban umum secara terpadu."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T7701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tioria Pretty Stephanie
"Penegakan hukum terhadap anak yang mengemis, mengamen, berjualan asongan dan mengelap mobil di Jakarta Timur belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip Perlindungan Anak. Pemerintah DKI Jakarta perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap instansi-instansi pemerintah yang menangani anak-anak ini. Perlu pula dikembangkan tindakan yang lebih baik bagi anak dalam bentuk non-institutional treatment yang terkoordinir dengan baik, sehingga pelaksanaan penegakan Ketertiban Umum di DKI Jakarta tidak lagi melanggar hak-hak anak.

Law enforcement on child beggars,buskers, hawkers and car wipers in East Jakarta is not fully in accordance with the Principles of Child Protection. Jakarta Local Government needs to do a closer scrutiny on the government agencies that handle these children. The Local Goverment should also develop better treatment for children in the form of a well-coordinated non-institutional treatment, so that the enforcement of Public Order in Jakarta is no longer infringe the rights of children."
2014
S54521
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moekijat
Bandung: Mandor Maju, 1995
320.6 Moe a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Kurniawan
"ABSTRAK
Tuntutan pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar khususnya kesehatan bagi masyarakat sebagaimana tercantum dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan sangat tinggi. Sementara kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong perbaikan pelayanan dasar melalui desentralisasi sejak tahun 1999 belum terlihat hasilnya. Oleh karena itu, Pemerintah telah mencanangkan perlunya dilakukan pengaturan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi daerah otonom. Penerapan kebijakan SPM bagi daerah otonom mulai diperkenalkan tahun 2000 dengan berlakunya PP No. 25 Tahun 2000, namun baru efektif sejak keluarnya SE Mendagri No.100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002. Namun, belum sempat daerah otonom menerapkan SPM sesuai amanat peraturan perundangundangan, UU No. 22 Tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan ini dilanjutkan dengan terbitnya PP No. 65 tahun 2005 yang memperkuat posisi SPM untuk diterapkan di daerah otonom. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok yaitu bagaimana pengaturan SPM di instansi Pemerintah Pusat dan instansi Pemerintah Daerah, dan efektivitas pengaturan tersebut di daerah otonom, serta faktor-faktor apa yang mendorong dan menghambat efektivitas pengaturan SPM di daerah otonom. Jawaban atas permasalahan penelitian ini dilakukan secara yuridis-normatif, dengan menelaah data sekunder yang menggunakan alat pengumpulan data secara studi kepustakaan dengan metode pengolahan dan analisa data secara pendekatan kwalitatif serta bersifat deskriptif-analitis dan berbentuk preskriptif-analitis.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, amanat konstitusi yang menghendaki pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar belum mampu diberikan oleh pemerintah (Pusat dan Daerah) secara optimal, meskipun Pemerintah terus mengembangkan pengaturan terkait penerapan SPM di daerah otonom. Kedua, pengaturan SPM bagi daerah otonom belum efektif karena peraturan perundang-undang yang mengatur SPM tidak menegaskan jenis pelayanan dasar yang wajib diatur dan rumusan norma dan validitas norma peraturan yang dibuat sebagai dasar hukum pemberlakuan kebijakan SPM tersebut tidak taat asas-asas hukum dan dapat dikatakan tidak valid. Ketiga, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan SPM di daerah otonom. Untuk itu, dalam rangka ius constituendum, tiada jalan lain yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengaturan SPM bagi daerah otonom adalah dengan merevisi Pasal dalam UU Pemerintahan Daerah yang berisi pengaturan tentang jenis pelayanan dasar yang menjadi urusan pemerintahan yang wajib diatur melalui pengaturan SPM. Selain itu, merevisi pedoman penyusunan dan penerapan SPM agar lebih sederhana dan tidak berbelitbelit, sehingga memudahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk berkoordinasi dalam rangka mencapai target akhir SPM yaitu mewujudkan kesejahteraan melalui pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar sesuai amanat.

ABSTRACT
Demands on the fulfillment of basic service requirements, public health in particular as it grafted in the constitution and in many laws and regulations, are very high. Meanwhile, the government policies in order to encourage the amelioration of basic services through decentralization since 1999 has not seen the results. In order to do so, the Government has established the need for Minimum Service Standards (MSS) regulation for the self-government regions. Actually in 2000, the implementation of MSS policy for the autonomy regions have had introduced with the enactment of PP No. 25/2000, but it was going into effect since the issuance of SE Mendagri No.100/757/OTDA July 8, 2002. However, before the autonomy regions yet had time to implement the MSS as mandated by the legislation, Law number 22/1999 was altered to Law number 32/2004 regarding Local Governance. These changes are followed by the issuance of PP. 65/ 2005 to strengthen the position of MSS to be implemented in autonomy regions. This research begin with the main issue about how the MSS regulation in the government agencies and local government agencies, and the effectiveness of these regulations in autonomy regions, as well as the factors that encourage and impede the effectiveness of the MSS regulations in autonomy regions. The answer to the issues of this research was held in juridical-normative approach, by studying secondary data in a literature study manner using data collecting tool with data processing and analysis methods in qualitative approach and descriptive-analytical and prescriptive-analytical form.
This research has found several findings. First, despite still continue developing regulation regarding MSS implementation in autonomy region, the Government (both central and local) has not been able to give the the fulfillment of basic service requirements in an optimal fashion that required by the constitutional mandate. Secondly, MSS regulation for autonomy regions has not been effective yet due to laws and regulations governing the MSS does not emphasize the type of basic services that must be regulated and the formulation of norms and validity of regulation norms that are made as the legal basis of policies such MSS does not comply with the law principles and can be said invalid. Third, there are many factors that affecting the realization of MSS in the autonomy regions. For the matter of that, to comply ius constituendum, there is no other way to do to improve the MSS regulation for the autonomy regions other than to revise the articles in Law regarding Local Governance that contain the regulation regarding the types of basic services that become governance affair that must be regulated through the MSS regulation. And what is more, to revise guidance for the drafting and implementation of MSS to be more simple and not complicated, making it easier for the Government and Local Government to coordinate in order to achieve the MSS final target that is to actualize the public welfare through the fulfillment of basic service requirements as mandated by the constitution.
"
2011
T29260
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Uki Kifli
"ABSTRAK
Kawasan Senggigi telah dikembangkan lebih dari dua dekade namun terdapat beberapa persoalan, seperti: penguatan kelembagaan, tata kelola destinasi, dan pemasaran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa implementasi kebijakan dan membangun skenario pengembangan kawasan Senggigi NTB hingga tahun 2028. Penggunaan paradigma post-positivism, dengan jenis penelitian deskriptif, didukung oleh teknik scenario planning. Hasil penelitian menemukan tidak adanya grand design penataan dan pengelolaan kawasan Senggigi, belum terbangunnya komunikasi yang kuat antara pemeritah daerah, dunia usaha dan masyarakat, rendahnya kualitas sumber daya manusia, serta terbatasnya anggaran, sarana, dan prasarana kerja. Adapun driving forces destinasi dan pemasaran digunakan untuk membangun empat skenario, meliputi: ?local champion, regional champion, national champion, dan international champion?. Skenario international champion merupakan skenario ideal terpilih dengan dua rekomendasi untuk mewujudkannya, yakni membangun keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif kawasan Senggigi NTB.

ABSTRACT
The Senggigi region has been developed for more than two decades, but there are still some problems, such as institutional strengthen, destination management, and marketing. The purpose of this study is to analyze the policy implementation and to build the scenario development of Senggigi NTB region up to 2028. The use of postpositivism paradigm, with descriptive research, supported by scenario planning technique. The result of the study finds that there is no grand design of arrangement and management of Senggigi region, unestablishment of strong communication between regional government, business community and society, low quality of human resources, and limitation of budget, means and work facilities. The driving forces destination and marketing are used to build four scenarios, include: local champion, regional champion, national champion, and international champion. International champion scenario is ideally elected with two recommendations to implement it, that is to build comparative advantage and competitive advantage of Senggigi NTB region"
2016
T45781
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>