Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170477 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Hadara
"Informasi tentang DI-TII Kahar Muzakkar yang beroperasi dan bergerilya di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya, secara inplisit dan singkat, terdapat dalam tulisan SEM DAM XIV/HN (1964), Dinas Sejarah Militer TNI-AD (1979), Cornelis van Dijk (1983), Barbara Sillars Harvey (19B9), Anhar Gonggong (1992), dan M. Bahar Mattalioe (1994). Bagian terbesar dan utama dari tulisan mereka, secara spatial, masih terbatas di Sulawesi Selatan, atau memposisikan gerilyawan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara dalam kerangka pemberontakan DI-TlI Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Mengapa pemberontakan merembet ke Sulawesi Tenggara dan terkonsentrasi di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya serta bagaimana aktivitasnya di sana, belum dijelaskan secara tuntas dan memadai. Selain itu, tulisan mereka masih terfokus pada aspek latar belakang pemberontakan dengan tekanan utama diarahkan pada figur pemimpinnya, Kahar Muzakkar, serta fenomena gerilya darat. Bagaimana dampaknya, terutama perubahan mendadak dalam struktur sosial pemukiman dan struktur sosial ekonomi, dan gerilya laut yang dijalankan kaum pemberontak, masih terabaikan.
Selain mencoba mengatasi masalah tersebut, penelitian ini dilakukan pula sebagai bagian dari upaya untuk memenuhi keinginan penulisan sejarah tanah air Indonesia yang sesungguhnya, yang mencoba menjelaskan peristiwa di darat dan di laut secara seimbang dan proporsional, sebagai konsekwensi logis dari kondisi geografis Indonesia sebagai negara laut atau negara bahari terbesar di dunia.
Ketersediaan sumber-sumber dalam bentuk arsip yang memadai dan dalam jumlah yang cukup besar, memungkinkan penggunaan metodologi (pendekatan) sejarah empiris dan individualis (Lloyd, 1993) dalam penelitian ini. Beberapa pendekatan dan teori yang menjadi rujukan untuk membantu menjelaskan masalah yang diteliti, adalah pendekatan sea systems (Braudel, 1971) dan heartsea (Lapian, 1996) saduran dari heartland yang dikembangkan oleh Mackinder, pendekatan sosial budaya pesse (Gonggong, 1992) dan teori solidaritas mekanik Durkheim (Johnson, 1988), teori hubungan otoritas dan konflik sosial Dahrendorf (Johnson, 19B6), serta teori collective action yang dikembangkan Tilly (1978).
Disimpulkan bahwa sejak mula hingga berakhirnya pemberontakan, Sulawesi Tenggara dijadikan sebagai basis alternatif sesudah Sulawesi Selatan. Faktor-faktor internal dan eksternal yang mengakibatkan timbulnya insolidaritas dan desintegrasi pihak pemberontak di Sulawesi Selatan serta daya tarik geografi, ekonomi, sosial budaya, agama, sejarah, dan politik menjadi penyebab utama merembetnya pemberontakan ke Sulawesi Tenggara yang kemudian memperkuat posisinya di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya. Dari aspek geografi, Sulawesi Tenggara memiliki hutan tropis yang sangat luas, morfologi bergunung dan berbukit-bukit dengan tingtingkat kepadatan penduduk yang relatif sangat kecil. Kondisi demikian sangat menguntungkan bagi perang gerilya. Sementara perairan Tiworo dan sekitarnya merupakan "laut inti" (heartsea) dalam "sistem laut" (sea systems) dan selat serta penghubung antara wilayah daratan dan wilayah kepulauan di Sulawesi Tenggara. Penguasaan kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya menjadi batu loncatan untuk menguasai seluruh daratan dan kepulauan Sulawesi Tenggara.
Dari segi ekonomi, daratan Sulawesi Tenggara dan kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya memiliki sumber daya alam yang sangat penting, umpamanya kopra, ratan, kayo, tambang nikel dan aspal yang didukung oleh tradisi pelayaran dan perdagangan di wilayah pesisir dan kepulauan. Dari aspek sosial budaya, lebih dari separuh kawasan (barat dan utara) perairan Tiworo didominasi oleh etnis Bugis-Makassar. Kehadiran gerilyawan dianggap sebagai "sekampung" (pesse) oleh mereka. Sementara dari aspek sejarah dan politik, terutama Kolaka, adalah pusat pergerakan pemuda pro kemerdekaan yang terhimpun dalam berbagai organisasi kelasykaran dan sebelum terintegrasi ke dalam wilayah Daerah (Swatantra) Sulawesi Tenggara, adalah bagian dari pemerintahan Afdeling Luwu dan basis Muhammadiyah dan PSII dua organisasi Islam yang mempunyai ikatan historis-kultural dengan pihak pemberontak.
Selama pergolakan, berlangsung secara efektif permintaan uang dari rakyat, yang mereka namakan "sumbangan atau sokongan perjuangan" serta jenis pungutan lain, penguasaan sumber-sumber ekonomi terpenting, merekrut sumber daya manusia, berlangsung apa yang disebut "perdagangan gelap" (smokkel) dan berbagai fenomena gerilya laut misalnya penghadangan dan perampokan perahu, mobilitas antar pulau dan antar pelabuhan. Kehadiran gerilyawan berdampak terhadap perubahan mendadak struktur sosial pemukiman dan struktur sosial ekonomi yang kemudian bermuara pada kemiskinan struktural dan kelaparan di desa-desa terpencil, seraya -- kendatipun tidak secara langsung -- menimbulkan gerilyawan liar anggota Pasukan Djihad Konawe (PDK), akan tetapi pasukan tersebut kemudian "dikoordinasi secara imperatif" (imperatively coordinated) oleh pihak pemerintah dan TNI untuk sama-sama menghadapi pemberontakan DI-TII atau sama-sama bertanggung jawab untuk ikut mengatasi masalah keamanan Sulawesi Tenggara. Tampaknya gerilyawan yang beroperasi di kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya termasuk dalam kategori "gerakan kolektif" (collective action), kendatipun terdapat individu tertentu yang mempunyai perhatian dan kepentingan yang berbeda.
Kehancuran total yang disebabkan oleh aktivitas gerilyawan selama lebih kurang 15 tahun, mendorong Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara mengajukan proposal rehabilitasi besar-besaran kepada Pemerintah Pusat pada tahun 1965, terutama ditujukan kepada wilayah-wilayah yang selama sepuluh tahun terakhir dilanda kekacauan. Akan tetapi gagasan rehabilitasi baru mulai terwujud melalui program resettlement desa dan transmigrasi sebagai main program lima tahun mendatang (1967-1971). Sejak itu mulailah dilakukan eksodus dan restrukturisasi besar-besaran ke daerah-daerah yang dilanda kekacauan, terutama kawasan perairan Tiworo dan sekitarnya."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T2328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmah Thoha
"Pengamatan pengaruh musim terhadap plankton di perairan Riau dan kepulauan sekitarnya dilakukan pada periode April - Mei 2002. Pengamatan difokuskan pada komunitas fitoplankton dan zooplankton di keduapuluhlima titik stasiun pengamatan yang dikelompokkan menjadi dua zona berdasarkan pada jarak stasiun pengamatan. Variasi kelimpahan plankton rata-rata antar kelompok lokasi adalah 50 - 90 % untuk fitoplankton. Struktur komunitas didominasi oleh kelimpahan diatom dengan marga dominan Chaetoceros, Dytilum, Nitzschia, Thalassionema, Thalassiothrix dan marga Ceratium dari kelompok Dinoflagellata. Struktur komunitas zooplankton didominasi oleh kelompok Copepoda (45 ? 90 %) dan lebih dari 90 % dari kelompok Polychaeta, Chaetognata, Bivalvia, Gastropoda dan Oikopleura. Dari hasil pengamatan ini diperoleh gambaran tentang adanya keterkaitan antara kondisi lingkungan perairan dan variasi kondisi plankton.

Seasonal influenzed on plankton of the waters around Riau islands. The observation was conducted during April - May 2002. This study was done in relation with observation on environment quality of the waters around Riau Islands. The parameter observed were focus on the plankton communities for tweentyfives points of stations which were grouped into two zone based on the distance of the each station. Plankton abundance varied with location groups from 50- 90 % respectively. Community structure was dominated by the group of diatoms such as Chaetoceros, Dytilum, Nitzschia, Thalassionema, Thalassiothrix and the genus Ceratium (the group of Dinoflagellata). Community structure of zooplankton was dominated by the group of Copepods (45 - 90 %) and Polychaeta, Chaetognata, Bivalvia, Gastropods and Oikopleura (more than 90 %). The results describe the relationship between the water environmental condition and variation of plankton condition."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Danu Nugraha
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004
S31308
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anhar Gonggong
"Pada tanggal 7 Agustus 1953 Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sulawesi Selatan, Abdul Qahhar Mudzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan-pasukan dan daerah yang dikuasainya, ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) yang berada di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat. Dengan demikian jangkauan pengaruh Kartosuwirjo yang telah memproklamasikan berdirinya NIX pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa Barat bertambah luas. Untuk menopang NXI yang didirikannya itu, Kartosuwirjo membentuk Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TXI), yang digunakan untuk menentang pemerintah negara Republik Indonesia (RI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Perlawanan pemberontakan gerakan DI/TII mampu berlangsung dalam waktu kurang lebih 15 tahun; perlawanan bersenjatanya baru dapat diakhiri pada tahun 1965. Gerakan DI/TXI yang digerakkan oleh Kartosuwirjo yang bertujuan mendirikan NII itu hanya merupakan salah satu dari sekian banyak peristiwa yang pernah terjadi dalam periode yang sama. Sekadar sebagai contoh, telah terjadi peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 dari pelakunya jelas kelihatan latar belakang ideologi komunis. Ada juga pemberontakan yang bersifat kesukuan, yaitu gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang berkehendak mendirikan negara kesatuan di daerah Maluku Selatan. Krisis tampaknya masih tetap berlanjut dan salah satu puncak dari krisis itu ialah lahirnya gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Gerakan ini kemudian bersekutu dengan gerakan Pembangunan Semesta (Perznesta), sehingga gerakan yang mereka ciptakan dikenal dengan gabungan nama : Gerakan PRRI/PERMESTA. Gerakan RMS berlangsung pada 1950-1962, sedang gerakan PRRI/PERMESTA berlangsung pada tahun 1958-1962.
Ketika peristiwa-peristiwa yang disebut di atas berlangsung, sistem pemerintahan dan atau kabinet serta sistem demokrasi yang dipergunakan untuk menata kehidupan bernegara sebagai bangsa merdeka, memang tidak dalam keadaan yang cukup baik untuk mendukung jalannya pemerintahan negara. Dalam periode Perang Kemerdekaan (1945-1949) sistem pemerintahan dan bentuk negara telah mengalami perubahan-perubahan, dari sistem presidensil ke sistem Kabinet Parlementer untuk kemudian kernbali lagi ke sistem Kabinet Presidentil yang kemudian berubah lagi menjadi sistem Kabinet Parlementer. Demikian pula bentuk negara kita; pada awal kemerdekaan, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara yang berlaku ketika itu, UUD 1945, bentuk negara kita adalah negara kesatuan. Tetapi kemudian, sesuai dengan hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) bentuk negara itu berubah menjadi bentuk negara federasi. Walaupun usianya sangat singkat, December 1949-16 Agustus 1950, namun di dalam perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia, kita pernah memberlakukan bentuk negara federasi dengan nama : Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sistem demokrasi yang berlaku di dalam periode 20 tahun pertama {1945-1965) dari kemerdekaan itu juga telah berubahubah, dari sistem demokrasi liberal yang berlangsung pada tahun 1950-1959 untuk kemudian berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin. Berlakunya sistem demokrasi liberal ditopang oleh UUD. Sementara 1950 dengan ciri pemerintahan sistem Kabinet Parlementer dan kekuasaan partai-partai politik amat menentukan jalan pemerintahan waktu itu, di samping juga keliberalan yang dilaksanlah persaingan antara partai-partai untuk menjadi pemegang pemerintahan negara. Salah satu hal yang nampak dalam persaingan partai-partai itu ialah tiadanya Kabinet yang berusia panjang dan mampu menjalankan programnya secara teratur, sebagaimana yang mereka rencanakan. Program partai dari formatur Kabinet yang menjadi Perdana Menteri sering dianggap lebih penting, walaupun sudah ada program Kabinet yang disepakati. Di dalam situasi persaingan antara partai-partai itu berlangsung pula persaingan ideologi di antara partai-partai pendukung, yaitu antara golongan yang berideologi Pancasila dan Islam."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D133
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anhar Gonggong
"Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ada adalah nama yang digunakan Abdul Qahhar Mudzakkar dalam menghimpun pasukan-pasuk_an bekas pejuang periode Perang Kemerdekaan (1945-1949) di Sulawesi Selatan dan menjadi pendukung daiam menuntut penggabungannya ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, sampai saat proklamasi penggabungannya dengan NII pimpinan Kartosuwirjo itu, kehendaknya tidak pernah dipenuhi oleh pemerintah negara Republik Indonesia (RI). Istilah TKR sebenarnya pernah digunakan secara resmi untuk organisasi ketentaraan negara RI pada awal pembentukannya. Nama ini bermula dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang pada 5 Oktober 1945 diubah menjadi Tentara Keamanan Rak yat (TKR) dan tanggal ini menjadi hari kelahiran ABRI yang chiperingati setiap tahun. Namun TKR diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), yang kemudian pada 5 Mei 1947 diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di dalam proses pembentukan organisasi ketentaraan negara RI digunakan pula istilah Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang di dalamnya tercakup ke-tiga unsur Angkatan Perang, yaitu Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) tidak termasuk Angkatan Kepolisian (POLRI) digunakan pula nama ABRI yang di dalamnya tercakup, disamping ketiga angkatan, juga POLRI. Nama ABRI sampai se-karang tetap dipertahankan, sedang istilah APRI sudah tidak digunakan lagi. Untuk memperoleh keterangan lebih lanjut ten tang pertumbuhan organisasi ketentaraan negara RI ini, lihat A.H. Nasution, TNI Tentara Nasional Indonesia, 3 jilid, ter_bitan 1971. Lihat juga Ulf Sundhaussen, The Road to power:"
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D1607
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhlisin
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004
T40162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sediadi
"Musim Timur merupakan musim saat terjadinya proses upwelling di perairan Laut Banda. Informasi adanya effek upwelling terhadap kelimpahan dan distribusi fitoplankton di perairan Laut Banda belum banyak terungkap. Untuk itu dilakukan penelitian pada bulan Agustus 1997 yang mewakili Musim Timur dan bulan Oktober 1998 yang mewakili Musim Peralihan sebagai pembanding. Data kelimpahan dan distribusi fitoplankton dengan mengambil contoh fitoplankton dari kedalaman 100 m ke permukaan menggunakan jaring plankton dengan bukaan mulut berdiamter 31 cm,panjang 120 cm dan ukuran mata jaring 80 µm. Hasil pengamatan pada musim timur (Agustus 1997) proses taikan air (upwelling) masih berlangsung. Hal ini terlihat dari nilai regresi antara suhu dan salinitas (r2 = 84,1 %), suhu dan nitrat (94,5%) Pada saat musim timur tercatat 33 jenis fitoplankton, komposisi jenis fitoplankton lebih bervariasi dibandingkan musim peralihan hanya 26 jenis fitoplankton. Pada musim timur jenis fitoplankton yang mendominasi adalah jenis Chaetoceros sp. Analisis lebih lanjut dengan analisis multivatiate, faktor nitrat mempengaruhi kelimpahan, komposisi dan distribusi fitoplankton.

The Effect of Upwelling on Distribution and Abundance of Phytoplankton in Indonesia. East Monsoon is monsoon where upwelling process happened in Banda Sea. Information about upwelling effect to the abundance and distribution of phytoplankton in Banda Sea is not known much.yet. That way has been done the investigation in August 1997 as vice of east monsoon and October 1998 as vice of transition monsoon as comparation.. The abundance and distribution data collected by taken phytoplankton sample in 100 m depth to surface by using plankton net with diameter 31 cm, 120 cm length, and eyes net size 80 µm. The results in east monsoon (August 1997) where (upwelling) still done. This correlation seen from regresi value between temperature and salinity (r2 = 84,1 %), temperature and nitrate (94,5%) In east monsoon recorded 33 phytoplankton species, composition of phytoplankton is varied more compared to transition monsoon where found 26 phytoplankton species only. In east monsoon dominance phytoplankton is Chaetoceros sp. Further analysis by using multivariate analysis, nitrate factor affect to abundance, composition, and distribution of phytoplankton."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sediadi
"Telah diketahui bahwa perairan Laut Banda sangat dipengaruhi oleh faktor musiman yang mempengaruhi kondisi fitoplankton. Tetapi informasi kondisi fitoplankton, khusus kelompok Cyanobacteria pada Musim Peralihan belum banyak terungkap. Untuk itu dilakukan penelitian pada bulan Oktober 1998 dan November 1999 yang dianggap mewakili Musim Peralihan dengan mengambil contoh fitoplankton dari permukaan sampai kedalaman 200 m untuk mengetahui kelimpahan, komposisi dan distribusi Cyanobacteria.
Kelimpahan Trichodesmium erahtraeum berkisar antara 0,02-1,2 x 102 koloni m-3, nilai tertinggi dijumpai di kedalaman 100 m dan terendah di kedalaman 200 m. Kelimpahan Trichodesmium thiebautii berkisar antara 0-8,8 x 102 sel m-3. Distribusi Trichodesmium erythraeum dijumpai pada kedalaman 50 m kelimpahannya relatif tinggi yang dipengaruhi oleh kondisi nitrat perairan (r2 =28,30 %) dan suhu perairan (r2 =17,30 %). Berdasarkan kelimpahan, keanekaragaman, kemerataan dan distribusinya Trichodesmium eryhtraeum dan Trichodesmium thiebautii mendominasi pada musim peralihan.

Domination of Cyanobacteria at Transition Monsoon around Banda Sea Area. Banda Sea had affected by monsoon factor, this condition also influenced fitoplankton condition, but information about fitoplankton condition especially Cyanobacteria group still not complete yet. Therefore had done the researched about fitoplankton in October 1998 and November 1999, that months is regarded as vice of transition monsoon. Fitoplankton samples were taken from the surface to 200 m depth to known the abundant, composition, and distribution of Cyanobacteria.
The results showed that the abundant of Trichodesmium erahtraeum varied between 0.02-1.2 x 102 coloni m-3, the highest vale found in 100 m depth and the lowest in 200 m depth. The abundance of Trichodesmium thiebautii varied between 0-8.8 x 102 cel m-3. Distribution of Trichodesmium erythraeum found until 50 m depth, their abundance high relative, this condition caused by nitrate concentration (r2 =28,30 %) and temperature (r2 =17,30 %). Based on their abundance, diversity, evenness and distribution Trichodesmium eryhtraeum dan Trichodesmium thiebautii dominated in transition monsoon."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Ekosistem padang lamun mempunyai fungsi dan manfaat ekologi bagi suatu perairan dan nilai ekonomi sumber daya yang tinggi bagi masyarakat pesisir. Informasi data padang lamun di peraian teluk Toli-Toli dan pulau-pulau kecil sekitarnya seperti Pulau Latungan, Pulau Kabetan, dan Pulau Pangalisan masih jarang didiskusikan oleh para peneliti. Tujuan penelitian ini adalah memetakan informasi secara spasial sebaran padang lamun, persentase tutupan dan kondisi lamun dengan menggunakan citra satelit. Dengan menggunakan program ArcGIS 9.2 dan ENVI 4.3 dilakukan analisis tumpang tindih dan interpretasi sebaran padang lamun.
"
OLDI 36:2 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Ayuwantira
"Artikel ini membahas kolaborasi Batalion 710 dan DI/TII dalam penyelundupan kopra di Afdeling Mandar kurun waktu 1950-1965. Ketidakstabilan politik dan ekonomi setelah kemerdekaan dirasakan sampai ke daerah Mandar Sulawesi Barat, kubu DI/TII di bawah pimpinan Qahhar Mudzakkar memilih menanggalkan tanda kemiliteran mereka lalu bersembunyi di hutan sebagai aksi ditolaknya integrasi KGSS ke dalam APRIS. Ketegangan ini memicu konflik internal dalam TNI AD, akhirnya pemerintah meresmikan Batalion 710. Namun, kebutuhan mendesak akan logistik dan persenjataan mendorong Batalion 710 pimpinan komando Andi Selle untuk menjalin kolaborasi ilegal dengan DI/TII Qahhar Mudzakkar di Afdeling Mandar. Penelitian ini menggunakan metode sejarah: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, dengan sumber Arsip Provinsi Sulawesi (Rahasia) 1945, No. Reg. 480, Arsip Saleh Lahade 1950-1967, No. Reg. 272, dan surat kabar sezaman. Hasil penelitian menemukan bahwa sumber daya ekonomi Mandar dan reorganisasi kelaskaran mempertemukan dua kepentingan: pemimpin Batalion 710 dan mantan atasannya, yaitu Qahhar Mudzakkar. Kolaborasi ini mendorong barter kopra dengan senjata, logistik sebagai alat politik untuk mendukung para pejuang di Mandar. Akibatnya, rakyat mengalami kesengsaraan yang ditandai dengan berbagai kebijakan dagang, pembakaran kampung, dan migrasi besar-besaran penduduk Mandar ke Kalimantan.

This article discusses the collaboration of Battalion 710 and DI/TII in copra smuggling in Mandar Afdeling during the period 1950-1965. Political and economic instability after Independence was felt in the Mandar Wets Sylawesi, the DI/TII camp under the leadership of Qahhar Mudzakkar chose to remove their military markings and hide in the forest as an action to reject the integration of the KGSS into APRIS. This tension sparked internal conflict within the Army, which eventually prompted the government to formalize Battalion 710. However, the urgent need for logistics and weapons prompted Battalion 710 under Andi Selle's command to establish an illegal collaboration with DI/TII Qahhar Mudzakkar in Afdeling Mandar. This research uses historical methods: heuristics, criticism, interpretation, and historiography, with the sources of Sulawesi Provincial Archives (Secret) 1945, No. Reg. 480, Saleh Lahade Archives 1950-1967, No. Reg. 272, and contemporaneous newspapers. The research found that Mandar's economic resources and the reorganization of the army brought together two interests: the leader of Battalion 710 and his former superior, Qahhar Mudzakkar. This collaboration encouraged the bartering of copra for weapons as a political tool to support the fighters in Mandar. As a result, the people experienced misery characterized by low various trade polocies, burning of villages, and massive migration of Mandar people to Kalimantan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>