Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179941 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sugandi Ishak
"Iklan adalah salah satu alat informasi dan promosi yang digunakan oleh para pengusaha/pengiklan (baik produsen, grosir atau pedagang eceran, dan penyelenggara jasa). Dalam memasarkan dan meningkatkan penjualan barang dan jasa, maka iklan sebagai bagian dari periklanan, yang meliputi proses penyiaran, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, serta penyampaiannya, sangat efektif digunakan, khususnya iklan televisi. Mengenai pihak-pihak periklanan di media televisi yang terlibat, selain pengusaha pengiklan, perusahaan periklanan, media televisi, adalah juga Lembaga Sensor Film (LSF), dan Direktorat Jendral POM Departemen Kesehatan RI. Karenanya jika terjadi pelanggaran terhadap etika periklanan dan hak-hak konsumen dalam iklan televisi (yang menyangkut kreativitas dan informasi produk), maka pihak konsumen mendapat perlindungan darn, hokum positif, baik oleh KUHPerdata, KUHPidana, maupun oleh beberapa keputusan Menteri di bidang periklanan, dan penyiaran televisi, yang bersifat administratif. Pihak-pihak yang dapat dituntut tanggungjawab hukum mengganti kerugian berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata (liability based on fault) dengan unsur kesalahan dalam kasus-kasus tertentu, terhadap pelanggaran etika periklanan dan hak-hak konsumen dalam iklan televisi yang menyangkut informasi produk (misal obat), adalah pihak pengusaha, dan Direktorat Jendral POM Departemen Kesehatan RI. Sedangkan mengenai hal yang menyangkut kreativitas iklan, selain pengusaha, juga pihak perusahaan periklanan, media televisi dan Lembaga Sensor Film (LSF). Namun hal-hal ini hanya berlaku sepanjang memenuhi unsur dari ketentuan-ketentuan tersebut. Untuk membuktikan kesalahan pengusaha terhadap penerapan prinsip Liability based on fault (Pasal 1365 KUHPerdata), dalam praktek di muka Pengadilan, menyulitkan konsumen (penggugat). Untuk mengatasinya perlu dipikirkan dalam pembuatan Undangundang tentang Perlindungan Hak-hak Konsumen mengenai penarapan prinsip Strict Liability pada productnya, yang ditayangkan pada iklan di media televisi tidak sesuai kenyataan (produknya rusak/cacat), sehingga pengusaha tanpa dibuktikan lebih dahulu kesalahannya, bertanggungjawab langsung membayar ganti rugi kepada konsumen. Hanya bila menyangkut pesan iklan produk obat, karena daya tari.knya dokter membuat resep untuk pasien (konsumen), yang lalu membeli obat pada apoteker atau toko obat yang berasal dari industri pabrik obat, namun setelah digunakan menimbulkan akibat yang berbahaya, prinsip yang tepat diterapkan adalah prinsip presumption of liability (praduga adanya tanggung jawab), karena adanya keseimbangan antara kesalahan yang satu dan yang lainnya. Di sini pihak Tergugat dapat diduga menghindarkan diri dari tanggungjawab, bila membuktikan dia tidak bersalah. Sedangkan jika terjadi pelanggaran produk barang, yang jumlah ganti ruginya telah ditetapkan pembatasannya oleh pengusaha penghasil barang, maka yang lebih tepat diterapkan adalah prinsip Limitation of liability.
Berkenaan dengan penerapan ketiga prinsip ini, yang pada dasarnya menekankan pada tanggungjawab pengusaha, namun dalam hal ini sebenarnya konsumen dapat juga menuntut ganti rugi tersebut kepada pihak perusahaan periklanan, media televisi, LSF dan Direktorat Jendral POM Depkes yang melanggar hak-hak konsumen dan etika periklanan dalam iklan televisi, baik menyangkut aspek informasi produk dan kreativitas, dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 22 Algemene Depalingen, dan sistem hukum acara perdata, dimana hakim dapat memutus tidak saja berdasarkan Undang-Undang, tetapi juga berdasarkan kepatutan dan keadilan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sony Kartiko
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24711
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Hartila
"Iklan merupakan suatu strategi yang ampuh bagi para pengusaha (produsen) untuk melakukan penawaran-penawaran barang dan jasa. Demikian juga dengan produk rokok agar konsumen tertarik untuk membeli produk tersebut maka promosi produk rokok dilakukan melalui iklan. Di Indonesia industri rokok secara langsung dan tidak langsung telah menggerakkan kegiatan perekonomian yang berasal dari cukai dan pajak reklame. Peranan para pengusaha untuk menarik agar produknya laku dipasaran, dilakukan penawaran-penawaran melalui iklan diberbagai media. Namun, iklan-iklan rokok tersebut banyak melakukan pelanggaran misalnya menampilkan isi dan kemasan rokok, mengajak konsumen untuk menkonsumsi rokok, serta penayangan berulang-ulang saat prime-time. Iklan rokok yang pernah dilarang pemerintah pemuatan dan penayangannya di media cetak dan media elektronik kini dapat dilihat lagi pemuatannya. Iklan rokok ini merayu setiap orang untuk merokok sedangkan pengetahuan bahaya dari merokok yang berdampak bagi kesehatan belum merata sampai ke masyarakat. Menyampaikan informasi tentang produk ke dalam sebuah tayangan iklan berdurasi pendek, atau pamflet poster, dan lain lain, yang menjadikan salah satu faktor pemicu iklan terlalu mengumbar janji, tidak kena sasaran ataupun membingungkan. Secara garis besar isi dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) terdiri dari pembahasan dan pengaturan mengenai hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, tanggung jawab pelaku usaha, klausula baku dan penyelesaian sengketa konsumen. UUPK memberdayakan Masyarakat umum, dimana UUPK tersebut mengamanatkan bahwa masyarakat adalah penyelenggara perlindungan konsumen sehingga mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasar namun tidak berwenang untuk memeriksa proses produksi. Bagi konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha baik secara individual maupun secara kelompok. Prosedur gugatan konsumen dapat diajukan pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau peradilan umum. Dengan denukian, kehadiran UUPK akan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum bila terjadi penyalahgunaan iklan. Mengenai iklan rokok yang melakukan pelanggaran telah dilakukan tuntutan hukum berupa somasi, legal standing ataupun class action yang diajukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) terhadap produsen pelaku usaha. Meskipun masih perlu dibuktikan lebih lanjut dengan penelitian dan pengumpulan data secara kuantitatif namun dari hasil penyelesaian kasus-kasus yang ada, penulis melihat bahwa pemberlakuan pasal-pasal UUPK yang terkait dengan periklanan dalam kehidupan sehari-hari mampu memberikan shock therapy bagi pelaku usaha periklanan agar tidak menyalahi aturan-aturan tersebut dan senantiasa berupaya untuk memperhatikan hak hak konsumen."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T16652
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Yuanita
"Iklan pada dasarnya merupakan somber informasi produk bagi konsumen dan sekaligus menjadi sarana produksi produk. Bahkan kecenderungannya, berfungsi sebagai alat promosi yang paling menonjol. Bagi konsumen, posisi iklan sebagai instrumen promosi, seringkali mengakibatkan konsumen menjadi korban atau dirugikan. Peraturan perundang-undangan kita belum secara tegas dan terinci mengenai bentuk iklan yang menyesatkan konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen jasa periklanan, khususnya terhadap konsumen jasa periklanan tentang obat-obatan bukan hanya diperlukan, bahkan sudah merupakan kebutuhan yang sangat vital. Utamanya bagi kalangan ekonomi menengah kebawah, dan boleh dikatakan sudah menguasai hajat hidup orang banyak. Untuk menganalisa tentang permasalahan ini, penulis menggunakan penelitian yuridis normatif, dan sifat penelitiannya adalah dekriptif. PeIanggaran etika periklanan dan half konsumen dalam iklan obat-obatan dapat dituntut pertanggungjawaban berdasarkan KUHPerdata, KUHPidana, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta peraturan perundangundangan lain yang berkaitan dengan obat-obatan. Penerapan strict liability terhadap product liability dapat terjadi dalam pelanggaran iklan obat-obatan. Selain itu j uga dapat diterapkan prinsip presumption of liability dan prinsip limitation of liability, sehingga tidak tertutup kemungkinan pula bagi pihak konsumen untuk menuntut atau menggugat pihak perusahaan periklanan, media, Ditjen POM, serta Departemen Kesehatan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19882
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Krishna
"Iklan merupakan sebuah sarana informasi bagi masyarakat maxim konsumen mengenai suatu produk tertentu. Bagi para produsen, ikian merupakan sebuah scram untuk memperkenalkan produk mereka kepada konsumen. Oleh karena iklan dikenal pula sebagai sebuah sarana yang mempertemukan konsumen dengan produsen. Di lain sisi, iklan tidak selalu memberikan keuntungan, khususnya bagi pars konsumen. Hal ini terjadi apabila iklan memberikan sebuah pernyataan yang menyesatkan dan tidak benar, menjaddran pernyataan man tersebut tidak sesuai dngan fakta atas produk yang diiklankan, Iklan yang menyesatkan dan tidak benar tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi para konsumen - mengingat televisi merupakan sebuah media massa yang ditujukan untuk khalayak umum. Perkembangan di bidang teknologi, ekono3ni dan ilmu pengetahuan telah mendorong perkembangan duaia periklanan hingga menjadi sebuah sistem yang kompleks. Di dalam sistem yang kompleks tersebut, kegiatan periklanan melibatkan beberapa pihak, antara lain pengiklan (produsen produk), ages (pensahaan periklanan) dan media. Oleh karena itu, untuk mencegah kerugian yang dapat diderita oleh pars konsumen, diperlukan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan periklanan. Namun, di Indonesia, ketentuan-ketentuan mengenai ikian produk pangan di televisi diatur secara terpisah_ Salah satunya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Tetapi, UUPK tidak secara tegas mengatur mengenai pars pihak yang bertanggung jawab alas ikian produk pangan di televisi yang dapat mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Ketentuan IJUPK tersebut juga dapat mengakibatkan ketidakpastian terhadap kete utuan yang mengatur mengenai periklanan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan; Oleh karena itu, definisi dari "pelaku usaha periklanan" sebagaimana diatur dalam ketentuan UUPK liarus dipertegas melalui ketentuan per mdang undangan di Indonesia Dengan demikian, hal ini akan memberikan sebuah kepastian alas hak konsumen yang berhubungan dengan hak konsumen untuk memilih (hak memilih) produk yang mereka inginkan.

Advertisement is a media which contains information of a certain product to societies and consumers. Regarding to the producers position, advertisement is a media to introduce their products to their consumers. Hence, advertisement is also used as a media where producers and consumers meet On the other hand, advertisements do not always benefited the consumers. It happens do to its misleading and wrong statements which usually different from the fact of the prods Those misleading and wrong statements advertisements on television could caused the consumers losses especially if those are food products which daily consumed - considering that televisions is a public information media. Development in technology, economics and science have drive the development of advertisements into a more complex system. In that system, advertising operations are involving a few parties, which are producers (as advertisers), agencies (as advertising companies) and media. Hence, in order to prevent the consumer`s losses, rules and regulations of advertising operations are needed. However, in Indonesia, the laws of food products advertisement on television are partly ruled and regulated One of them is stated by The Law of The Republic of Indonesia Number S of 1999 Concerning The Consumers Protection (UUPK). But, this UUPK does not make a clear statement regarding the parties who's responsible for the misleading and wrong statements food products advertisements on television - which could caused the consumers Losses. This UUPK is could also causing the uncertainty of The Law of The Republic of Indonesia Number 7 of 1996 Concerning The Foods and The Indonesian Government Law Number 69 of 1999 Concerning Label And Food Advertisements. Therefore, the definitions of "advertising operations companies" stated by UUPK should be cleared by any Indonesian Law. By having these rules and regulations of advertising, it will provides a certainty toward the consumers rights regarding their rights to choose the products they desired."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19287
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Adrian Sutedi
Jakarta: Ghalia Indonesia , 2008
381.34 ADR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mahdiani
"Klausula baku merupakan hal yang lazim digunakan dalam dunia usaha, biasanya klausula baku dibuat secara sepihak dan telah ditentukan terlebih dahulu oleh pelaku usaha sehingga konsumen yang ingin memanfaatkan barang atau jasa tersebut hanya memiliki pilihan menyetujui atau tidak menyetujui hal yang termuat dalam klausula tersebut atau dalam istilah disebut take it or leave it, penggunaan klasula baku dibutuhkan dalam dunia bisnis karena bentuk transaksi seperti ini dinilai mempermudah dalam praktik perdagangan, sewa menyewa, asuransi, jasa sektor keuangan dan berbagai bentuk hubungan hukum lainnya. Namun kemudahan transaksi menggunakan klausula baku sering merugikan konsumen, seperti klausula tambahan yang menyatakan bahwa konsumen harus setuju atau tunduk pada perubahan yang akan ada dikemudian hari, perubahan tersebut tidak diketahui perihalnya bahkan dalam beberapa kasus seringnya perubahan tersebut tidak diberitahukan kepada konsumen, oleh karenanya konsumen merasa dirugikan. Undang-undang perlindungan konsumen menyatakan aturan tambahan dalam klausula baku tersebut merupakan klausula yang dilarang dalam pasal 18 ayat 1 huruf (g), pelaku usaha yang memuat ketentuan mengenai klausula tambahan dalam perjanjian baku tersebut dinyatakan batal demi hukum seperti yang termuat dalam pasal 18 ayat (3) artinya perjanjian tersebut tidak mengikat. Selain itu klausula tambahan tersebut merupakan pelanggaran penerapan asas itikad dan merupakan perbuatan melawan hukum.
Dalam penelitian ini diuraikan mengenai kasus dan putusan yang memuat klausula tambahan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dengan analisis pendekatan undang-undang atau statute approach. Hasil penelitian ini yakni klausula tambahan tersebut merupakan hal yang dilarang oleh undang-undang perlindungan konsumen dan dinyatakan batal demi hukum seperti yang termuat dalam pasal 18. Konsumen yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen namun hal ini masih kurang melindungi konsumen karena putusan yang dikeluarkan oleh BPSK tersebut tidak dapat dilaksanakan dan beberapa putusan dibatalkan oleh pengadilan, alternatif lainnya konsumen dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan gugatan perbuatan melawan hukum.

Standard contract is a common practice in business, it is a practice where the contract is made unilaterally by the business actors so that the consumers would not have a choice but to agree with the contract, or it is commonly known with term "take it or leave it". The use of standard clause is important in the business since it is considered to make trade and transaction easier, as well as leasing, insurance, and financial sector services. However, standard clause often harms consumers, such as an additional clauses where the consumers must agree and submit to changes that will occur in the future. In some cases, such changes are not notified to consumers, therefore it inflicts a financial loss to consumers. According to the Consumer Protection Act of Indonesia, the additional rules in the standard clause are prohibited in article 18 (1) (g), business actors that contain provisions regarding additional clauses in the standard clause are declared null and void as contained in Article 18 (3) which means that the agreement is not binding. In addition, the additional clause is also a violation of the application of the Good Faith principle and it is a tort.
In this research described the cases and decisions that contain these additional clauses. This research was conducted by literature study with statute approach analysis. By this research, author draws a conclusion that additional clause is something that is prohibited by Consumer Protection Art of Indonesia and declared null and void as regulated in Article 18, and consumers who feel aggrieved can file a lawsuit to the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK). However, in practice the decision issued by the BPSK can not be implemented and several decisions are canceled by the District Court. The alternative customers can take is to submit a lawsuit to the District Court with a lawsuit against the law or tort.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Permelia Fabyanne
"Di antara berbagai Hak atas Kekayaan Intelektual, merek dagang merupakan salah satu hak yang sangat terkait dengan perlindungan konsumen, pelanggaran hak merek akan berdampak secara luas terhadap konsumen, karena merek meliputi segala kebutuhan konsumen. Hal tersebut disebabkan karena konsumen merupakan penggunan suatu produk, dimana suatu produk sangat erat kaitannya dengan merek. Sehingga konsumen yang biasanya sudah terikat menggunakan produk dengan merek tertentu, di mana dalam prakteknya sering terjadi pemalsuan dan menimpa konsumen maka sudah pasti konsumen mengalami kerugian karena mengkonsumsi secara keliru produk tertentu yang kualitasnya berbeda dengan produk yang biasa ia konsumsi. Sehinga di dalam penulisan tesis ini permasalahan yang akan diangkat adalah bagaimana Undang-Undang Merek memberikan perlindungan terhadap konsumen, upaya dan langkah hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen apabila kepentingannya dirugikan serta bagaimana putusan pengadilan niaga dalam hal perlindungan terhadap konsumen.
Sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen maka di dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dirumuskan mengenai tanggung jawab produk yang menyatakan bahwa "Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan".
Sedangkan apabila dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sanksi bagi pelanggar tindak pidana di bidang merek yang tentunya pasti akan merugikan pihak konsumen sebagai pengguna ataupun pemakai suatu produk atau barang, dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana tercatat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang tercantum dalam Pasal 90, 91, 92 ayat (1), 92 ayat (2), 92 ayat (3), 93, 94 ayat (I), 94 ayat (2), dan Pasal 95.
Sebagai akibat penegakan hukum yang lemah maka hasil dari kebijakan hukum merek untuk menanggulangi pelanggaran merek yang merugikan konsumen juga tidak akan mencapai hasil yang memadai. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan penegakan hukum yang kuat atas merek untuk mencegah terjadinya pelanggaran di bidang merek yang akan merugikan konsumen dan juga dibutuhkan tanggung jawab yang kuat dari kalangan pelaku usaha dalam memproduksi suatu barang."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Roosarina Dewi
"Kredit Pemilikan Rumah adalah kredit yang bertujuan membantu konsumen yang memerlukan rumah untuk dapat membeli rumah dengan fasilitas kredit perbankan. Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Bank Persyarikatan di Purwakarta terdapat "bargaining position" yang tidak seimbang antara konsumen dengan pihak bank, yang terasa berat dengan adanya pencantuman klausula baku dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Hukum Perdata. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini cenderung merugikan pihak yang kurang dominan, sehinga berada dalam posisi "take it or leave it".
Permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai penerapan dan akibat hukum klausula baku dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Bank Persyarikatan serta peran pemerintah dan notaris berkaitan dengan penerapan klausula baku tersebut, ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan konsumen dan juga Hukum Perdata.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder maupun bahan hukum tersier. Untuk melengkapi dilakukan juga wawancara dengan beberapa informan terkait.
Dari hasil penelitian dan analisis dapat disimpulkan bahwa perjanjian haruslah memenuhi kesepakatan para pihak dan tidak ada paksaan, kekhilafan serta penipuan. Dalam Perjanjian KPR Bank Persyarikatan ada beberapa pasal yang tidak sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan tidak memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Hal ini dapat menimbulkan akibat hukum yaitu batal demi hukum. Peran pemerintah diperlukan dalam pengawasan dan penerapan klausula baku dalam Perjanjian KPR, yaitu dengan didaftarkan di instasi yang berwenang. Peran Notaris juga diperlukan dengan cara bertindak profesional dan tidak berat sebelah kepada salah satu pihak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T17628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>