Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129794 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alwis
"Negara demokrasi memberikan kesempatan bagi rakyatnya untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Salah satu bentuknya adalah partisipasi warga negara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), baik sebagai pemilih maupun sebagai calon yang dipilih.
Akan tetapi karena keterbatasan peneliti, fokus penelitian dibatasi pada perilaku dalam menjatuhkan pilihan dalam Pemilu 1992 di Riau. Permasalahan ini menarik bagi peneliti, karena ada variasi keberhasilan OPP dalam menarik dukungan pemilih baik antar waktu pemilu maupun antar daerah di Riau. Realitas tersebut menimbulkan pertanyaan Mengapa pemilih menjatuhkan pilihannya pada OPP tertentu dalam Pemilu 1992".
Untuk menjawab pertanyaan-pertaanyaan di atas ada beberapa teori perilaku pemilih yang digunakan dalam penelitian yaitu : (a) Teori Sosio Psikologis yang berkaitan dertgan faktor-faktor kejiwaan dan perasaan pemilih, disebut dengan identifikasi kepartaian, (b) Teori Sosiulogis yang berkaitan dengan faktor rasio (akal sehat) pemilih atas dasar informasi dan pemahaman mereka atas isyu-isyu kampanye dan calon-calon anggota legislatif, disebut sebagai orientasi pemilih terhadap isyu dan calon, (c) Teori negara yang berkaitan dengan faktor peranan birokrasi dalam kehidupan politik suatu negara, khususnya dalam memobilisasi massa agar mendukung OPP tertentu dalam Pemilu.
Pengumpulan data primer dilakukan di dua desa sampel, yaitu desa Air Tiris dan Kelurahan Kijang yang ditentukan secara "purposive sampling" atas dasar pertimbangan (a) Kondisi budaya masyarakat, (b) Kondisi ekonomi, (c) Kondisi sosial. Di masing-masing desa sampel dipilih responden secara random 60 orang dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 1992.
Berdasarkan temuan-temuan penelitian yang diuraikan di bab empat dan lima membenarkan asumsi-asumsi dan hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih diketahui bahwa faktor peranan birokrasi dapat dikatakan tinggi, yakni antara 70-90% pemilih menjatuhkan pilihannya karena pertimbangan himbauan aparat birokrasi. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Tonny P.
"Tingkah laku pemilih merupakan salah satu aspek tingkah laku politik yang khusus membicarakan tingkah laku individual warga negara dalam hubungannya dengan pemilihan umum. Pembahasan itu menyangkut beragam hal terutama alasan seseorang untuk dan untuk tidak ikut memilih, serta faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang di dalam menentukan pilihan kepartaiannya.
Selama lima kali pelaksanaan pemilihan umum selama pemerintah Orde Baru kelihatan bahwa Golkar keluar sebagai pemenang dominan di Pematang Siantar. Dukungan masa pemilih terhadap orsospol ini untuk setiap kali pelaksanaan pemilihan umum senantiasa lebih dari 60 %. Keadaan ini dianggap suatu hal yang menarik, faktor apa yang menyebabkan sehingga masyarakat lebih banyak yang mendukung Golkar itu. Karena sebelum pemilihan Orde Baru dapat dilihat betapa kuatnya dukungan yang diterima oleh partai politik. Di samping itu juga masih banyak anggota masyarakat yang tetap menyatakan dukungannya pada partai politik.
Jawaban terhadap pertanyaan hal-hal yang mempengaruhi tingkah laku pemilihan ada 4 faktor: Identifikasi partai, mobilisasi pemerintah, status social ekonomi, dan faktor loyalitas kesukuan. Identifikasi merupakan faktor utama di dalam menentukan pilihan. Mereka yang identifikasinya kuat kepada salah satu orsospol sudah dapat dipastikan akan menjatuhkan pilihannya kepada orsospol itu pada waktu pelaksanaan pemilihan umum.
Mobilisasi pemerintah merupakan suatu bentuk pendekatan yang tidak lazim yang dikenal dalam pembahasan tingkah laku pemilih. Namun demikin di negara-negara yang birokrasi pemerintahnya sangat kuat (Bureaucratic Polity) seperti Indonesia diperkirakan bahwa peran pemerintah dalam mempengaruhi tingkah laku pemilih juga adalah kuat. Sebagaimana terlihat dalam penelitian ini bahwa peran yang dimainkan oleh pemerintah dalam mempengaruhi pilihan kepartaian adalah kuat.
Status sosial ekonomi yang mengacu kepada tiga indikator yakni pendidikan, pekerjaan dan penghasilan erat berkaitan dengan tingkah laku pemilih itu. Ada keterkaitan antara tingkat status sosial ekonomi tertentu dengan masalah pilihan kepartaian. Alasan utama dalam perbedaan pilihan itu berdasarkan pada kaitan ini adalah persoalan keinginan dan ketidakinginan mempertahankan status quo. Mereka yang status sosial ekonominya tinggi berupaya untuk mendukung orsospol pemerintah dengan harapan agar status mereka dapat tetap bertahan dan penikmatan akan status itu ekonominya rendah berharap terjadinya perubahan dengan berupaya memberi dukungan kepada partai yang memerintah.
Variabel terakhir yakni faktor kesukuan secara umum sudah kurang kuat pengaruhnya dalam mempengaruhi pilihan kepartaian. Tidak begitu tegas lagi pendapat yang menyatakan bahwa di Indonesia partai politik merupakan wakil dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Terutama Golkar kelihatan tidak terkait dengan suku dan aliran yang terdapat di masyarakat. Golkar ini sudah berhasil dalam mengakomodasi seluruh aliran dan kelompok yang ada.dalam masyarakat. Sementara untuk partai politik keterkaitan antara loyalitas kesukuan dengan pilihan kepartaian masih terasa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nazimin Saily
"Perilaku pemilih merupakan salah satu aspek yang dibahas adalah tingkah laku individual warga negara dalam kaitannya dengan pilihan dalam pemilu. Tesis ini mengkaji berbagai alasan yang mendasari pemilih menggunakan hak pilihnya mendukung salah satu partai politik. Penelitian ini ingin mengetahui perbedaan pemilih yang memberikan dukungan terhadap partai politik antara penduduk asli dan pendatang di desa Bojonggede dalam pemilu.
Pemilihan Umum pasca Orde Baru merupakan pemilu yang cukup demokratis, itu terlihat bahwa perolehan suara partai politik didistribusikan secara merata kepada partai politik peserta pemilu di desa Bojonggede. Penelitian ini sangat menarik karena faktor penduduk pendatang yang memberikan sumbangan terhadap tingginya tingkat partisipasi politik dalam pemilu 1999, di desa -kota Bojonggede.
Jawaban terhadap masalah tersebut yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih dalam pemilu ada 4 variabel yaitu, identifikasi partai, orientasi kandidat/calon, orientasi isu dan karateristik sosial. Dengan demikian variabel identifikasi partai merupakan yang mendasari seseorang memilih atau tidak memilih kepada salah satu partai politik dalam pemilu. Pemilih yang mempunyai identifikasi partai kepada partai politik tertentu hampir dapat dipastikan akan menjatuhkan pilihanya kepada parpol dalam pemilu.
Variabel karakteristik sosial yang mengacu kepada tiga indikator yaitu pendidikan, pekerjaan dan penghasilan yang berkaitan dengan perilaku pemilih. Adanya kaitan antara karakteristik sosial tertentu dengan pilihan kepartaian seseorang. Alasan utama yang mendasari pilihan tersebut berdasarkan pada hubungan ini yaitu masalah keinginan adanya perubahan dalam sistem politik. Pemilih yang karakteristik sosial tinggi ada kecenderungan memilih parpol Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sedangkan mereka yang karakteristik sosial rendah kecenderungan mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai Golongan Karya (Golkar).
Perilaku pemilih di desa Bojonggede dalam memberikan pilihanya kepada sebuah partai politik lebih dilatar belakangi oleh faktor identifikasi partai. Pada penduduk asli identifikasi partai lebih dipengaruhi oleh faktor sentimen agama,sedangkan pada penduduk pendatang dipengaruhi oleh faktor ideologi politik. Mengenai variabel karakteristik sosial, orientasi kandidat, dan orientasi isu, bagi penduduk asli tidak menjadi faktor yang menentukan. Sementara bagi penduduk pendatang variabel tersebut masih menjadi pertimbangan,meskipun persentasenya relatif kecil dibandingkan dengan variabel identifikasi partai."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cece Cahyadi
"Keikutsertaan rakyat dalam pemilihan umum merupakan suatu tindakan memilih anggota Badan Perwakilan Rakyat yang dipercaya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Oleh karena keikutsertaan rakyat dalam pemilihan umum selain berfungsi sebagai salah satu bentuk partisipasi politik, juga sekaligus merupakan pengejawantahan kekuasaan yang absah oleh rakyat. Rakyat yang melakukan pemilihan dalam pemilu didorong oleh suatu keyakinan bahwa aspirasi dan kepentingannya dapat tersalurkan atau setidaknya diperhatikan.
Kecenderungan untuk memilih salah satu kontestan pemilu terbentuk oleh suatu proses sosialisasi yang berjalan sepanjang kehidupan manusia, sehingga keyakinan tersebut dapat menguat dan dapat pula memudar tergantung sejauhmana sosialisasi tersebut berproses. Menguat atau memudarnya keyakinan pemilih berdampak terhadap dukungan suara yang diberikan terhadap OPP. Gejala seperti itu hampir ditemui dalam setiap kesempatan pemilu, di mana kecenderungan pemilih untuk memilih salah satu OPP tidaklah selalu sama atau tetap. Terbukti dari, setiap pemilu selalu terjadi perubahan dan pergeseran perolehan suara yang diperoleh masing-masing OPP.
Di Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi, selama lima kali pemilu (1977-1997) perolehan suara PPP selalu menurun kecuali dalam pemilu 1997 naik secara drastis dua kali lipat lebih, yakni dari 13,52 % menjadi 31,88 X. Sebaliknya dengan PDI yang selalu mengalami kenaikan dan turun secara mencolok, yaitu dari 17,45 % pada pemilu 1992 menjadi 2,21 % dalam pemilu 1997. Sedangkan perolehan suara Golkar menunjukkan penurunan, kecuali pada pemilu 1992 naik 2,12 % dan turun kembali dalam pemilu 1997 sebesar 3,12 %. Naik turunnya perolehan suara tersebut menunjukkan adanya pergeseran perilaku memilih, dengan kata lain perubahan perolehan suara yang diperoleh OPP mencerminkan terjadinya perubahan perilaku memilih yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Penelitian ini ingin mengungkap Faktor-faktor yang berkaitan dengan perubahan perilaku memilih dalam pemilu 1997 di Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi. Pertanyaan pokok yang dibahas nenyangkut mengapa terjadi perubahan perilaku memilih dalam pemilu 1997 dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perubahan perilaku memilih di Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi. Dalam konteks ini faktor-faktor identifikasi partai, isu, calon, pemimpin formal, pemimpin informal dan kelompok memiliki pengaruh terhadap perubahan perilaku memilih.
Guna menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penyebaran kuesioner kepada 75 orang responden dan wawancara dengan berbagai pihak yang dipandang tahu banyak terhadap persoalan itu. Penetapan responden dilakukan melalui teknik sampling probabilita melalui penarikan sampel secara berkelompok (cluster sampling) dan penarikan sampel sistimatis (sys tima ti c random sampling).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor identifikasi partai yang didasarkan atas ikatan agana/keagamaan dan ikatan tradisi/adat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku memilih dalam pemilu 1997. Hal itu disebabkan pengaruh identifikasi Golkar dan PDI dengan pemilih tergolong rendah, berbeda dengan PPP yang pengaruhnya tergolong tinggi.
Faktor lain adalah pengaruh pemimpin informal, terutama tokoh agama (ulama) dan tokoh masyarakat melalui himbauan dan ajakannya untuk mendukung dan memenangkan OPP tertentu. Hal menarik lainnya yang dapat ditemukan adalah mulai memudarnya dukungan ulama terhadap Golkar yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pandangan terhadap beberapa kebijakan yang diambil Pemerintah Daerah dan masalah pencalonan anggota legislatif yang mengandung unsur KKN. Dilain pihak beralihnya dukungan tokoh masyarakat berkaitan dengan kekalahan Kepala Desa yang lama dalam proses pemilihan Kepala Desa. Sedangkan para mantan Kepala Desa tersebut masih memiliki pengaruh dalam masyarakat. Sedangkan faktor-faktor lain seperti isu, calon, pemimpin formal dan kelompok pengaruhanya tergolong rendah, sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan perilaku memilih."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Jatnika
"Pemilu merupakan salah satu bentuk partisipasi politik sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat, karena pada saat pemilu itulah, rakyat menjadi pihak yang paling menentukan bagi proses politik di suatu negara dengan memberikan suara secara langsung dalam bilik suara. Dari seluruh warga negara yang memiliki hak pilih, terdapat warga negara yang pertama kali ikut serta dalam pemilihan umum, yaitu pemilih pemula (17-21 tahun). Mereka tidak memiliki pengalaman voting pada pemilu sebelumnya. Namun, ketiadaan pengalaman bukan berarti mencerminkan keterbatasan menyalurkan aspirasi politik. Mereka tetap melaksanakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara.
Pertanyaan penelitian (research question) yaitu faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemilih pemula di DKI Jakarta dalam menentukan pilihan politiknya kepada satu partai politik tertentu dalam suatu sistem multipartai pada Pemilu 2004? Studi ini menggunakan uraian teori partisipasi, budaya politik dan perilaku pemilih. Kemudian menentukan variabel berdasarkan teori tersebut yaitu afiliasi politik orang tua, identifikasi kepartaian, figur, agama, dan isu-isu politik.
Lokasi penelitian tersebar di kelima wilayah kota DKI Jakarta yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Utara dengan digunakan cluster dan simple random sampling. Pengumpulan data di lapangan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Responden ditentukan secara purposive. Responden yang diperoleh sebanyak 198 dari 200 responden. Studi ini mengungkapkan secara umum pendapat responden terhadap afiliasi politik orang tua menyatakan mempunyai pengaruh yang semakin kuat apabila orang tua aktif dalam partai politik, terutama sebagai pengurus partai. Begitu juga terhadap figur tokoh dan identifikasi politik menurut mereka mempunyai mempunyai pengaruh yang kuat, sedangkan variabel agama dan isu-isu politik/program partai tidak begitu besar pengaruhnya dalam menentukan pilihan politiknya.
Berdasarkan pilihan politiknya, terdapat perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi responden dalam memilih partai politik. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut (1) Pemilih Partai Golkar menyatakan bahwa orang tua mempunyai pengaruh kuat dalam menentukan pilihan politik responden; (2) Pemilih PDIP memiliki hubungan emosional kuat dengan partai nasionalis yang menjadi identifikasi partai mereka. Pilihan politik mereka juga dipengaruhi oleh orang tua dan figur tokoh idola yang menjadi calon presiden; (3) Pemilih PPP dipengaruhi oleh orang tua dan agama yang dianut responden sehingga membentuk identifikasi politik; (4) Pemilih Partai Demokrat, ternyata perilaku politiknya hanya dipengaruhi secara kuat oleh citra figur tokoh idola yang menjadi calon presiden dari partainya; (5) Pemilih PAN dipengaruhi oleh orang tua dan figur tokoh idola yang menjadi calon presiden; (6) Pemilih PKS dipengaruhi oleh faktor agama yang membentuk identifikasi partai berasas Islam, dan diperkuat dengan pemahaman berdasarkan program dan komitmen/janji partai; (7) Pemilih PDS mendapat pengaruh kuat dari orang tua dan agama yang dianut.

General election is one form of political participation as a realization of democracy. During the election, people become the most determining party on political process in a country that voted directly inside the polling booths. From overall voters with voting rights there were voters who cast their votes for the first time in general election, those are young voters (17-21 years of age) or often called beginner voters. They do not have voting experience of previous elections. However, without voting experience does not mean lack opportunity to channel their political aspiration. They still fulfill their voting rights at the voting polls (TPS).
The research question is what factor(s) influencing beginner voters in DKI Jakarta in making their political decision on particular political party in a multiparty system on 2004 General Election? This study used the analysis of participation theory, political culture and voter behavior. Next, determining the variables based on those theories namely parents' political affiliation, party's identification, figure, religion, and political issues.
The research location spread over five regions of DKI Jakarta that is West Jakarta, Central Jakarta, South Jakarta, East Jakarta and North Jakarta with cluster and simple random sampling. Field data collections were using questionnaires. Respondents were chosen purposively. There were 198 counted respondents out of 200 respondents.
The study generally shows that the parents' political affiliation variable has a stronger influence especially when the parents are active in political parties as party's official members. Figure symbol and political identification variables also have a significant influences, while religion and political issues/party's program variables do not have a significant influence toward beginner voter's behavior in deciding their political choice. Although for certain party voters, religion factors have a strong influence.
Based on political choice, there were distinguish factors influencing beginner voters' behavior. This matter can be seen as follows (I) Golkar Party voters expressed that parents have strong influence on changing respondents political choice; (2) PDIP voters had strong emotional relations with nationalist party which became their party's identification. Their political choice was also influenced by parents and model figure who became a candidate for president; (3) PPP voters were influenced by parents and respondents' religions for their political identification; (4) Democrat Party voters, it turns out that their political behavior only influenced by a strong image figure of idol of their candidate for president; (5) PAN voters were influenced by parents and model of president figure of their party; (6) PKS voters were influenced by religion factor which identified this Islamic party, and strengthened by an understanding of program and commitment/promises of he party; (7) PDS voters got strong influence from parents and their religions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryeska Fajar Kusuma
"Partai politik memegang peranan yang penting dalam demokrasi modem. Mengenai pentingnya peranan partai, Johnson (2001) berpendapat bahwa tanpa partai politik pemilih tidak akan memiliki lambang dan paket dari opsi kebijakan yang dapat ia pilih, dan biaya informasi dari partisipasi politik akan sangat mahal. Selain itu, partai politik juga berperan sebagai perwakilan rakyat dalam pemerintahan.
Tujuan dari penelitian ini dilakukan untuk mencari penjelasan mengenai perilaku pemilihan partai yang dilakukan pemilih pada pemilihan umum 2004 di Indonesia. Menurut beberapa ahli, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilihan partai adalah isu politik partai, citra sosial partai, tokoh partai, dan identifikasi dengan partai (Bassili, 1995; Ben-Ur & Newman, 2002; A. Campbell, Converse, Miller, & Stokes, 1960; J. E. Campbell & Meier, 1979; & Gafar, 1992).
Permasalahan penelitian ini berkaitan dengan kemampuan empat faktor tersebut dalam meramalkan perilaku pemilihan partai. Dengan teknik incidental sampling, peneliti menyebarkan kuesioner yang berisi pengukuran terhadap perilaku pemilihan partai dan keempat faktor tersebut kepada subyek pemilih. Kuesioner yang disebarkan berjumlah 200 buah dan yang dapat digunakan untuk analisis berjumlah 135.
Melalui metode discriminant analysis dari penelitian ini ditemukan dua variabel yang mampu meramalkan perilaku pemilihan partai, yaitu variabel citra sosial partai dan variabel tokoh partai. Sementara kedua variabel lainnya, yaitu isu politik partai dan identifikasi dengan partai tidak dapat meramalkan perilaku pemilihan partai.
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyarankan kepada partai politik untuk lebih memberikan perhatian kepada pemilihnya dengan berusaha cara mewujudkan keinginan mereka. Tetapi, pemilih juga perlu menunggu hasil kerja pemerintah dengan sabar."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3435
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utang Suwaryo
"Umat Islam Indonesia pada umumnya tengah mengalami perubahan (transformasi), khususnya NU sebagai organisasi keagamaan Islam. (jami'yah diniyah islamiyah) yang anggotanya cukup banyak, mencapai sekitar 15 juta dan cabang-cabangnya tersebar luas di seluruh Nusantara. Perubahan ini disebabkan oleh perubahan situasi dan kondisi yang ada, sehingga NU ditantang harus mampu merubah format lamanya dalam memandang kehidupan politik dengan format baru, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan konstelasi yang ada yang akan menjamin keberadaan NU itu sendiri. Dengan demikian, maka akan timbul kemungkinan adanya kebudayaan. politik baru pada kalangan warga NU baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Sepanjang kehidupannya dari mulai dilahirkan yaitu pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) di Surabaya Jawa Timur oleh Hadratus Syeikh Hasyim Asya'ri dan KH Abdul.Wahab Hasbullah sampai sekarang NU mengalami pasang surut dalam kehidupan politik, partisipasi mereka dalam politik berubah-ubah, sesuai dengan pernbahan pandangan mereka dalam menanggapi kehidupan politik. NU didirikan bermula sebagai organisasi sosial non politik, non kooperasi yang ketat dengan Pemerintah Kolonial Belanda dan sebagai jawaban atau reaksi dari kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaa'h terhadap gerakan pembaharuan Islam yang tumbuh di Saudi Arabia yang menamakan dirinya Wahabi yang selanjutnya menjalar ke Indonesia melalui Muhamadiyah, Al Irsyad dan Persis.
Kemudian pada tahun 1942-1945 NU dipaksa untuk bekerja sama dengan Pemerintah Jepang melalul wadah MIAI (Majlis Islam A'la Indonesia) yang merupakan satu-satunya badan yang menghimpun aspirasi umat Islam di Indonesia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, agama dan kelaskaran (bersenjata). Setelah tahun 1945 MIAI berubah menjadi Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) dimana NU dalam Masyumi ini memperoleh status keanggotaan istimewa. Aspirasi politik NU seluruhnya diwakilkan melalui Masyumi.
Karena dalam tubuh Masyumi terjadi keretakan, maka NU keluar dari Masyumi dan pada tahun 1952 NU berdiri sendiri sebagai partai politik dan secara langsung bebas berpartisipasi dalam politik dan pemerintahan atas nama sendiri sampai tahun 1973. NU menyusun program perjuangan sendiri yaitu ingin menegakkan syaria't Islam secara konsekuwen. NU berusaha mewujudkan suatu negara kesatuan berdasarkan Islam yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan memeluk agama, dan kebebasan mempunyai serta mengembangkan pikiran dan paham yang tidak merugikan. Haluan perjuangan NU adalah perdamaian, bentuk negara yang diinginkan adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Abrori
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada peran jawara di Banten sebagai elemen sosial yang nampak mempunyai pengaruh kuat di Banten dan seringkali mengambil sikap yang mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah daerah maupun pusat. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai Banten dan Jawara, seperti Kartodirdjo (1984), Hamid (1987), dan Tihami (1992) memperlihatkan bahwa jawara memang sudah lama menjadi elemen sosial yang berpengaruh karena tidak sedikit diantara mereka yang menjadi pemimpin masyarakat untuk bidang ekonomi, bidang politik (birokrasi) atau bidang agama. Sebagai pemimpin masyarakat atau elit sosial, jawara juga mendapat dukungan anak buah jawara yang hampir tersebar di seluruh wilayah Banten.
Keberadaannya sebagai elit sosial yang berpengaruh dan cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, memperlihatkan bahwa jawara adalah orang-orang yang ikut serta berpartisipasi politik. Dalam hal ini, akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang terjadi di Banten. Kemudian dipilihlah sebuah organisasi jawara yang bemama Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) yang sekretariat pusatnya terdapat di Serang. Dipilihnya organisasi tersebut mengingat para jawara yang akan dijadikan informan sesuai dengan konsep yang telah dibuat, tidak menetap pada suatu desa tertentu tetapi menyebar di beberapa desa atau kecamatan. Selain itu, Serang merupakan lbukota Propinsi Banten dimana suhu politik cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa daerah lain.
Pada kasus jawara, perilaku politik mereka difokuskan pada budaya politik (pengetahuan, keyakinan dan sistem nilai yang mereka anut) dan kepemimpinan jawara. Untuk meneliti budaya politiknya, digunakan teori yang dibuat oleh Almond dan Verba. Untuk meneliti tentang kepemimpinannya, digunakan penjelasan kekuasaan oleh Weber, Parsons, Lasswell dan Mills.
Dari hasil kajian beradasarkan data yang diperoleh, pola perilaku politik jawara termasuk kepada pola perilaku pragmatic. Perilaku inilah yang mendorong para jawara untuk cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah.
Perilaku ini berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan mereka bahwa pemimpin (termasuk pemimpin pemerintahan eksekutif dan legislatif) itu harus dihormati. Mereka yakin pemimpin tersebut sah secara hukum karena terpilih melalui pemilihan umum. Cara ini dipercaya oleh mereka sebagai bentuk demokrasi.
Namun, alih-alih berjuang untuk negara dengan doktrin "bela diri bela bangsa bela negara", perilaku politik mereka tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Ini terlihat dari makna bela diri yang difahami sebagai jihad untuk mengejar kepentingan materi'. Dengan demikian nilai (value) yang mereka kejar sebenarnya adalah kepentingan ekonomi.
Untuk kepentingan ekonomi itu, mereka berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka yang diperoleh dari budaya lokal. Karena sumber legitimasi kepemimpinannya berasal dari budaya lokal, maka tipe kepemimpinan mereka bisa digolongkan kepada tipe otoritas tradisional.
Pengejaran nilai eknomi dan adanya otoritas tradisionalnya itu menjadi semakin kuat karena mereka mampu menguasai lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan politik, seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah, Kadin Daerah dan lain sebagainya (ekonomi) dan wakil gubemur, walikota, lurah (politik), serta beberapa organisasi kepentingan lainnya. Dengan penguasaan tersebut perilaku politik jawara akhirnya mendapat legitimasi struktural.
Sementara itu, mereka pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pala hubungan mereka yang bersifat patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara.
Jawara pun berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti birokrat, partai dan militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Mereka menyebut elit-elit tersebut sebagai amitma.
Dengan budaya politik, otoritas tradisional, penguasaan pada lembaga-lembaga strategis, legitimasi struktural, patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal. Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembaga-lembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bersebrangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis.
Kekuasaan yang dipegang oleh segelintir jawara dengan jaminan kekuatan fisik (magi dan persilatan) dan kemampuan ekonomi, mereka sebenarnya menerapkan sistem pemerintahan oligarki. Sistem ini semakin tumbuh subur karena selain mendapat dukungan dan mitra-mitranya juga karena pola interaksi yang mereka kembangkan adalah model patrimonial dimana ketua jawara diakui sebagai patronnya. Dengan model ini, upaya control (pengawasan) terhadap lembaga-lembaga bersebrangan dan kelompok-kelompok kritis menjadi sangat efektif karena para jawara, dengan partisipasi bentuk kaula partisipan, mudah untuk memobilisasi massa yang mereka miliki.
Dengan sistem pemerintahan yang menganut sistem oligarki dan kondisi Banten yang demikian, maka perkembangan demokrasi dan civil society di Banten menjadi persoalan yang sangat serius. Pada tingkat tertentu, proses yang berlangsung malah terjadinya decivilasi yang membuat masyarakat Banten tidak berdaya, tidak mandiri, tak tercerahkan, dan dikuasai oleh ketakutan menyuarakan hak individunya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12503
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risang Rimbatmaja
"Dalam Pemilu 2004, pemilih pemula diperkirakan berjumlah 20 juta orang, 15% dari jumlah pemilih potensial atau eqivalen 80 (delapan puluh) kursi di DPR. Ada indikasi apatisme politik pada kelompok ini. Di sisi lain, pemilih pemula, khususnya di DKI Jakarta, merupakan generasi pemilih dengan latar belakang yang khas. Secara internal, dalam kelompok pemilih pemula akan terbentuk segmen-segmen yang khas. Tesis ingin menjawab pertanyaan bagaimana karakteristik segmentasi pemilih pemula di DKI Jakarta berdasarkan karakteristik-karakteristik sosio-politik dan life-style? Dengan kerangka segmentasi Loudon & Bitta (1993), Stewart (1991) dan Khasali (1998), disusun konsep-konsep dalam 3 (tiga) kategori, yakni 1) konsep-konsep utama, partisipasi politik dan perilaku warga dalam Pemilu, 2) konsep-konsep yang berhubungan dengan partisipasi politik, dan 3) konsep-konsep yang akan ditujukan untuk kepentingan identifikasi. Konsep-konsep utama segmentasi memanfaatkan kerangka Barnes dan Kaase (1979), dan Wasburn (1982), yakni partisipasi politik, perilaku warga dalam Pemilu serta konsep-konsep yang biasa dipakai dalam studi perilaku memilih (voting behavior) yang merupakan salah satu dimensi penting dalam konsep partisipasi politik, yakni 1) identifikasi parpol (Campbel dkk, 1960), 2) perilaku dalam proses pemilu dan 3) preferensi parpol pilihan. Kategori kedua adalah konsep-konsep yang sering diangkat menjadi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi politik yang dibagi dalam 3 (tiga) kelompok berikut, 1) stratifikasi sosial: karakteristik askriptif & status sosial (Sudjatmiko, 1996), 2) Sosialisasi (keluarga dan peer groups),dan 3) Sikap sosial dan politik (Wasburn, 1982)). Kategori ketiga adalah adalah life style (Plummer, 1974). Tipe penelitian ini adalah tipe deskriptif. Populasi penelitian ini adalah siswa SMU di DKI Jakarta. Sampel sebanyak 795 ditarik dengan teknik random stratified, Teknik analisis utama yang digunakan adalah cluster analysis khususnya dengan teknik K -means cluster. Ada 4 (empat) segmen yang ditemui yakni 1: "Si Mayoritas yang apatis" (41%) yang partisipasi politiknya paling rendah. Selain itu, sikapnya terhadap politik pun cenderung paling negatif. Kata "Mayoritas" merujuk pada prosentase mereka yang terbesar. 2. "Si Optimis" (30%) yang paling positif dibandingkan kluster-kluster lain. Mereka yang berada di kluster ini cenderung melihat dengan penuh keyakinan bahwa pemilu dan partisipasi politik secara umum dapat mendatangkan kebaikan. 3: "Si Minoritas aktif yang relijius" (9%) yang keaktifannya dalam bidang politik di tingkatan siswa SMU memang paling menonjol jauh meninggalkan siswa dari kluster lainnya. Kata relijius diambil karena mereka relatif paling terlibat dengan institusi agamanya. 4: "Si Nanggung" (20%) yang di semua aspek di berada di moderat. Pada satu sisi ini menunjukkan bahwa mereka cenderung berada di tengah dan tidak ingin masuk wilayah ekstrim, baik positif maupun negatif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tukina
"Studi partisipasi politik pada awalnya memusatkan perhatian pada determinan-determinan dan pola-pola partisipasi politik dalam kaitanya dengan aspek modernisasi sosial ekonomi. Masalah modernisasi sosial politik berkaitan dengan masalah kemiskinan di perkotaan. Dalam pandangan umum, Pemerintahan yang baik adalah tercermin dari pikiran publik, partai dan legislator yang independen. Idealnya kelembagaan politik yang ada adalah merupakan repesentasi dari rakyatnya. Dengan partisipasi politik maka diharapkan antara warga yang miskin diperkotaan dan pembuat kebijakan atau keputusan politik dapat saling memahami terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Partisipasi politik warga Bantaran Ciliwung dalam Pemilihan umum 1999 merupakan fenomena menarik apalagi diadakan pada masa reformasi politik di Indonesia.
Dalam penelitian terdapat dua variabel, yaitu : variabel bebas (Independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Studi ini merupakan penelitian lapangan (field research), Teknik penelitian yang digunakan adalah obeservasi dan wawancara mendalam (indepth interview) serta studi kepustakaan dan dokumentasi. Pendekatan penelitian adalah deskriptif-kualitatif dengan data yang bersifat eksploratif Lokasi penelitian di Bantaran Ciliwung, Kelurahan Kampung Melayu, Kec. Jatinegara, Kodya Jakarta Timur. Wawancara dilakukan dengan informan yang dianggap mengetahui banyak terhadap pokok permasalahan tersebut dengan menggunakan pedoman wawancara (guide interview).
Pemilihan umum 1999 berbeda dengan sebelumnya. Kualitas Pemilu 1999 dipengaruhi oleh kebebasan berpolitik, komunikasi politik dan pemberian sesuatu dalam politik. Media komunikasi politik mempengaruhi, pertama, dalam hal isu-isu politik (pesan, program, platform dan agenda partai). Kedua, pendidikan politik (wawasan politik). Ketiga, perilaku politik. Pemberian sesuatu dalam politik memberi semangat dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar, terutama dalam kampanye sedang dalam pemberian suara dan penghitungan suara tidak ditemui. Partisipasi politik warga Bantaran Ciliwung dalam Pemilu 1999 tinggi, namun dalam pengambilan keputusan warga menyerahkan kepada tokoh politik yang lebih tinggi, bahkan ada yang masa bodoh dengan politik karena merasa bukan merupakan urusan utamanya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>