Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2243 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Raudy
"Penelitian ini membahas permasalahan klaim moralitas dalam dokumen resmi Pemerintah- Amerika Serikat (The National Security Strategy of the United States of America 2002/ NSS 2002) atau yang dikenal juga dengan terma The Bush Doctrine. Klaim yang diajukan dalam Bush Doctrine adalah bahwa aksi militer Amerika Serikat terhadap negara-negara- yang ditengarai sebagai pemilik dan pengembang senjata pemusnah massal. (WMD) secara tidak sah yang dapat membahayakan dan menghadirkan ancaman terhadap Amerika Serikat dan para negara sekutunya, adalah dapat dibenarkan secara moral dan hukum internasional, karena dilakukan dalam kerangka self-defense atau bela-diri oleh sebab itu diklaim sebagai memiliki just cause (alasan yang adil/sah).
Periodesasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kurun waktu sejak diberlakukannya NSS 2002 yaitu September 2002 - Maret 2003 bertepatan dengan serangan militer Amerika Serikat dan Inggris ke Irak. Dalam masa ini Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden George W. Bush, Jr membuat klaim-klaim untuk menjustifikasi tindakan penegakan hukum /law enforcement terhadap Irak yang diduga memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal secara tidak sah. Sebagai pemegang Hak Veto - bersama Inggris, Russia, China dan Perancis, Amerika Serikat pada awalnya mengagendakan sebuah resolusi di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengizinkan adanya sebuah serangan militer terhadap Irak di bawah Presiden Saddam Husain. Namun ketika resolusi terkait tidak/belum didapat sampai bulan Maret 2003, akhirnya Amerika Serikat dan Inggris melakukan invasi ke Irak secara unilateral.
Penelitian ini menggunakan beberapa kerangka teoritis. Teori utama yang dijadikan dasar analisis normatif adalah Just War Theory (JWT) baik dari mazhab relijius dan mazhab sekuler. Selain itu penelitian ini menggunakan the legalist paradigm dari Michael Walzer dan theories of rights dari W.N. Hohfeld serta teori modifikasinya dari David Rodin sebagai working explanatory atau perangkat analisis operasional. Untuk melengkapi perangkat analisis dalam tesis ini ditambahkan teori intervensi.
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah seabgai berikut: Klaim self-defense Amerika Serikat yang merupakan formalisasi dari konsepsi hak duty-right dan duty to prevent menurut relasi Hohfeldian, ternyata memiliki cacat secara konseptual. Melalui eksaminasi moral menggunakan JWT, legalist paradigm dan right-based theories, klaim-klaim moral dalam BD/NSS 2002 dapat dibuktikan flawed atau tidak tepat. Miskonsepsionalitas klaim BD dapat difalsifikasi terutama dalam empat parameter utama yaitu (i) miskonsepsi rogue states (ii) miskonsepsi preemption (iii) miskonsepsi justification and excuse dan (iv) miskonsepsi imminent threats."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13800
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heryanto Gunawan
"Doktrin Alter Ego dan Piercing the Corporate Veil merupakan satu doktrin yang berkembang di negara ? negara Common Law, Doktrin ini mengajarkan penembusan tabir istimewa perseroan yang menutupi pemegang saham dan organ ?organ perseroan lainnya yang mungkin pada kenyataannya telah memanfaatkan perseroan untuk kepentingan sendiri sehingga dengan menutupi dirinya dengan tabir istimewa tersebut, pemegang saham dapat bersembunyi dari tuntutan tanggung jawab melebihi saham yang dimiliki dan organ ? organ perseroan lainnya dapat bersembunyi di balik pemenuhan tugas tugas yang dipercayakan kepada mereka.
Perseroan selaku badan hukum sekalipun mempunyai kedudukan mandiri dan pemegang saham mempunyai pertanggung jawaban secara terbatas, namun bila pemegang saham menyalahgunakan / memanfaatkan perseroan dengan misalnya memanfaatkan jabatan anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris untuk memanfaatkan Corporate Opportunity melakukan perbuatan hukum yang dapat menimbulkan conflict of interest atau dengan maksud melakukan self dealing untuk kepentingan pribadinya, maka tabir yang melindungi keterbatasan tanggung jawab tersebut dapat ditembus atau dikoyak untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi dan siapa tang telah terlibat dalam peristiwa atau perbuatan tersebut dengan maksud bilamana perlu menuntut pemenuhan tanggung jawab baik pemegang saham, anggota Direksi dan dewan Komisaris secara melebihi dari pada apa yang telah digariskan dalam anggaran dasar perseroan maupaun undang-undang termasuk tuntutan pertanggung jawaban sampai kekayaan pribadi.
Penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir / misbruik van macht) baik secara langsung maupun tidak langsung sudah pasti dilakukan dengan itikad tidak baik dan tidak bertanggung jawab memanfaatkan untuk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Terhadap tindakan pemegang saham, anggota Direksi dan dewan Komisaris yang merugikan pihak lain, Undang-Undang mengatur perlindungan hukum bagi pihak pihak tersebut dan mewajibkan Pengadilan menetapkan Doktrin Piercing the Corporate Veil dalam memeriksa perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 3 ayat 2 UUPT. Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata penerapan Doktrin ?Alter Ego and Piercing the corporate veil? tidak hanya terbatas pada tindakan ? tindakan yang disebut UUPT pasal 3 ayat 2 semata, akan tetapi terhadap berbagai aspek perbuatan hukum yang tidak selaras dengan hukum serta bertentangan dengan maksud dan tujuan perseroan.

The Doctrine Alter Ego and Piercing the Corporate Veil is one of the doctrines that develop in the Common Law jurisdictions. The doctrine allow Judges to pierces the company veil of that cover the shareholders and other corporate organs from exposing themselves to public knowledge that they may have used the company for their own respective benefits, so that by covering themselves with the corporate veil, they would not theoretically be held responsible for more than the shares they hold, in case the shareholders or for more than the fulfillment of their fiduciary duties of Directors and Commissioners.
Being a legal entity, a limited liability company enjoys its independent status and, as such the shareholders and each Director and/or commissioners possesses limited responsibility within the limits of their respective duties or obligation. But if a shareholders abuses or misuses the company by utilizing the Board of Director and Board of Commissioners to seize corporate opportunities to take any action which result in conflict of interest or with a view to creating self dealing for his own benefit, then the corporate veil that cover the shareholder can be pierced in order to find out what has actually been going on and whoever are involve in such event or action, be they the shareholders, members of the Board of Director and Board of Commissioners with a view to whenever necessary, demanding or claiming the shareholders, member Board of Director and member Board of Commissioners involved in the action that has been found as being detrimental to the company to be held responsible for more than that mandated by the articles of association of the company or even exceeding the law, including against their personal asset.
Abused of power (detournement de pouvoir / misbruik van macht) either directly or indirectly is always committed not in good faith and constitutes irresponsible in utilizing the limited liability company only for their personal advantages the law protect those who suffer from damages caused by misuse of the company by the shareholders, member Board of Director and member Board of Commissioners and obliges the court rely on Doctrine Alter Ego and Piercing the Corporate Veil in examining a case brought before it claiming the company for an alleged unlawful act committed thereby in pursuance of Company Law Article 3 paragraph 2. Under Article 1365 of Indonesian Civil Code, the Doctrine Alter Ego and Piercing the Corporate Veil can be interpreted so widely that is does not cover only acts mentioned in Company Law Article 3 paragraph 2, but to be applied to all acts which are contrary the law and are not il line with the purposes and objectives of the company.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25986
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farkhan
"Skripsi ini membahas tentang Jamaah Ahmadiyah, sebuah kelompok paham keagamaan yang mengikuti ajaran dan petunjuk Mirza Ghulam Ahmad. Jamaah ini berdiri pada tanggal 23 Maret 1889 di India. Ahmadiyah telah masuk ke Indonesia pada tahun 1925 di daerah Tapak Tuan Pantai Barat Aceh. Jamaah Ahmadiyah terbagi menjadi dua yakni Ahmadiyah Qadian dan Lahore. Kedua kelompok Ahmadiyah ini mempunyai organisasi masing-masing di Indonesia. Kelompok Ahmadiyah Lahore menyebut dirinya Gerakan Ahmadiyah Indonesia, sedangkan Ahmadiyah Qadian bernama Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Jamaah Ahmadiyah Indonesia berhasil mengembangkan dan membangun pusat kegiatannya di daerah Bogor, sedangkan Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang berpusat di Yogyakarta perkembangannya tidak begitu pesat karena keorganisasiannya longgar. Studi tentang Jamaah Ahmadiyah Indonesia ini berupaya mengkaji dengan fokus pada segi dakwah dan ajaran pokok yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad.

This paper discusses about the Ahmadiyyah, a group of religious thought and actions that follows the teachings of Mirza Ghulam Ahmad, which was established on March 23, 1889 in India. Ahmadiyyah penetrated Indonesia in 1925, at Tapak Tuan region, in west coast of Aceh. The Ahmadiyyah consists of two communities, Ahmadiyyah Qadian and Lahore. The second group establishes the organization of Ahmadiyyah in Indonesia. Ahmadiyyah Lahore names itself Indonesia Movement Ahmadiyyah, while Ahmadiyyah Qadian addresses Jemaat Ahmadiyyah of Indonesia. The Jemaat Ahmadiyyah of Indonesia succeeded to develop and to build activities in Bogor, on the other hand the Indonesia Movement Ahmadiyyah based in Yogyakarta. Studies of the Jemaat Ahmadiyyah of Indonesia attempts to study, which stresses on the fundamental aspects of preaching and teaching brought by Mirza Ghulam Ahmad."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S1174
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Burckhardt, Titus
Jakarta: Pustaka Jaya, 1984
297.4 BUR m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Russel, H.D.M.J.
Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1926
BLD 347.4 RUS v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Aprilianingsih
"Skripsi ini membahas tentang perubahan strategi pertahanan nasional Federasi Rusia berdasarkan dokumen Strategi Keamanan Nasional tahun 2009 dan Doktrin Militer 2010. Penulis menggunakan metode penulisan sejarah, dan untuk menganalisa skripsi ini penulis berusaha menjabarkan perubahan strategi pertahanan yang mengacu pada dua dokumen tersebut. Hasil analisa yang dilakukan oleh penulis dengan menerapkan teori geopolitik dan dihubungkan dengan permasalahan yang ada menyatakan bahwa perubahan strategi pertahanan merupakan implementasi geopolitik Rusia. Hal ini dapat dilihat dari beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah membuat perubahan dalam strategi pertahanan nasionalnya.
This paper aims to discuss the changes of the Russian Federation defense strategy based on the 2009 National Security Strategy (NSS) and the 2010 Military Doctrine documents. The author uses historical writing method and to analyze this paper, the author would like to describe the changes of the defense strategy that refer to two documents. After analyzing by connecting the problem with geopolitical theory, the result shows that the changes in defense strategy are part of the implementation of Russian geopolitics. This can be seen from some factors that caused the Russian goverment to make changes in its national defense strategy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S58010
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Darul Haq, 1998
297.2 KIT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ni Komang Desy Setiawati Arya Pinatih
"Penelitian ini akan mencoba menjawab pertanyaan penelitian : Mengapa terjadi variasi dalam doktrin pertahanan Indonesia periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998) ? Penelitian ini menggunakan dua kerangka pemikiran, yaitu : Strategic Culture dari Elizabeth Kier dan Teori Struktural dari Michael C. Desch. Penelitian ini bersifat komparatif dengan membandingkan doktrin pertahanan Indonesia dalam dua periode yaitu periode Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Dari perbandingan tersebut ditemukan variasi-variasi yang terjadi dalam doktrin pertahanan Indonesia. Penelitian ini juga akan menganalisa faktor-faktor yang mendasari dan mempengaruhi mengapa terjadi variasi dalam doktrin pertahanan Indonesia. Analisa mengenai strategic culture Indonesia dan struktur ancaman dalam dua periode tersebut serta pengaruhnya terhadap doktrin pertahanan akan menjadi sebuah bentuk penelitian yang dilakukan untuk melihat pola hubungan antara variabel dependen dan independen.

This research will try to answer the research question : Why there is variation in Indonesia military doctrine in Demokrasi Terpimpin period and New Order period? This research uses two frameworks, Strategic Culture from Elizabeth Kier and Structural Theory from Michael C. Desch. This is comparative research which compare two periods of Indonesia military doctrine : Demokrasi terpimpin period and New Order period. From those comparisons, found variation that happened in Indonesia military doctrine. This research will also analyze some factors that become foundation and influence why there is variation in Indonesia military doctrine. Analyzing about Indonesia strategic culture and threat structure in two periods will become a research form to see relation pattern between dependent and independent variable."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27582
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Delia Astrid Zahara
"Dalam pelaksanaan tindakan medis di rumah sakit, seringkali terjadi sengketa. Hal tersebut biasanya dipicu oleh adanya ketidaksesuaian antara hasil dari tindakan medis yang diberikan oleh pemberi pelayanan kesehatan dengan apa yang diharapkan oleh penerima pelayanan kesehatan, serta tidak adanya komunikasi yang baik antara pemberi dan penerima pelayanan kesehatan dalam proses pemberian informed consent sehingga risiko medis dan malaparaktik medis menjadi tidak dapat dibedakan dengan jelas. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dan deskriptif, Peneliti mencoba untuk memberikan gambaran umum mengenai kedudukan informed consent dan penerapan Doktrin Res Ipsa Loquitur dalam sengketa medis yang terjadi di rumah sakit berdasarkan Putusan No. 08/Pdt.G/2014/PN.KDR. dan No. 113 PK/Pid/2012. Pengaturan mengenai informed consent di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pada Peraturan tersbut telah disebutkan bahwa resiko medis dari tindakan kedokteran terkait harus disampaikan sebelum pihak penerima pelayanan kesehatan memberikan persetujuan sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara resiko medis dengan malapraktik medis.

Disputes frequently occur between the healthcare providers and recipients of healthcare services in execution of medical actions in hospitals. This is usually triggered by disagreement of the results of medical actions delivered by healthcare providers with what is expected by recipients of health services, and lack of good communication between providers and recipients of health services in the process of giving informed consent with the result that medical and medical malpractice risks become indistinguishable definitely. By using normative-juridical and descriptive research methods, the researcher attempts to provide a general description of the position of informed consent and the application of the Doctrine of Res Ipsa Loquitur in medical disputes that occur in hospitals based on Indonesian court ruling No. 08/Pdt.G/2014/PN.KDR. and No. 113 PK/Pid/ 2012. Regulations regarding informed consent in Indonesia have been regulated in Regulation of the Minister of Health No. 290 of year 2008 regarding Approval of Medical Measures. It has been stated in the aforementioned Regulation that the medical risks of related medical actions must be submitted before the recipient of the health service gives consent in order that it can be clearly distinguished between medical risk and medical malpractice.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019;
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>