Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128610 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vitto Rafael Tahar
"Tesis ini berupaya mengkaji salah satu aspek dalam pelaksanaan politik luar negeri Cina yaitu dalam hubungannya dengan tetangga terdekatnya yaitu Jepang. Selama berabad-abad kedua negara telah menjalin hubungan baik. Tetapi di awal abad 20 Jepang melakukan invasi ke Cina pada tahun 1937 hingga akhir Perang Dunia II. Peristiwa invasi ini telah menimbulkan korban jiwa dipihak Cina mencapai 21 juta jiwa. Akibatnya Cina terlihat memendam trauma terhadap Jepang, sehingga selalu menimbulkan kecurigaan di pihak Cina terhadap semua tindakan Jepang yang dianggapnya sebagai indikasi bangkitnya militerisme Jepang, sehingga menimbulkan semacam sensitivitas yang mempengaruhi impelementasi poltik luar negerinya dengan Jepang.
Faktor inilah yang kerap muncul sejak normalisasi hubungan kedua negara tahun 1972 yang ditunjukkan lewat berbagai insiden. Namun di sisi lain Cina juga selalu berupaya untuk tidak terlalu merusak hubungannya dengan Jepang. Sikap ini ditunjukkan dengan perilaku yang terkesan kooperatif dalam beberapa kasus yang relevan dengan faktor sensitivitas sejarah tersebut. Sehingga timbul permasalahan apakah memang benar faktor sensitivitas sejarah ini memiliki pengaruh pada perilaku politik luar negeri Cina terhadap Jepang.
Dalam pembahasan ini digunakan kerangka pemikiran dari Whiting yang menekankan pentingnya persepsi bangsa Cina terhadap Jepang yang dibentuk oleh pengalaman sejarah. Selain itu juga digunakan kerangka pemikiran dari Thomas W. Robinson dan Carol Lee Hamrin yang intinya menyatakan adanya keterkaitan faktor eksternal dan domestik Cina yang menyebabkan perilaku yang dualistis tersebut.
Dalam pembahasan kemudian ternyata memang terbukti bahwa faktor Sensitivitas ini memang berpengaruh bagi Cina dalam perilaku politik luar negerinya terhadap Jepang. Sikap sensitif ini sebenarnya berakar dari sikap mental dan budaya Cina yang memang sangat mementingkan masa lalu dalam menghadapi persoalan masa kini. Tapi disisi lain karena adanya faktor prioritas domestik yaitu pembangunan ekonomi dan peristiwa Tiananmen, membuat Cina berkepentingan menjaga hubungannya dengan Jepang agar tidak sampai menjadi konflik terbuka. Hal ini karena Cina memerlukan suatu lingkungan internasional yang kondusif dan juga aliran dana serta teknologi dalam rangka mendukung program modernisasi Cina. Selain itu perubahan kondisi birokrasi Cina yang semakin plural telah menyebabkan semua kebijakan memerlukan proses konsultasi dan koordinasi yang kompleks. Hal inilah yang menjelaskan Sikap Cina yang kooperatif tersebut. Walaupun begitu pada dasarnya politik luar negeri Cina memang selalu akan dipengaruhi oleh faktor sensitivitas tersebut, sehingga dengan sendirinya berpengaruh pada hubungan kedua negara di masa depan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutuhatunewa, Spica Alphanya
"Dalam kurun waktu 1998-1999 Australia menunjukkan perubahan sikap politik (terlihat dalam pelaksanaan politik luar negeri dan sikap aktor/elit politiknya) yang cukup drastis ke sisi negatif kepada Indonesia terkait dengan masalah Timor Timur sampai membuat hubungan kedua negara turun pada titik yang terendah untuk masa lebih dari sepuluh tahun terakhir. Perubahan dalam politik luar negeri Australia yang awalnya sangat bersahabat, dapat dikatakan dimulai ketika terjadi pergeseran dalam kebijakan luar negeri Australia yang lebih memprioritaskan hubungan dengan Amerika Serikat daripada negara-negara tetangganya di Asia termasuk Indonesia, seperti yang terlihat dari Buku Putih Kebijakan Luar Negeri dan Perdagangan Australia tahun 1997.
Ketika isu hak asasi manusia (HAM) mulai menjadi topik utama hubungan internasional bahkan pandangan integratif yaitu pandangan yang menyetujui keterkaitan HAM dengan berbagai bidang lainnya lebih mendominasi dunia, dibandingkan dengan pandangan fragmentatif, publik Australia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang demokratis juga makin meningkat kepeduliannya terhadap isu HAM. Dengan letak geografis yang sangat berdekatan, Indonesia dan Timor Timur kemudian menjadi sorotan bagi kampanye HAM Australia.
Perubahan kebijakan luar negeri Australia sebagai suatu entitas terhadap Indonesia dapat dilihat dari perubahan politik luar negeri Australia baik dari kebijakannya (policy) sendiri maupun pernyataan politik aktor-aktornya. Aktor/elit politik yang paling menentukan adalah Perdana Menteri Australia. Secara pribadi, Perdana Menteri Australia John Howard mempunyai kepentingan untuk mengakomodir tuntutan domestik yang diwarnai isu HAM ini terkait dengan ambisinya menjadikan Australia sebagai deputi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Alasan pribadi lainnya adalah untuk menaikkan popularitasnya agar dalam referendum Republik Australia (dilaksanakan tanggal 6 November 1999), pandangannya yang monarkis dapat lebih diperhatikan publik dan Australia tetap menjadi bagian dari Kerajaan Inggris."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Indradjaja
"Adanya pendapat yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tidak berperan dalam proses pembuatan politik luar negeri, menjadi latar belakang dipilihnya topik ini. Pertanyaannya adalah apakah benar bahwa DPR RI tidak ada peran ? Kalau benar, mengapa demikian ? Kalau ada, bagaimana peran DPR RI tersebut ? Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu merupakan hal-hal yang dikaji dalam tesis ini.
Sesuai dengan definisi politik luar negeri, yaitu tindakan-tindakan suata negara terhadap lingkungan luar dan kondisi-kondisi yang melingkupi pembuatan tindakan tersebut, make dipilihlah 2 (dua) kasus. Kasus itu adalah Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia Republik Rakyat Cina dan kasus Penyelesaian Masalah Timor Timur di For a Intemasional Pasca Peristiwa Dili 1991.
Untuk memahami peran DPR RI tersebut, maka digunakan beberapa kerangka pemikiran. Partama, adalah tentang model hubungan legislatif dan eksekutif dalam suatu sistem politik dalam kaitan dengan pembuatan politik luar negeri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kenneth N, Waltz. Kedua, adalah konsep-konsep tentang fungsi dan hak-hak lembaga legislatif secara umum dan DPR RI secara khusus.
Hasil temuan tesis ini menunjukkan bahwa politik luar negeri (kasus Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia Republik Rakyat Cina dan kasus Penyelesaian Masalah Timor Timur di For a Internasional Pasca Peristiwa Dili 1991) sebagai output bukanlah berbentuk peraturan setingkat Undang-Undang (W). Konsekuensi logisnya adalah fungsi pembuatan W yang dimiliki DPR RI tidak digunakan. Yang digunakan oleh DPR RI adalah fungsi kontrol saja. Fungsi kontrol inipun digunakan secara terbatas oleh DPR RI, yang ditunjukkan oleh digunakannya wewenang bertanya di dalam Komisi saja. Selain itu penggunaan fungsi kontrol ditunjukkan juga oleh adanya berbagai masukan dan saran yang diberikan Komisi I DPR RI kepada Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.
Tesis ini juga menemukan kenyataan bahwa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia adalah pelaksana politik luar negeri Indonesia). Demikian halnya dalam kasus Penyelesaian Masalah Timor Timm- pasca Peristiwa Dili 1991. Kebijakan Penyelesaian Masalah Timor Timur tersebut tidak pernah dibahas oleh pemerintah secara serius di dalam rapat-rapat dengan DPR RI (Komisi I). Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa Presiden Republik Indonesia (Jenderal purnawirawan Suharto) adalah tokoh yang menentukan dan mendominasi pembuatan politik luar negeri Indonesia (dua kasus) tersebut. Salah satu sebab dominannya Presiden RI tersebut karena pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 belum dijelaskan dalam peraturan perundangan yang lebih operasional. Ketiadaan perturan perundangan yang lebih opersional tersebut menyebabkan kedudukan DPR dalam pembuatan politik luar negeri RI menjadi tidak terlalu jelas. Akibatnya DPR RI tidak berdaya, ketika lembaga tersebut diabai.kan oleh eksekutif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gunawan
"Dalam tesis ini, penulis bermaksud menjelaskan "Kebijakan Luar Negeri Jepang terhadap Asia Tenggara pada Era Fukuda (1976-1978)". Tema ini amat menarik penulis mengingat kebijakan luar negeri terhadap Asia Tenggara yang diformulasikan oleh Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda beserta para pembantunya merupakan dasar hubungan antara Jepang dengan ASEAN sebagai organisasi regional. Di samping itu, penulisan ilmiah mengenai proses pembuatan kebijakan luar negeri Jepang terhadap Asia Tenggara dengan menggunakan analisa kognitif terhadap aktor-aktor birokrasi maupun politisi amat jarang ditemukan. Sebagian besar studi mengenai kebijakan luar negeri Jepang lebih menekankan pada aspek implikasi kebijakan maupun strategi negosiasi.
Dengan menggunakan kerangka pemikiran Allison mengenai pendekatan bureaucratic politics, tipologi hubungan antara politisi dan birokrat dari Yasunori Sone dan kerangka teori Coplin mengenai bureaucratic influencer pada proses pengambilan keputusan, penulis mencoba menguraikan proses pembuatan kebijakan luar negeri Jepang terhadap Asia Tenggara. Ditunjang oleh teori kognitif Harold dan Margareth Sprout, Steinbruner serta Goldman mengenai, ideo-sinkretik, penulis menganalisis karakter individual para aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan luar negeri Jepang tersebut.
Tesis ini merupakan penelaahan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Data penelitian diperoleh melalui pengumpulan data kepustakaan serta data yang berasal dari otobiografi dan dokumen resmi pemerintah Jepang.
Hasil penelitian terhadap proses pembuatan kebijakan era Fukuda menunjukkan bahwa keberhasilan formulasi kebijakan dimaksud dipengaruhi oleh hubungan yang erat antara para birokrat dari Kementrian Luar Negeri Jepang (Gaimusho) dengan para politisi, khususnya Perdana Menteri Takeo Fukuda. Dapat dikatakan bahwa pola pembuatan kebijakan politik luar negeri Jepang bersifat elitis yang merupakan hasil kerjasama antara politisi dan birokrasi. Salah satu manfaat yang dapat dipetik dengan membaca tesis ini adalah proses rekrutmen birokrasi maupun politisi yang baik pada sistem birokrasi dan sistem politik dapat menghasilkan birokrat dan politisi yang profesional dan berkualitas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1964
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Fitriyanti
"Tesis ini membahas politik luar negeri Amerika Serikat yang mengkaji use of force AS terhadap Afghanistan dalam upaya self-defense akibat serangan teroris 1 I September 2001, Analisisnya dilakukan berdasarkan Piagani PBB dan Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001) yang dikaitkan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Unit analisa yang digunakan dalam tesis ini adalah negara (state) yang merupakan bagian dari perspektif Realis. Penulis tertarik pada persoalan serangan udara AS terhadap Afghanistan yang dilakukannya secara sepihak tanpa persetujuan dan perintah dari PBB sehingga AS dapat dikatakan melanggar Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001).
Kerangka berpikir dalam tesis ini berupa kerangka konseptual. Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep politik luar negeri, use of .force, self-defense, terorisme, serta pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa AS berupaya memperluas ruang lingkup perang terhadap terorisme yang tidak hanya ditujukan terhadap Afghanistan saja. Tujuan AS yang sebenarnya adalah mengubah bentuk pemerintahan suatu negara yang dianggapnya dapat membahayakan eksistensi AS sebagai kekuatan tunggal dalam sistem internasional serta yang dapat menghalangi kepentingan nasionalnya. Hal ini dilakukan AS melalui politik Inn negerinya yang semakin agresif, cenderung unilateral, dan bersifat impulsit
Use of.force AS terhadap Afghanistan hanyalah merupakan salah satu bagian dari strategi AS dalam rangka menegakkan demokrasi, pasar bebas, perdagangan bebas, dan sebagainya guna menginfiltrasi urusan dalam negeri anggota PBB yang dilakukan dengan memanfaatkan momentum 11 September.
Oleh karena itu, tujuan politik luar negeri AS melalui operasi militernya terhadap Afghanistan harus dapat dibedakan dengan jelas. Serangan yang dilakukan AS itu benarbenar bertujuan memerangi terorisme internasional ataukah untuk menggulingkan pemerintahan Taliban demi kepentingan nasional AS yang sebenarnya sama sekali tidak berkaitan dengan Tragedi 11 September 2001 .
Dalam hal ini, politik luar negeri AS cenderung memanfaatkan islilah self defense guna membenarkan use of ,force yang dilakukannya demi mengejar kepentingan nasionalnya terhadap suatu negara meskipun negara yang diserangnya tidak mengancam AS.
Kesimpulan ini berkaitan dengan fakta yang ada dalam kasus use of force AS terhadap Afghanistan. Walaupun dalam kenyataannya 14 dari 19 pelaku serangan 11 September yang tertangkap adalah warga negara Arab Saudi, AS justru menyerang Afghanistan. Padahal, teroris adalah nonstate actor sedangkan Afghanistan merupakan state actor.
Berdasarkan Piagam PBB, upaya self-defense hanya ditujukan terhadap aktor negara, yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya. Sehingga, upaya self-defense AS sebagai respon atas serangan 11 September yang menimpanya seharusnya ditujukan terhadap Arab Saudi karena mayoritas pelaku yang berhasil ditangkap merupakan warga berkebangsaan Arab Saudi. Selain itu, dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1368 dan 1373 (2001) sama sekali tidak menyebutkan tentang Afghanistan, Taliban, maupun Al-Qaidah.
Tak ada satupun ketentuan dalam hukum internasional yang membenarkan serangan udara AS terhadap Afghanistan sehingga landasan hukum atas use of force AS terhadap Afghanistan sangat "kabur". Memang, meskipun penggunaan kekerasan oleh suatu negara terhadap negara lainnya sudah dilarang secara resntil oleh hukum internasional dan Piagam PBB, namun ada dua pengecualian scbagaimana yang terdapat dalam Pasul 51 dan 53 Piagam PBB.
Dalam haI ini, AS telah menyalahgunakan konsep right of self-defense untuk kepentingannya sehingga dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri AS pasca 11 September 2001 yang berkaitan dengan serangan udaranya terhadap Afghanistan telah melanggar Pasal 2 ayat 1, ayat 3, ayat 4, dan ayat 7) Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001). Padahal, satu-satunya cara dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional adalah melalui jalur hukum internasional, bukan dengan menggunakan kekerasan sebagai upaya balas dendam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhian Harumingtias
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS terhadap Jepang yang bersifat unilateral - khususnya pada kebijakan perdagangan AS melalui penerapan Pasal 301 dari Undang-Undang Perdagangan AS Tahun 1974 - dalam upaya AS untuk mempertahankan industri semikonduktornya di pasar dunia. Tesis ini mencoba mencari jawaban mengenai faktor-faktor internal maupun eksternal yang menyebabkan AS menerapkan kebijakan yang bersifat unilateral tersebut. Selain itu tesis ini juga menguraikan proses negosiasi Amerika Serikat - Jepang guna menindaklanjuti sengketa dagang di bidang semikonduktor hingga ditandatanganinya Perjanjian Semikonduktor di tahun 1986, yang memberikan nuansa tersendiri dalam perumusan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah pemerintahan Reagan.
Konflik perdagangan AS - Jepang tersebut dilatarbelakangi oleh kemajuan industri Jepang di bidang semikonduktor yang mulai membahayakan kepentingan ekonomi AS, terutama menurunnya pangsa pasar bagi produk AS dan berkurangnya lapangan pekerjaan. Tindakan yang diambil AS terhadap Jepang pun akhirnya juga ditujukan melindungi industri strategisnya serta untuk mengamankan pasar AS di Jepang.
Sehubungan dengan negosiasi antara AS dan Jepang, dapat dikatakan bahwa konstituen domestik AS sangat terintegrasi dengan win-set yang dapat diratifikasi oleh mayoritas konstituen domestiknya. Sementara itu AS berhadapan dengan Jepang yang memiliki win-set yang sangat berbeda, yang tidak didukung oleh sebagian konstituen domestiknya (terutama manufaktur semikonduktor Jepang). Kepentingan pemerintah AS akan ditandatanganinya suatu perjanjian kebetulan sejalan dengan kepentingan politis MITI. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka MITI akan memperoleh kembali pengaruhnya di industri domestiknya. Kesamaan kepentingan antar pemerintah ini digabungkan dengan tekanan pemerintah AS (melalui gugatan dumping dan Pasal 301), meningkatkan leverage AS sehingga pemerintah Jepang terpaksa menyetujui isi perjanjian dengan AS walau sebagian domestik konstituennya menentang. Sebagai akibatnya, industri Jepang membangkang, karena MITI tidak berhasil memaksa industrinya untuk mematuhi hasil perjanjian sehingga akhirnya Jepang dikenakan sanksi pertamanya setelah Perang Dunia II.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami kepentingan dan motivasi AS memberlakukan Pasal 301 terhadap Jepang, terutama dalam rangka pemulihan perekonomian AS yang sedang memburuk serta menganalisis proses negosiasi antara aktor-aktor yang terlibat dalam penerapan Kebijakan Pasal 301 tersebut.
Dalam mendekati permasalahan, menggunakan kerangka pemikiran dari Lopez & Stohl mengenai interaksi hubungan internasional; Nolstl mengenai tekanan ekonomi; Kissinger, Kegley & Wittkopf serta Lentner mengenai perumusan kebijakan luar negeri suatu negara serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan fide mengenai negosiasi serta Putnam dengan proses negosiasi melalui two-level games yang menunjukkan adanya suatu keterkaitan antara kepentingan domestik dan negosiasi internasional.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi pustaka dan internet yang berupa data sekunder.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya AS untuk tetap mempertahankan kepemimpinannya dalam industri semikonduktor ditempuh melalui kebijakan luar negeri yang bersifat unilateral dalam bidang perdagangan melalui Pasal 301. Dari kasus semikonduktor ini, dapat dikatakan bahwa negosiasi baik di tingkat domestik maupun internasional tidak dapat dianalisa secara terpisah, namun hasil negosiasi pada Level I dan level II saling terkait dan saling mempengaruhi. Dapat juga ditambahkan bahwa bukan hanya aktor pemerintah yang dapat "bermain" dalam two-level games, namun kelompok kepentingan di masing-masing pihak juga mampu mempengaruhi dan menentukan win-set. Kelompok kepentingan tersebut juga dapat bertindak sendiri dalam mengejar kepentingannya dan mempengaruhi hasil dari suatu perjanjian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T 2332
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Fitrian Yudoprakoso
"Cool Japan merupakan bagian dari kebijakan Jepang dalam menguatkan citra baiknya di mata dunia. Sejak 2004, Cool Japan digunakan sebagai instrumen dalam diplomasi publik Jepang. Hingga 2009 Cool Japan diberdayakan dalam berbagai kegiatan diplomasi publik oleh MOFA. Namun sejak 2011, Cool Japan menjadi komoditas dan strategi dalam pengembangan industri kreatif Jepang. Perkembangan ini menarik untuk dikaji. Cool Japan diketahui memiliki keunggulan sebagai alat diplomasi publik Jepang. Cool Japan juga ternyata memiliki keunggulan kompetitif yang dapat menghasilkan profit. Lebih jauh, penelitian ini menemukan penggunaan Cool Japan oleh METI menggabungkan kedua keunggulan sekaligus, keunggulan dalam ekonomi dan dalam diplomasi publik Jepang.

Cool Japan is part of Japan's policy to enhance its prestige globally. Since 2004, Cool Japan is instrument for Japan's public diplomacy. Up to 2009 MOFA used Cool Japan in several public diplomacy activities. In 2011, Cool Japan is being assigned to METI, being used as commodity and for enhanching Japan's creative industry. Cool Japan has been widely used for the benefit in public diplomacy attempts. It is also acknowledged as profit generator. This research found that METI's Cool Japan gives double advantages for Japan. Cool Japan benefits Japan on public diplomacy as well as on creative industry."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S53716
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Baihaqi
"Dinamika politik Timur Tengah menjadi semakin dinamis sejak kehadiran Qatar di arena politik kawasan dan global terutama ketika Qatar memainkan peran diplomatiknya yang pragmatis dalam merespon setiap peristiwa politik baik di regional maupun internasional. Sebagai negara terkaya di Timur Tengah, Qatar secara pengaruh telah mampu bersaing dengan pesaing besarnya di Teluk yaitu Arab Saudi dan Iran. Posisi ini membuat Qatar mempunyai kesempatan besar untuk tampil lebih kuat di arena geopolitik Teluk dan bahkan di tingkat global terutama dalam merespon diskursus Indo Pasifik yang sedang massive dikampanyekan Amerika Serikat dan aliansi strategisnya. Sebagaimana pandangan para analis politik, Indo-Pasifik dipandang sebagai strategi baru untuk menghadang kebangkitan Tiongkok. Kehadiran Indo Pasifik juga telah mengubah peta baru di dalam hubungan antar negara di dunia. Belt and Road Initiative yang menjadi proyek raksasa Tiongkok juga semakin kuat didorong oleh pemerintah Tiongkok ke banyak negara di dunia. Merespon situasi tersebut, Qatar menunjukan kecerdasannya melalui model kebijakan luar negeri yang pragmatis, melakukan balance of power dengan melakukan kebijakan diplomasi dengan dua raksasa tersebut demi menjaga kepentingan nasionalnya. Sumber daya alam LNG yang dimiliki Qatar secara signifikan telah menjadikan Qatar mempunyai kepercayaan diri yang besar untuk mengubah dirinya menjadi negara berpengaruh dan dibutuhkan oleh negara lain. Bahkan Qatar juga mempunyai alat propaganda yang efektif dan massive yaitu media Al-Jazeera yang terbukti berhasil menguatkan posisi dan citranya di mata dunia.

The political dynamics of the Middle East become increasingly dynamic since Qatar's presence in the regional and global political arena, especially when Qatar played a pragmatic diplomatic role in responding to every political event both regionally and internationally. As the richest country in the Middle East, Qatar is influentially able to compete with its major competitors in the Gulf, namely Saudi Arabia and Iran. This position gives Qatar a great opportunity to appear stronger in the Gulf geopolitical arena and even at the global level, especially in responding to the Indo-Pacific discourse which is being massively campaigned by the United States and its strategic alliances. As seen by many political analysts, Indo-Pacific assumed as a new strategy to counter the rise of China. The presence of Indo Pacific is also changing a new map in countries relations in the world. The Belt and Road Initiative, which is China's giant project, is also increasingly being pushed by the Chinese government to many countries in the world. Responding to this situation, Qatar showed its intelligence way through a pragmatic foreign policy model, carrying out a balance of power by carrying out a policy of diplomacy with the two giants in order to safeguard its national interests. Qatar's LNG natural resources have significantly made Qatar have great confidence to turn itself into an influential country and be needed by other countries. Even Qatar also has an effective and massive propaganda tool, namely the Al-Jazeera media which has proven successful in strengthening its position and image in the eyes of the world."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charles Ferdinand
"Penelitian ini berfokus pada analisis kebijakan luar negeri dan keamanan bersama Uni Eropa (Common Foreign and security Policy ) pada tahun 1997-1999. Secara lebih spesifik membahas respons entitas Uni Eropa (UE) terhadap dinamika perubahan lingkungan eksternal maupun internalnya, dengan menggunakan pendekatan sistem kebijakan luar negeri dan model constraints and opportunities.
Variabel independen dalam penelitian ini berasal dari lingkungan eksternal UE, yaitu_ kebijakan burden sharing AS ke UE, dan dari lingkungan internal UE adalah politik identitas Eropa. Keterhubungan logis antarvariabel diperlihatkan melalui pengaruh pemunculan serangkaian peluang dan hambatan yang berasal dari kedua variabel independen, terhadap variabel dependen. Dengan kata lain, kebijakan burden sharing AS-UE dan politik identitas Eropa diduga mempengaruhi pemunculan serangkaian peluang dan hambatan terhadap peningkatan peran internasional LTE pada tahun 1997-1999.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa peluang bagi peningkatan peran internasional UE muncul dari adanya interaksi antara kebijakan burden sharing AS-UE yang berjalan selaras dengan fenomena politik identitas UE, dan sama-sama dilandasi oleh pengembangan nilai-nilai peradaban Barat. Kedekatan secara kultural antara kedua entitas tersebut dalam peradaban Barat memungkinkan keduanya melakukan kerjasama yang cukup dalam, hingga hal ini merupakan peluang bagi UE untuk meningkatkan peran internasionalnya.
Di sisi lainnya, hambatan bagi peningkatan peran internasional UE disebabkan karena dari lingkungan eksternal UE terjadi kompetisi antara AS dan LIE, yang mana hal ini juga inheren dalam suatu kerjasama. Dari sisi internal UE, politik identitas UE dapat menjelaskan bagaimana UE sebagai bagian dari peradaban Barat harus berbenturan dengan persoalan identitas kultural.
Peluang dan hambatan di atas kemudian menyebabkan UE pada tahun 1997 harus melakukan reformasi institusional agar CFSP dapat diterapkan secara lebih efektif, dan dengan demikian akan dapat meningkatkan pula peran internasional UE. Perjanjian Amsterdam, menyepakati ditingkatkannya sarana untuk mencapai tujuan berupa peningkatan peran intemasional UE sebagai kolaborator kawasan, kepemimpinan, sekutu, dan promoter of security, mediator, dan independen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Prahastuti Soebiono
"President Roosevelt telah memberikan dasar globalisasi politik dan ekonomi bagi strategi kebijakan luar negeri Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Semenjak selesainya Perang Dunia II Amerika Serikat telah terlibat dalam percaturan dunia internasional dibidang politik dan ekonomi menghadapi Uni Soviet. Kemenangan dalam peperangan dan kemakmuran dalam negeri membawa dampak positive bagi rakyat Amerika. Rakyat Amerika percaya pada kebijakan pemerintah baik di dalam maupun diluar negeri. Para pemimpin Amerika Serikatpun menginginkan agar faham demokrasi dapat dilestarikan dan dikembangkan seluas-luasnya demi untuk kesejahteraan dan perdamaian dunia.
Agar dapat dicapai cita-cita kesejahteraan dan perdamaian dunia ditempuh berbagai jalan kebijakan oleh para pemimpin Amerika Serikat, sebagai realisasinya adalah memaklumkan "Perang Dingin" dan memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara yang membutuhkan terutama negara-negara dunia ketiga. Kebijakan ini dibuat untuk mengimbangi kekuatan saingan mereka negara Uni Soviet.
Pada akhir tahun 50 an untuk membendung lebih effective lagi masuknya faham komunis Uni Soviet keseluruh pelosok dunia, selain beberapa kebijakan yang telah dilakukan juga diadakan "pembinaan persahabatan" dengan lawan politiknya.
Washington dan Moskow semenjak saat ini menghadapi "Perang Dingin" dengan menjalankan "Strategi perdamaian", taktik yang dijalankan adalah taktik mata-mata, propaganda dan adu domba.
Thesis ini dibuat untuk menjelaskan manfaat dari badan Peace Corps, sebagai salah satu strategi kebijakan luar negeri J.F.Kennedy. Dibentuk untuk dipakai sebagai alat pemerintah dengan tujuan dapat menyebarkan dan melestarikan faham demokrasi maupun menuju kesejahteraan dan perdamaian dunia "Peace Corps" adalah merupakan strategi damai Amerika Serikat berbentuk "missi moral" melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Badan "Peace Corps" dipilih dari para tenaga muda Amerika agar dapat saling berbagi pengalaman kepada masyarakat negara-negara dunia ketiga untuk menuju pada kemajuan, kecerdasan dan perdamaian dunia maupun mengcounter infiltrasi dari Uni Soviet.
Kesimpulan kami adalah Kennedy telah berperan banyak dalam percaturan politik luar negeri Amerika khususnya menangani Perang Dingin dengan merangkul negara-negara dunia ketiga demi untuk tercapainya perdamaian dunia dan kesejahteraan umat manusia.

President Roosevelt has formulated American foreign policy goals for the postwar world as based on universal political and economic freedom.
It has only been since World War II that the United States has consistently been involved in shaping the world according to American ideals of politic and economic against Soviet Union. Victorious in that great struggle its homeland undamaged from the revages of war the nation was confident of its mission at home and abroad. US leaders wanted to maintain the democratic structure they had defended at tremendous cost and to share the benefits of prosperity as widely as possible.
To realize these goals, US leaders formulated several policies such economic aid to export capital and technical assistance to Europe and to underdeveloped countries and declared cold war. It aims was to preserve. the political and physical integrity from the danger of a communist takeover.
As early as the mid-1950's Washington and Moskow announced the policy of "peaceful coexistence" in which war between the United States and Soviet Union was not inevitable and both system could coexist peacefully and changed the strategy more humanistic. Washington and Moskow Used similar tactics throughout the Cold War was, including overthrowing unfriendly governments, helping repress rebellions against unfriendly states, and waging wars.
This thesis will explain how benefit the Peace Corps as one of Kennedy's foreign policy strategy. It is designed to maintain the democratic structure, to promote world peace and friendship and to promote understanding between the American people and other peoples. The Peace Corps recruit the best of American's young minds to wage the struggle for America superiority through education and technical expertise. The Peace Corps represented the benevolent side of Kennedy's commitment to activism, counter intergency embodied its more insidious dimensions.
My concluding thought is Kennedy were quite different with other American leader would play a central role in carrying forward the Cold War, and winning the " hearts and minds" of developing countries, work together with Third World to save the world.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T7214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>