Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 70531 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurma Hidayati
"Diagnosa dini TB dan memulai pengobatan secepat mungkin merupakan hal yang sangat esensial dalam program pemberantasan TB, dimana hal ini sangat tergantung dari upaya temuan kasus (case finding). Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan sehingga memperburuk penyakit, meningkatkan risiko kematian dan memperpanjang transmisi infeksi di komunitas. Program pemberantasan TB yang baik akan meminimalkan keterlambatan diagnosis dan meningkatkan kepatuhan berobat pasien. Informasi dasar tentang besarnya masalah dan faktor risiko terjadinya keterlambatan diagnosis dan pengobatan TB paru akan sangat berguna untuk mengestimasi dampak strategi DOTS dimasa datang dan juga untuk mengembangkan strategi yang sesuai untuk mengurangi keterlambatan diagnosa TB para.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui waktu terjadinya keterlambatan diagnosis TB dan faktor risiko yang berhubungan dengan keterlambatan diagnosis pada tingkat penderita (patient delay) dan pada tingkat sistem kesehatan (health system delay) serta keterlambatan total (total delay).
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciracas Jakarta Timur dengan menggunakan metode potong lintang (cross sectional) dengan jumlah sampel 162 orang. Subyek penelitian adalah seseorang yang didiagnosa menderita TB para dari bulan Juli 2002 sampai dengan bulan Juni tahun 2003 baik dalam status masih aktif, sudah sembuh maupun yang putus berobat berusia < l5 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan waktu keterlambatan pasien (median) 2 minggu, pelayanan kesehatan 1 minggu dan keterlambatan total 6,05 minggu. Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor risiko yang berhubungan dengan keterlambatan pasien mencari pengobatan < 4 minggu adalah faktor umur > 33 tahun (OR 2.44; 95% CI 1.02-5.83), gejala pertama batuk (OR 5.12; 95% CI 1.68-15.6), persepsi gejala serius (OR 2.57; 95% CI 1.206 - 5.48), jarak tempuh > 30 menit berkendaraan (OR 3.17; 95% CI 1.34-7.52), dan status perkawinan belum menikah (OR 7.03; 95% Cl 1.61-30.54).
Faktor risiko yang berhubungan dengan keterlambatan pelayanan kesehatan > 1 minggu adalah UPK I yang dikunjungi milik swasta (OR 2.41; 95% CI 1.108-5.243). Lamanya gejala sebelum diagnosa TB ditegakkan (OR 0.27; 95% CI 0.127-0.574) dan jarak tempuh ke UPK I tersebut (OR 0.364; 95% CI 0.136-0.973) merupakan faktor pencegah keterlambatan pelayanan kesehatan > 1 minggu. Faktor risiko yang berhubungan dengan keterlambatan total > 5 minggu lamanya gejala sebelum diagnosa TB ditegakkan (OR 5.41; 95% CI 2.55-11.46).
Untuk mengurangi keterlambatan diagnosis TB para, perlu dilakukan pendidikan ke masyarakat dengan mempertimbangkan aspek sosial dan budaya, terutama dalam hal pengenalan gejala TB paru dan mendorong motivasi untuk mencari pengobatan secepat mungkin. Perlu pengembangan cakupan program penanggulangan TB ke fasilitas pelayanan kesehatan non-pemerintah. Perlu ditingkatkan kewaspadaan petugas kesehatan di fasilitas kesehatan swasta dan pemerintah untuk mengenali gejala TB sedini mungkin,

Early diagnosis of the disease and prompt initiation of treatment is essential for an effective tuberculosis control program. Delays in diagnosis may affects the eradication of the TB patients, increase the risk of death and enhance tuberculosis transmission in the community. Good control programs will reduce duration of illness average by minimizing diagnostic delay and ensuring the patients adherence to short-course treatment. Baseline information on the magnitude and risk factors of delays in diagnosis of tuberculosis will be useful in estimating the impact of DOTS strategy over time, as well as for developing appropriate strategies to reduce diagnostic delays.
The aims of this study is to determined the risk factors associated with delays in health care seeking (patient delay) and delays in diagnosis by health providers (health system delay) among tuberculosis patients diagnosed at health facilities. The cross-sectional study was conducted in Kecamatan Ciracas Jakarta Timur. A total 162 TB patients > 15 years old diagnosed at health facilities during July 2002-Juni 2003 were interviewed using a structured questionnaire.
This study found that the median of patient, health system and total delay were 2 weeks, I weeks and 6.05 weeks respectively. In multivariate analysis, age > 33 years old (OR 2.44; 95% CI 1.02-5.83), first symptoms was cough (OR 5.12; 95% CI 1.68-15.6), felt serious symptoms (OR 1,6; 95% CI 1.09-234), time to reach the first health facilities > 30 minute (OR 3.17; 95% CI 1.34-7.52), and not married (OR 7.03; 95% CI 1.61-30.54) were associated with patient delays 4 weeks.
Longer patient delays (OR 0.27; 95% CI 0.127-0,574), first consultation to private provider (OR 2.41; 95% CI 1.108-5.243) and time to reach the first health facilities > 30 minute (OR 0.364; 95% Cl 0.136-0.973) were associated with health system delay > l weeks. Longer patient delays (OR 5.41; 95% CI 2.55-11.46) was associated with total delay > 5 weeks.
To reduce diagnostic delays, there must be a public educated and information to be aware about sign and symptom of TB and to motivate to seeks care more quickly. Social and culture approached should be taken into account in design of TB information campaigns and in prioritizing public health interventions about TB. It is urgency that TB programs should be expanded to private sectors as well as public sectors. Government and private physician should maintain and enhance a high index of suspicion for TB.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12954
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atik Yuliharti
"Penyakit tuberkulosis paru sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama di negara-negara berkembang. Indonesia sendiri merupakan negara ke 3 terbanyak penderita tuberkulosisnya setelah India dan China, diperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis paru dengan kematian 140.000 penderita.
Dalam program penanggulangan tuberkulosis paru ini, tujuan dari pemeriksaan dahak adalah untuk menegakkan diagnosis, menilai kemajuan pengobatan dan menentukan tingkat penularan. Melihat kompleksnya permasalahan pada keteraturan pemeriksaan dahak tersebut mendorong penulis untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pemeriksaan dahak.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan beberapa faktor terhadap ketidakpatuhan memeriksakan dahak pada fase intensif pengobatan tuberkulosis paru di Kota Sukabumi tahun 2002.
Desain penelitian ini adalah kasus kontrol, populasi penelitian adalah penderita tuberkulosis paru berumur ≥ 15 tahun yang berobat di seluruh puskesmas di Kota Sukabumi. Kasus adalah penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang tidak memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru yaitu pada hari ke 53-60 pada kategori-1 dan kategori-3 atau hari ke 83-90 pada kategori-2 dan kontrol adalah penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru yaitu pada hari ke 53-60 pada kategori-1 dan kategori-3 atau hari ke 83-90 pada kategori-2. Alat pengumpul data berupa Kartu Pengobatan TB 01 dan kuesioner dengan sampel sebanyak 144 orang yaitu 72 kasus dan 72 kontrol.
Hasil analisis bivariat terhadap 12 variabel independen dengan variabel dependen, menghasilkan 4 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p < 0,05). Variabel yang berhubungan dengan ketidakpatuhan memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru adalah pengetahuan yang rendah (OR = 5,58; p = 0,000), sikap yang buruk (OR = 2,25; p = 0,018), status belum/tidak kawin (OR = 2,31; p = 0,020), dan tipe puskesmas (Puskesmas Rujukan Mikroskopis OR = 2,50 dan Puskesmas Pelaksana Mandiri OR= 3,99 dengan nilai p = 0,008).
Hasil analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik metode enter dari 6 variabel independen yang menjadi kandidat untuk masuk dalam model (p < 0,25), ternyata hanya 3 variabel yang masuk dalam model akhir yakni; pengetahuan (OR = 8,46 ; p = 0,000), status perkawinan (OR = 4,82 ; p = 0,001) dan tipe puskesmas (Puskemas Rujukan Mikroskopis OR = 2,87, p = 0,014; Puskesmas Pelaksana Mandiri OR = 6,09, p = 0,008 ; Puskesmas Satelit OR = 1,00, p = 0,006).
Kemudian disarankan agar lebih mengintensifkan program penyuluhan kesehatan dengan menggunakan leaflet atau poster. Perlunya ditunjuk tenaga PMO yang dibekali dengan buku pintar (buku saku) berisi tentang penyakit tuberkulosis dan cara penanggulangannya secara singkat dan jelas. Petugas laboratorium hendaknya memberikan pengertian kepada setiap penderita tuberkulosis tentang pentingnya pemeriksaan dahak yang teratur dan tepat waktu. Kemudian adanya upaya kemitraan dengan kalangan swasta, organisasi profesi atau Lembaga Swadaya Masyarakat.

The Factors Related to in-Obedience for Having Sputum Examination at the End of Intensive Phase of Pulmonary Tuberculosis Treatment at Sukabumi, 2002Pulmonary tuberculosis disease up to present remains a serious public health problem, especially in developing countries. Indonesia is the third biggest country having tuberculosis after India and China, it was estimated that each year occur 583,000 new cases of lung tuberculosis with the death 140,000 sufferers.
The National tuberculosis program, smear sputum examination is an important part of the entire processes of pulmonary 'tuberculosis treatment. The objective of the sputum examination for follow up is to make the appropriateness of diagnoses, to measure the progress of the treatment and to determine the level of communication. Considering the problems were complex on the regularity of sputum examination for follow up, it is encourage the writer to determine what factors related to in-obedience of the sputum examination for follow up.
The objective of this study is to determine the relationship of some factors of in-obedience of check the sputum at the end of intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment in Sukabumi, in 2002. The study design was control cases, with the population are the pulmonary tuberculosis patient?s age ≥ 15 years who have had their treatment at the entire of the Health Centers of Sukabumi City. The tools of data collection were TB 01 treatment card and questionnaires. The total samples was 144 patients, covering of 72-cases group and 72-control' group. Cases are those of 15 years old or over who have not examined their sputum for follow up. Controls are those of 15 years old or over who have their sputum examined for follow up.
The result of bivariate analysis of 12 independent variables with dependent variables, shown that four variables having significant relationship (p < 0.05). The variable that related to in-obedience of checking the sputum at the end of the intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment were education (OR = 5, 58; p = 0,000), attitude (OR = 2, 25; p = 0,018), marital status (OR = 2, 31; p = 0,020), and type of the Health Center (Microscopic Referral Health Center OR = 2, 50 and Self-implemented Health Center OR = 3, 99 with value p = 0,008).
The result of multivariate analysis using logistic regression enter method, out of 6 independent variables who became the candidate to be a model (p < 0,25), the fact that only three variables whom enter at the end of model, i.e. knowledge (OR = 8.46; p = 0,000), marital status (OR = 4.82; p = 0,001) and the type of Health Center (Microscopic Referral Health Center OR = 2.87, p = 0.014; Self-implemented Health Center OR = 6,09, p = 0,008; Satellite Health Center OR = 1.00, p = 0,006).
Based on this study, it is recommended to provide more intensive health education in order to improve the attitude and knowledge of the TB patients. Selection of PMO (treatment observer) is crucial. The PMO has to be supplied the pocket book on tuberculosis treatment. The book has to be simple but easy to understand. Besides that, the laboratory technician should give information to every TB patient that they should come to check the sputum for follow up the important of having sputum examination for follow up on routine base and on time has to be explained to the patients. Efforts to increase collaboration to the private sectors, the professionals and non government organization are encouraged."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika
"Default adalah salah satu masalah penting dalam pengendalian TB paru. Default menyebabkan penderita berpotensi untuk mengalami resistensi terhadap OAT sehingga sulit disembuhkan. Penelitian ini menilai proporsi default TB paru dan faktor yang berhubungan di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2008, dan desain studi penelitian adalah Cross Sectional. Jumlah sampel yang dianalisis adalah 188 dari 407 penderita. Penelitian ini menemukan proporsi kasus default TB paru di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2008 sebesar 8,0% (15 kasus). Faktor- faktor yang berhubungan bermakna secara statistik dengan default penderita TB paru di RSUD Budhi Asih Jakarta tahun 2008 adalah umur (nilai p=0,002) dan efek samping obat (nilai p=0,05) sedangkan jenis kelamin, status pekerjaan, tipe penderita, riwayat pengobatan, jenis ESO, keberadaan PMO dan jenis PMO berhubungan tidak bermakna secara statistik dengan default penderita TB paru. Pengelola TB harus meningkatkan penyuluhan kepada pasien TB bahwa OAT memiliki efek samping, lebih menekankan pentingnya keteraturan berobat dan pengawasan minum obat pada penderita yang tergolong umur tidak produktif.

Default is one of the most important things in controlling lung TB. Default causes patients having treatment resistance and it makes them more difficult to be cured. This research determines default proportion among lung TB patient and factors related to it in RSUD Budhi Asih Jakarta 2008 and Cross Sectional is the study design. This research analyses 188 samples from 407 populations. Statistically, factors that significantly related to default among lung TB patient in RSUD Budhi Asih Jakarta 2008 are treatment side effect and age, while sex, work status, patient type, patients? treatment history, type of treatment side effect, treatment supervisor and it?s type are not related to default. TB administrator must reminding all TB patients that TB treatment has side effects and also must reminding those patients about treatment adherence especially to non productive age ones."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Dahlan
"Environmental factors in connection with the TB Lung BTA (+) (case control study) in the city of Jambi 2000-2001As a living place, house is one of key basic need of human beings. A live able and healthy house is very important for people; a healthy one should fulfill health requirements such as physiological need, contagious disease and accident prevention. A sufficient lighting is a vital need of human in a cleaning house. The contagion of tuberculosis disease has tight relation to ventilation and lighting in the house. A house which doesn't have enough ventilation, a lack of lighting gives the bacteria an opportunity to breed, if there is a patient of tuberculosis in it, so it eases the contagion to other people living in it.
TB Lungs Disease is still a problem of health; the generation of TB Lungs derives from contribution of some physical environment of house and respondents characteristics. Tuberculosis is a contagious disease that is generated by Mycobacterium tuberculosis germs; they usually enter the human body system via respiration to the lungs. The TB patients are much founded in unhealthy settlement, and lack of lighting and ventilation one that is under the health requirement. The objective of this research is to recognize the risk of contribution factors of physical environment of house and respondent characteristic toward TB Lungs patients in the city of Jambi.
The methods of research design the control case. The samples were taken proportionally from 7 (seven) referred microscopic public health center (puskesmas), with 50 cases and 100 controls. The data are analyzed to verify hypotheses with univariate, bivariate and multivariate analyses phase. Independent research variables for respondents characteristics; age, gender, length of living, nutrition grade, knowledge, and physical factors of house: ventilation, crowd of settlement, humidity, and lighting.
The result of research shows respondents in Referred Microscopic Public Health Center (PRM); Pakuan Baru 26 % and 19 % controls, Putri Ayu 22% cases and 20% controls, Simpang Kawat 22% cases and 11 % controls. While PRM ; Koni, Simpang IV Sipin, Tanjung Pinang, and Olak Kemang 30% and 59 % controls. The result of bivariate analyses show the length of living, nutrition grade, knowledge, ventilation, crowd of settlement, bedroom and living room lighting, that statistically have significant connection for the appearance of TB Lungs with Odd Ratio 2.7 value (p3.021), 2.6 (p:1.008), 3.9 (p=0.001), 4.6 (p=4.0000) 3.S(p=0.000). 3.3(p).001), and 2.3 (p=0.015). From the result of multivariate analyses it is proved that house ventilation is the most contributed variable that arranges room temperature quality for the appearance of TB Lungs, statistically it shows significant relation p < 0.05 with Odd Ration 8.8 (p=0.000).
It is suggested that a healthy house program should be promoted based on environment to perish TB Lungs. The renovation of TB Lungs patient, mostly, by building windows and glass made roof utilization and also performing intensive information spreading about tuberculoses disease knowledge through direct or indirect information sharing."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T1477
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Mulyadi
"Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah mengakibatkan meningkatnya jumlah penduduk miskin dan menurunnya berbagai indikator kesehatan, diantaranya meningkatnya insidens Kurang Energi Protein (KEP) terutama pada bayi dan anak. Situasi tersebut berakibat pada menurunnya status gizi masyarakat terutama pada kelompok usia 6 - 23 bulan dan meningkatnya prevalensi gizi buruk. Peningkatan angka kejadian balita gizi buruk akibat krisis ekonomi memicu peningkatan angka kesakitan penyakit-penyakit infeksi pada kelompok usia tersebut karena daya tahan tubuh yang rendah mengakibatkan balita menjadi kelompok rentan penyakit. Salah satu penyakit yang panting untuk diwaspadai pada kelompok balita gizi buruk adalah penyakit TBC paru karena angka kesakitan penyakit tersebut pada usia dewasa produktif masih cukup tinggi terutama dari kelompok masyarakat ekonomi lemah sebagai sumber penularan pada kelompok balita gizi buruk yang banyak terdapat pada kelompok masyarakat tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian TBC Paru pada balita berstatus gizi buruk di Kota Bogor tahun 2003. Desain penelitian yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan jumlah sampel sebanyak 200 balita yang terdiri dari 50 balita gizi buruk penderita TBC sebagai kasus dan 150 balita gizi buruk non penderita TBC sebagai kontrol. Data penelitian terdiri dari data sekunder yang diperoleh dengan cara observasi dokumen dan data primer yang diperoleh dengan cara wawancara dan pengukuran. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan uji Chi Square dan analisis regresi logistik untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan kejadian TBC Paru pada balita gizi buruk.
Hasil Uji Kai Square menunjukkan bahwa terdapat 5 (lima) variabel yang berhubungan bermakna secara statistik dengan kejadian TBC Paru balita gizi buruk yaitu Penderita TBC serumah, kelembaban kamar, kelembaban ruang keluarga, pencahayaan kamar dan pencahayan ruang keluarga sedangkan berdasarkan hasil analisis regresi logistik diketahui bahwa variabel perilaku merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kejadian TBC paru pada balita gizi buruk di Kota Bogor tahun 2003 (OR = 10,99). Dari hasil pemodelan variabel penelitian diketahui pula bahwa balita gizi buruk dengan faktor risiko tinggal di rumah yang kelembabannya tidak memenuhi syarat dan tinggal dengan penderita TBC Paru berperilaku tidak sehat mempunyai probabilitas terkena penyakit TBC Paru sebesar 85% dibandingkan dengan balita gizi buruk yang tidak memiliki faktor risiko tersebut.
Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian ini adalah peningkatan kegiatan pengobatan penderita TBC Paru serta pencegahan penderita putus berobat dengan menggunakan strategi DOTS dan pembentukan PMO, Pemberian reward bagi penderita TBC Paru yang tuntas berobat, Pemberian stimulan dan pembentukan kelompok arisan rumah sehat dalam perbaikan perumahan penduduk agar memenuhi syarat kesehatan lingkungan serta peningkatan upaya penyuluhan kepada masyarakat terutama bagi penderita TBC paru agar tidak berperilaku yang dapat menularkan penyakit tersebut seperti meludah disembarang tempat, serta bersin atau batuk dengan tidak menutup mulut.

Economics crises in longer time have increased poor population group that followed with decreasing of healthy indicators in case increasing of malnutrition incidence especially babies and children. The situation may have decreased of public nutrition status especially in the group of children 6 - 23 months age and increased malnutrition prevalence. Increasing children malnutrition prevalence has triggered increasing of infectious disease morbidity in the group caused lowness of immunity in the group as a high risk group was attacked infectious disease. One of infectious disease with have alerted in the malnutrition children group is pulmonary TBC, because morbidity case of the disease in adult productive group still more, especially in poor population community, as infecting agent to the malnutrition children group.
The research objective is about risk factors that related with pulmonary TBC incidence in malnutrition children group in Bogor 2003. Research design is case control study with 200 children as sample, 50 children with TBC Pulmonary as case group and 150 children without TBC Pulmonary as control group. Research data consist of secondary data by document observation and primary data by questionnaire and measurement. The data analyses with chi-square and logistic regression analyses to know how the risk factor and pulmonary TBC incidence in the case group related
As a summary of chi square test shows that five variable have statistically significant with pulmonary TBC incidence in case group ; in case a victim of pulmonary TBC at home, humidity of bed room, humidity of living room, illumination of bed room and illumination of living room. The logistic regression analyses shows that attitude variable is dominantly variable related with pulmonary TBC Incidence in Bogor 2003 (OR = 10,99). Research variable modeling shows that malnutrition children with risk factors : unconditional humidity home and live with an unhealthy attitude pulmonary TBC victim have probability to suffer TBC disease about 85% compared with malnutrition children without risk factors.
As a proposition we suggestion increasing Therapeutic activity for pulmonary TBC victims and preventing with drawal therapy with DOTS strategy and PMO formation ; rewarding for pulmonary TBC victims who have completed therapy ; giving stimulant and "arisan rumah sehat" . increasing health promotion especially for TBC pulmonary victims so they have healthy attitude to prevent spreading TBC disease.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helda Suarni
"Penyakit tuberkulosis merupakan masalah global dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Bakteri Mycobacterium tuberculosis . WHO memperkirakan dalam dua dekade pertama di abad 20, satu miliar orang akan terinfeksi per 200 orang berkembang menjadi TBC aktif dan 70 juta orang akan mati akibat penyakit ini. Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC didunia. Angka kesakitan penyakit TB Paru dengan hasil BTA (+) di Kota Depok khususnya Kecamatan Pancoran Mas masih cukup tinggi. Adanya masalah penyakit TB Paru di sebabkan oleh beberapa faktor risiko, salah satunya adalah faktor lingkungan seperti kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2009 di wilayah kerja empat puskesmas yang ada di Kecamatan Pancoran Mas yaitu Puskesmas Pancoran Mas, Puskesmas Cipayung, Puskesmas Rangkapan Jaya dan Puskesmas Depok Jaya. Sampel yang di ambil adalah semua tersangka TB Paru yang datang berobat ke puskesmas yang berumur >= 15 tahun dan tercatat di buku register TB Paru. Jumlah sampel yang diperlukan adalah 50 untuk kasus dengan hasil pemeriksaan BTA (+) dan 50 untuk kontrol dengan hasil pemeriksaan BTA (-), di mana pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor risiko lingkungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok bulan Oktober tahun 2008- April tahun 2009.
Faktor risiko lingkungan yang di teliti adalah kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu, dan lantai rumah dengan memperhatikan karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, prilaku batuk dan kebiasaan merokok dari responden Metode yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan perbandingan 1:1 dengan 50 penderita TB Paru BTA positif sebagai kasus dan 50 penderita BTA negatif kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan faktor risiko lingkungan berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) adalah ventilasi rumah (OR=14,182 CI=5,412-37,160 %), pencahayaan (OR =9,117 CI= 3,668- 22,658) sedangkan faktor risiko lain adalah perilaku tidak menutup mulut saat batuk (OR =12,310 CI=3,375-44,890). Sedangkan untuk suhu dan kelembaban walaupun secara statistik tidak menunjukkan hubungan tetapi rata-rata tidak memenuhi persyaratan rumah sehat ( suhu rata-rata 30,84ºC dan kelembaban rata-rata 70,38 %).
Untuk itu disarankan kepada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan rumah, berperilaku hidup bersih dan sehat dan melakukan penghijaun di rumah. Untuk petugas puskesmas sebaiknya lebih meningkatkan lagi kegiatan di klinik sanitasi, melakukan kunjungan langsung kerumah penderita TB Paru dan tidak henti-hentinya memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Untuk Dinas Kesehatan Depok sebaiknya tidak hanya menekankan kepada pengobatan penderita tetapi juga lebih kepada pencegahan penyakit ini dan kepada Pemerintah Kota Depok sebaiknya lebih meningkatkan perencanaan program rumah sehat seperti perencanaan perbaikan rumah masyarakat yang tidak mampu khususnya bagi penderita TB Paru BTA (+) dan meningkatkan program pemberantasan penyakit menular."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Senewe, Felly Philipus
"Penyakit Tuberkulosis Paru(Tb Paru) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang mana penyakit ini di tahun 1992 menduduki urutan kedua penyebab kematian dan menduduki urutan ketiga di tahun 1995, serta menduduki urutan pertama penyebab kesakitan untuk semua golongan umur. Angka prevalensi secara Nasional yakni 2.4 / 1000 penduduk yang mana angka ini masih cukup tinggi. Di Kotif Depok Jawa Barat angka prevalensi tahun 1996 ialah 0.17%, dengan angka kematian 1.07%. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai keteraturan berobat penderita Tb Paru di wilayah Kotif Depok Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada 11 Puskesmas dalam wilayah Kotif Depok Jawa Barat yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan Agustus 1997.
Penelitian ini menggunakan metode disain Cross Sectional dengan jumlah sampel sebanyak 215 orang dengan pengambilan sampel secara simple random sampling.
Hasil yang diperoleh yaitu dari 215 responden terdapat 33% yang tidak teratur berobat. Jenis kelamin perempuan 57.2% dan laki-laki 42.8%. Umur rata-rata 36.9 tahun, pendidikan terbanyak Tamat SLTP(28.8%), pekerjaan terbanyak ibu rumah tangga(34.9%), status dalam keluarga yaitu isteri(34.4%), dan tingkat pengetahuan berhubungan dengan keteraturan berobat(nilai p=0,0232). Pada analisis multivariat ada tiga variabel yang berhubungan dengan keteraturan berobat yaitu penyuluhan kesehatan nilai OR=4,35, 95% CI (3,72 ; 4,97) dan nilai p=0,0000, ketersediaan sarana transportasi nilai OR= 3,44, 95% CI (2,39 ; 4,48) dan nilai p=0,0200, dan pekerjaan nilai OR 1,95, 95% CI (1,30 ; 2,61) dengan nilai p=0,0439.
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu faktor penyuluhan kesehatan, ketersediaan sarana transportasi dan pekerjaan yang secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna(p<0.05) dengan keteraturan berobat penderita Tb Paru di Puskesmas se Kotif Depok Jawa Barat tahun 1997. Selanjutnya yang dapat disarankan ialah faktor penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan sangat panting untuk keberhasilan pengobatan, juga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai keteraturan berobat dengan suatu alat ukur/instrumen yang baik.

Lung tuberculosis is still being a public health problem which was the second cause of mortality in 1992 and was the third cause of mortality in 1995. It is also the first cause of morbidity for all age groups. The national prevalence is 2.411000 people which is quite high. In 1996, Kotif Depok West Java has a prevalence of 0.17% with mortality rate 1.07%. Up to now there is not any scientific publication concerning the regularity of taking medicine among the lung tuberculosis patients in the areas of Kotif Depok West Java. This research was done at 11 public health centers in the whole areas of Kotif Depok West Java since May until August 1997.
Cross Sectional design was used in this study with 215 patients as the sample which was taken by simple random sampling method. Among 215 patients there is 33% of respondent that didn't take the medicine regularity. About 57.2% is female and 42.8% is male. The average age is 36.9 years old. The biggest proportion regarding education level is junior high school(28.8%). We found in the study that about 34.9% of respondent are housewife. The biggest proportion regarding status in the family is the wife(34.4%), and the level of knowledge which have relation with the regularity of taking medicine(p value = 0.0232). In multivariate analysis there are three variables which have relation with the regularity of taking medicine, i.e. health promotion [OR = 4.35, 95% CI(3.72 ; 4.97) and p value = 0.00001, the availability of transportation [OR = 3.44, 95% C1(2.39 ; 4.48) and p value = 0.0200], and occupation [OR = 1.95, 95% CI(1.30 ; 2.61) and p value = 0.0439].
The conclusion of this research is that the factors of health promotion, availability of transportation and occupation together have significant associations (p<0.05) with the regularity of taking medicine among the lung tuberculosis patients at public health centers in Kotif Depok West Java in 1997. We suggests that health promotion conducted by the health officer is the most important tool for supporting the success of the treatment. It is also necessary to do an advanced research concerning the regularity of taking medicine using a better indicator or instrument. (Kotif is kota administratif = administrative city).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wayan Apriani
"Program Pemberantasan TB Paru bertujuan untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB Paru. Salah satu upaya dalam pemutusan rantai penularan adalah menemukan dan mengobati penderita BTA (+) sampai sembuh, dengan menggunakan obat yang adekuat dan dilakukan pengawasan selama penderita minum obat.
Kegiatan pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS di Kabupaten Donggala telah dilaksanakan sejak tahun 1995, tetapi penderita baru tetap ditemukan dan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat disebabkan adanya kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan atau memang dimasyarakat TB Paru masih banyak ditemukan.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Donggala. Jenis disain yang digunakan adalah kasus kontrol dengan menggunakan 2 jenis kontrol. Kasus adalah penderita TB Paru BTA (+), kontrol-1 yang merupakan kontrol yang berasal dari sarana pelayanan kesehatan yaitu adalah tersangka TB Paru dengan hasil pemeriksaan BTA (-) dan tidak diobati dengan obat anti tuberkulosis serta pada saat wawancara tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih dan kontrol-2 berasal dari masyarakat yaitu tetangga kasus dengan criteria tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih. Jumlah sampel yang diwawancarai sebanyak 270 kasus dan 540 kontrol.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-1 adalah umur, adanya sumber penular, cahaya matahari dalam rumah, kepadatan penghuni rumah, interaksi antara sumber penular dan cahaya matahari dalam rumah, dan sumber penular tidak berobat.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-2 adalah jenis kelamin, status vaksinasi BCG, keeratan kontak, lama kontak, sumber penular tidak berobat dan kepadatan penghuni rumah.
Dari basil penelitian ditemukan bahwa adanya kontak dengan penderita TB yang tidak berobat merupakan faktor risiko yang erat hubungannya dengan kejadian TB, sehingga disarankan untuk meningkatkan penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin hingga penderita sembuh dan dilakukan penyuluhan secara terus menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar segera mencari pengobatan.

The objective of Pulmonary Tuberculosis Control Programme is to reduce TB transmission. In order to reduce the transmission, the first priority is to decrease the risk of infection by case finding, treatment and cure of AFB (+) tuberculosis patients with adequate regimens and proper supervision during the treatment.
TB Control Programme activities with DOTS strategy in Donggala District has been implemented since 1995. Due to the increasing of case finding of new AFB (+) patients, tuberculosis still remain as public health problem. This is caused by the awareness of community to get the treatment or the existence of Pulmonary Tuberculosis in the community.
The research aim is to identify the related factors to Pulmonary Tuberculosis in Donggala District. The case-control method had been used with two different controls. The case is the new AFB (+) tuberculosis patients while the first control is the TB suspect with the result of the examination is negative as facilities based control and the second is the neighbor of cases as community based control. Both controls were not coughing for last 3 weeks at the time of the interview. 270 cases and 540 control had been interviewed as the respondents.
The result of the research reveals that related factors to Pulmonary Tuberculosis with facilities based control are age, source of infection, house lighting, house density, interaction of house lighting and source of infection, and the source of infection who were not treated.
Related factors to the incidence of Pulmonary Tuberculosis with community based control are sex, BCG vaccination status, contact closeness, duration of contact, the source of infection who were not treated and house density.
Based on the result of the study, it is identified that a contact with TB patients who were not treated is the risk factor that closely relates to the Tuberculosis. Therefore, it is recommended to improve the case finding, early treatment and cure the patients. In addition, it is necessary to provide continuous health education in order to improve the awareness of community to seek the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T622
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi
"Program penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) telah dimulai sejak tahun 1995. Diantara indikator yang dapat digunakan melihat keberhasilan strategi DOTS adalah angka kesembuhan dan angka konversi. Di kota Jambi angka kesembuhan pada tahun 2000 sebesar 87,5% di atas target nasional sebesar 85%, dan tahun 2001 turun menjadi 80%. Sedangkan angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) tahun 2001 hanya mencapai 65% di bawah target nasional sebesar 80%,. Terjadinya penurunan angka kesembuhan dan angka konversi tersebut mengindikasikan adanya penurunan persentase penderita Tb Paru yang patuh berobat di kota Jambi tahun 2001. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di kota Jambi tahun 2001.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 2 bulan, dengan menggunakan data primer yang di peroleh dari basil wawancara melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah seluruh penderita Tb Paru yang telah selesai berobat sejak 1 November 2000 sampai 31 Oktober 2001 sebanyak 133 orang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, efek samping obat (ESO), jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, persepsi terhadappersediaan obat, penyuluhan oleh petugas, jenis PMO dan peran PMO mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru.
Dan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa faktor jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, penyuluhan oleh petugas, dan peran PMO merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di Kota Jambi tahun 2001.
Penelitian ini menyarankan pihak program dapat memanfaatkan tenaga kesehatan yang berdomisili dekat dengan penderita untuk memperrnudah pasien mengambil obat misalnya bidan di desa, perawat, petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu.
Agar PMO benar-benar dapat melaksanakan tugas sesuai fungsi dan peranya dengan baik, maka dimasa yang akan datang disarankan perlu melakukan pemilihan PMO yang lebih selektif, dan semua PMO tersebut di beri pelatihan secara khusus sebelum pengobatan dimulai. Dengan memperhatikan kuatnya hubungan antara penyuluhan yang diberikan petugas dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru serta didukung hasil beberapa penelitian terdahulu, maka di masa akan datang perlu pengamatan secara kualitatif tentang penyuluhan langsung perorangan yang diberikar petugas kepada penderita Tb Paru di Puskesmas, dan kemungkinan altematil pengembangan keterampilan petugas dalam memberi penyuluhan lansung perorangan (misalnya dengan mengikuti pelatihan atau kursus berhubungan dengan penyuluhan tersebut).

Lung Tuberculosis control program by Directly Observed Treatment Short course (DOTS) has been started since 1995. Among the indicators that suggested the ? level of successfulness of DOTS strategy are cure rate and conversion rate. In Jambi recovery rate in year 2000 is 87,5% higher than 85% of national target, but in 2001 decrease to 80%. Whereas conversion rate of Acid-Fast Bacilli positive to negative in 2001 is only 65% below 80% of national target. The decreasing rate of recovery and conversion indicating the decreasingly of lung TB patient which obey regular medication in Jambi. This study generally to find out factors related to medication compliance of lung TB patient in Jambi year of 2001.
This study using a cross sectional design, carried out in two months, primary data obtained from interview with questionnaires. The sample is all of the 133 lung TB patients that have been taking medication since 1st of November 2000 to 31st of December 2001.
This study suggest that such factors like knowledge, drugs side effect, distance from home to community health centre, transportation, perception to drugs availability, information dissemination by health officer, and drug usage supervising have significance correlation to patient's obedient to medication. From multivariate analysis, can conclude that distance factor from house to community health centre, transportation, information by healthcare staff, and drug usage supervising are dominant variable related to lung TB patient's compliance in medication in Jambi year of 2001. This study recommended that program planner to involve every healthcare staff which living nearby patient to help patient in this medication such as midwife or community health centre staffs.
In order to encourage PMOs to do the task appropriately, in the future all PMOs should be rained before doing their job. By considering relationship between educations by healthcare staff with patient's compliance to medication and supported by the results from previous study, so in the future need qualitative observation about information directly to TB lung patient in community health centre, and alternative for developing skill of healthcare staffs in disseminating information directly to an individual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Yulia Indah Sari
"Latar belakang: Di negara endemik TB, kanker paru seringkali terlambat didiagnosis akibat sebelumnya didiagnosis sebagai TB paru. Hal ini menjadi perhatian besar karena diagnosis dini kanker paru dapat meningkatkan ketahanan hidup dan kualitas hidup pasien dengan peluang pembedahan yang lebih besar atau pun modalitas kemo-radioterapi yang dapat dipilih. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui proporsi pasien kanker paru yang mengalami keterlambatan diagnosis karena sebelumnya didiagnosis sebagai tuberkulosis paru.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan di RS Persahabatan dengan subjek penelitian adalah semua pasien kanker paru yang telah tegak didiagnosis secara histopatologi dari bulan September 2012 hingga Februari 2013 dengan jumlah total 100 pasien. Keterlambatan diagnosis ditetapkan apabila pasien didiagnosis sebagai TB paru dan mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lebih dari 1 bulan sejak awal gejala ditemukan. Dilakukan anamnesis pada semua pasien dengan foto toraks yang didokumentasikan serta pengambilan data-data dari status pasien.
Hasil: Sebanyak 41 dari 100 pasien kanker paru didiagnosis sebagai TB paru dan riwayat mendapat OAT. Dua puluh sembilan dari 41 subjek mendapat OAT lebih dari 1 bulan. Dua puluh sembilan kasus yang terlambat diagnosis tersebut tersebut terdiri dari 21 laki-laki dan 8 perempuan dengan rerata usia 51,5 tahun dan dengan hasil PA yaitu Kanker Paru Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) sebanyak 28 kasus dan Kanker Paru Karsinoma Sel Kecil (KPKSK) sebanyak 1 kasus serta dengan stage III sebanyak 6 kasus, stage IV sebanyak 22 kasus. Pemeriksaan sputum BTA hanya dilakukan pada 9 kasus. Rerata lama pemberian OAT adalah 4,5±0,4 bulan. Tenaga kesehatan yang memberikan OAT adalah dokter umum sebanyak 12 orang, dokter spesialis paru sebanyak 12 orang dan dokter spesialis penyakit dalam sebanyak 4 orang.
Diskusi : Hasil temuan gambaran foto toraks yang menyerupai TB paru di negara endemik TB dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis kanker paru karena awalnya didiagnosis sebagai TB paru. Pemberian OAT tanpa evaluasi yang adekuat terlebih lagi tidak mengacu pada International Standard of TB Care (ISTC) akan memicu keterlambatan diagnosis serta progresivitas penyakit pada pasien kanker paru.

Introduction: In endemic countries, the diagnosis delay of lung cancer is due to initially misdiagnosed as pulmonary tuberculosis. The major concern rise since early diagnosis of lung cancer could improve survival and quality of life by tumor resectability chance and chemo-radiotherapy modality options. This study objective is to find out the proportion of lung cancer diagnosis delay due to misdiagnosed as pulmonary TB initially.
Method: The cross sectional study held in Persahabatan Hospital with the subjects were histopatologically proven lung cancer patients between September 2012 to February 2013 involving totally 100 patients. The diagnosis delay were determined whether the patients had diagnosed as pulmonary tuberculosis and received anti tuberculosis treatment (ATT) more than 1 month since current symptoms onset. All patients were interviewed, all chest X-rays were documented and data from medical records were collected.
Results: Fourty one of 100 patients were diagnosed as pulmonary TB and 29 of 41 patients received ATT more than 1 months. It consist of 21 men and 8 women with mean age 51.5 years old and the histopatological biopsy are 28 Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) cases, and 1 Small Cell Lung Cancer (SCLC) case with mostly end stage such as 6 cases are stage III and 22 cases are stage IV. Pre-referral sputum Acid Fast Bacilli (AFB) was conducted in only 9 cases with the results were negative. Mean duration of ATT taken was 4.5±0.4 months. The ATT were given by 13 general practitioners, 12 pulmonologists and 4 internists.
Discussion: Since similar radiological findings in highly incidence of pulmonary TB, a large number of lung cancer have diagnosis delay due to initially diagnosed as pulmonary tuberculosis. Without proper investigation based on International Standard of TB Care, starting ATT with inadequate evaluation leads to diagnosis delay and lung cancer progression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>