Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97296 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ligia Emila Muchtar
"ABSTRAK
Apabila orang berkunjung atau hidup di Jepang, maka akan terkesan dengan banyaknya ragam hadiah dan barang-barang yang dikemas dengan indah dan menggunakan kertas pembungkus yang terkesan mewah yang tidak murah.
Bila kita lebih lama lagi tinggal di Jepang, akan dapat menyaksikan kegiatan sosial khususnya mengenai beredarnya hadiah-hadiah pada waktu-waktu tertentu yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk orang-orang tertentu pula. Tata cara kegiatan sosial yang berhubungan dengan peredaran pemberian hadiah telah dibakukan dalam berbagai terbitan, diantaranya seperti yang diterbitkan NHK dengan judul Kurashi no Echiketto (Etiket Kehidupan) atau dalam buku Shin Otsukiau Jiten (Kamus Pergaulan Terbaru), Salaryman in Japan, atau pada buku Japanese Family & Culture terbitan JTB.
Dalam buku-buku tersebut diatas diterangkan bagaimana tatacara memberi dan membalas pemberian yang selalu muncul dan melibatkan setiap lelaki - perempuan dalam kehidupan orang Jepang sejak seorang anak lahir, balita, dewasa, menikah, menjadi orangtua, dan menjadi kakek nenek yang sampai akhir hayatnya penuh dengan keterlibatan aneka ragam pemberian.
Salah satu buku mengenai etiket orang Jepang yang disebut diatas yaitu dalam Kurashino Bunka jinrui Baku atau antropologi budaya kehidupan (1984;152-156), mencoba mengelompokkan aneka ragam pemberian dalam 5 kategori. Adapun kelima kategori tersebut adalah sebagai berikut:
Nenchugyoji Toshiteno Zoto atau pertukaran hadiah yang dilakukan sepanjang tahun.
Nenchugyoji toshiteno zoto ini meliputi; pemberian orang tua kepada anak-anak pada setiap akhir tahun, pemberian anak kepada ayah pada setiap hari ayah dan hari ibu, pemberian dipertengahan dan akhir tahun antara anak buah kepada atasan di tempat kerja, murid kepada guru, yunior kepada senior, tetangga yang muda kepada tetangga yang tua.
Jinsei no Tsukagirei to Zoto atau pemberian dalam upacaraupacara keluarga.
Jinsei no tsukagirei to zoto ini melibatkan sanak keluarga yang dekat. Adapun kesempatan-kesempatan tersebut seperti pemberian pada upacara kehamilan 4 bulan hingga kelahiran anak. Selanjutnya pemberian pada perayaan ulang tahun pertama hingga hari dewasa anak yang waktunya ditetapkan oleh pemerintah Jepang. Kemudian pemberian pada perayaan pertama kali masuk sekolah hingga lulus sekolah. Setelah perayaan kelulusan ini disusul dengan pemberian pada upacara perkawinan pada usia perkawinan 25 dan 50 tahun. Terakhir pemberian kepada keluarga terdekat bila usia telah mencapai 60 tahun, 77 tahun, 88 tahun dan terakhir 99 tahun. Pemberian pada upacara-upacara keluarga ini di Jepang, biasanya hanya melibatkan kalangan keluarga dekat (keluarga inti)? "
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Iswary Lawanda
"ABSTRAK
Tulisan ini menunjukkan interpenetrasi antara Amaterasu Oomikami dan lingkungan dalam pemikiran orang Jepang. Perlindungan terhadap lingkungan sebagai produk interpretasi dengan kebudayaan Jepang dalam hubungan timbal balik adalah berdasarkan klasifikasi: yang normatif ? yang nyata; yang sakral ? yang profan; dunia gaib - dunia nyata. Sistem penggolongan merupakan produk dari pengetahuan orang Jepang memandang lingkungannya: golongan yang dalam (uchi) ? yang luar (soto/yoso). Penggolongan ini dan atributnya menjadi ciri pembeda antara yang dalam dengan yang luar. Perusakan lingkungan merupakan perbuatan yang memalukan dan perbuatan yang kotor. Pelanggaran terhadapnya dikenai sangsi. Orang Jepang menjaga lingkungannya sebagaimana pola tindakan mereka menjaga kuil Shinto (jinja) dan kuil budha (tera). Tindakan manusia yang murni adalah menjaga lingkungan sedangkan tindakan yang kotor adalah yang patut dihindari. Pandangan orang Jepang terhadap lingkungannya terkait dengan keyakinan keagamaan yang primordial yaitu Amaterasu Oomikami sebagai leluhur dari leluhur kaisar Jepang. Keyakinan terhadap yang sakral sebagai yang menyelimuti kehidupan masyarakat Jepang menanamkan kesadaran kolektif setiap individu dan kelompok dalam jenjang lokal, daerah, dan negara. Kesadaran kolektif atau solidaritas dalam diri orang per orang disosialisasikan melalui dan dalam institusi sehingga menghasilkan konfirmitas antara orang per orang dan orang dengan lingkungannya. Metode interpretif menggunakan pendekatan simbolik menghasilkan pemahaman bahwa Amaterasu Oomikami dan lingkungan merupakan satu sistem hubungan dalam kebudayaan Jepang dimana satu sama lain saling terkait melalui seperangkat nilai dan tindakan.

Abstract
The article indicate the interpenetration between Amaterasu Oomikami and environment within the Japanese thought. The protection of environment as a product of interpretation of Japanese culture in reciprocal relation is categorized by: the normative ? the real; the sacred ? the profane; supranatural world ? human world. The system classification is the product of knowledge from the Japanese way in seeing the world based on the classification of the inside (uchi) ? the outside (soto/yoso). This classification and its attributes produce differentiation between the inside ? the outside. The environment destruction is considered as disgrafuk and dirty action. Any violation should be given sanctions. The Japanese watch over their environment by following the pattern of jinja and tera maintainance. The purity of human behaviour is to protect the environment whilst dirty actions should be avoided. The Japanese view the environment in relevant to the religious belief as primordial as Amaterasu Oomikami the great ancestor of Japanese tenno. The belief in the sacred enfolds the life of the Japanese to nurture collective consciousness in every individual and groups in local, prefecture and nation-state hierarchically. Collective consciousness or solidarity in individuals is socialized by and within institutions in order to produce confirmity among individuals and with the environment. Interpretive method with symbolic approach produce the understanding of Amaterasu Oomikami and the environment as a system of relations in Japanese interpenetrated in the culture through a set of values and actions."
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia], 2008
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Lazuardi Imani
"Kebudayaan Jepang dipengaruhi oleh posisinya sebagai persimpangan jalur perdagangan. Pada abad ke-16 dan 17, bangsa Portugis bersama dengan bangsa Eropa yang lain berdagang dengan bangsa Jepang. Bangsa Portugis, yang saat itu bersama dengan bangsa Spanyol disebut nanban oleh bangsa Jepang, membawa pengaruh kuliner dari negara dan daerah jajahan mereka sendiri ke dalam masakan Jepang. Tempura, kasutera, dan konpeitou merupakan contoh hasil dari akulturasi tersebut. Sekarang, masakan Jepang yang dipengaruhi oleh masakan Portugis disebut nanban ryouri.

The culture of Japan is influenced by its strategic position on global trade routes. In the 16th and 17th centuries, the Portuguese and other European nations traded with the Japanese. The Portuguese, who along with the Spanish at the time were called nanban by the Japanese, brought culinary influences from their own country and colonies into Japanese cuisine. Tempura, kasutera, and konpeitou are examples of the result of this acculturation. Nowadays, Portuguese-influenced Japanese cuisine is known as nanban ryouri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Joas Joel
"Tradisi ohaguro adalah tradisi seseorang menghitamkan gigi. Tradisi ini juga ditemukan di banyak negara Asia Tenggara, dan Jepang termasuk salah satu negara yang menjalankan tradisi ini sejak zaman Kofun(250-538). Pada akhir zaman Heian(794-1185), tradisi ohaguro mengalami perubahan fungsi yaitu dari fungsi praktis sebagai pengganti pasta gigi menjadi fungsi simbolik sebagai penanda bahwa seseorang telah menjadi dewasa dan memiliki tanggung jawab selayaknya orang dewasa. Memasuki zaman Edo (1603-1868), seiring dengan berkembangannya patriarki dalam ideologi Konfusianisme, tradisi ohaguro hanya dilakukan di kalangan perempuan bangsawan dengan tujuan semata-mata untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tradisi ohaguro sebagai pratik patriarki pada perempuan bangsawan Zaman Edo, dengan menggunakan teori patriarki Sylvia Walby(1990) dan metode penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi ohaguro merupakan salah satu praktek patriarki dalam ideologi Konfusianisme, yang mengukuhkan kepentingan laki-laki dan memosisikan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Meminjam istilah Walby, hal ini disebut dengan patriarchal culture, yang menunjukkan bagaimana relasi patriarki dalam agama, sebagai salah satu lembaga budaya.

Ohaguro tradition is a tradition where people blackened their teeth. This tradition is also found in a lot of nations in South East Asia, and Japan is one of the nation which used this tradition since Kofun period(250-538). At the end of Heian period(794-1185), the ohaguro tradition undergo changes from a functional meaning that replaces toothpaste to symbolic meaning where it’s serves as a prove that people reached adulthood and have the same responsibilities as an adult. Entering the Edo period (1603-1868), with the growth of patriachy within Confucianism ideology, ohaguro tradition only used by female aristocrats with the sheer purpose of fulfilling interest and needs of the male. This research aim to analyze the ohaguro tradition as a practice of patriarchy within female aristocrats at Edo period, by using the patriarchy theory by Sylvia Walby(1990) and using descriptive analytics method. The result of the research shows that the ohaguro tradition is a form of patriarchy practice from Confucianism ideology, that strengthen male interest and positioning the male as a party that dominate, oppress, and exploit woman. Borrowing Walby’s term, this tradition can be defined as patriarchal culture, that shows the relation of patriarchy within religion, as a cultural constitution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Savitri
"Stratifikasi gender merupakan prinsip penting dalam masyarakat Jepang. Dalam stratifikasi tersebut pria menempati posisi dominan dan dan perempuan menempati posisi subordinat. Seiring dengan perkembangan Taman, Jepang berusaha menyesuaikan diri dengan wacana kesetaraan gender yang berkembang di sebagian besar masyarakat di dunia, terutama di negara-negara industri dimana perempuan merupakan suatu angkatan kerja yang partisipasinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada awal era pertumbuhan ekonomi tinggi tahun 1960-an, Gross National Product ( GNP ) Jepang merupakan yang tertinggi keempat di dunia setelah negara-negara industri barat seperti Arnerika Serikat, Uni Soviet, dan Jarman Barat. Tidak berbeda dengan negara-negara industri lainnya, di Jepang juga terjadi peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Meskipun begitu bukan berarti bahwa terjadi peningkatan status perempuan dalam masyarakat, mereka masih saja tersubordinasi.
Maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai subordinasi yang diaiami perempuan Jepang pada era pertumbuban ekonomi tinggi dan kondisi sosial yang menyebabkan hal tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelaahan kepustakaan dengan perspektif feminis. Bahan penelitian dikumpuikan dari data atau pengetahuan yang terkumpul dan pembelajaran dari penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya berupa buku, jurnal, dan artikel internet.
Penulis menggunakan paradigma feminis untuk menganalisa kondisi sosial tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan suatu deskripsi dan analisa komprehensif yang lebih dekat dengan sudut pandang perempuan sebagai objek yang tersubordinasi. Secara khusus penulis menggunakan teori feminis sosialis Iris Young yang menggunakan pusat kategori melek gender yaitu "Pembagian kerja berdasarkan seksual" sehingga mampu menjelaskan kondisi perempuan secara keseluruhan. Inti dari teori feminis sosialis Iris Young adalah opresi terhadap perempuan disebabkan oleh kapitalis patriarki yang bias gender. Matra dalam penelitian ini, penulis juga mengkaji kondisi sosial yang menyebabkan subordinasi perempuan Jepang, dalam konteks ini adalah Jepang sebagai masyarakat yang kapitalis sekaligus patriarkis."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S13772
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oki Gunawan
"Idol atau dalam pelafalan Jepang, aidoru adalah salah satu fenomena dalam kebudayaan popular Jepang. Fenomena ini mulai muncul sekitar tahun 1970-an yang dilatarbelakangi oleh perubahan dalam sistem kemasyarakatan Jepang sebagai dampak dari meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat secara ekonomi sehingga berpengaruh pula terhadap pandangan dan gaya hidup mereka. Fenomena aidoru sendiri merupakan sebuah gejala yang sangat menarik dalam masyarakat Jepang dimana mereka seperti memiliki penafsiran dan konsep sendiri terhadap kata idol. Sehingga konsep aidoru di Jepang tentunya tidak sama dengan konsep idol di negara lain. Pandangan masyarakat Jepang terhadap konsep aidoru berubah dari masa ke masa. Pada masa awal kemunculannya sekitar tahun 1970-an masyarakat memandang aidoru sebagai sosok ideal wanita Jepang (yamato nadeshiko). Pada periode tahun 1980-an yang Iahir fenomena _idol boom_ yaitu fenomena rnenjamurnya aidoru_-aidoru baru akibat merebaknya acara-acara pencarian bakat. Pada masa ini pandangan masyarakat Jepang terhadap gadis-gadis muda yang menjadi aidoru tak hanya dijadikan idola dan ukuran terhadap wanita Jepang yang ideal tetapi mulai dijadikan sebagai objek fantasi seksual kaum laki-laki. Memasuki tahun 1990-an fenomena perkembangan aidoru dikatakan sedang mengalami resesi. Hal ini berkaitan dengan keadaan ekonomi dan kemakmuran masyarakat Jepang yang juga sedang mengalami kemunduran. Akan tetapi, memasuki akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000 fenomena ini kernbali merebak dengan munculnya aidoru-aidoru barn yang memiliki _nilai lebih_ yaitu bakat atau sainou dan rasa percaya diri atau jishin. Hal ini menjadikan seorang aidoru bukan lagi sosok yang diidolakan oleh kaum pria raja, tetapi juga menjadi panutan bagi kaum gadis-gadis Jepang. Hal ini menunjukkan sifat budaya pop yang cepat berubah dan beradaptasi sesuai dengan perubahan kondisi masyarakat. Dan aidoru sebagai salah satu bagian dari budaya pop Jepang dituntut untuk dapat ikut beradaptasi agar tetap dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu contoh aidoru yang menjadi fenomena khususnya pada periode awal tahun 2000-an adalah grup aidoru Morning Musume atau sering jugs disebut Momusu. Berbagai karakteristik aidoru yang muncul menurut pandangan masyarakat Jepang ini yang melatarbelakangi penulis untuk meneliti tentang fenomena aidoru di Jepang. Dan untuk itu penulis menggunakan Morning Musume sebagai objek penelitian karena grup ini memenuhi kriteria sebagai kelompok aidoru dan dapat mewakili aidoru yang muncul pada masa kontemporer."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S13796
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akita Priandana
"Tesis ini membahas mengenai bagaimana audiens, khususnya pemelajar kebudayaan Jepang, memaknai nilai-nilai yang dianut masyarakat Jepang, yang tersemat di dalam berbagai judul shonen manga. Analisis penelitian ini berfokus pada pembaca manga sebagai audiens aktif, yang mungkin memaknai manga yang mereka baca dalam berbagai cara. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan paradigm interpretive-constructivism dan teori reception analysis untuk menganalisis pemaknaan pembaca manga.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembaca yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai kebudayaan Jepang memiliki kecenderungan untuk menegosiasikan nilai-nilai masyarakat Jepang dan membandingkannya dengan latar belakang sosial maupun kebudayaannya sendiri. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa nilai-nilai masyarakat Jepang tersebut tidak diaplikasikan secara langsung oleh pembaca yag mempelajari kebudayaan Jepang.

This research focused on how audience, especially Japanese Studies learners, interpret Japanese ideologies that attached in many shonen manga's title. The research's aim is to find out how manga's reader as active audience interpret mangas that they read. It is a qualitative research that is using interpretive constructivism as its paradigm and reception analysis as its theory to analyze manga readers interpretation.
The result of this research shows that reader who has insight about Japanese studies tends to negotiate Japanese ideologies and compares them with his/her social background or culture."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leany Nani Harsa
"ABSTRAK
Disertasi ini memuat penjelasan mengenai identitas budaya Nisei, generasi kedua imigran Jepang di Amerika. Dalam menjelaskan permasalahan identitas etnik ini, saya menyoroti bagaimana kejepangan atau pun keamerikaan digambarkan sebagai alternatif konstruki identitas Nisei. Selain itu juga mengungkapkan bagaimana Nisei mengkonstruksi identitas hibrid mereka sehubungan dengan peristiwa kamp relokasi, penempatan yang memegang peranan utama dalam kehidupan mereka. Ketika mengulas permasalahan identitas budaya ini saya menggunakan istilah yang digunakan Sollors yaitu descent yang mengacu kepada unsur-unsur keturunan dan consent yang mengacu kepada unsur-unsur lain. Dalam menganalisis saya menggunakan teori ilmu budaya yang berhubungan dengan permasalahan identitas etnik yaitu teori Stuart Hall dan Homi Bhabha.
Penelitian dilakukan terhadap dua buah otobiografi hasil karya Nisei yaitu Nisei Daughter (1953) yang ditulis oleh Monica Sone dan Farewell To Manzanar (1973) yang ditulis oleh Jeanne Wakatsuki Houston. Melalui representasi tokoh utama Nisei diungkapkan bahwa identitas budaya bukanlah suatu konstruksi yang mapan. Identitas ini dibangun sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi tokoh utamanya sehingga sejalan dengan pendapat Hall yang mengatakan bahwa identitas budaya bersifat cair sehingga menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang dihadapi. Sebelum masuk kamp, Nisei menunjukkan keinginan kuat untuk menjadi orang Amerika seperti yang tampak jelas melalui orientasi budaya mereka yaitu kebudayaan Amerika. Namun diposisikan sebagai ?Yang lain? dan sebagai musuh Amerika ketika Perang Dunia kedua, mereka meredefinisi konsep diri mereka Asian Exclusive Act (1911), Alien Land Bill (1913), Executive Order 9066, serta kondisi yang memprihatinkan di dalam kamp menjadi pemicu titik balik orientasi budaya mereka. Setelah keluar dari kamp mereka menegosiasikan identitas budaya mereka menjadi identitas budaya hibrid yaitu sebagai hyphenated American atau orang Amerika yang memiliki karakter oriental. Dengan demikian maka terlihat bahwa identitas budaya Nisei selalu berada dalam proses dan bukanlah merupakan identitas yang esensial.
Melalui sejumlah unsur pembangun cerita seperti ironi, tokoh yang ambigu dan kesenjangan antara tokoh utama dan pengarang tersirat, kedua otobiografi memperlihatkan bagaimana sikap paradoks pemerintah dan perilaku diskriminatif masyarakat Amerika mempengaruhi orientasi budaya Nisei. Kehidupan kamp yang menunjukkan bagaimana Nisei ditempatkan oleh pemerintah Amerika menjadi acuan Nisei untuk memposisikan diri dalam masyarakat multikultur. Dengan demikian maka otobiografi ini mampu mengungkapkan permasalahan kesukubangsaan yang merupakan pengetahuan penting bagi masyarakat yang beragam sehingga ruang interaksi antarsuku bangsa dan antarkebudayaan di dalam masyarakat multicultural dimungkinkan terbentuk.

ABSTRACT
This dissertation examines the continual transformation of cultural identity as shown in the works of Nisei writers, second generation of Japanese immigrant in America. The literary works contributed are two autobiographies, Nisei Daughter (1953) written by Monica Sane and Farewell To Manzanar (1973) by Jeanne Wakatsuki Houston. In explaining the complexities of ethnicities as it functions in American society, I use Sailors' terms of the concept of ethnicity, ?descent? and ?consent?. Descent relations are those defined by ?heredity? while consent relations are those of `law or marriage'. In analyzing ethnicity in America, I spotlight on how Japaneseness or Americanness displays as alternative Nisei's identity construction. Besides, I explain on how Nisei construct their hybrid identity in conjunction with their World War II relocation experience. My analysis of Sone's and Houston's is built around the theories used in cultural studies namely Stuart Hall's and Home Bhabha's.
My interpretation of representations of both major characters reveals that ?positioning? plays an important role in constructing their cultural identity. Identity, as a production, is never complete, and always in process. Hall explains that cultural identity is a matter of becoming as well as of ?being?. Cultural identities come from somewhere; have histories so that they undergo constant transformation. Both autobiographies reveal that before the camp experience, their main characters assert their American identity as a loyal American born citizen. Through vivid description, the cultural orientation of Nisei is American culture. However, positioned as the `Other' and as an enemy during the World War II, they redefine their self-concept. They claim that Asian Exclusive Act (1911), Alien Land Bill (1913), Executive Order 9066 (1941), and the poor condition of the camps are triggers of their turning point of their cultural orientation. Being positioned as an alien, they realize that the American law is a paradox. Nisei is American by descent relation while at the same time they are considered as Japanese due to their `blood'. As a reconciliation, when they depart camps, they negotiate their hybrid identity so that they fell no longer pure American but hyphenated American or American with oriental characters. As a conclusion I prove I that the cultural identity of Nisei is not a shared culture. It is not essential and stable but it is considered as fluidity.
Through the use of literary devices such as irony, ambiguous characters as well as a distance between implied author and the main character, the autobiographies reveal the concept of ethnicity plays a paradoxical role in American society. Along with American society's racial discrimination, the harsh treatment has an impact on Nisei? cultural orientation. The World War II relocation experience is a reference for the Nisei on how the American government positions them in multicultural society. By all means, both autobiographies are successfully able to reveal the ethnicity's problem. This condition stimulates the society to open a space for ethnic interaction in multicultural society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
D496
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaninda Rizki Indriani
"Geisha, sebagai salah satu pelaku seni yang menjadi ikon kebudayaan Jepang merupakan seseorang yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidang keseninan, terutama kesenian tradisional Jepang yang bekerja untuk menghibur orang lain berdasarkan kesenian yang mereka kuasai. Geisha mulai muncul sejak zaman Edo, saat di mana kondisi politik di Jepang sedang damai. Sebagai seorang geisha, femininitas merupakan hal yang harus dimiliki. Menurut Angela McRobbie, femininitas merupakan sebuah bagian dari ideologi dominan yang berperan untuk mendefinisikan kehidupan wanita. Femininitas ini dapat dilihat dari penampilan, cara berbicara, dan cara bertindak seorang geisha. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana femininitas geisha direpresentasikan dalam autobiografi yang berjudul Geisha, a Life karya Iwasaki Mineko dan Rande Brown. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan potongan kalimat hingga paragraf dalam autobigrafi yang dianggap berkaitan dengan penelitian. Potongan kalimat akan diambil dari autobiografi Geisha, a Life karya Iwasaki Mineko dan Rande Brown. Teori dan konsep yang akan digunakan adalah teori representasi dari Stuart Hall serta konsep femininitas berdasarkan pengertian dari Angela McRobbie. Menurut Hall, representasi merupakan produksi makna dari suatu konsep yang ada dalam pemikiran melalui bahasa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa femininitas geisha direpresentasikan oleh Iwasaki Mineko melalui cara berpakaian yaitu dengan memakai pakaian tradisional Jepang, kimono, cara berbicara yaitu dengan menggunakan dialek Gion serta cara bertindaknya yaitu dengan memperhatikan cara berjalan, pembawaan, dan ekspresi yang diperlihatkan.

Geisha, as an artist who has become an icon of Japanese culture, is someone who has skills in arts, especially traditional Japanese arts who worked as an entertainer. Geisha began to appear since the Edo Period when the political conditions in Japan was stable. As a geisha, femininity is something that the must have. According to Angela McRobbie, femininity was part of a dominant ideology that plays a role in defining women’s lives. This femininity in geisha could be seen from the appearance, tehir way of speaking, and their behaviour. This research aims to show how geisha’s femininity was being represented in Geisha, a Life by Iwasaki Mineko and Rande Brown. This research used qualitative methods by collecting sentences to pharagraphs that are considered related to the research. These sentences and paragraphs will be taken from Geisha, a Life. The theories and concept that will be used are the representation theory bu Stuart Hall and the concept of femininity by Angela McRobbie. According to Hall, representation is the production of meaning from a concept through language. The result of this research indicates that geisha’s femininity was represented by Iwasaki Mineko through the way she dresses with using kimono, the way she talks with using Gion’s dialect, and the way she acts with how she walks, how she brings herself, and how she express herself."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dikend Rachmawaty
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S23972
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>