Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53855 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Fitri Hapsari
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian:
Berbagai keluhan yang muncul pada masa menopause sebagian disebabkan karena penurunan kadar estrogen. Salah satu keluhan yang muncul adalah xerostomia. Xerostomia dapat terjadi akibat laju aliran & produksi liur yang tidak adekuat. Hal ini mungkin terjadi karena kelenjar liur tidak berfungsi dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ovariektomi (ovx) bilateral (yang diasumsikan sebagai penurunan kadar estrogen) terhadap gambaran histologis kelenjar parotis dan kapan terjadinya perubahan tersebut. Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Wistar betina berumur ± 3 bulan dengan berat badan 150-250 g, yang dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok I (ovx 50 hari), kelompok II (kontrol 50 hari), kelompok III (ovx 100 hari), kelompok IV (kontrol 100 hari). Kelompok I & II dibedah pada hari ke 50, sedangkan kelompok III & IV dibedah pads hari ke 100. Organ yang diperoleh dibuat sajian histologis dengan pewarnaan HE.
Hasil dan Kesimpulan:
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara jumlah asinus perlapangan pandang, diameter asinus, dan tinggi epitel asinus kelenjar parotis tikus 50 hari dan 100 hari ovariektomi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan bennakna hanya tampak pada diameter dan tinggi epitel asinus tikes 50 hari ovariektomi dibandingkan dengan tikus ovariektomi 100 hari. Hasil ini kemungkinan disebabkan karena estrogen yang berkurang akibat ovariektomi digantikan oleh estrogen hasil kenaikan berat badan tikus, dan kemungkinan kompensasi estrogen ekstra ovarium 50 hari pascaovariektomi terjadi secara berlebihan. Penelitian ini akan lebih akurat jika diperoleh data kadar estrogen darah.

Effect of Bilateral Ovariectomy on the Histology of Parotid Gland in Wistar RatsMenopause may comes with complaints, most of which are caused by decreased estrogen concentration. Xerostomia is one of the complaints, as the result of inadequate production and flow rates of saliva due to salivary gland dysfunction. Ovariectomy that will decrease in estrogen levels could lead to xerostomia. The aim of this study was to investigate the effect of bilateral ovariectomy, on histological structure of the parotid gland.
Twenty-four female Wistar rats, aged ± 3 months, weighing 150-250 g, were divided into 4 groups, each group content of 6 rats. Group I, which are sacrificed 50 days after ovariectomy, and Group IT., as unovariectomized control group, was sacrificed on day 50. Group III, which are sacrificed 100 days after ovariectomy, and Group ITT as unovariectomized control group, was sacrificed on day 100. The histological specimens of the organs obtained were stained with HE.
This study found no significant differences in the number of acini per visual field, diameter of acini, and height of acini epithelium at 50 days and 100 days after ovariectomy compare with control. The only differences are in the diameter of acini and height of acini epithelium at 50 days after ovariectomy comparing with 100 days after ovariectomy. These results might be caused by the effect of estrogen produced by nonovarial tissues, as increase body weight was found, and over compensation of estrogen at 50 days after ovariectomy. This study would be more accurate if the blood estrogen concentration was also measured.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13668
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deswaty Furqonita
"Latar belakang dan Cara penelitian : Salah satu penyebab mata kering (dry eye) adalah karena berkurangnya sekresi kelenjar air mata. Mata kering lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada lelaki, terutama pada wanita menopause yang diyakini sebagai akibat defisiensi estrogen. Efek defisiensi estrogen pada histologi kelenjar air mata belum diketahui secara jelas. Penelitian ini bertujuan mengetahui kapan terjadi perubahan dan apa bentuk perbedaan histologi kelenjar air mata pada tikus yang diovariektomi (ovx) sebagai model untuk wanita menopause. Ada 32 ekor tikus yang dibagi kedalam 4 kelompok yaitu: kelompok I (kontrol 50 hari), kelompok II (ovx 50 hari), kelompok III (kontrol 100 hari) dan kelompok IV (ovx 100 hari). Kelompok I dan II dibedah pada hari ke 50, sedangkan kelompok III dan IV dibedah pada hari ke 100. Kemudian diambil kelenjar air matanya untuk dibuat sediaan histologi dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya untuk menghitung jumlah asinus dan mengukur diameter asinus serta tinggi epitel asinus_ Sebagai data tambahan berat badan tikus diukur sebelum ovx dan sebelum dibedah. Data yang diperoleh diuji dengan uji T Data Mandiri, untuk menguji perbedaan jumlah asinus, diameter asinus dan tinggi epitel asinus pada kelompok I dengan II dan kelompok III dengan IV.
Hasil dan kesimpulan: Ada penurunan jumlah asinus yang bermakna (p=0,006<0,01) pada kelompok tikus 50 had pasca ovx, namun untuk diameter asinus dan tinggi epitel asinus tidak ada perbedaan bermakna dibandingkan dengan kontrol. Pada kelompok tikus 100 had pasca ovx tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,01) untuk jumlah asinus* diameter asinus dan tinggi epitel asinus dibandingkan dengan kontrol. Terjadinya penurunan jumlah asinus pada tikus 50 had pasca ovx disebabkan berkurangnya estrogen akibat ovariektomi. Kadar estrogen yang berkurang pada tikus 100 had pasca ovx telah dapat digantikan dengan sintesis estrogen ekstraglandular yang akhirnya akan meningkatkan kembali jumlah asinus sehingga sesuai dengan kontrol.

One etiology of dry eyes is a diminished secretion of the lacrimal glands, this is more frequently found in women than in men and in menopausal women it is certainly caused by estrogen deficiency. The effect of estrogen deficiency on the histology of the lacrimal gland is not well known. This investigation is done in order to know the time and form of histological changes in the lacrimal gland of bilateral ovariectomized (ovx) Wistar rats, which were used as a model for menopausal women. In this investigation, 32 Wistar rats were used and divided in 4 groups i.e.: Group I and group III were used as control groups, while group II and group IV were ovariectomized rats. Lacrimal glands were taken out surgically in group I and group II 50 days post ovx, while the same procedure was done in group III and group IV 100 days post ovx. Histological slides were made of the lacrimal glands and stained with hematoxylline-eosine (HE), then examined under light microscope in order to count the amount, diameter and epithelium height of the acini. The weight of the rats were also measured, as supportive data The result data was tested with Kolmogorov-Smirnov normality test, Lavane homogeneity test and independent T data test, to analyze the difference in amount, diameter, and epithelium height of the acini, between group I and group II, and between group III and group IV.
Results and conclusions: There was a significant decrease in the amount of acini (p=0,008<0.01) in the group of ovariectomized rats 50 days post ovx; however,there was no significant difference in the diameter and epithelium height of the acini, compared to its control group. No significant difference (p<0.01) was found in the amount, diameter and epithelium height of the acini, between the ovariectomized rats 100 days post ovx and its control group. The decrease in the amount of acini in the ovariectomized rats 50 days post ovx was due to diminished estrogen caused by ovariectomy. The decrease in amount of estrogen in the ovariectomised rats 100 days post ovx was replaced by extraovarial estrogen secretion, which eventually raised the amount of acini to the amount found in its control group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13674
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumbayak, Erma Mexcorry
"Pada masa menopause, produksi estrogen oleh ovarium berhenti. Berkurangnya produksi estrogen menyebabkan perubahan fisik dan mental pada wanita menopause. Perubahan tersebut sering menimbulkan perasaan tidak nyaman, antara lain terjadi pada kulit. Kulit wanita menopause menjadi tipis dan mudah luka karena menipisnya epidermis; ketebalan dermis juga berkurang karena menurunnya jumlah kolagen dermis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ovariektomi (ovx) bilateral (yang diasumsikan sebagai upaya penurunan kadar estrogen) terhadap lapisan dermis kulit dan dampak terjadinya perubahan tersebut. Penelitian ini menggunakan 32 ekor tikus Wistar betina berumur ± 3 bulan dengan berat badan 150-250 g, dan dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok I (ovx 50 hari), kelompok II (kontrol 50 hari), kelompok III (ovx 100 hari), dan kelompok IV (kontrol 100 hari). Kelompok I dan II dibedah pada hari ke-50, kelompok III dan IV dibedah pada hari ke-100. Organ kulit diambil dari abdomen dan dibuat sajian histologis dengan pewarnaan Trichrome. Preparat kemudian dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan serapan warna RGB (Red, Green, Blue) atau format RGB menggunakan program Adobe Photoshop 7.0.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara tebal dermis maupun tebal pulasan kolagen dermis antara tikus 50 dan 100 hari pada ovariektomi bilateral dibandingkan dengan kontrol. Namun demikian, ditemukan perbedaan yang signifikan pada kenaikan berat badan tikus ovariektomi bilateral 50 dan 100 hari. Tidak adanya perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan karena estrogen yang berkurang akibat ovariektomi segera digantikan oleh estrogen dari jaringan lemak akibat kenaikan berat badan; dan estrogen dari kulit, yang merupakan tempat biosintesis estrogen ekstraglandular. Penelitian ini akan lebih akurat jika diperoleh data kadar estrogen darah, kadar biosintesis kolagen dan variasi waktu pengamatan.

Abstract
At menopause, estrogen production by the ovary ceases. Decreased estrogen causes physical and mental changes in menopausal women. These changes often result in discomfort, such as changes in the skin. The skin of menopausal women becomes thinner and more prone to injury due to the thinning of the epidermis; the thickness of the dermis also decreases because of the reduced collagen in the dermis. This research aims to investigate the influence of bilateral ovariectomy (ovx), assumed as a method to decrease estrogen levels, on the dermal layer of the skin and the impact of these changes.
Thirty-two female Wistar rats, aged ±3 months, weighing 150-250 g, were divided into 4 groups, each containing 8 rats. Group I, sacrificed 50 days after ovariectomy, and Group II, the control group, were sacrificed on day 50. Group III, sacrificed 100 days after ovariectomy, and Group IV, the control group, were sacrificed on day 100. Skin samples were taken from the abdomen and made into histological slides stained with Trichrome. These slides were then analyzed quantitatively using the RGB (Red, Green, Blue) color absorption method with Adobe Photoshop 7.0.
The results showed no significant difference in dermis thickness and collagen staining thickness between the 50-day and 100-day bilateral ovariectomy groups compared to the control groups. However, there was a significant difference in body weight increase between the 50-day and 100-day bilateral ovariectomy groups. The lack of difference in dermis thickness and collagen staining is possibly due to the decrease in estrogen levels from ovariectomy being quickly replaced by estrogen from fat tissue as a result of weight gain, and estrogen from the skin, which represents extraglandular estrogen biosynthesis. This research would be more accurate if blood estrogen levels, collagen biosynthesis rates, and variations in observation time were also measured."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13661
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Noriko
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Keikutaertaan pria/suami dalam program Keluarga Barancana (KB) masih rendah, hal ini karana masih terbatasnya pilihan matoda kontrasepsi pada pria. Salah satu metoda pengendalian kesuburan pria adalah metoda hormonal hardasarkan pmros hipotalamus-hipofisia-testis. Poroa hipotamus~hipotisis~tastis dapat dikendalikan olah androgen dan Qrogastaron eksogan. Suatu kombinaai androgen dan progaatogen yang memiliki potensi sebagai hormon pengendalian kesuburan pria adalah 19 Nortastostaron Heksiloksifenil Propionat (19 .NT HPP) dan Depot Hedrokai Prodestaron asetat (DMPA). Knuth dkk (1989) melaporkan kombinasi 19 NT HPF dan DMPA yang disuntikkan pada sukarelawan pria yang fartil balum mancapai azoosparmia. Hal ini bararti spermatozoa yang dihasilkan masih mempunyai kamungkinan untuk dapat melakukan fertilisasi. Eertilisasi dapat mengalami kegagalan jika fungsi integritas membran Spermatozoa buruk. Fertilisasi juga dipengaruhi oleh fungsi kelenjar prostat dan veaika saminalis karena kedua organ tersabut menghasilkan sat yang diparlukan untuk kehidupan spermabozoa_ Dengan demikian parlu penelitian untuk mengatahui pangaruh kombinasi 19 NT HPF dan DHPA terhadap fungsi intagritaa membran spermatozoa, fungsi kalenjar prostat, dan kelanjar vesika seminalis disuntikkan. Panyuntikan kali yaitu disuntikkan Pada penelitian ini 19 NT HPP 200 mg 9 sukarelawan pria yang fertil. Penyuntikkan 19 NT HPP dilakukan satiap minggu sebanyak 7 minggu ke O sampai ke 6, aelanjutnya mingdu ke 9 12 15 18 dan 21. Kombinasi dengan DMPA 250 mg disuntikkan pada minggu ke 0 6 12, dan 18. Penilaian membran spermatozoa digunakan (uji HDS). terhadap Eungai intagritas. Fungsi kelenjar prostat dinilai dangan mangukur Radar asam sitrat dalam semen, sedangkan Fungsi kalenjar vasika aeminalis dinilai dengan mengukur Radar fruktosa dalam semen. Kadar asam sitrat dan fruktosa diukur dengan metoda Polakoski dan Zanevald (19?7). Pengambilan semen minggu ke -2 (sebelum perlakuan), 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, dan 24.
Hasil dan Kesimpulan: Penyuntikan kombinasi L9 NT HFP dan DMPA pada sukarelawan pria yang fertil menurunkan Eungsi integritas membran Spermatozoa yang bermakna ( P , 0,05) pada minggu ke 3, dan sangat bermakna (P < 0,01) pada minggu ke S dan 9. Dengan demikian maka hipotesis penelitian diterima. Fungsi normal kelenjar prostat tidak dapat dipertahankan pada minggu ke 21 dan 24. yang ditandai penurunan kadar asam sitrat dengan sangat bermakna (P < 0,01) dan dibawah kisaran kadar yang normal, oleh sebab itu hipotesis penelitian tidak dapat diterima. Eungsi kelenjar vesika seminalis masih dapat dipertahankan sampai minggu ke- 24, karena kadar fruktosa yang dihasilkan masih dala n yang normal walaupun sacara statistik memperhatikan yang bermakna (P < 0,05), dengan demikian hipotesis penelitian diterima."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988
612.313 LUD t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Indrati Suroyo
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naila Zhafirah, athor
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH saliva buatan terhadap surface gloss resin komposit Giomer Bulk-Fill. Uji surface gloss menggunakan glossmeter dengan sudut pengukuran 60 . Jumlah spesimen 63 buah terbagi dalam sembilan kelompok perlakuan yaitu perendaman dalam saliva buatan dengan pH 4,5; 5,5; dan 7 dengan waktu perendaman masing-masing 1 jam, 24 jam, dan 72 jam. Hasil analisis One-way ANOVA menunjukkan perbedaan bermakna pada setiap kelompok perlakuan. Disimpulkan bahwa dengan menurunnya pH saliva buatan dapat menurunkan nilai gloss pada permukaan resin komposit Giomer Bulk-Fill.

This study aims to determine the effect of artificial salivary pH to surface gloss of Giomer Bulk Fill composite resin restorative materials. The surface gloss were tested using glossmeter with measurement angle of 60 . The number of specimens are 63, divided into nine groups with immersion in artificial salivary pH of 4.5, 5.5, and 7 for 1 hour, 24 hours, and 72 hours at 37 C. Statistical analysis using One way ANOVA showed significant difference in each treatment group. This result suggested that the pH value reduction of artificial saliva can reduce the gloss value on the surface of giomer bulk fill composite resin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Ayu Sawitri Octavira
"Latar Belakang: Aktifitas fisik seperti berlari dapat mempengaruhi sekresi dan komposisi saliva, termasuk protein saliva di dalam rongga mulut, salah satunya protein SMBP. Protein saliva diketahui dapat memfasilitasi pertumbuhan biofilm bakteri.
Tujuan: Mengetahui pengaruh protein Streptococcus mutans binding salivary protein yang diisolasi dari subjek pelari dan nonpelari terhadap pertumbuhan biofilm P. gingivalis.
Metode: Studi eksperimental ini menggunakan teknik sampling purposive. Pemilihan subjek pelari dan nonpelari didasarkan riwayat lari dan pengukuran VO2max. Streptococcus mutans binding salivary protein diidentifikasi menggunakan SDS-PAGE. Streptococcus mutans binding salivary protein didapatkan melalui interaksi protein saliva pelari dan nonpelari dengan bakteri S. mutans. Uji biofilm pertumbuhan bakteri P. gingivalis ATCC 33277 menggunakan pewarnaan crystal violet. Data yang didapat kemudian dilakukan uji statistik menggunakan uji korelasi.
Hasil: Protein SMBP memfasilitasi pertumbuhan biofilm P. gingivalis pada inkubasi 3 jam maupun 24 jam.
Kesimpulan: Streptococcus mutans binding salivary protein yang diisolasi dari subjek pelari dan nonpelari memfasilitasi perumbuhan biofilm P. gingivalis.

Background: Physical activity such as running can affect salivary secretion and composition, including salivary proteins in the oral cavity, such as salivary protein SMBP. Salivary proteins are known to inhibit or facilitate the growth of bacterial biofilms. Salivary protein can facilitate or inhibit the growth of bacteria.
Objective: To determine the effect of Streptococcus mutans binding salivary protein towards the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm.
Methods: This experimental study used purposive sampling and VO2max test to determine runners and non runners. Protein profile samples were identified using SDS PAGE. S. mutans salivary protein was obtained from binding of salivary protein and S. mutans. Biofilm assay P. gingivalis ATCC 33277 growth towards Streptococcus mutans binding salivary protein salivary protein was conducted using the dye crystal violet assay. The data was statistically analyzed using correlation test.
Results: Salivary protein of Streptococcus facilitate the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm on incubation time 3 and 24 hours.
Conclusion: Salivary protein of Streptococcus mutans collected from runners and non runners facilitate the growth of Porphyromonas gingivalis biofilm.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ifni Nursam
"Latar belakang: Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas utama untuk evaluasi nodul tiroid. Dependensi operator yang tinggi membuat nilai diagnostik USG relatif rendah terutama bagi operator yang minim pengalaman. Computer Aided Diagnosis (CAD) merupakan sistem terkomputerisasi yang mampu melakukan penilaian USG nodul tiroid dengan objektif, konsisten dan diharapkan dapat meningkatkan akurasi diagnostik USG dalam penilaian nodul tiroid. AmCAD adalah aplikasi CAD untuk penilaian nodul tiroid yang sudah tersedia saat ini, namun belum ada data mengenai penggunaan AmCAD di Indonesia, sehingga diperlukan penelitian untuk melihat kesesuaian penilaiannya dengan kriteria penilaian yang selama ini sudah digunakan Tujuan: Menilai kesesuaian AmCAD dan ACR TI-RADS dalam menentukan nodul jinak dan ganas tiroid berdasarkan gambaran USG. Metode: Data sekunder hasil USG pasien dengan nodul tiroid di Departemen Radiologi RSCM dari tahun 2015-2019 dilakukan penilaian oleh peneliti sesuai kriteria ACR TI-RADS, kemudian gambar yang sama dilakukan penilaian terpisah menggunakan aplikasi AmCAD. Kesesuaian AmCAD dan ACR TI-RADS dalam menentukan nodul jinak dan ganas tiroid dianalisis. Hasil: Sampel penelitian ini sebanyak 85 nodul tiroid (jenis kelamin terbanyak wanita, rerata usia 49,8 ± 13,9 tahun). Hasil analisis menunjukkan AmCAD dan ACR TI-RADS memiliki kesesuaian yang baik dalam membedakan nodul jinak dan ganas tiroid berdasarkan gambaran USG dengan nilai konkordans 87,1 % , Kappa Cohen R 0,570 (p 0,001). Kesimpulan: AmCAD dan kriteria ACR TI-RADS memiliki kesesuaian yang baik dalam melakukan penilaian nodul tiroid.

Background: Ultrasonography (USG) is the main modality for evaluation of thyroid nodules. High operator dependency makes the diagnostic value of ultrasound relatively low especially for operators who lack experience. Computer Aided Diagnosis (CAD) is a computerized system that is able to carry out ultrasound assessment of thyroid nodules objectively, consistently and is expected to improve the diagnostic accuracy of ultrasound in the assessment of thyroid nodules. AmCAD is a CAD application for the assessment of thyroid nodules that are currently available, but there is no data regarding the use of AmCAD in Indonesia, so research is needed to see the appraisal of the assessment with the assessment criteria that have been used so far. Objective: Assess the suitability of AmCAD and ACR TI-RADS in determine benign and malignant thyroid nodules based on ultrasound images. Methods: Secondary data on the ultrasound results of patients with thyroid nodules in the Department of Radiology RSCM from 2015-2019 were assessed by researchers according to the ACR TI-RADS criteria, then the same image was assessed separately using the AmCAD application. The suitability of AmCAD and ACR TI-RADS in determining benign and malignant thyroid nodules was analyzed. Results: The sample of this study was 85 thyroid nodules (most female sex, mean age 49.8 ± 13.9 years). The results of the analysis showed that AmCAD and ACR TI-RADS were well-suited in distinguishing benign and malignant thyroid nodules based on ultrasound images with concordance values ​​of 87.1%, Kappa Cohen R 0.570 (p 0.001). Conclusion: AmCAD and ACR TI-RADS criteria are well-matched in assessing thyroid nodules."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barnabas I Wayan Tirta
"Latar belakang: Kanker nasofaring menempati urutan ke lima kanker yang paling sering diderita di Indonesia hingga tahun 2020. Terapi pilihan yang menjadi pilihan tata laksana kanker nasofaring adalah terapi radiasi dengan teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) karena dapat mengurangi kejadian xerostomia. Namun sekalipun dengan teknik IMRT cedera pada kelenjar saliva pasca terapi radiasi masih sering terjadi. Penilaian cedera kelenjar saliva pasca radiasi menggunakan klasifikasi Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) di mana penilaian derajat keparahan berdasarkan gejala klinis pasien sehingga MRI yang mempunyai kelebihan dalam menilai jaringan lunak dapat membantu penilaian derajat xerostomia secara objektif dengan melihat perubahan volume dan perubahan intensitas kelenjar parotis.
Metode: Dilakukan pengumpulan data dosis radiasi dan derajat xerostomia dari 30 pasien kanker nasofaring yang menjalani terapi radiasi serta dilakukan pengukuran perubahan volume serta rasio intensitas kelenjar parotis terhadap otot temporalis dari data MRI nasofaring pasien sebelum dilakukannya radiasi, 3 bulan sesudah radiasi dan 12 bulan sesudah radiasi.
Hasil: Xerostomia derajat 1 memiliki perubahan rasio intensitas sebesar 0.9 pada  3 bulan sesudah radiasi dan sebesar 2.0 pada 12 bulan sesudah radiasi serta perubahan volume sebesar 4.0 ml pada 3 bulan dan 7.9 ml pada 12 bulan sesudah radiasi. Sedangkan xerostomia derajat 2 memiliki perubahan rasio intensitas sebesar 1.0 pada 3 bulan sesudah radiasi dan 2.0 pada 12 bulan sesudah radiasi serta perubahan volume sebesar 7.3 ml pada 3 bulan dan 9.5 ml pada 12 bulan. Hubungan korelasi dosis radiasi dengan  perubahan intensitas 12 bulan memiliki nilai P 0.002 dan nilai R 0.54, sedangkan hubungan dosis radiasi dengan perubahan volume 3 bulan memiliki nilai P sebesar 0.000 serta nilai R 0.9 dan dengan perubahan volume 12 bulan memiliki nilai P sebesar 0.000 dan nilai R 0.9.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan perubahan intensitas kelenjar parotis lebih besar pada bulan ke 12 dibandingkan dengan bulan ke 3 setelah radiasi serta pada xerostomia derajat 2. Semakin besar dosis radiasi maka semakin besar pula perubahan volume kelenjar parotis.

Background: Nasopharyngeal cancer ranks as the fifth most common cancer in Indonesia until 2020. The treatment of choice for nasopharyngeal cancer is Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) because it can reduce the incidence of xerostomia. However, even with the IMRT technique, injuries to the salivary glands after radiation therapy still occur frequently. Assessment of post-radiation saliva gland injury using classification Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) where the assessment of the degree of severity is based on the patient's clinical symptoms so that MRI which has advantages in assessing soft tissue can help assess the degree of xerostomia objectively by looking at volume changes and parotid gland intensity changes. .
Method: Data were collected on radiation dose and degree of xerostomia from 30 nasopharyngeal cancer patients undergoing radiation therapy and measurements of changes in volume and intensity ratio of the parotid gland to the temporalis muscle were taken from nasopharyngeal MRI data before radiation, 3 months after radiation and 12 months after radiation.
Results: Grade 1 xerostomia had an intensity change of 0.9 at 3 months and 2.0 at 12 months and a volume change of 4.0 ml at 3 months and 7.9 ml at 12 months while grade 2 xerostomia had an intensity change of 1.0 at 3 months and 2.0 at 12 months and a change volume of 7.3 ml at 3 months and 9.5 ml at 12 months. The correlation between radiation dose and intensity change for 12 months has a P value of 0.002 and an R value of 0.54, while the relationship between radiation dose and volume change for 3 months has a P value of 0.000, an R value of 0.9 and a 12 month volume change with a P value of 0.000 and an R value of 0.9l.
Conclusion: This study showed that the change in the intensity of the parotid gland was greater at 12 months than at 3 months after radiation and at grade 2 xersotomia. The greater the radiation dose, the greater the parotid gland volume change.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>