Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 219212 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tjuk Basuki
"ABSTRAK
Tesis ini mengkaji masalah interaksi dan perlakuan petugas penyidik terhadap tersangka pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas penyidik (Polri) pada satuan reserse Polwiltabes Surabaya, khususnya yang dilakukan oleh petugas penyidik yang tergabung dalam unit kejahatan kekerasan.
Kajian dalam tesis ini mencoba mengangkat dua hal pokok, yaitu tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses interaksi dan perlakuan petugas penyidik terhadap tersangka pelaku tindak pidana khususnya dalam proses pemeriksaan, sehingga berpengaruh terhadap pelaksanaan proses pemeriksaan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah
Pertama, adanya faktor-faktor yang mernpengaruhi secara positif terhadap interaksi dan perlakuan yang dilakukan oleh petugas penyidik, sehingga proses pemeriksaan yang dilakukan sesuai dengan proses hukum yang layak dan benar. Adapun faktor-faktor tersebut ialah : 1) Adanya kesamaan nilai, tekad dan semangat dari setiap petugas penyidik untuk dapat memberantas setiap pelaku tindak pidana, khususnya terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan serta adanya motivasi dan kesamaan pandang tentang pentingnya arti keamanan dan ketertiban. ( 2 -) Adanya sikap disiplin, kepatuhan dan tanggung jawab dari setiap petugas penyidik unit kejahatan kekerasan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kedua faktor tersebut menjadi pendorong bagi petugas penyidik untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, dalam arti bahwa petugas penyidik dapat melakukan proses pemeriksaan sesuai dengan proses hukum yang layak dan benar.
Kedua, Adanya faktor-faktor yang secara negatif berpengaruh terhadap penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh petugas penyidik, sehingga akan mempengaruhi pula terhadap proses interaksi dan perlakuan petugas penyidik dalam proses pemeriksaan yang dilakukan, akibatnya proses pemeriksaan yang dilakukan tidak sesuai dengan proses hukum yang layak dan benar. Adapun faktor-faktor tersebut adalah :
(1) Kurangnya pemahaman dan penguasaan terhadap tehnik dan metode pemeriksaan yang dimiliki oleh petugas penyidik;
(2) Rendahnya derajad kepekaan ( sensitivitas ) petugas penyidik dan
(3) Adanya dampak negatif dari struktur organisasi satuan reserse yang ada saat ini.
Kurangnya pemahaman dan penguasaan terhadap tehnik dan metode pemeriksaan yang dimiliki oleh petugas penyidik. Di dalam melaksanakan pemeriksaan, tehnik dan metode pemeriksaan merupakan sarana bagi petugas penyidik untuk dapat melakukan hubungan dan komunikasi dengan tersangka pelaku tindak pidana yang sedang diperiksa. Dengan tidak dikuasainya tehnik dan metode pemeriksaan dengan baik, maka proses pemeriksaan yang dilakukan akan menjurus kepada pemeriksaan yang hanya mendasarkan kepada kesewenang-wenangan atau pemeriksaan yang berdasarkan kepada kekuasaan petugas belaka. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan pemeriksaan yang baik dan benar, maka perlu meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap tehnik dan metode pemeriksaan yang dimiiiki oleh petugas penyidik dengan memberi kesempatan kepada mereka ( petugas penyidik ) yang belum mengikuti pendidikan kejuruan reserse untuk mengikuti pendidikan kejuruan atau melakukan sosialisasi secara intensif dan berkesinambungan tentang peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugasnya.
Rendahnya derajad kepekaan ( sensitivitas) dari petugas penyidik. Apabila petugas penyidik tidak lagi memiliki kepekaan terhadap perubahan sikap masyarakatnya maupun terhadap penggunaan kekerasan yang dilakukan dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap tersangka pelaku tindak pidana yang diperiksa, maka dalam melaksanakan proses pemeriksaan tersebut mereka akan cenderung untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan atau penyalahgunaan terhadap kewenangan atau kekuasaan yang mereka miliki. Penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat berupa kekerasan fisik, ancaman kekerasan, sehingga membuat tersangka merasa takut atau bahkan penyimpangan atau penyalahgunaan terhadap pelanggaran hak-hak azasi tersangka. Akibatnya proses pemeriksaan yang mereka lakukan disamping tidak profesional, juga tidak akan sesuai dengan proses hukum yang layak dan benar, karena keterangan, pengakuan atau kejelasan tentang terjadinya tindak pidana yang didapat petugas pemeriksa dari tersangka ( yang diperiksa ) tersebut adalah keterangan atau pengakuan yang terpaksa diberikan, sehingga tidak dapat dijamin kebenarannya.
Adanya dampak negatif dari struktur organisasi satuan reserse yang ada saat ini. Organisasi adalah merupakan wadah atau tempat untuk meyelenggarakan berbagai kegiatan dengan penggambaran yang jelas tentang herarkhi kedudukan, jabatan serta saluran wewenang dan pertanggungan jawab. Akan tetapi didalam struktur organisasi satserse Polwiltabes yang ada saat ini justru memiliki dua unit yang mempunyai kegiatan yang nyaris hampir sama, akibatnya keberadaan dua unit tersebut mendorong timbulnya rasa kecewa atau mendorong terjadinya konflik-konflik diantara anggotanya. Dengan timbulnya konflik-konflik dan rasa kecewa diantara para petugas penyidik tersebut, maka akan mendorong pula dilakukannya penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan yang mereka ( petugas penyidik ) dimiliki. Dengan demikian, maka struktur organisasi satserse yang ada saat ini justru merupakan penghambat terlaksananya proses pemeriksaan yang sesuai dengan proses hukum yang layak dan benar."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Prasetyo
"Tesis ini tentang proses penyidikan tindak pidana curat dan curas oleh Unit Kejahatan Kekerasan di Polres "X". Fokus penelitian ini adalah berupa proses penyidikan tindak pidana curat dan curas yang dilakukan oleh anggota unit kejahatan kekerasan polres "X". Permasalahan dalam penelitian tersebut adalah bentuk-bentuk tindakan anggota yang terjadi dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana curat dan curas di Polres "X".
Penelitian ini dimaksudkan adalah untuk menunjukkan proses penyidikan tindak pidana curat dan curas secara utuh baik penyidikan prosedural maupun penyidikan yang tidak prosedural yang dilakukan oleh anggota unit kejahatan kekerasan Pokes "X". Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metododogi etnografi, peneliti ingin menggambarkan dan memotret secara utuh mengenai tindakan-tindakan anggota unit sesungguhnya dari proses penyidikan tindak pidana curat dan curas, bentuk-bentuk penyimpangan dan pola-pola hubungan antara penyidik dengan berbagai pihak.
Hasil dari penelitian ini ditemukan beragamnya tindakan-tindakan dalam proses penyidikan tindak pidana curat dan curas yang dilakukan oleh anggota unit kejahatan kekerasan Polres "X". Tindakan tersebut dapat tergambar mulai dari penyelidikan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan, penangkapan, penahanan sampai dengan penyelesaian serta penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Tindakan lain yang terjadi dalam proses penyidikan tindak pidana curat dan curas tersebut yaitu berupa ditemukannya bentuk-bentuk penyimpangan dan proses penyidikan serta faktor korelatif terjadinya penyimpangan yang dilakukan anggota unit. Serta yang terakhir ditemukan juga pola-pola hubungan penyidik/anggota unit dalam melakukan proses penyidikan baik hubungan dengan sesama anggota polisi, warga masyarakat (saksi,korban, tersangka dan informan) serta pola hubungan dengan SPP (sistem peradilan pidana) dalam hal ini Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan dan pengacara/penasehat hukum.
Selain ditemukan penyidikan yang prosedural dan penyidikan yang tidak prosedural dalam penyidikan tindak pidana curat dan curas yang terjadi di Unit kejahatan kekerasan, juga ditemukan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh satuan reserse guna meningkatkan kinerja penyidik.
Proses penyidikan dalam konteks penegakan hukum yang telah dilakukan polisi adalah merupakan barometer untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi dan citra baik dari institusi Polri. Apabila dalam proses penyidikan polisi lamban, tidak tanggap, tidak profesional dan proposional serta semakin suburnya penyimpangan-penyimpangan dalam proses penyidikan maka citra polisi semakin terpuruk."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T11045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Sori S
"Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang terdakwanya melarikan diri dan tidak diketahui keberadaanya sejak proses penyidikan, berdasarkan fakta empiris dapat dipastikan akan dilakukan dengan persidangan in absentia. Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang diperbolehkannya melakukan pemeriksaan persidangan serta memutus perkara tanpa kehadiran diri terdakwa. Namun, ketentuan ini dipahami oleh penyidik dan penuntut umum sebagai ketentuan yang juga memperbolehkan dilakukannya penyidikan dan penuntutan tanpa harus menemukan tersangka yang telah melarikan diri serta memeriksanya. Ketentuan ini pun dipandang berbeda oleh hakim yang memeriksa perkara, di mana ada hakim yang setuju untuk memeriksa dan memutus perkara yang tersangkanya tidak diperiksa selama tahap penyidikan, dan ada juga hakim yang menolak untuk memeriksa perkara tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan metode normatif yang menggunakan sumber data sekunder dan didukung oleh data primer berupa wawancara dapat disimpulkan bahwa perkara tindak pidana korupsi yang tersangkanya tidak pernah diperiksa selama penyidikan tidak dapat dilanjutkan ke tahap penuntutan dan tahap pemeriksaan di pengadilan.

Based on empirical fact, the settlement of corruption act, in which the defendant has fled and his existence has been unknown since the investigation process is conducted, can certainly be done in the trial in absentia. Provision of Law No. 31 of 1999 replaced by law No. 20 of 2001 on Eradication of Corruption Act regulates the permissibility in conducting hearings and decides the case in absentia. However, the provision is also understood by the investigators and prosecutors as the provision that allows an investigation and prosecution without having to find a suspect who has fled, and investigate him. This provision is viewed differently by judges who examine cases in which there are judges who agree to examine and decide the case where the suspects are not checked during the investigation stage, and there are also the judges who refuse to examine the case. The result of research conducted by the normative method that used secondary data sources and supported by primary data in the form of interviews could be concluded that corruption crimes in which the suspect was never examined during the investigation could not be proceeded to the prosecution stage and the stage of investigation in court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28575
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wagimin Wirawijaya
"Penelitian mengenai Perlakuan Terhadap Tersangka Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Selama Proses Pemeriksaan di Pokes Metro Jakarta Selatan, bertujuan menunjukkan tentang perlakuan para penyidik terhadap para tersangka khususnya pelaku pencurian dengan kekerasan selama dalam proses pemeriksaan. Adapun perrnasalahan yang diteliti adalah (1) apakah selama tersangka menjalani proses pemeriksaan terjadi pelanggaran hak tersangka, berupa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu terhadap tersangka, (2) apabila terjadi pelanggaran hak tersangka, yang berupa kekerasan, (3) apa bentuk atau pola-pola kekerasan yang dilakukan dan (4) mengapa tindakan kekerasan tersebut dilakukan, serta (5) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan tersebut.
Untuk membuktikan ada atau tidaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu dalam proses perneriksaan tersangka pelaku curas, maka saya telah melakukan penelitian di Polres Metro Jakarta Selatan, pada Unit Kejahatan Kekerasan, selama tiga bulan, dengan obyek penelitian para penyidik/penyidik pembantu yang menangani empat kasus pencurian dengan kekerasan, dengan menggunakan metode kualitatif.
Pemeriksaan tersangka merupakan bagian dari penyidikan suatu tindak pidana, yang terkait dengan hak asasi manusia, oleh karenanya pemeriksaan tersangka harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukum acara pidana (KUHAP) yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat penegak hukum. Sebagai penjabaran KUHAP, khususnya mengenai proses pemeriksaan, Kapolri telah mengeluarkan Petunjuk Tehnis tentang Pemeriksaan Tersangka dan Saksi (Juknis/07/11/1982), yang berisi syarat-syarat dan prosedur pemeriksaan, meliputi persiapan, pelaksanaan dan evaluasi hasil pemeriksaan.
Meskipun telah ada undang-undang dan petunjuk tehnis yang mengatur tatacara pemeriksaan tersangka dan Saksi, ternyata masih sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, sebagaimana terungkap dari berbagai pemberitaan media masa, baik melalui media cetak maupun media elektronik, sebagai kekurangmampuan Polri dalam melaksanakan profesinya.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi individu dalam proses pemeriksaan tersangka, yaitu motif dan tujuan, status dan peranan masing-masing serta budaya atau sistem nilai yang dianut maupun norma yang berlaku. Proses interaksi dalam pemeriksaan tersangka, tidak selalu sesuai dengan harapan masing-masing pihak, yaitu pemeriksa mengharapkan tersangka akan berterus terang dalam menjawab setiap pertanyaan pemeriksa, sedangkan tersangka ingin diperlakukan secara wajar sesuai hak-haknya yang diatur dalam ketentuan hukum acara pidana dan berusaha menutupi kesalahanya agar Jobs dari jeratan hukum, sehingga dalam proses interaksi tersebut terjadi pertentangan keinginan. Apabila pemeriksa tidak mampu menunjukkan bukti-bukti tentang keterlibatan tersangka dalam suatu peristiwa pidana yang dipersangkakan, karena kurangnya bukti yang mendukung, sedangkan pemeriksa berdasarkan persepsi, intuisi, pengetahuan dan pengalamannya, berkeyakinan bahwa tersangka adalah pelakunya, maka dapat menimbulkan ketegangan pada diri pemeriksa. Sebagai pelampiasannya adalah menunjukkan sikap-sikap, perilaku dan tindakan yang cenderung melakukan kekerasan terhadap tersangka, baik berupa penyiiksaan fisiik, penyiiksaan psiikologis maupun penyiksaan hukum.
Pola-pola perilaku dan tindakan kekerasan terhadap tersangka tersebut cenderung sering dilakukan karena pemeriksa menganggap sangat efektif digunakan dalam mengungkap kasus pidana. Disamping itu para pemeriksa menganggap hal tersebut diperbolehkan dan dibenarkan, sehingga cenderung membentuk pola-pola perilaku tertentu yang secara langsung atau tidak langsung disepakti sebagai pola perilaku yang diterima dan dianggap biasa, meskipun sebenarnya menyimpang dari ketentan hukum yang berlaku serta merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan pengetahuan dan pengalamanya penyidik/penyidik pembantu selama bertugas melakukan pemeriksaan tersangka harus menghadapi tersangka yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi, status sosial dan budaya yang berbeda, maka pemeriksa berusaha mengolong-golongkan berdasarkan latar belakangnya itu. Penggolongan yang berisikan sangkaan-sangkaan buruk terhadap tersangka, merupakan prasangka yang dapat menimbulkan diskriminasi serta dijadikan acuan bertindak dalam melakukan pemeriksaan tersangka.
Dalam tesis ini telah ditunjukkan bahwa penyidik/penyidik pembantu yang ditunjuk sebagai pemeriksa tersangka pelaku curas di Polres Metro Jakarta Selatan mempedomani aturan formal yaitu KUHAP dan Petunjuk Tennis Pemeriksaan Tersangka dan Saksi, aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh Kapolres maupun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman serta keyakinan mereka dalam menggolong-golongkan tersangka, terungkap adanya berbagai pola tindakan penyidik/penyidik pembantu dalam mencapai tujuan pemeriksaan, yang berimplikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang berupa penyimpangan berbentuk penyiksaan fisik, penyiksaan psikologis maupun penyiksaan hukum, sehingga terbukti telah melanggar hak asasi tersangka dalam proses pemeriksaan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pudiastuti Citra Adi
"Proses modernisasi yang mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang cepat, secara potensial mengakibatkan suatu ketegangan dan keresahan sosial. Peningkatan proses modernisasi tersebut sebagai akibat dari ditemukannya alat-alat komunikasi modern, alat transportasi dan teknologi informatika modern. Hal tersebut menuntut adanya perubahan struktur hubungan hukum, substansi-substansi baru pengaturan hukum dan budaya hukum yang lama sekali baru. Perubahan tersebut juga terjadi dalam pengaturan hukum khususnya mengenai pembuktian.
Pemanfaatan teknologi informasi yang terjadi mengakibatkan adanya perkembangan konsep alat bukti yang dirumuskan di dalam sejumlah peraturan perundang-undangan pidana baru. Ada 4 (empat) peraturan perundang-undangan pidana dan 1 (satu) peraturan perundang-undangan non pidana mengalami perkembangan alat bukti di luar yang diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantas Korupsi, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
Pemanfaatan Teknologi Inforrnasi dalam proses pembuktian perkara pidana tersebut sesungguhnya tidak bertentangan dengan sistem pembuktian dan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Secara umum bukti berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik tidak bertentangan dengan asas-asas yang berlaku pada hukum acara pidana, yaitu asas terbuka untuk umum, asas peradilan yang bebas dan dilakukan cepat dan sederhana dan asas pemeriksaan secara langsung.
Untuk menjaga validitas suatu informasi yang dihasilkan dari elektronik, diperlukan pengaturan dengan syarat-syarat yang ketat. Prosedur tersebut harus dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, termasuk di dalamnya pengaturan mengenai prosedur pemeriksaan terhadap data-data komputer, penyitaan data-data yang tersimpan dalam media elektronik dan sebagainya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14502
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanafi Kausar
"ABSTRAK
Salah satu wewenang kejaksaan dalam bidang pidana menurut undang-undang pokok kejaksaan adalah melengkapi berkas perkara tertentu dengan melakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan dilakukan untuk memperoleh kepastian penyelesaian perkara dalam rangka pelaksanaan asas peradilan cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan serta menjamin kepastian hukum, hak-hak asasi pencari keadilan, baik tersangka, terdakwa, saksi korban, maupun kepentingan umum. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan kewenangan pemeriksaan tambahan terdapat permasalahan yuridis antara lain mengenai tidak jelasnya pengaturan mengenai tindakan penuntut umum dalam melakukan pemeriksaan tambahan, ketentuan pemeriksaan tambahan tidak singkron dengan hukum acara yang berlaku, serta adanya pembatasan-pembatasan dalam ketentuan pemeriksaan tambahan. Permasalahan yuridis tersebut menyebabkan disatu sisi pelaksanaan pemeriksaan tambahan oleh penuntut umum pada prakteknya mengalami kendala-kendala sehingga pemeriksaan tambahan boleh dikatakan jarang dilakukan oleh penuntut umum dan sisi lain ada hak tersangka yang dilanggar dalam kaitannya dengan due process of law.

ABSTRACT
A part prosecutor’s power in criminal process is a power to complete certain types of case files, and for such purposes, to conduct additional investigations prior to the forwarding of such files to the court, which investigations in practice are to be carried out in condition with the investigators. Additional investigations established for certainty of criminal case completion in order to fulfill swift, simple dan low cost trial’s principle, guaranteeing legal certainty, Human right of justice seekers such as suspect, defendant, witness, victim or public interest. This research used an analytical descriptive normative juridical methods. The research concluded there are some legal issues on additional investigation’s practise such as uncertainty regulation of prosecutor’s conduct, unsynchronized to criminal procedural law and the existence some limitations. The legal issues become an obstruction to the prosecutors to conduct additional investigations that caused it’s seem rarely practised and in correlation with due process of law, suspect’s rights are violated."
Universitas Indonesia, 2013
T35262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Purwanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22521
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Theodora
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22432
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Indra Gautama
"Tesis ini membahas tentang proses pengawasan penyidikan di tingkat Polres. Tujuan tesis ini untuk menunjukkan model atau bentuk pengawasan penyidikan di tingkat Polres. Perhatian utama tesis ini adalah tindakan-tindakan para pengawas tingkat Polres sebagai hasil interaksi antara pihak-pihak yang mengawasi dengan yang diawasi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode pengawasan, pengawasan terlibat, dan wawancara dengan pedoman. Model kasus yang diteliti adalah kasus kekerasan terhadap orang atau benda yang dilakukan secara bersama-sama atau pengeroyokan sebagaimana.diatur dalam pasal 170 KUHP. Kasus yang diteliti terdiri dari 2 kasus dalam kurun waktu antara bulan Pebruari sampai dengan Mei 2003 yang terjadi di wilayah hukum Polres Klaten. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pengawasan penyidikan oleh Kapolres dan Kasat serse dilakukan sebatas pengawasan administrasi penyidikan, pengawasan oleh Kasat intel bersifat menunggu pengaduan atau perintah dari atasan, pengawasan Kapuskodal Ops sebatas untuk keperluan pendataan dan pelaporan kepada satuan atas, sedangkan pengawasan oleh Jaksa Penuntut umum dilakukan secara formalitas dan terbatas pada pengawasan administrasi penyidikan Selain itu, Kasat serse juga mengembangkan bentuk pengawasan yang digunakan untuk mengawasi sumber daya-sumber daya yang menghasilkan keuntungan, dengan cara menempatkan orang-orangnya dalam unit-unit. Model pengawasan demikian telah mengakibatkan timbulnya berbagai bentuk penyimpangan dalam penyidikan, seperti penyimpangan prosedur dan penyimpangan yang bersifat keprilakuan seperti korupsi dan kolusi. Model pengawasan tersebut diakibatkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, terbatasnya dukungan anggaran penyidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan dan terbatasnya sarana dan prasarana operasional penyidikan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T11161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bekto Suprapto
"Tesis ini bertujuan menunjukkan proses pengambilan keputusan penyidik dalam menentukan penahanan atau tidak melakukan penahanan terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana di Polres Metro Jakarta Selatan.
Dalam tesis ini, perilaku penyidik yang terdiri dari interaksi antar penyidik maupun antara penyidik dengan penyidik pembantu, dilihat dan diperlakukan sebagaimana kenyataan apa adanya, yaitu dalam kaitannya dan hubungan saling pengaruh-mempengaruhi dalam pengambilan keputusan penahanan tersangka.
Metodologi difokuskan pada pengamatan pola perilaku penyidik dalam proses pengambilan keputusan- untuk menahan tersangka,- agar dapat memahami makna dari gejala kasus-kasus pengambilan keputusan oleh penyidik. Oleh karena mengamati satu gejala keputusan penyidik dalam menentukan penahanan tersangka itu tidak cukup, sehingga perlu mengamati pola perilaku penyidik dalam memutuskan penahanan terhadap tersangka. Kasus-kasus dipilih secara acak, tidak ditentukan karena adanya kategori-kategori tertentu, namun semata-mata didasari oleh kasus-kasus yang dapat saya ikuti secara terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Keputusan penahanan oleh penyidik tidak dapat dipandang sebagai keputusan yang berdiri sendiri, namun ada kaitannya dengan pluralistik tindakan dalam sistem peradilan pidana yang harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku dalam sistem peradilan pidana.
Keputusan penahanan tersangka oleh penyidik dipengaruhi oleh pengetahuan, nilai-nilai, pengalaman penyidik yang saling mempengaruhi dan menjadi pertimbangan maupun motivasi penyidik dengan mengacu pada interpretasi atas aturan-aturan yang ada dalam KUHAP dan berbagai peraturan pidana lainnya dalam memutuskan penahanan tersangka untuk tujuan tertentu.
Tesis ini berisi tulisan yang saya susun dalam enam bab: bab satu merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, kerangka teori, kajian kepustakaan, dan hipotesis, serta metodologi; bab dua tentang gambaran umum Polres Metro Jakarta Selatan yang terdiri dari kedudukan dan tugas Polres Metro Jakarta Selatan, situasi Satuan Reserse Polres Metro Jakarta Selatan, data kriminalitas, dan kegiatan penyidikan; bab tiga tentang bukti permulaan yang cukup, aturan penahanan terdiri dari tempat penahanan, alasan, syarat, wewenang, lamanya, dan jenis penahanan, serta penangguhan penahanaan dan surat perintah penahanan; bab empat tentang pemeriksaan kasus yang berisi tentang pemeriksaan pendahuluan, pemanggilan dan penangkapan, pemeriksaan tersangka, laporan hasil pemeriksaan, dan gelar perkara: bab lima tentang keputusan penahanan yang merupakan data dan analisa hasil penelitian terdiri dari keputusan penahanan untuk tujuan proses peradilan pidana, keputusan untuk tidak melakukan penahanan, keputusan penahanan untuk tujuan tidak diproses dalam peradilan pidana, dan keputusan penangguhan penahanan; bab enam merupakan kesimpulan dari tesis."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>