Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175895 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sudirman
"Dalam rangka merealisasikan putusan hakim yang mencerminkan proses hukum yang adil, ada tiga komponen penting yang harus dipenuhi yaitu penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal, penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai tersangka/terdakwa/terpidana, dan sidang pengadilan yang bebas dan hakim yang tidak memihak. Ketiga komponen di atas pada hakikatnya telah mampu mengakomodasikan tiga asas penting mengenai peradilan yang baik, yaitu asas kepastian hukum, asas persamaan hukum, dan asas keadilan. Prasyarat demikian dapat menjadi barometer bagi wujud penegakan hukum yang benar, sekaligus sebagai antisipasi dari arbitrary process (proses yang sewenang-wenang atau semata-mata berdasarkan kuasa penegak hukum).
Dalam konteks yang demikian relevan kiranya komponen-komponen proses hukum yang adil diujikan pada putusan MA No. 55 PK/Pid/1996. Hasil penelitian menunjukkan, ada dua persoalan mendasar yang dapat diamati dari putusan PK MA tersebut. Pertama, diterimanya permohonan PK jaksa oleh Majelis PK MA, dan Kedua yaitu penjatuhan hukuman terhadap terdakwa yang telah diputus bebas. Dari perspektif yuridis putusan MA model demikian tidak dapat dibenarkan dan termasuk keliru. Namun, dalam perspektif sosiologis keadaan yang demikian tidak dapat dihindari karena banyak persoalan lain yang ikut berperan. Persoalan manusia yang menjalankan penegakan hukum, teramat khusus hakim sebagai faktor penentu dan intervensi pihak kekuasaan pemerintahan terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsi judisial, ternyata ikut berandil besar bagi wujud suatu putusan.
Dalam kondisi sistem peradilan yang sudah tertata sedemikian, amatlah sulit kiranya menjadikan pengadilan sebagai lembaga yang benar-benar diharapkan mampu mewujudkan tegaknya hukum secara wibawa atas dasar keadilan. Oleh karena itu, amatlah penting kiranya ditunjukkan perilaku patuh dan taat hukum terutama dari pihak pelaksana penegakan hukum yang dibarengi dengan political will pihak kekuasaan pemerintahan negara untuk secara sungguh-sungguh mewujudkan peradilan yang baik. Adalah naif lembaga pengadilan tertinggi sebagai bentengnya keadilan justru memunculkan ketidakadilan. Persoalan demikian amatlah buruk bagi citra lembaga peradilan, sekaligus amat berpengaruh bagi masa depan peradilan pidana yang pada gilirannya akan semakin sulit mewujudkan proses hukum yang adil dan wibawa penegakan hukum di Republik tercinta Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T7632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Kumolosari
"Pemberian hak terhadap terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diatur dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah dijiwai dan dilandasi oleh semangat dan cita-cita untuk melindungi hak-hak terpidana sebagai warga negara dengan tujuan terciptanya proses hukum yang adil. Undang-undang membatasi pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal ini dengan pertimbangan bahwa suatu proses hukum tidak boleh berlangsung tanpa berhingga dan tanpa kepastian. Dalam praktek di pengadilan telah dilakukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap suatu putusan, yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 4/PK/Pid/2000 dan No. 66/PK/Pid/2002. Selain itu, dalam praktek peradilan ternyata ada permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak lain selain terpidana, dan dilakukan bukan hanya terhadap putusan pemidanaan, melainkan juga terhadap putusan Praperadilan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, apa yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali, serta apa yang menjadi legitimasi yuridis bagi Mahkamah Agung dalam melaksanakan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali. Skripsi ini menganalisa kedua putusan Peninjauan Kembali tersebut. Untuk masa yang akan datang ketentuan mengenai Peninjauan Kembali perlu diperjelas lagi sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda yang akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.;Pemberian hak terhadap terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diatur dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah dijiwai dan dilandasi oleh semangat dan cita-cita untuk melindungi hak-hak terpidana sebagai warga negara dengan tujuan terciptanya proses hukum yang adil. Undang-undang membatasi pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal ini dengan pertimbangan bahwa suatu proses hukum tidak boleh berlangsung tanpa berhingga dan tanpa kepastian. Dalam praktek di pengadilan telah dilakukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap suatu putusan, yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 4/PK/Pid/2000 dan No. 66/PK/Pid/2002. Selain itu, dalam praktek peradilan ternyata ada permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak lain selain terpidana, dan dilakukan bukan hanya terhadap putusan pemidanaan, melainkan juga terhadap putusan Praperadilan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, apa yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali, serta apa yang menjadi legitimasi yuridis bagi Mahkamah Agung dalam melaksanakan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali. Skripsi ini menganalisa kedua putusan Peninjauan Kembali tersebut. Untuk masa yang akan datang ketentuan mengenai Peninjauan Kembali perlu diperjelas lagi sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda yang akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yuana Berliyanti
"Kasus Bank Bali merupakan contoh nyata untuk melihat apakah hukum akan selalu ditaklukan oleh kekuasaan. Sejak awal terbongkarnya kasus Bank Bali terungkap fakta-fakta yang mengarah bahwa kasus Bank Bali adalah bukan masalah bisnis dan teknis perbankan semata akan tetapi sangat bernuansa politis. Terdapat indikasi dibalik Perjanjian Cessie yang tidak wajar tersebut ada unsur penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan orang-orang atau politik tertentu. Sekitar tahun 2003, muncul permasalahan baru yang juga mengandung ketidakwajaran didalamnya. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, memerintahkan Bank Permata (bank hasil merger Bank Bali dengan dengan 4 (empat) bank lainnya) untuk segera menyerahkan uang yang ada dalam escrow account sebesar Rp. 546.466.116.369,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah). Alasan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, eksekusi tersebut dilakukan berdasarkan diktum putusan perkara pidana dengan Terdakwa Joko S. Tjandra yang telah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging). Namun, Bank Permata tidak bersedia untuk menyerahkan uang tersebut dengan alasan adanya Surat Keputusan Ketua BPPN No. 4231BPPN/1099 tertanggal 15 Oktober 1999 tentang Pembatalan Perjanjian Pengalihan (Cessie) Tagihan antara PT. Bank Bali, Tbk dengan PT. Era Giat Prima. Kemudian, pada tanggal 8 Maret 2004, Mahkamah Agung Republik Indonesia menjatuhkan putusan dalam perkara perdata antara PT. Era Giat Prima melawan PT. Bank Bali, Tbk dan Bank Indonesia, dimana salah satu diktum putusan tersebut berbunyi: "Menyatakan bahwa dana pada PT. Bank Bali Tbk escrow account No. 0999.045197 atas nama Bank Bali qq PT. Era Giat Prima sebesar Rp. 546.466.116.369 (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah) adalah milik PT. Bank Bali, Tbk (Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat I dalam Konpensi)." Jika saja peradilan di Indonesia memiliki kemampuan untuk melihat persoalan secara terintegrasi maka kasus Bank Bali yang sejak awal memiliki tingkat kompleksitas tinggi tidak akan bertambah rumit oleh karena adanya dualisme putusan hakim menyangkut kepemilikan atas uang yang ada dalam escrow account.

Bank Bali case is one of the real examples to see whether law will always be conquered by power. Since the beginning Bank Bali case was disclosed there were facts which aimed that Bank Bali case was not only business and banking technical problem but it was very political. There was an indication behind the uncommon Cessie Agreement that there was an element of abuse of power for the interest of certain people or politic. Around year 2003, a new problem existed which contained uncommon matter in it. The District Prosecutor Office of South Jakarta, ordered Bank Permata (bank as a result of the merger of Bank Bali with the other 4 banks) to give the money which was in the escrow account in the amount of Rp. 546.466.116.369, - (five hundred forty six billion four hundred sixty six million one hundred sixteen thousand and three hundred sixty nine rupiah). The reason of the District Prosecutor Office of South Jakarta was the execution was done based on the ruling of the criminal case with Joko S. Tjandra as the defendant who was declared free from all legal charges (onslag van rechtverfolging). However, Bank Permata refused to give the said money with the reason that there was a Ruling Letter from the Head of BPPN No. 423/BPPN/1099 dated 15 October 1999 concerning the Cancellation the Cessie Agreement of the Receivables between PT. Bank Bali, Tbk and PT. Era Giat Prima.Further, on 8 March 2004, The Supreme Court of the Republic of Indonesia declared its ruling in the civil case between PT. Era Giat Prima against PT Bank Bali, Tbk and Bank Indonesia, where one of the rulings said that: "to declare the funds in PT. Bank Bali, Tbk escrow account No. 0999.045197 in the name of Bank Bali qq PT. Era Giat Prima in the amount of Rp. 546.466.116.369,- (five hundred forty six billion four hundred sixty six million one hundred sixteen thousand and three hundred sixty nine rupiah) was owned by PT. Bank Bali,Tbk (as Plaintiff in Rekonpensi/Defendant I in Konpensi)". If only the judicature in Indonesia has the capacity to see the case wholly then the case of Bank Bali which since the beginning has the complexity will not be as complicated as there is a dualism of the judge ruling which relate to the ownership of the money in the escrow account.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Manahan
"Kesesatan hakim dalam menggali fakta-fakta hukum seperti yang terjadi pada perkara Sengkon dan Karta, telah menyebabkan hakim menjatuhkan hukuman terhadap orang yang tidak bersalah, hal mana merupakan latar belakang dan filosofi diadakannya lembaga peninjauan kembali. Pada prinsipnya, KUHAP “melarang” untuk menjatuhkan putusan “yang melebihi” putusan yang dimintakan peninjauan kembali, dan hanya “memperkenankan” putusan yang menerapkan ketentuan pidana “yang lebih ringan”. Asas yang dianut KUHAP itu sejalan dengan tujuan lembaga peninjauan kembali, yang bermaksud membuka kesempatan kepada terpidana dalam membela kepentingannya, untuk terlepas dari ketidak-benaran penegakan hukum. Meskipun demikian, Mahkamah Agung telah “melegalkan” jaksa penuntut umum untuk “merampas” hak terpidana itu, yakni dikabulkannya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh “jaksa penuntut umum” dan pula terhadap “putusan bebas”, lebih lagi dijatuhkannya putusan yang “tidak diperbolehkan”, sehingga peluang dan sarana upaya hukum yang diberikan undang-undang dan “hanya” kepada terpidana itu, berbalik “menjadi bumerang” dan “merugikan” terpidana sendiri. Demikian juga dalam memutus perkara peninjauan kembali, Mahkamah Agung “hanya” berdasarkan dokumen perkara yang berupa permintaan peninjauan kembali, berkas perkara semula, serta berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat hakim pengadilan negeri, “tanpa” terlebih dahulu melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap saksi sebagai novum, hal mana “penilaian” atas pembuktian “petunjuk” yang bersumber dari alat bukti keterangan saksi sebagai novum tersebut “bukan” sebagaimana ditentukan Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Karenanya, terhadap putusan Mahkamah Agung yang dianggap sebagai penemuan hukum dan dijadikan sebagai yurisprudensi itu, mesti direnungkan kembali dengan pengkajian secara mendalam.

Misjudge in law facts upholding of the courtroom verdict such as Sengkon and Karta law,had arisen a wrong verdict to innocent persons,that caused a philosophical ratio of a lawful review team. As a principle, KUHAP (Court of lawful Judicial Procedure)is “against” “overrule” of plea bargaining (Law Review) and it only “admits” a verdict which applies for “light penalty”.The basic right which is adhered in KUHAP must be in accordance with the lawful review team, that aims to give opportunity to the convicts to defend their favour, to be free from the unjustice of the law upholding.On the other hand,the Supreme Court has legalized General Prosecutors to “seize” the convicted rights,allows the plea of law review wich is issued by general prosecutors and also for “unguilty verdict”, and pass the verdict to the “unprecise moment” of the law, so the opportunities and facilities of the convicts for the personal law enforcement which denotes to defend under the bylaw and toward the convicts “alone”,but reverse toward the “disarmity” and “the loss of the convict rights”.And also in passing the verdict in the law review or plea bargaining, the Supreme Court in passing the verdict is “only” based on criminal case documents, previous case files, investigation imposing agenda and civil courtroom judgement record,”without” cross-examination in ahead of eyewitnesses as novum,but the true “assessment” is based on “the guide” of witness statement which testify the approved evidence case as a novum, “not” stipulated by KUHAP Chapter 188 verses (2), and (3).Thus, toward the Supreme Court Verdiction which is prejudice as law finding and as criminal jurisprudence should be re-discussed deeply."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21992
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Satjipto Rahardjo
Bandung: Sinar Baru, 1983
340.115 SAT m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Erven Langgeng Kaseh
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22169
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1991
S21882
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ristu Darmawan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang peninjauan kembali yang diajukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum, meskipun ketentuan pasal 263 ayat (1)
KUHAP menyatakan bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat
mengajukan peninjauan kembali. Peninjauan kembali dilakukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum sebagai terobosan hukum dalam upaya memperoleh
keadilan dan kebenaran karena ada keadaan baru (novum), ataupun adanya
kekeliruan atau kekhilafan hakim dan atau adanya putusan yang saling
bertentangan satu dengan yang lainnya. Jaksa Agung/Penuntut Umum tidak
menggunakan kasasi demi kepentingan hukum yang merupakan haknya dan lebih
memilih mengajukan peninjauan kembali. Ini menimbulkan beberapa implikasi
hukum karena bertentangan dengan prinsip-prinsip yang melekat pada peninjauan
kembali sebagaimana diatur dalam KUHAP, yaitu : pidana yang dijatuhkan dalam
putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan
dalam putusan semula (vide Pasal 266 ayat (3) KUHAP); dan permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja (vide
Pasal 268 ayat (3) KUHAP). Penelitian menggunakan penelitian hukum normatif
yang pengumpulan datanya dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara
dengan beberapa narasumber, yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa Jaksa/Penuntut Umum mengajukan
peninjauan kembali dengan dasar hukum ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP,
ketentuan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 dan ketentuan
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009. Jaksa Agung cq
Jaksa/Penuntut Umum tidak menggunakan hak kasasi demi kepentingan hukum
dan lebih memilih menggunakan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau
lepas dari tuntutan hukum dikarenakan ketentuan Pasal 259 ayat (2) KUHAP dan
ketentuan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009. Meskipun
menimbulkan Implikasi hukum, peninjauan kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum
diterima oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi yang dapat
menciptakan ketentuan baru melalui penafsiran terhadap peraturan yang ada dan
benar-benar memenuhi rasa keadilan untuk kepastian hukum.

Abstract
This thesis discusses the reconsideration filed by the Prosecutor / Public
Prosecutor to the Supreme Court against a Judgement of Acquittal or the dismissal
of charges, despite the provisions of Article 263 paragraph (1) Criminal Procedure
Code states that only the convicted person or his heirs can submit a
reconsideration. A request for reconsideration by the Prosecutor/Public Prosecutor
of law as a breakthrough in efforts to obtain justice and truth because of having
the new circumstances (novum), or a mistake or an oversight or a decision of the
judge and opposing one another. Attorney General/Prosecutor did not use
cassation in the interest of law and prefer to submit a reconsideration, this raises
some legal implications as opposed to the principles inherent in reconsideration
provided for in the Criminal Procedure Code, namely: that crime dropped in
reconsideration decision shall not exceed the penalty that has been imposed in the
original decision (refer to Article 266 paragraph (3) Criminal Code); and request
reconsideration of a decision can only be done once only (vide Article 268
paragraph (3) Criminal Code). Research using normative data collection through
library research and interviews with several sources, which are then analyzed
qualitatively. The results of this study concluded that the Prosecutor / Public
Prosecutor submit a reconsideration on the legal basis of Article 263 paragraph (3)
Criminal Procedure Code, the provisions of Article 68 paragraph (1) of Law
Number 3 of 2009 and the provisions of Article 24 paragraph (1) of Law Number
48 in 2009. Attorney General/Prosecutor did not use cassation in the interest of
law and prefer to submit a reconsideration against a Judgement of Acquittal or the
dismissal of charges because the provisions of Article 259 paragraph (2) Criminal
Procedure Code and the provisions of Article 45 paragraph (3) Undang Nomor 3
tahun 2009. Although it raises the legal implications, the reconsideration by the
Prosecutor/Public Prosecutor accepted by the Supreme Court as the supreme court
to create new provisions through the interpretation of existing regulations and
completely satisfy the justice for legal certainty."
2012
T 30375
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>