Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207713 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tawalinuddin Haris
"Berdasarkan catatan sejarah, hubungan dagang antara Cina dengan Jawa telah berlangsung cukup lama, yaitu sejak abad ke 5 Masehi. Hubungan tersebut ditopang pula oleh jalur-jalur pelayaran yang telah dikenali oleh orang orang Cina untuk sampai dan singgah di kepulauan Nusantara. Peningkatan aktivitas di bidang perdagangan dan pelayaran di daerah kepulauan Nusantara, mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya tempat atau pos-pos pedagang Cina yang kemudian menjadi pemukiman-pemukiman khusus orang Cina (pecinan) di sejumlah daerah di kepulauan Nusantara. Akibat lebih lanjut, sudah tentu terjadi interaksi sosial budaya antara orang (pedagang) Cina dengan orang setempat (pribumi). Latar belakang tersebut, yang mendorong penelitian ini dilakukan dengan fokus masalah pada pengaruh budaya Cina pada daerah pesisir utara Jawa dan Madura Tujuan yang dikehendaki adalah terungkapnya dan teridentifikasinya pengaruh budaya Cina serta latar sejarah keberadaan unsur-unsur budaya Cina tersebut. Upaya mengungkapkan budaya Cina tersebut dilakukan melalui kajian arkeologis historis dengan sasaran penelitian pada aspek tinggalan arkeologisnya yang terdapat pada daerah yang diteliti yaitu Cirebon, Semarang, Gresik dan Madura. Hasilnya menunjukan bahwa orang-orang Cina total dijumpai keberadaannya di seluruh Jawa dan Madura sejak masa lampau. Mereka bermukim di kota-kota pelabuhan di daerah pesisir atau muara muara sungai besar yang menjadi pusat perdagangan dan sarana transportasi yang menghubungkan daerah pantai dengan pedalaman. Pilihan lokasi atau tempat tinggal orang Cina di suatu kota, mungkin tampaknya berkaitan dengan kegiatan usaha di sektor perdagangan. Keberadaan orang Cina di daerah pesisir ditandai pula dengan hadirnya pemukiman Cina (Pecinan). Pengaruh budaya Cina tampak kentara dijumpai pada sejumlah tinggalan arkeologis yang ditemui di daerah yang menjadi lokasi penelitian."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1999
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Tawalinuddin Haris
"Berdasarkan catatan sejarah, hubungan dagang antara Cina dengan Jawa telah berlangsung cukup lama, yaitu sejak abad ke 5 Masehi. Hubungan tersebut ditopang pula oleh jalur-jalur pelayaran yang telah dikenali oleh orang-orang Cina untuk sampai dan singgah di kepulauan Nusantara Peningkatan aktivitas di bidang perdagangan dan pelayaran di daerah kepulauan Nusantara, mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya tempat atau pos-pos pedagang Cina yang kemudian menjadi pemukiman-pemukiman khusus orang Gina (pecinan) di sejumlah daerah di kepulauan Nusantara Akibat lebih lanjut, sudah tentu terjadi interaksi sosial budaya antara orang (pedagang) Cina dengan orang setempat (pribumi). Latar belakang tersebut, yang mendorong penelitian ini dilakukan dengan fokus masalah pada pengaruh budaya Cina pada daerah pesisir utara Jawa dan Madura Tujuan yang dikehendaki adalah terungkapnya dan teridentifikasinya pengaruh budaya Cina serta latar sejarah keberadaan unsur-unsur budaya Cina tersebut.
Upaya mengungkapkan budaya Cina tersebut dilakukan melalui kajian arkeologis historis dengan sasaran penelitian pada aspek tinggalan arkeologisnya yang terdapat pada daerah yang diteliti yaitu Cirebon, Semarang, Gresik dan Madura.
Hasilnya menunjukan bahwa orang-orang Cina total' dijumpai keberadaannya diseluruh Jawa dan Madura sejak masa lampau. Mereka bermukim di kota-kota pelabuhan di daerah pesisir atau muara-muara sungai besar yang menjadi pasat perdagangan dan sarana transportasi yang menghubungkan daerah pantai dengan pedalaman. Pilihan lokasi atau tempat tinggal orang Cina di suatu kota, mungkin tampaknya berkaitan dengan kegiatan usaha di sektor perdagangan. Keberadaan orang Cilia di daerah pesisir ditandai pula dengan hadirnya pemukiman Cina (Pecinan). Pengaruh budaya Cina tampak kentara dijumpai pada sejumlah tinggalan arkeologis yang ditemui di daerah yang menjadi lokasi penelitian.
(Dana Rutin DIK. MAKI No.5.2501tahun 1998/1999/LPUI,...57 hal, foto,peta)"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
LP 1999 127
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rustopo
2006
D1674
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gondomono
Jakarta: UI-Press, 1997
PGB 0467
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Kharisma Putri
"Kelenteng Tjoe Hwie Kiong merupakan bangunan bersejarah yang didirikan sejak tahun 1817 di Pecinan Pakelan di Kota Kediri, Provinsi Jawa Timur. Kehadiran kelenteng ini memberikan dampak positif pada masyarakat di sekitarnya sekaligus menyimpan banyak potensi untuk menjadi destinasi pariwisata budaya di Kota Kediri. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi Kelenteng Tjoe Hwie Kiong kepada masyarakat luas terutama tentang potensinya sebagai destinasi pariwisata budaya. Kemudian dampak apa yang ditimbulkan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong terhadap Pecinan Pakelan dan Kota Kediri.

Kelenteng Tjoe Hwie Kiong is a historical building established since 1817 in Chinatown Pakelan in Kediri City, East Java Province. The presence of this temple has a positive impact on the surrounding community as well as holds a lot of potential to become a cultural tourism destination in Kediri City. This research aims to provide an overview of the condition of the Tjoe Hwie Kiong Temple to the wider community, especially about its potential as a cultural tourism destination. Then what impact does Tjoe Hwie Kiong Temple have on Pakelan Chinatown and Kediri City."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Aura Nuryasmin
"Perilisan film Mulan (2020) telah memicu perdebatan berkelanjutan mengenai bagaimana film live-action tersebut kurang merepresentasikan kebudayaan Cina meskipun telah menyatakan niatnya untuk memberikan penggambaran yang akurat demi memuaskan penonton-penonton di Tiongkok. Tulisan ini mengkaji karakter, cerita, dan bahasa visual dalam film Mulan (2020) sehingga menghasilkan sebuah kajian tekstual yang komprehensif dengan berfokus pada Konfusianisme sebagai latar budaya dari film tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana identitas gender dan konsep kehormatan menurut kebudayaan Cina direkonstruksi agar selaras dengan ajaran Konfusianisme yang autentik. Penelitian dilakukan melalui pendekatan teoretis Feminisme Konfusius menggunakan konsep Jen dan teori yin-yang. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa konsep kehormatan bertransformasi menjadi sejalan dengan karakteristik kepribadian seorang Jen, sebuah konsep jati diri dalam Konfusianisme yang didasarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan. Identitas gender Mulan menyimbolkan maskulinitas dan feminitas yang selaras dengan konsep murni dari yin-yang, yang menitikberatkan pada harmoni dibandingkan ketidaksetaraan gender. Oleh karena itu, film ini berhasil merekonstruksi pemikiran Konfusianisme yang mengembalikan aspek fundamentalnya sebagai filosofi yang mendukung ideologi feminisme.

The release of Mulan (2020) has incited an undergoing debate that the live-action movie still lacks Chinese cultural representation despite its original intention to show accurate depiction to please Chinese audiences. This paper examines the characters, the story, and the visual language in the movie Mulan (2020) resulting in a comprehensive textual analysis that focuses on Confucianism as the cultural setting of the movie. It aims to explore how gender identity and the notion of honor according to Chinese culture are reconstructed to align with the authentic Confucianism teachings. The research is conducted through Confucian Feminism theoretical approach with the concept of Jen and yin-yang to frame the findings. This research finds that the notion of honor is changed in a way that is still in line with what it means to be a person of Jen, a concept of self in Confucianism that fundamentally emphasizes humanness. Mulan’s gender identity that embodies masculinity and femininity fits the original yin-yang concept, which offers harmony rather than gender inequality. Therefore, it can be concluded that this movie redefines Confucianism to its original ideal as a philosophy that encourages feminist ideology."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan Usman
"Setiap seniman memiliki caranya sendiri dalam mengekspresikan dirinya melalui karya seni-karya seni yang mereka hasilkan. Hal ini penting karena sebagai manusia kita harus mengetahui bagaimana cara kita mengekspresikan identitas diri kita agar dapat lebih mudah dikenal dan diingat. Jay Chou dalam perjalanan kariernya berhasil membentuk identitas dan jati diri yang khas untuk dirinya dan industri musik Mandopop. Menggunakan genre Zhongguo Feng Jay Chou berhasil mengekspresikan identitasnya sebagai seniman asal Taiwan dan Cina, dan menuai kesuksesan dalam industri musik Internasional. Penelitian ini melihat bagaimana Jay Chou berhasil mempermainkan konsep identitas ini dengan memasukkan unsur budaya Cina ke dalam lagu dan video klipnya. Dalam pemilihan unsur budaya Cina, Jay Chou memiliki pesan tersirat yang menguak jati dirinya, juga budaya Cina seperti apa yang menjadi identitas bagi dirinya sebagai seniman dan juga sebagai orang Taiwan.

Every artist has their own way of expressing themselves through the works of art they produce. This is important because as humans we must know how we express our identity so that it can be more easily recognized and remembered. Jay Chou in his career has succeeded in forming a unique identity and identity for himself and the Mandopop music industry. Using the Zhongguo genre Feng Jay Chou managed to express his identity as an artist from Taiwan and China, and reap success in the international music industry. This study looks at how Jay Chou has succeeded in toying with the concept of identity by incorporating elements of Chinese culture into his songs and video clips. In choosing elements of Chinese culture, Jay Chou has an implied message that reveals his identity, as well as what kind of Chinese culture is his identity as an artist and also as a Taiwanese"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan Usman
"Setiap seniman memiliki caranya sendiri dalam mengekspresikan dirinya melalui karya seni-karya seni yang mereka hasilkan. Hal ini penting karena sebagai manusia kita harus mengetahui bagaimana cara kita mengekspresikan identitas diri kita agar dapat lebih mudah dikenal dan diingat. Jay Chou dalam perjalanan kariernya berhasil membentuk identitas dan jati diri yang khas untuk dirinya dan industri musik Mandopop. Menggunakan genre Zhongguo Feng Jay Chou berhasil mengekspresikan identitasnya sebagai seniman asal Taiwan dan Cina, dan menuai kesuksesan dalam industri musik Internasional. Penelitian ini melihat bagaimana Jay Chou berhasil mempermainkan konsep identitas ini dengan memasukkan unsur budaya Cina ke dalam lagu dan video klipnya. Dalam pemilihan unsur budaya Cina, Jay Chou memiliki pesan tersirat yang menguak jati dirinya, juga budaya Cina seperti apa yang menjadi identitas bagi dirinya sebagai seniman dan juga sebagai orang Taiwan.

Every artist has their own way of expressing themselves through the works of art they produce. This is important because as humans we must know how we express our identity so that it can be more easily recognized and remembered. Jay Chou in his career has succeeded in forming a unique identity and identity for himself and the Mandopop music industry. Using the Zhongguo genre Feng Jay Chou managed to express his identity as an artist from Taiwan and China, and reap success in the international music industry. This study looks at how Jay Chou has succeeded in toying with the concept of identity by incorporating elements of Chinese culture into his songs and video clips. In choosing elements of Chinese culture, Jay Chou has an implied message that reveals his identity, as well as what kind of Chinese culture is his identity as an artist and also as a Taiwanese"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Aurelia Heryanto
"Film The Myth karya Stanley Tong adalah film bergenre fantasi-romansa yang rilis pada tahun 2005 dengan menggunakan tiga latar negara, yakni Tiongkok, Korea, dan India. Tiongkok merepresentasikan elemen budaya berupa ajaran Konfusianisme tentang Jun Zi; ajaran Buddhisme tentang reinkarnasi; dan peradaban Tiongkok melalui bangunan dan monumen. Film ini juga didukung dengan munculnya unsur romantisme dan komedi melalui penggambaran Korea pada era Dinasti Gojoseon dan Kota Hampi di India. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan signifikansi perpaduan elemen budaya Tiongkok dengan elemen non-Tiongkok serta kaitannya dengan makna Film The Myth. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analisis. Penelitian ini menemukan bahwa perpaduan elemen budaya Tiongkok dengan elemen non-Tiongkok merupakan strategi naratif dan visual yang memperlihatkan jembatan budaya pada suatu peradaban. Melalui analisis cuplikan dan dialog dalam film, penelitian ini menemukan perpaduan elemen-elemen budaya tersebut menjadi faktor kesuksesan film ini di layar bioskop baik tingkat lokal maupun internasional.

The Myth film directed by Stanley Tong is a fantasy-romance film released in 2005, featuring the cultural connection between three countries as its setting: China, Korea, and India. China setting embodies the cultural elements specifically in Confusian value through the concept of Jun Zi; Buddhism as in reincarnation concept; Lastly, China early civilization by historical buildings and monuments. This film also supported by elements of romantism and comedy through potrayal of Korea in Gojoseon Dynasty era and India specifically in Hampi City. This study aims to highlight the significance of blending Chinese cultural elements with other nations, Korea and India also their relevance in shaping the meaning of The Myth. The research method in this study is descriptive analysis. The study finds that the mix of Chinese and non-Chinese cultural elements is a narrative and visual strategy that serves as a cultural bridge within the history as a whole. Through the analysis of scenes and dialogues, this study finds that the connection of cultural elements is a key factor in the film’s success in cinemas, both locally and internationally.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lalitya Nada Tamaranny
"Sejak kurang lebih 3000 tahun yang lalu, muncul sebuah budaya pernikahan unik di Cina, yaitu pernikahan roh atau yang dikenal dengan sebutan Ming Hun (冥婚). Pada awalnya budaya ini memiliki makna dan esensi yang baik, yaitu harapan agar orang yang meninggal sebelum menikah bisa memiliki pasangan sehingga rohnya tenang di alam sana. Namun, di zaman modern seperti sekarang, karena pemikiran masyarakat yang sudah modern sehingga sudah tidak banyak yang mempercayai budaya Ming Hun. Pada akhirnya, budaya tersebut mengalami pergeseran makna dan komodifikasi, karena bagi beberapa masyarakat yang masih mempercayai dan menjalankan budaya tersebut kesulitan untuk mendapatkan jenazah baru yang akhirnya dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang melakukan praktik jual-beli jenazah hingga timbul kriminalitas pencurian jenazah di Cina. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pemaparan deskriptif secara menyeluruh melalui tulisan terdahulu dan berita untuk mengetahui pergeseran makna serta komodifikasi budaya Ming Hun di Cina pada zaman modern.

Since approximately 3000 years ago, a unique marriage culture emerged in China, namely spirit marriage or known as Ming Hun (冥婚). At first this culture had a good meaning and essence, namely the hope that people who died before married could have a partner so that their spirit was calm in the spirit world. However, in modern times like nowadays, due to modern people's thinking, not many people believe in Ming Hun culture. In the end, the culture experienced a shift in meaning and commodification, because for some people who still believe in and practice this culture, it is difficult to get new bodies which are eventually used by people who carry out the practice of buying and selling corpses so that the crime of theft of bodies in China arises. This study uses a qualitative method with comprehensive descriptive exposure through previous writings and news to find out the shift in meaning and commodification of Ming Hun culture in China in modern times."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>