Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122966 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Faiqoh
"ABSTRAK
Penelitian ini berlatar belakang pertama, adanya kenyataan bahwa di dalam Islam perempuan mempunyai kedudukan setara dengan laki-laki, tetapi tidak demikian yang terjadi di masyarakat muslim. Kedua, adanya tradisi di Pesantren meuggunakan Kitab Kuning sebagai materi pokok dan buku pedoman yang dipakai para santri, tetapi di di dalam kitab itu banyak mengandung pandangan yang bias laki-laki. Ketiga, akhir-akhir ini ada gejala meningkatnya peranan perempuan di pesantren termasuk Nyai yang mempunyai kharisma dan menjadi tokoh yang mampu mengubah nilai-nilai masyarakat pesantren yang patriarkhi.
Penelitian ini menjawab beberapa permasalahan yaitu faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya pesantren perempuan Al-Badi'iyyah; otonomi ekonomi dan sosial nyai dalam pesantren; materi pengajaran di Pesantren Maslakul Huda dan pesantren perempuan Al-Badi'iyyah; dan pandangan para tokoh dalam pesantren.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang peran nyai sebagai agen perubahan di pesantren serta mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi.
Metode yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan Pondok Pesantren Maslakul Huda sebagai studi kasus.
Ada beberapa temuan dalam penelitian ini yang antara lain yaitu: nyai telah melakukan upaya perubahan dari keadaan tidak terdapat pesantren perempuan sampai lahirlah Pesantren Al-Badi'iyyah; yang semula masyarakat perempuan di Kajen tertutup akan perubahan dan hanya berada di sektor domestik berubah menjadi sangat terbuka akan perubahan; materi Kitab Kuning yang bias laki-laki di Pesantren berubah melalui berbagai upaya dari Nyai yaitu dengan mensosialisasikan perluasan wawasan santri terhadap kitab-kitab baru yang tidak bias jender, melakukan tradisi diskusi dengan lembaga-lembaga dari luar Pesantren maupun dari dalam Pesantreu sendiri; dalam pengajaran Nyai melakukan reinterpretasi Kitab Kuning berdasarkan hasil pengamatan Nyai dari kitab-kitab baru dan hasil diskusi para Nyai; pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh perempuan seperti memasak, berbelanja sayuran telah berubah menjadi dikerjakan oleh laki-laki; yang semula tidak ada Osis pada sekolah perempuan berubah menjadi ada forum Ismawati sehingga siswi dapat menggerakkan berbagai macam kegiatan.
Berbagai visi yang dipergunakan di Pesantren Al-Badi'iyyah adalah konsep kesetaraan antara perempuan dan laki-laki sesuai dengan konsep kepemimpinan dan hak asasi dalam Islam. Dalam hal ini keberadaan (eksistensi) perempuan dilihat dari kemampuannya (capability) bukan pada keterkaitannya dengan status orang lain (sebagai isteri K.H. Sahal Mahfudh). Visi lain adalah peranan Nyai Nafisah sebagai pimpinan Pesantren sekaligus muballighah memiliki kapasitas sebagai subjek (orang) yang bertugas mengajarkan ajaran Islam dalam rangka mengubah pemahaman dan tingkah laku sosial masyarakat."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moerti Hadiati
"ABSTRAK
Hampir setiap hari berita-berita tentang terjadinya kriminalitas dimuat di media massa. Terutama di kota-kota, terlihat bahwa semakin "berani" orang melakukan pelanggaran terhadap hukum dan norma-norma yang ada. Kadang-kadang sifat kriminalitas yang dilakukan menjurus ke arah kebrutalan dan tindakan di luar perikemanusiaan. Di sisi lain kita lihat berbagai kemajuan di segala bidang, sehingga dapat diasumsikan bahwa di daerah perkotaan kriminalitas berkembang terus, sejalan dengan bertambahnya penduduk, pembangunan, modernisasi dan urbanisasi. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa perkembangan kota selalu disertai dengan perkembangan kriminalitas.
Kriminalitas atau kejahatan tersebut meliputi kejahatan hanya pencurian, pencurian dengan kekerasan (perampokan), penipuan, penganiayaan dan pembunuhan. Namun dari semua tindak pidana (kejahatan) tersebut, kejahatan terhadap kesusilaanlah yan banyak menimbulkan reaksi di berbagai kalangan masyarakat, terutama kaum wanita. Hal ini tidak dapat dipungkiri, mengingat masalah kriminalitas sebagai suatu kenyataan sosial, tidak berdiri sendiri. Tetapi berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya, sebagai fenomena yang ada dalam masyarakat dan saling menpengaruhi satu sana lain.
Salah satu kejahatan terhadap kesusilaan yang pada akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan, adalah tindak pidana perkosaan. Kejahatan ini sebetulnya bukan merupakan sesuatu yang baru untuk dibicarakan, karena sekitar tahun 1970, masyarakat pernah digemparkan oleh tindak pidana-perkosaan di Yogyakarta, yang terkenal dengan kasus "Sum Kuning". Kemudian penberitaan tentang kasus tersebut mereda, bahkan kemudian lenyap begitu aaja. Hamlin pada tahun-tahun berikutnya, masalah perkosaan telah menjadi bahan pembicaraan, baik di kalangan para ahli hukun maupun di dalam masyarakat atau di lingkungan para wanita.
Perhatian warga masyarakat tersebut, mungkin disebabkan karena tindak kejahatan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang keji, di luar perikemanusiaan dan tidak berdiri sendiri."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rainingsih Hardjo
"Tugas dan panggilan untuk membangun bangsa dan negara adalah konsekuensi logis dari Kemerdekaan yang telah dicapai. Berkenaan dengan itu Pemerintah Orde Baru telah merumuskan Pola Pembangunan Nasional. Pembangunan nasional Indonesia menempatkan manusia Indonesia sebagai fokus, maka manusia Indonesia merupakan pelaku dan tujuan dari Pembangunan Nasional.
Pembangunan Nasional tersebut dilaksanakan oleh seluruh manusia Indonesia, termasuk oleh para kaum wanitanya, walaupun dalam kenyataannya, pada konteks sejarah, bahwa kaum wanita belum mendapat mitra sejajar dengan kaum pria. Hal ini tercermin pada panorama sejarah perjuangan wanita Indonesia yang sudah dimulai sejak zaman Hindu hingga zaman pembangunan dewasa ini. Adapun sifat dan bentuk perjuangannya terbagi atas :
1. The Period of Awakening (1909-1942)
2. The Transitional Period (1942-1945)
3. After the Proclamation of Independence.
The Period of Awakening (1903-1942). Pada periode ini pergerakan wanita Indonesia sudah dimulai sejak abad 19, dan dipelapori oleh wanita berbagai bagian negara, antara lain oleh R.A. Kartini dari (Central Java), yang memperjuangkan persamaan hak-hak bagi wanita dalam segala bidang serta dalam ikatan perkawinan menolak poligami.
Perjuangan ini dilanjutkan dengan adanya Konggres Wanita Indonesia, tanggal 22 Desember 1923 di Yogyakarta untuk meningkatkan status kaum Wanita. Konggres Wanita pertama ini, menekankan kebutuhan akan pendidikan bagi anak-anak perempuan dam meningkatkan status wanita dalam perkawinan. Kemudian dilanjutkan dengan Konggres Wanita Indonesia ke-3, yang menekankan pada situasi wanita dalam pekerjaan dan hak wanita untuk bersuara dan sebagai pegawai negeri.
Pada The Transitional Period (1942-1945), Indonesia diduduki oleh Jepang dan Fujinkai (Japanese World for Women's Association), melakukan aktivitas-aktivitas meliputi:
1. Menanamkan patriotisme dikalangan wanita Indonesia
2. Mendirikan dapur umum.
3. Mengurangi pengangguran.
4. Meningkatkan sandang dan hasil pertanian
5. Meningkatkan industri rumah tangga.
6. Mengadakan kursus memberantas buta huruf.
Untuk memikat partisipasi wanita dalam perang Asia Timur Raya, Jepang mendirikan "Persatuan Srikandi" yang anggotanya terdiri dari anak wanita yang berumur antara 15-20 tahun, yang akhirnya membentuk suatu kekuatan yang melahirkan solidaritas dikalangan wanita. Pendudukan Jepang diutamakan bagi pembebasan dari penindasan Kolonial Belanda, sehingga menghambat aktivitas wanita Indonesia untuk berkembang ke dalam suatu pergerakan wanita. Akhirnya wanita bersama pria secara kontinue melakukan pergerakan Nasional.
Selanjutnya After the Proclamation of Independence, pada tanggal 17 Agustus 1945, awal tahun 1946 Organisasi Wanita Indonesia memperoleh identitas dan disatukan kedalam satu federasi yang dinamakan "KOWANI" termasuk diantaranya PERWARI. Dengan demikian berdasarkan sejarah, pergerakan wanita indonesia telah menunjukkan kemampuannya yang tidak saja melakukan pekerjaan yang di pandang hanya pantas dilakukan oleh kaum pria.
Karenanya, penghargaan terhadap partisipasi wanita dalam perjuangan kemerdekaan, UUD 1945 menjamin persamaan hak-hak bagi wanita dan pria di segala bidang. Namun demikian, masih timbul pertanyaan : sampai sejauh mana UUD 1945, pasal 27 (ayat 1 & 2) yang mencerminkan inspirasi persamaan hak bagi wanita di segala bidang pembangunan dapat terwujud. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, penulis menyorotinya dari titik sentral pernbangunan nasional beserta aparatur penyelenggaranya, khususnya pada pegawai negeri sipil wanita."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tantho Hartanto
1982
S2043
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini menggambarkan tentang peran ganda perempuan dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan sosial keluarga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang peran ganda perempuan, khususnya pelaksanaan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga, istri pendamping suami, pendidik ' pengatur rumah tangga dan sebagai pencari nafkah...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Majelis Taklim is a social institution and non-formal education and also a container in coaching women. In it lasted activities to increase the piety of pilgrims, religious knowledge, inculcate noble character and skills other fields. As container non-formal education, the board has considered taklim role, function and great potential in improving human resources, especially women. Assembly activities not only merely taklim provide religious knowledge, but although not optimally, majelis taklim already started to touch the empowerment of women in other fields such as social and economic."
EDJPPAK
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmita Budiartiningsih
"Transmigrasi merupakan salah satu program pemerintah yang dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan penduduk sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dengan memberikan kesempatan kerja bagi penduduk yaitu berupa sebidang tanah pertanian yang diharapkan dapat mereka garap dan olah. Di daerah transmigrasi UPT II Sungai Pagar, misalnya, telah disediakan lahan pertanian untuk digarap dan diharapkan mereka bisa memperoleh pendapatan dan hasil lahan tersebut.
Pada awalnya para transmigran masih mempunyai harapan atas hasil yang mereka terima dari ladang yang mereka usahakan meskipun hasil itu haru dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka, yaitu kebutuhan akan makan.an. Namun, setelah lebih kurang empat tahun di lokasi, pendapatan rumah tangga dari hasil pertanian tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendasar tersebut. Hal ini disebabkan adanya gangguan alam, seperti berkurangnya kesuburan tanah akibat kekeringan yang berkepanjangan dan gangguan hama seperti babi hutan bahkan sampai perusakan tanaman oleh sekawanan gajah.
Dalam keadaan serba tidak pasti. tersebut, apa peranan kaum perempuan dalam mempertahankan kelangsungan hidup rumah tangganya ditinjau dan kedudukannya sebagai istri dan ibu bagi keluarga transmigan? Dalam menghadapi gangguaan alam yang berakibat pada segala aspek kehidupan transinigran para transmigran khususnya perempuan harus bisa menyesuaikan diri atau beradaptasi terlebih dahulu pada lingkungannya. Adaptasi ini diperlukan agar kehidupan rumah tangga tetap tenang sehingga tercipta suasana kerasan bagi anggota rumah tangga yang pada akhirnya juga akan berguna untuk mengurangi rasa penyesalan karena harus meninggalkan daerah asalnya.
Untuk tetap bertahan di daerah yang baru, kaum perempuan melakukan berbagai pekerjaan baik pekerjaan yang bernilai ekonomis maupun nonekonomis. Pekerjaan ekonomis mereka lakukan agar dapat membantu ekonomi keluarga yang jika diharapkan kepada pendapatan suami saja dirasakan tidak mencukupi, serentara pekerjaan yang tidak bernilai ekonomis dilakukan agar kehidupan rumah tangga tetap berlangsung. Kaum perempuan tidak lagi hanya mengerjakan pekerjaan domestik tetapi juga sudah masuk ke dalam pekerjaan yang produktif sementara kaum pria tetap bertahan dalam lingkungan publiknya.
Di dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, kaum perempuan pada umumnya bekerja sendiri, terlebih-lebih pada awal penempatan mereka karena sewaktu berangkat ke daerah transmigrasi sebahagian besar transmigran hanya membawa istri dan anak-anak atau balita. Salah satu alasan mereka berbuat seperti itu adalah karena anak-anak sedang dalam niasa sekolah sehingga dirasakan tidak mungkin untuk dipindahkan serta masih adanya perasaan ragu apakah di daerah yang baru nantinya mereka dapat membiayai kebutuhan keluarga jika mempunyai tanggungan yang lebih besar. Pekerjaan rumah tangga yang mereka lakukan adalah antara lain, mengasuh anak, memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengambil air dan mencari kayu bakar.
Di samping mengerjakan pekerjaan tumah tangga, perempuan juga membantu pekerjaan suami di ladang. Sebagai daerah baru tenaga perempuan sangat dihutuhkan untuk membantu pekerjaan di ladang,. Perempuan merupakan tenaga inti selain tenaga suami. Mereka melakukan pekerjaan hampir sama dengan yang dilakukan oleh suami, yaitu ikut membakar pohon yang sudah anti, mencangkul ladang, menanam, menyiang hingga memanen hasil. Pekerjaan di ladang ini dilakukan oleh perempuan setelah mereka menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Bahkan tidak jarang mereka melakukan lebih dari satu pekerjaan sekaligus seperti mengasuh anak sambil bertanam. Keadaan tersebut menunjukan bahwa di daerah transmigrasi perempuan berperan ganda.
Keadaan seperti ini terus berlanjut hingga sekarang. Pada saat penghasilan dari lahan pertanian sudah semakin sedikit maka perempuan mulai mencari strategi lain untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya misalnya .dengan berjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari, membuat kue dan membuat kerupuk. Peranan kaum perempuan dalam perekonomian rumah. tangga terbukti relatif besar. Meskipun dalam rumah tangga perempuan juga menyumbangkan penghasilan mereka tetap dianggap hanya membantu suami dalam mencari nafkah. Demikian pula halnya dengan pengambilan keputusan dalam rumah tangga masih didominasi oleh suami. Dominasi suami atas pengeluaran rumah tangga diperlihatkan dari kaum perempuan yang menyatakan bahwa mereka harus meminta izin terlebih dahulu jika akan mengeluarkan uang dalam jumlah relatif besar. Keadaan ini semakin dikuatkan dengan adanya anggapan bahwa keikutsertaan perempuan atau istri dalam bekerj hanyalah disebabkan oleh situasi pada saat itu yang memungkinkan perempuan untuk bekerja.
Pada saat ini perempuan banyak yang bekerja sebagai buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bernaung di bawah perusahaan PT Tasma Puja. Perempuan masuk dalam pekerjaan ini karena semakin menyempitnya peluang bagi mereka untuk dapat membantu ekonomi rumah tangganya. Sebagai buruh mereka di upah dengan sistem upah harian sebesar Rp 3.500 per hari Pembayaran upah dilalukan dua sebulan, pekerjaan rutin yang dilakukan oleh perempuan adalah sebagai berikut: mereka biasanya meninggalkan rumah pada pukul enam pagi setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan kembali ke rumah pada pukul empat sore. Setelah pulang ke rumah mereka juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mengajar anak. Pendapatan yang relatif tetap dari pekerjaan ini menjadikan perempuan bertahan dengan kondisi yang demikian itu.Bekerja sebagai buruh dapat dilakuukan oleh perempuan sendiri maupun bersama-sama dengan, namun pekerjaan rumah tangga tetap dikerjakan oleh istri.
Melihat kondisi di atas, ternyata peranan perempuan dalam rumah tangga dan dalam membantu suami mencukupi kebutuhan hidup keluarga relatif besar. Begitu pula curahan waktu kerja mereka relatif lebih besar dibandingkan dengan suami mereka. Bahkan, lebih dari itu. kaum perempuan juga harus memainkan peranan yang berhubungan dengan kegiatan social dilingkungan masyarakatnya. Mereka mengikuti kegiatan arisan, pengajian, PKK, posyandu dan kelompok tani serta kesenian.
Kesemuanya ini dilakukan untuk menciptakan rasa kerasan berada di daerah baru karena secara psikologis mereka telah terlepas dan ikatan-ikatan tradisional yang biasanya mengikat mereka, yaitu jauh dari keluarga dan jauh dari sanak famili. Keberhasilan mereka di daerah transmigasi sangat ditentukan dari kesiapan mereka dalam menghadapi kehidupan di daerah baru tersebut. Namun, secara teknis sering kali dalam keberangkatan ke daerah yang baru perempuan belum dipersiapkan secara baik sebagaimana hal itu dilakukan terhadap laki-laki.
Ketidaksiapan perempuan menghadapi situasi dan kondisi di daerah yang baru sering kali menjadi pemicu para transmigran itu untuk kembali ke daerah asalnya setelah mencoba untuk tetap bertahan selama beberapa waktu. Perempuan yang tidak siap akan merasa kecewa dan terasing, sehingga tidak mempunyai harapan untuk dapat terus bertahan. Peluang lain tidak dapat mereka temukan sementara pendapatan keluarga yang diupayakan oleh suami tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Namun, keadaan sebaliknya terjadi pada mereka yang dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungannya akan tetap bertahan. Salah satu pendorong bagi transmigran untuk tetap bertahan adalah karena di daerah yang baru mereka mempunyai tanah sementara di daerah asal hal itu sudah tidak memungkinkan lagi."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masngudin HMS
"Kebudayaan kemiskinan pada rumah tangga nelayan memberikan derajat yang seimbang antara suami dan istri. Namun kebudayaan yang telah mantap pada masyarakat membedakan derajat atau posisi suami dan istri, walaupun istri telah berusaha dengan segala kemampuan untuk kehidupan rumah tangganya. Asumsi inilah yang menjadi dasar dalam studi tentang Kehidupan Istri Nelayan Miskin di Desa Samudera Jaya, Kecamatan Taruma Jaya, Kabupaten Bekasi. Kemiskinan yang terjadi secara turun temurun, masih dirasakan oleh tiap rumah tangga yang menjadi kasus dalam studi ini. Dalam sosialisasi orang tuannya kepada anak-anaknya juga masih dijalankan seraca turun temurun. Sosialisasi dalam hal pekerjaan, masih terlihat Bapaknya mengarahkan anak laki-lakinya untuk tetap menjadi nelayan, dan lbunya mengarahkan anak perempuannya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan bekerja sebagai buruh tani. Kesemua ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Upaya ini dilakukan dengan cara mengerahkan sumber daya tenaga kerja yang ada dalam rumah tangga melalui kegiatan sosial ekonomi. Dad pengerahan tenaga kerja anggota rumah tangga dalam menanggulangi kebutuhan ini, terlihat adanya keseimbangan derajat atau posisi suami dan istri atau laki-laki dan wanita dalam rumah tangga nelayan miskin.
Dalam kebudayaan yang telah mengakar pada masyarakat, antara lain di dalam rumah tangga ada pembagian tugas yang jelas. Pekerjaan mencari nafkah adalah pekerjaan suami, sedangkan pekerjaan istri adalah pekerjaan rumah tangga. Akibat dari pengaruh kebudayaan tersebut, maka pola hubungan antara suami dan istri, berbeda tapi sama nilainya. Dalam pandangan ini ada pemisahan peranan istri dalam pekerjaan rumah tangga dan ada peluang untuk bekerja mencari nafkah diluar rumah tangga. Melalui solidaritas sosial dalam bentuk tolong menolong, saling memberi, atau saling menanggung beban secara bersama adalah merupakan upaya di antara rumah tangga nelayan dalam meningkatkan kesejahteraan mereka, yang dikenal dengan konsep sama rata sama rasa. Keadaan ini memeperlihatkan kehidupan sosial diantara sesama rumah tangga miskin di lokasi penelitian yang berorientasi pada kebutuhan ekonomi. Di lain pihak dalam kehidupan ekonomi istri bekerja mencari nafkah di berbagai lapangan kerja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki akibat pengaruh kemiskinannya.
Walaupun istri nelayan miskin dengan segala kemampuannya telah berusaha tanpa mengenal lelah, namun pengaruh kebudayaan yang telah mantap dalam masyarakat tetap membedakan derajat atau posisi antara suami dan istri. Dengan perbedaan ini pada dasarnya istri kurang menerimanya, yang diinginkannya adalah bukan secara kaku memegang kebudayaan tersebut, tetapi seharusnya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rumah tangganya. Dengan orientasi ini, maka akan terdapat kerjasama yang baik antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga dengan pola hubungan seimbang. Pola hubungan tersebut merupakan potensi yang sangat berarti dalam pengentasan kemiskinan yang di sandangnya."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indrani Dewi A.
"Perkembangan pesat industri Amerika pada akhir abad ke-19 diikuti oleh perkembangan kota-kota industri seperti Chicago, Denver, Kansas City, Omaha (Grant, 1976 84). Selain itu, sarana transportasi juga mengalami kemajuan, sehingga orang-orang Amerika mudah bepergian dengan harga murah dari desa ke kota-kota industri dengan kereta api. Kehidupan kota-kota" industri yang gemerlapan menjadi faktor penarik para wanita desa untuk bekerja baik menjadi buruh pabrik atau penatu atau pramuwisma, walaupuh kondisi kerja dan upah yang tidak memadai.
Wanita-wanita muda ini oleh Mary P. Ryan dalam bukunya Womanhood in America dijuluki "The Breadgiver", karena mereka bekerja mencari nafkah di luar rumah "not only to win their fortunes but to feed their families" (bukan hanya untuk keberuntungan dirinya saja, tetapi untuk memberikan makan keluarganya) (Ryan, 1979 : 119). Kemiskinan telah memaksa wanita-wanita lajang ini untuk mencari nafkah. Walaupun mereka dihargai sebagai penolong oleh keluarganya, masyarakat tidak menghargai mereka bekerja.
Wanita tidak bertugas sebagai pencari nafkah. Hal ini sesuai dengan ideologi pengultusan terhadap nilai-nilai wanita sejati yang mendominasi wanita Amerika pada akhir abad ke 19 (Eisenstein, 1983 : 55).
Menurut ideologi ini, wanita sejati adalah wanita yang saleh, suci, penurut dan domestik. Wanita harus mentaati ajaran agama, menjaga kesucian dirinya, menurut pada ayah, suami atau kakak laki-laki, serta tinggal di rumah. Tugas utama wanita adalah menjadi istri dan ibu rumah tangga. Pencari nafkah adalah kaum pria (ayah, kakak laki-laki atau suami). Sebaliknya, wanita tinggal di rumah dengan kegiatan-kegiatan ; melayani ayah atau suami, membesarkan dan mendidik anak, serta mengajarkan nilai-nilai budaya dan moral kepada para anggota keluarganya.
Keadaan ideal seperti yang diharapkan oleh Kultus Wanita Sejati menjadi idaman bagi wanita kelas bawah. Mereka dapat menjadi wanita kelas menengah melalui pernikahan dengan pria kelas menengah atau atas. Seperti yang dijelaskan oleh Chase bahwa secara tradisional kaum wanita mengalami mobilitas sosial terutama melalui perkawinan (Chase, 1975 : 49)."
Jakarta: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>