Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 230419 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Ladiawati
"Penelitian tentang pola komunikasi masyarakat Dayak dan pendatang ini berawal dari seringnya terjadi konflik antar masyarakat Dayak di Pontianak dan pendatang yang mengadu nasib di daerah tersebut. Konflik terbesar adalah antara masyarakat Dayak dan pendatang Madura tahun 1996, yang berhasil melumpuhkan roda perekonomian di beberapa tempat di Kalimantan Barat. Oleh sebab itu penelitian tentang komunikasi antara masyarakat Dayak dan pendatang menjadi menarik untuk dibahas.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang pola komunikasi antara masyarakat Dayak dan pendatang; serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terbukanya komunikasi di antara mereka.
Landasan teoritis yang digunakan untuk mengkaji pola komunikasi tersebut yaitu dengan menggunakan teori-teori yang berkaitan erat dengan komunikasi antar budaya seperti teori konvergensi dan teori interaksi simbolik. Di dalam komunikasi antar budaya, pembuat pesan adalah anggota dari suatu budaya tertentu dan penerima pesan adalah anggota dari budaya lainnya, dalam penelitian ini adalah masyarakat Dayak dan pendatang Cina, Bugis, Melayu, Jawa dan Madura. Di dalam komunikasi antar budaya , berusaha mengungkapkan apa yang terjadi ketika anggota dari dua budaya yang berlainan bertemu untuk melakukan interaksi komunikasi. Apakah komunikasi berjalan lancar atau mengalami hambatan. Adanya perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya , merupakan suatu ciri dari komunikasi antar budaya.
Teori lainnya yang digunakan adalah teori interaksi simbolik yang pada intinya membahas tentang suatu kemampuan manusia untuk menciptakan serta mempergunakan simbol-simbol sehingga manusia menjadi mahluk hidup yang unik, dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Selain itu penelitian ini juga dibahas dengan menggunakan teori konvergensi yang membahas adanya kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan dalam kelompok masyarakat. Adanya kesamaan dan perbedaan dalam kelompok masyarakat Dayak dan pendatang dalam hal keyakinan, nilai, perilaku dan sebagainya.
Penelitian ini bersifat kualitatif dan menggunakan analisis deskriptif. Unit analisis yang digunakan adalah kpri unites Oita penelitian diperoleh dari key information melalui wawancara di lokasi penelitian.
Temuan penelitian ini menegaskan bahwa terdapat komunikasi yang efektif antara masyarakat Dayak dan pendatang Cina, Melayu, Bugis, serta Jawa, tetapi komunikasi dengan pendatang Madura berjalan kurang efektif. Komunikasi di antara mereka cenderung diwarnai prasangka dan etnosentris. Adanya komunikasi efektif dan terhambat ini disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan komunikasi antara masyarakat Dayak dan pendatang yaitu kedekatan jarak fisik dan faktor kesamaan dalam karakteristik-karakteristik sosial budaya yang lebih berperan. Ditemukan bahwa tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, agama dan persepsi, memiliki peran yang cukup berarti dalam terjadi atau tidaknya komunikasi efektif di antara mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T3916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bachruddin Ali Akhmad
"Teknologi transportasi dan komunikasi yang lebih hebat, pertambahan penduduk dunia yang demikian pesat, sehingga manusia bergerak ketempat-tempat lain untuk merebut sumber alam, serta pergeseran kekuatan ekonomi yang demikian kerasmemerlukan pemahaman budaya dalam menguasai kultur pasar. Menyebabkan kemungkinan seseorang memerlukan bertemu atau ditemui orang dari kultur lain jauh lebih besar dari sebelumnya.
Dalam skala domestik, pengaruh-pengaruh diatalebih membuka kemungkinan seseorang bertemu kultur sukubangsa Indonesia lainya jauh lebih besar dari masalalu. Karena itu pemahaman kita tentang komunikasi verbal dan non verbal dalam konteks antar budaya diantara sukubangsa-sukubangsa tersebut harus lebih besar dan proporsional.
Dalam kerangka berpatisipasi kepada hal yang disebut terakhir dan untuk memenuhi syarat memperoleh ijazah magister dibidang Ilmu Sosial dengan Spesialisasi Ilmu Komunikasi, peneliti melakukan penelitian atau membuat thesis ini.
Tujuan penelitian ini untuk menemukan ciri-ciri komunikasi masyarakat asli Banjar, ciri-ciri komunikasi masyarakat transmigran asal Jawa serta ciri-ciri komunikasi antara kedua masyarakat. Penelitian ini bersifat studi kasus, deskriptif dan kualitatif. Mempergunakan metode observasi partisipasi dan wawancara bebas terstruktur serta pengumpulan informasi skunder. Penelitian ini dilakukan di Mesa Telaga Langsat, Dati II Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ciri-ciri komunikasi verbal masyarakat asli Banjar bersifat praktis, sementara ciri-ciri komunikasi verbal masyarakat transmigran asal Jawa bersifat tatakrama. Ciri-ciri komunikasi non verbal kedua masyarakat sebagian besar lama, namun sebagian besar makna dari ciri-ciri tersebut berbeda. Status sosial, situasi komunikasi dan faktor stereotip serta prasangka sosial muncul sebagai faktor-faktor yang membedakan praktek penampilan ciri-ciri komunikasi transmigran asal Jawa dan dalam penampilan ciri-ciri komunikasi masyarakat transmigran asal Jawa dengan masyarakat asli Banjar."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessi Christanti
"Prasangka dapat terjadi dalam hubungan berbagai kelompok, termasuk dalam hubungan antara kelornpok penduduk asli dan kelompok pendatang. Prasangka pada umumnya membawa dampak negatif, misalnya hubuugan antar kelompok menjadi iidak harmonis dan bahkan dapat menycbabkan konflik antar kelompok schingga mempelajari penyebab prasangka merupakan hal yang panting Untuk keperluan tersebut, peneliti menggunakan kasus kelompok etnis Dayak dan kelompok etnis Madura di Kalimantan Barat Kelompok etnis Dayak merupakan penduduk asli sedangkan kelompok etnis Madura merupakan kelompok pendatang. Kedua kelompok etnis ini berulang kali terlibat konflik sehingga diduga hubungan kedua kelompok etnis tersebut diwarnai dengan prasangka. Untuk mengetahui penyebah prasangka dapat digunakan berrnacam-macarn teori, namun dalam penelitian ini digunakan Integrated Thread Theory (ITT) dan Social Dominance Theory (SDT).
Menurut ITT prasangka disebabkan oleh ancaman realistik, ancarnan simbolik, stereotip negatif dan kecemasan antar kelompok. Sedangkan berdasarkan SDT prasangka disebabkan oleh tingkat orientasi dominasi sosial (ODS) individu. Jadi dalam penelitian ini hendak dilihat apakah keempat sumber ketemncaman dan ODS dapat menajdi prediktor prasangka dan apakah terdapat interaksi antara masing-masing sumber keterancaman dan ODS dalam memprecliksi prasangka Partisipan penelitian sebanyak 97 orang lmtuk kelornpok etnis Dayak dan dan '76 orang untuk kelompok etnis Madura. Data yang diperoleh dianalisis dengan rnenggunakan metode analisis regresi hirarki.
Hasil analisis data menujukkan bahwa pacla kelornpok emis Dayak anoaman realistik, stereotip negatif kecemasan antar kelompok dan ODS dapat menjacli predilctor prasangka. Sedangkan pada kelompok etnis Madura yang menjadi prediktor prasangka adalah stereotip negatif, kecemasan antar kelompok dan ODS- Selain itu sesuai yang diperkirakan terdapat interaksi antara keterancaman dan ODS dalam mernprediksi prasangka. Hal ini berarti ODS dapat menjadi variabel moderator antara keterancaman dan prasangka."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhil Shonhadji
"Desa Durian, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak, merupakan tipe desa berpenduduk multi suku bangsa yang banyak di antaranya hidup campur. Tidak sebagaimana yang terjadi di banyak tempat di Kalimantan Barat yang hubungan antar warga beragam suku bangsa sering menimbulkan pertikaian, bahkan kerusuhan antar suku bangsa, hubungan yang sama di desa ini menunjukkan kenyataan berbeda. Meski terdapat potensi pertikaian, namun dengan prinsip-prinsip sosial budaya yang berkembang selama ini, warga-warga suku bangsa yang 11 jenis itu telah mampu mempertahankan stabilitas hubungan dan suasana keakraban di antara mereka.
Dua hipotesis kerja dikemukakan dalam penelitian ini: (1) berlakunya pranata-pranata sosial umum lokal dalam mengatur interaksi sosial antar warga beragam suku bangsa merupakan penentu terhadap terselenggaranya stabilitas hubungan antar warga tersebut, betapapun terdapat kenyataan bahwa masing-masing kelompok warga suku bangsa itu memiliki pranata-pranatanya sendiri, dan di sisi lain terdapat ketidakseimbangan dalam pembagian sumber daya berharga dan langka di antara mereka; (2) berlakunya pranata-pranata sosial dalam mengatur interaksi sosial antar warga beragam suku bangsa dalam suasana-suasana yang dikemukakan tadi, merupakan akumulasi dari proses perjalanan sejarah dan yang ditopang oleh faktor kepemimpinan lokal.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya proses hubungan sosial antar warga beragam suku bangsa yang naik turun sejalan dengan perkembangan waktu. Sejak mula kedatangan secara bergelombang warga-warga beragam suku bangsa ke desa ini, di pertukaran abad lalu hingga sekurang-kurangnya dekade 1964-an, terdapat warna hubungan patron-klien amat kuat di antara warga-warga suku bangsa tertentu dan warga-warga suku bangsa yang lain. Warga-warga Bugis, Arab, Tionghoa, dan bahkan India dan Jepang, untuk rentang waktu tertentu, dikenal sebagai patron, pemilik kebun karet dan industri pengolahan karet amat potensial; sedang sebagai anak buah yang menjadi kuli dan karyawan terdiri dari warga-warga Madura, Jawa, Dayak, Banjar dan Sunda. Hubungan yang terjalin di antara kedua belah pihak selama itu, meski terdapat riak-riak ketidaknyamanan, khususnya di pihak klien, sehingga menimbulkan ungkapan-ungkapan stereotip tertentu, namun suasana keakraban yang mentradisi di antara mereka tampak telah menjadi realitas yang menyejarah. Muara dari saling hubungan tadi adalah terpolanya kedekatan hubungan dan bahkan saling ketergantungan antar kelompok-kelompok warga suku bangsa tertentu. Misalnya antara warga-warga Tionghoa-Dayak, Jawa dan Madura, Bugis-Madura, Dayak dan Jawa serta Arab-Madura dan Dayak. Pasangan-pasangan hubungan tadi bahkan telah mencapai kondisi sedemikian rupa, bahwa yang satu tidak bisa beraktivitas tanpa bantuan yang lain.
Memasuki dekade 1970-an, suasana hubungan antar warga beragam suku bangsa mulai mengalami perubahan. Pada tahun-tahun itu, terdapat gelombang kedatangan warga Madura dari daerah-daerah kerusuhan di pedalaman Kalimantan Barat, terutama dari daerah Sambas ke desa Sejak itu, apalagi industri karet sudah tidak lagi menjanjikan seperti tahun-tahun sebelunmya, bersamaan dengan "gangguan" yang dilakukan oknum-oknum Madura dalam soal tanah, maka terjadilah perubahan yang cukup signifikan dalam peta kepemilikan atas tanah di desa ini. Secara perlahan kampung-kampung yang dulunya merupakan pemukiman Bugis telah berubah menjadi pemukiman Madura, atau mayoritas Madura. Warga Bugis, begitu juga warga Tionghoa, mengalihkan perhatian untuk tinggal dan bermatapencaharian di Pontianak. Meski tidak sedikit di antara mereka masih mempertahankan kepemilikan kebun-kebun mereka di desa. Perubahan pun terlihat pads tumbuhnya bermacam usaha industri kecil dan menengah, seperti penggergajian kayu, keranjang, pengolahan saga, peternakan babi, angkutan sungai dan penanaman sayur. Hubungan yang dulu terakumulasi ke patron-klien, sejak tahun-tahun itu berkembang ke pola-pola hubungan pertemanan dan pertetanggaan. Kerja sama yang timbul dari hubungan tadi mulai merambah ke usaha pengolahan kebun, yakni dalam bentuk bagi hasil, numpang dan majek atau kontrak. Dalam pola kerja sama terakhir ini pun terlihat jelas adanya pola ketergantungan antara pasangan-pasangan suku bangsa yang telah disebutkan. Bedanya, warga Jawa tidak lagi masuk dalam kelompok-kelompok pasangan seperti telah disebutkan. Dalam pola hubungan itu tampak jelas bahwa warga Madura dikenal sebagai pemburu, atau pihak yang membutuhkan, tanah amat agresif. Kepada suku bangsa apa pun mereka berupaya menjalin hubungan demi kebutuhan atas tanah tadi, tidak terkecuali dengan warga Dayak.
Penelitian ini, dalam konteks kini, menemukan indikasi adanya persoalan kelangkaan dalam pembagian sumber daya lahan pekarangan dan kebun, kekuasaan di lembaga-lembaga kepemimpinan desa, kesempatan belajar dan bekerja yang dialami kelompok Madura. Jika kalangan warga suku-suku bangsa lain dalam pembagian tadi mengikuti pola plus minus dan saling melengkapi, namun tidak demikian yang dihadapi warga Madura yang akses mereka ke jenis-jenis sumber daya yang ada tampak jauh tertinggal. Kondisi demikian dimungkinkan menjadi faktor pendorong terhadap timbulnya tindak pencurian dan perampokan yang dilakukan, langsung atau tidak langsung, oleh banyak oknum Madura desa ini, sebagaimana hal itu dikeluhkan, kalau bukan dituduhkan, oleh warga-warga bukan Madura. Angka pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan tidak terimbangi oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai, di samping pola hidup yang cenderung membatasi ke kelompok sendiri telah memberi pengaruh tersendiri terhadap persoalan yang dihadapi warga Madura.
Upaya bagi penanggulangan atas tindak kriminal tadi bukan tidak dilakukan, namun karena upaya tadi lebih bersifat prefentif dan tidak terkoordinasi, apalagi tidak mendapat dukungan dari pihak aparat keamanan, maka hingga kini upaya tersebut tidak atau belum menampakkan hasil. Akibat dari tindak kriminal tadi, maka stereotip dan prasangka buruk disertai cemooh terhadap oknum-oknum Madura dan kemudian ke keseluruhan suku Madura menjadi tak terelakkan.
Pengamatan seksama atas desa ini memperlihatkan, meski terdapat ketegangan, namun kekentalan hubungan kerja sama dan kebersamaan antar warga beragam suku bangsa merupakan fenomena tersendiri. Hubungan yang bersifat simbiosis dan bahkan amalgamasi merupakan kenyataan lazim yang sudah mentradisi. Kedekatan hubungan dan jalinan pergaulan antar warga beragam suku bangsa yang sudah berlangsung lebih dan seabad tampak telah menjadi tonggak tersendiri dalam menciptakan akar budaya kerja sama antar warga tersebut. Pranata-pranata sosial yang melandasi hubungan antar warga yang berkembang di desa ini pada kenyataannya telah mampu meredam ketegangan yang ada, sehingga tidak menimbulkan akibat yang tidak diinginkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7078
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mey Sugijanto
"Penelitian komunikasi antarbudaya dan antarpribadi ini mengambil responden 7 (tujuh) pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya antara etnis Jawa dengan etnis Minangkabau. Dengan alasan bahwa kedua budaya tersebut, secara tata cara adat maupun sistem kekerabatan atau kekeluargaannya tentulah berbeda, pada budaya Jawa lebih bersifat patrilineal sedangkan di budaya Minangkabau bersifat matrilineal. Meskipun kedua budaya berbeda, tetapi dalam keseharian pada kehidupan bermasyarakat, kedua budaya ini secara relatif tidak mempunyai konflik.
Secara mikro, angka perkawinan pasangan suami-isteri yang berbudaya Jawa dengan Minangkabau pastilah banyak, meskipun secara pasti penulis tidak mengetahuinya. Pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini secara teoritis sangatlah dekat dengan aspek-aspek budaya, sehingga terjadi proses asimilasi budaya. Meskipun kedua budaya ini termasuk ke dalam rumpun budaya high contextnya Edward T. Halt (1977), tetapi menurut M. Budyatna (1993) dalam high context itu sendiri terdapat high-high context, high-medium context dan high-low context. Pada budaya Jawa lebih kental dengan high-high context, sedangkan budaya Minangkabau dekat dengan high-medium context. Meskipun terdapat perbedaan dalam tataran budaya keduanya, kebanyakan pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya tidak terjadi kerenggangan.
Pendekatan dalam penelitian dipergunakan teori Penetrasi Sosial (Altman and Taylor, 1973) dengan tahapan-tahapannya, yaitu Orientasi, Exploratory Affective Exchange, Dyad Members dan Stable Exchange. Pada tahapan-tahapan tersebut, masing-masing individu pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini, melakukan pengungkapan diri (self disclosure). Karena semakin akrab seseorang dengan orang lain, maka semakin terbukalah ia dengan pasangannya (Gudykunst and Kim; 1997 : 323-324).
Penelitian ini mempergunakan metode kualitatif, menurut Miles and Huberman (1993: 15), "penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif". Sedangkan menurut Bogdan and Taylor (1975 : 5), bahwa, "penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri".
Adapun hasil-hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa pasangan menikah atau suami-isteri melalui tahapan-tahapan dalam teori Penetrasi Sosial dengan rentang waktu yang bervariatif, meskipun pada pasangan ketiga tidak melalui tahap orientasi. Dalam masing-masing tahapan tersebut, terjadi pengungkapan diri (self disclosure) atau pertukaran informasi/keintiman hubungan maupun yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pertukaran hubungan atau ukuran kedalaman dan keluasan kepribadian, seperti karakteristik personal, hasil pertukaran hubungan dan konteks situasional.
Sebagai kesimpulan dari penelitian pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini, ketujuh pasangan sebagai responden atau informan penelitian ini masing-masing mengikuti tahapan dalam teori Penetrasi Sosial dan hasilnya masih relevan jika dibandingkan asal dari teori ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turnomo Rahardjo
"Konflik yang terjadi berulangkali di Indonesia menjadi satu pertanda bahwa situasi mindless masih mewarnai komunikasi antaretnis yang berlangsung selama ini. Setiap individu dari kelompok yang berbeda bersikap reaktif daripada proaktif, dan menginterpretasikan perilaku orang dari kelompok lain berdasarkan perspektif kelompoknya. Dalam situasi komunikasi yang terpolarisasi maka penghargaan terhadap keberadaan masing-masing kelompok cenderung rendah.
Keberadaan warga etnis Cina di Indonesia hingga sekarang masih menjadi masalah. Di kalangan masyarakat etnis non Cina masih berkembang pandangan yang tidak menguntungkan terhadap keberadaan etnis Cina. Warga etnis Cina juga sering menjadi sasaran kekerasan dalam hampir setiap kerusuhan sosial yang terjadi.
Studi ini memiliki relevansi penting dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultur secara demografis maupun sosiologis, karena studi ini berharap dapat memberikan penjelasan tentang bagaimana setiap individu dari kelompok etnis Cina dan etnis Jawa menegosiasikan identitas kultural mereka dalam sebuah ruang sosial. Disamping itu, studi juga berharap bisa mengkonstruksikan bangunan komunikasi antarbudaya yang memungkinkan warga dari kedua kelompok etnis bisa menciptakan relasi yang setara sebagai hasil dari negosiasi identitas diantara mereka.
Landasan teoritik dari studi ini adalah genre interpretif, yaitu pemikiran yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks. Sejalan dengan pemikiran genre interpretif, maka studi ini juga merujuk pada gagasan fenomenologi sebagai basis berpikir dalam studi ini. Fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran. Asumsi utama dari fenomenologi adalah bahwa orang secara aktif akan menginterpretasikan pengalaman mereka dengan memberikan makna terhadap apa yang mereka lihat. Penelitian ini menerapkan prinsip triangulasi dengan mengkombinasikan metoda kuantitatif (survei) dengan metoda kualitatif (fenomenologi). Dalam pelaksanaannya, studi ini menerapkan model triangulasi: the dominant-less dominant design, menggunakan paradigma dominan (interpretif) dan dilengkapi dengan satu komponen kecil dari paradigma alternatif (positivisme). Studi ini dilaksanakan di wilayah Sudiroprajan Solo, sebuah kawasan permukiman yang memungkinkan setiap individu dari kedua kelompok etnis bisa berkomunikasi dalam intensitas yang tinggi.
Hasil studi ini memperlihatkan bahwa warga kedua kelompok etnis di wilayah penelitian mampu menciptakan situasi komunikasi yang mindful, karena mereka memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya yang memadai, yaitu kemampuan mengintegrasikan motivasi, pengetahuan, dan kecakapan untuk bisa berkomunikasi secara layak, efektif, dan memuaskan. Bangunan komunikasi antarbudaya yang dapat dikonstruksikan di wilayah penelitian adalah bangunan multikulturalisme yang karakteristiknya terlihat dari kemampuan warga kedua kelompok dalam memberi apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan kultural yang ada. Namun demikian, bangunan multikulturalisme ini bertentangan dengan konsep bangsa Indonesia yang menekankan pada model indigenous. Konstruksi model yang lebih dekat dengan moto: `Bhinneka Tunggal lka' (Unity in Diversity) adalah Budaya Ketiga (Third-Culture), yaitu integrasi yang terjadi antara dua kelompok atau lebih ke dalam sebuah kelompok baru.
Implikasi dari hasil studi ini adalah bangunan atau model yang menjelaskan tentang komunikasi antarbudaya yang mindful masih sebatas menawarkan gagasan yang berkaitan dengan persoalan komunikasi, dalam arti bagaimana mengintegrasikan faktor motivasi, pengetahuan, dan kecakapan agar bisa berkomunikasi secara layak, efeklif, dan memuaskan. Berdasarkan studi yang dilakukan, maka cakupan teoritis (theoritical scope) dari bangunan tentang komunikasi antarbudaya yang mindful perlu diperluas dengan memasukkan faktor setting atau lingkungan permukiman dan faktor sosial-ekonomi penduduk sebagai faktor yang dapat memberi kontribusi terciptanya situasi komunikasi yang mindful."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D577
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simon Priyanto
"Arsitektur tradisional sebagai salah satu prcclak iisik budaya sangat erat hubungammya dengan sistem kepercayaan. Nilai religi pada
produk budaya., yang salah satu di antaranya adalah arsi.aictur.
Mmm pembahan budaya memang nam bisa' diuhat dan .Salah sam sudut pandang saja, karena begitu banyak unsur budaya }a ug berpotensi untuk membah suatu kebudayaan. Pembahan budaya pada dasarnya berasal dari dua macam sumber, yaitu yang herasal dari dalam dan yang berasal dari iuar. Pada pembahasan studi kasus akan teriihat bahwa perubahan nilai religi disebabkan oleh pengaruh dari Iuar.
Sedangkan perubahan budaya yang terjadi di kedua dusun secara umum memiliki faktor pendorong yang berasal dari dalam maupun luar.
Dusun Sungai Ulu Apalin dan Tanjung Kelja diambil sebagai studi kasus karena penulis sempat mengunjungi kedua dusun tersebut dan tinggal selama beberapa waktu di Sana, Keduanya memiliki kondisi yang sangat berbeda, baik dari segi ukuran rumah betang, keadaan betang, dan kemudahan pencapaian Kedua dusun ini menjadi data pembanding yang cukup baik karena keduanya berada di dalam wilayah ketumenggungan yang sama (wilayah adat), dalam desa yang sama (wilayah administrarif pemerintahan), masyarakat da.ri suku yang sama (T amambaloh), letaknya berdekatan, dan mayoritas penduduknya beragama Katolik.
Perubahan nilai religi akan dijadikan fokus pembahasan karena secara spesifik telah merubah beberapa unsur arsitektur, walaupun bukan rumah betang.
Nilai religi berubah sejak agama masuk. Ajaran agama yang masuk pada dasarnya bertentangan dengan kepercayaan tradisional. Namun akhimya agama tersebut bisa diterima dan sampai sekarang berkembang di kedua dusun Perubahan cara pandang masyarakat menyebabkan hal-hal yang pada awalnya dianggap sakral menjadi berlcurang artinya. Hal ini mempengaruhi kondisi iisik bangunan, bahkan menghilangkan beberapa di antaranya. Akibat dari hal tersebut tentu saja secara otomatis tenjadi perubahan pada pola pemukiman. "
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S48350
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sutiarno
"Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sambas dalam mengharmoniskan kembali hubungan antara etnis Madura dan etnis Melayu Sambas akibat konflik. Munculnya minat penulis untuk meneliti dan menulis tema ini sangat terkait dengan adanya dua keinginan yang berbeda dan bahkan berlawanan dari kedua etnis tersebut, yaitu antara keinginan untuk rujuk dan hidup berdampingan kembali disatu pihak, dan menolak terhadap keinginan tersebut dipihak lain.
Melalui penelitian yang bersifat deskriftif dengan tehnik pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi, diungkap upaya atau langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sambas dalam mengharmoniskan kembali hubungan kedua etnis tersebut agar dapat harmonis dan dapat hidup berdampingan kembali. Selain itu, diungkap pula faktor-faktor yang ikut menjadi pendorong dan penghambat upaya rekonsiliasi yang dilakukan.
Hasil penelitian terungkap bahwa Pemerintah Kabupaten Sambas bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat telah mencoba mengupayakan rekonsiliasi diantara kedua etnis yang pemah terjadi konflik tersebut. Namun upaya ini belum memberikan hasil yang diinginkan, karena sampai saat ini masyarakat Melayu Sambas belum mau mengizinkan etnis Madura untuk berkunjung bahkan tinggal di wilayah Kabupaten Sambas.
Belum berhasilnya upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sambas ini tidak terlepas dengan intervensi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sambas dalam memfasilitasi setiap pertemuan yang belum maksimal. Sementara tidak adanya agenda yang jelas, dan tidak terwakilinya kelompok atau lapisan masyarakat yang justru memiliki masalah dalam menolak keinginan etnis Madura juga luput dari perhitungan untuk menjadi perhatian dalam setiap pertemuan. Dipihak lain, belum berhasilnya upaya rekonsiliasi oleh Pemerintah Kabupaten Sambas ini tidak terlepas pula adanya beberapa faktor yang ikut menjadi penghambat. Faktor-faktor ini dirasakan akan senantiasa menjadi penghalang bagi keberhasilan dari rekonsiliasi yang dilakukan.
Untuk itu, agar upaya ini berhasil direkomendasikan langkah-langkah baik dalam bentuk jangka pendek, menengah, dan panjang yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sambas. Melalui langkah-langkah ini diharapkan dapat membantu dalam memperlancar upaya rekonsiliasi yang dilakukan, dan kedua belah pihak dapat harmonis dan hidup berdampingan kembali."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7103
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Suprihatini
"Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai potensi untuk maju kearah modernisasi. Namun untuk mewujudkan negara yang dicita-citakan, banyak faktor-faktor yang menghambat misalnya: masalah pendidikan, ekonomi, sikap mental, masalah integrasi dengan lain penduduk, juga masalah bangsa yang beraneka warna. Dampak dari faktor-faktor diatas sangat terasa khususnya di dalam pembangunan di tingkat daerah.
Dalam masyarakat multimajemuk sebagaimana yang ada di Indonesia, interaksi sosial yang terjadi sering menimbulkan adanya ketegangan, pertentangan atau konflik. Apabila kondisi demikian ini tidak dicari jalan pemecahannya, niscaya integritas sebagai salah satu indikator untuk menuju pada tingkat modernisasi sulit dapat terwujud.
Sebagai responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Jawa Nasional, masyarakat Jawa Islam, dan masyarakat Jawa Samin. Namun fokus penelitian lebih ditujukan kepada masyarakat Samin, dikarenakan adanya berbagai "Cap" yang diberikan oleh masyarakat luar kepada masyarakat Samin. Karena adanya berbagai "Cap" atau "label" pada masyarakat Samin, dalam penelitian ini ingin diketahui stereotip masing-masing kelompok terhadap kelompok lainnya; pendapat masing - masing kelompok mengenai jarak sosial diantara mereka; faktor-faktor yang mempengaruhi stereotip dan jarak sosial, dan ada tidaknya hubungan antara stereotip dan jarak sosial.
Berdasarkan observasi serta melihat kondisi masyarakat yang akan diteliti dimana mayoritas masyarakatnya berpendidikan rendah, memiliki adat istiadat dan nilai budaya yang berbeda, maka digunakan jenis penelitian yang sesuai yaitu metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan wawancara tak berstruktur dan mendalam terhadap informan non -Formal yang mempunyai peranan dan pengaruh pada warga desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa interaksi antara ketiga kelompok masyarakat tersebut diwarnai aleh adanya stereotip, rasa curiga dan etnasentris. stereotip - stereotip ini ternyata juga mempengaruhi jarak sosial diantara ketiga kelompok masyarakat tersebut. Dalam arti keterdekatan hubungan atau penerimaan kelompok luar untuk menjadi anggauta kelompoknya secara tidak langsung disebabkan karena stereotip yang telah lama ada. Meskipun stereotip positip banyak diberikan kepada masyarakat Samin, namun hal ini tidak mempengaruhi keberhasilan komunikasi atau lebih jauh lagi keberhasilan program pembangunan. Hal ini disebabkan masing-masing kelompok kurang atau tidak mau memahami budaya kelompok lainnya, mempunyai persepsi yang berbeda, merasa lebih "superior" daripada kelompok lainnya.
Adanya stereotip dan jarak sosial juga menimbulkan adanya "jarak" yang cukup lebar diantara mereka, dalam arti jarak yang mengarah kepada ketidakintiman hubungan diantara ketiga kelompok masyarakat tersebut . Dari hasil analisa, nampaknya masalah "agama" merupakan masalah utama, disamping masalah sikap, perilaku, Bahasa, pendidikan, adat istiadat, sistem nilai, pengalaman pribadi, pengalaman orang lain dan persepsi yang mempengaruhi adanya stereotip dan jarak sosial. Dampak dari adanya stereotip dan jarak sosial mengakibatkan adanya pertentangan diantara ketiga kelompok masyarakat tersebut.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>