Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142465 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuni Ahda
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Protoonkogen c-mos merupakan gen seluler yang homolog dengan onkogen v-mos dan virus sarkoma murin Moloney dan termasuk kelompok gen yang mengkode protein serine/threonine kinase. Protein Mos yang dibentuk pada awal fase maturasi terlibat dalam proses maturasi spermatosit dan oosit dengan cara reaktivasi dini maturation promoting factor (MPF) pada fase perakitan meiosis I (MI) ke meiosis II (MID untuk mempertahankan kondensasi kromosom, mencegah replikasi DNA dan mencegah pembentukan inti sehingga dia ikat sel garnet haploid. Adanya variasi (polimorfisme) atau mutasi pada urutan DNA c-mos kemungkinan akan menyebabkan tidak dibentuknya protein Mos atau protein Mos yang dihasilkan berbeda dengan yang normal sehingga mengganggu proses maturasi garnet (spermatosit) dan hal ini diduga ada hubungannya dengan kasus azoospermia dan oligozoospermia pada pria. Untuk mengetahui adanya polimorbisme pada gen c-mos pria azoospermia dan oligozoospermia, digunakan prosedur hibridisasi blot Southern dan polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphisms (PCR-RFLP) dengan melibatkan tiga macam enzim restriksi yaitu Tagl, Pstl dan Bgill.
Hasil dan Kesimpulan: Hasil pengamatan terhadap masing-masing 20 sampel pria azoospermia, oligozoospermia dan pria normal menunjukkan tidak terdapat RFLP pada protoonkogen c-mos setelah didigesti dengan tiga macam enzim restriksi. Hibridisasi blot Southern fragmen DNA hasil digesti menggunakan enzim Tagl dengan pelacak DNA c-mos sepanjang 610 pb menghasilkan fragmen tunggal sebesar 4,7 kb. Digesti DNA c-mos basil amplifikasi PCR dengan enzim restriksi Pstl menghasilkan dua fragmen berukuran 554 pb dan 56 pb. Digesti DNA c-mos hash amplifikasi PCR dengan enzim restriksi Bgll menghasilkan dua fragmen berukuran 546 pb dan 64 pb. Untuk memastikan apakah terdapat polimorfisme pada DNA c-mos yang mempengaruhi ekspresi protoonkogen c-mos dan selanjutnya menyebabkan gangguan spermatogenesis perlu dilakukan penelitian lanjutan seperti melakukan deteksi RFLP dengan enzim restriksi lain yang lebih banyak atau melakukan sekuensing pada DNA c-mos. Di samping itu pelacakan perlu dilakukan pada sampel yang lebih besar."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Widianti
"Ruang lingkup dan Cara Penelitian : Sindrom Down (SiD) merupakan suatu kelainan genetik yang disebabkan oleh Trisomi 21 atau trisomi dengan translokasi kromosom 21. Karena diduga ada hubungan antara trisomi 21, translokasi yang melibatkan kromosom 21, dan segregasi kromosom dengan DNA satelit α maka diharapkan terdapat RFLP yang berbeda pada wanita yang mempunyai anak SiD dibandingkan wanita yang tidak mempunyai anak SiD. Deteksi RFLP dilakukan dengan teknik hibridisasi blot Southern menggunakan DNA genom yang diisolasi dari darah tepi, dengan digesti enzim TaqI dan HindIII, menggunakan pelacak DNA satelit α spesifik kromosom 13121; yang dilabel dengan digoxigenin. Hibridisasi dilakukan pada suhu 65°C, pencucian dengan SSC 2X pada suhu kamar dan dengan SSC 0,1X pada suhu 65°C. Sebagai markaDNA digunakan DNA λ /ecoRl/HindllL Analisis RFLP berdasarkan ada atau tidak adanya fragmen DNA restriksi tanpa memperhatikan intensitas hibridisasi.
Hasil dan Kesimpulan: Hibridisasi blot Southern DNA satelit α kromosom 13/21 dengan DNA genom yang didigesti TaqI menghasilkan fragmen utama pada 1,87kb, dan fragmen tambahan 1,79kb; 1,65kb dan 1,15kb. Terdapat polimorfisme pada fragmen-fragmen tambahan tersebut. Dijumpai variasi polimorfisme fragmen 2,0 kb/TaqI pada wanita dengan anak SiD, pada anak SiD dan pada wanita pembanding yang berusia >30 tahun. Hibridisasi blot Southern dengan digesti enzim HindIII menghasilkan fragmen besar (>21,2kb) pada keempat kelompok sampel dan beberapa fragmen tidak spesifik dengan intensitas hibridisasi sangat lemah pada kelompok pasien SiD dari ibunya.Terdapat perbedaan RFLP DNA satelit α kromosom 13/21 pada wanita dengan anak SiD dibanding RFLP wanita pembanding dengan usia < 30 tahun, dengan digesti TaqI Tidak terdapat polimorfisme dengan digesti HindIII."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viktoria Mardhika Estepane
"Gelatin merupakan bahan utama penyusun cangkang kapsul. Salah satu cara untuk mengetahui adanya kandungan gelatin porsin dalam campuran gelatin adalah dengan deteksi molekuler terhadap sekuens sitokrom b cyt b pada DNA dari gelatin. Penelitian ini dilakukan untuk mengoptimasi kondisi metode PCR-RFLP dalam mendeteksi kandungan porsin dan bovin dari cangkang kapsul dalam campurannya sehingga diperoleh metode yang sensitif dan efisien, karena rendahnya jumlah DNA trace setelah proses pembentukan gelatin dan pengolahannya menjadi kapsul. Optimasi dilakukan pada ekstraksi DNA, kondisi PCR, dan sensitivitas metode PCR-RFLP. Ekstraksi dioptimasi agar diperoleh jumlah DNA yang cukup dan dapat teramati pada gel agarosa. Kondisi optimum untuk PCR DNA reference dan kapsul diperoleh dengan pemilihan DNA polimerase yang memberikan hasil terbaik. Hasil amplifikasi DNA reference campuran bovin-porsin didigesti menggunakan enzim restriksi BsaJI. Enzim restriksi BsaJI memotong gen sitokrom b porsin menjadi dua fragmen, yaitu 228 bp dan 131 bp. Optimasi sensitivitas metode PCR-RFLP menunjukkan metode mampu mendeteksi hingga konsentrasi 0,01 porsin dalam campurannya dengan bovin, dianalisis dengan kuantifikasi berbasis software dan pengamatan visual. Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode PCR-RFLP dapat digunakan sebagai metode deteksi awal dan sensitif dalam mendeteksi porsin dengan konsentrasi rendah dalam campuran gelatin.

Detection of porcine, as one of gelatin sources, can be done by molecular detection of cytochrome b sequence in DNA. This study was aimed to optimize the PCR RFLP method in detecting porcine in capsule shell and porcine in mixtures with bovine in gelatin to obtain a sensitive and efficient method. Optimization was carried out for DNA extraction, PCR conditions, and the sensitivity of PCR RFLP method. Due to very low DNA trace in gelatin after various manufacturing process, the extraction was optimized to obtain sufficient DNA yield which was visible on the agarose gel. The optimum condition for DNA amplification was obtained by selecting the most suitable DNA polymerase. Amplified various concentrations of porcine bovine DNA mixtures and capsule shell DNA were digested using BsaJI restriction enzyme. BsaJI restriction enzyme was able to cleave porcine cytochrome b gene into two fragments of 228 bp and 131 bp. The optimization of the sensitivity of PCR RFLP method showed that method is able to detect up to 0.01 porcine in mixtures with bovine analyzed using software based quantification and visual observation. Result demonstrated that the PCR RFLP method is sensitive and suitable for early detection of porcine DNA in gelatin mixtures."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68409
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Identities and Genetic Diversities of Begomoviruses Associated with Leaf Curl Disease of Tomato Based on the Polymerace Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) Technique. Tri J. Santoso, Sri H. Hidayat, M. Herman, H. Aswidinnoor, and Sudarsono. Begomoviruses, members of the Geminivirus, are considered as emerging plant viruses. This was due to the increasing incidences and severities of the diseases in a number of economically important crops, including tomato. Genetic diversities of the Begomovirus isolates infecting tomato (Lycopersicon esculentum) of several areas in Indo- nesia were analyzed by using Polymerase Chain Reaction- Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) technique. A 1500 base pairs of PCR fragments amplified by using degenerate primers for Begomovirus was digested using four restriction enzymes, i.e., DraI, EcoRI, RsaI, and PstI. The pattern of RE digested fragments of 8 Begomovirus isolates and the predicted RFLP fragments of the Begomo- virus isolates in the GeneBank database were used to deter- mine the genetic identities and diversities among the isol- ates. Positive results of the PCR amplifications proved that diseased tomato plant samples collected from 8 locations in Java and Sumatra were infected with at least one Begomo- virus isolate. The PCR amplification products, which were digested using the four restriction enzymes indicated the presence of polimorfisms among the DNA fragments of the Begomovirus isolates. Identifications of the Begomovirus indicated that the Brastagi, Bogor, Sragen, Ketep, and Boyo- lali isolates were Tomato Leaf Curl Virus (ToLCV); the isolates from Malang and Blitar isolates were Ageratum Yellow Vein Virus (AYVV), while one isolate from Kaliurang was Tomato Yellow Leaf Curl Virus (TYLCV). Results of the phylogenetic analysis of the 8 Begomovirus isolates based on Begomoviruses from the DNA database indicated that they belonged to three different groups."
JURAGBIO 4 (1) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Herlina Yasmin Handoko
"ABSTRAK
Azoospermia sebagi salah satu penyebab infertilitas sebagian dapat ditunjukkan oleh adanya antibodi antisperma di dalam serum darah penderita. Antibodi ini merupakan autoantibodi yang disebabkan terjadinya ekstravasasi spermatozoa ke dalam darah yang antara lain akibat adanya obstruksi pada traktus reproduksi. Namun demikian, tidak dapat dikesampingkan kemungkinan adanya antibodi sejenis dalam serum darah pria yang telah mempunayai anak. Pada penelitian ini telah dilakukan Uji Aglutinasi Gelatin dan Uji Imobilisasi Sperma terhadap serum 37 pria azoospermia dan 32 pria fertil untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan dalam hal ditemukannya antibodi antisperma pada kedua kelompok tersebut. Dari uji X2 diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan bermakna dalam hal dijumpainya antibodi pengaglutinasi spermatozoa homolog pada pria azoospermia dan pria fertil (db"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Hapsari Kusumaningrum
"Deteksi molekuler untuk identifikasi dan verifikasi gelatin asal porsin dilakukan dengan menggunakan sekuen DNA sitokrom b (cyt b) yang masih terkandung dalam gelatin (trace DNA). Trace DNA yang masih terdapat dalam gelatin di ekstraksi kemudian dilakukan amplifikasi PCR dengan target gen cyt b. Penelitian ini bertujuan untuk mengonfirmasi metode identifikasi spesies asal gelatin serta mendeteksi kandungan gelatin porsin dari sampel cangkang kapsul. Namun, DNA genomik hasil ekstraksi dari sampel kapsul memiliki konsentrasi yang terlalu rendah untuk dapat diidentifikasi sehingga keberhasilan dari ekstraksi DNA baru dapat dilihat dari hasil amplifikasi PCR. Produk hasil amplifikasi PCR gen cyt b porsin dan bovin sama-sama berukuran 360 bp. Untuk membedakan spesies hewan asal gelatin, produk hasil PCR dipotong menggunakan enzim restriksi BsaJI yang dipilih berdasarkan hasil analisis in silico sebelumnya untuk menghasilkan panjang fragmen spesifik. Hasil digesti DNA porsin menunjukkan panjang fragmen 128 bp dan 111 bp, sedangkan DNA bovin menunjukkan panjang fragmen 316 bp dan 44 bp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel kapsul lunak terverifikasi mengandung gelatin bovin dan sampel cangkang kapsul keras mengandung gelatin porsin, sedangkan sampel kapsul merah dan sampel kapsul biru teridentifikasi mengandung gelatin bovin. Hal tersebut membuktikan bahwa metode PCR-RFLP dapat digunakan untuk identifikasi dan verifikasi gelatin asal porsin dalam sampel kapsul.

Molecular detection for gelatin porcine identification and verification was done by employing cytochrome b (cyt b) DNA sequence. Extracted DNA from gelatin were extracted after gelatin precipitation, and were subjected to PCR amplification targeting the cyt b gene. The aim of this study was to confirm the origin of gelatin species identification method and to identify and verify porcine in gelatin from capsules samples. Genomic DNA derived from gelatin reference and sample (capsules) have very low concentration to be identified, therefore the result of DNA extraction is only visible after PCR amplification. PCR products of cyt b gene porcine and bovine have the same length of approximately 360 base pair (bp). To distinguish between species, PCR products were cut with restriction enzyme BsaJI which was choosen by in silico analysis resulting in specific fragment length polymorphism (RFLP). Digestion product of porcine shows 128 bp and 111 bp whereas bovine shows 316 bp and 44 bp. Result revealed that soft capsule sample was verified contain bovine and hard capsule sample was verified contain porcine, while red capsule and blue capsule sample identified contain bovine. This was proven that PCR- RFLP can be used to identify and verifiy porcine gelatin in capsule shells."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S61273
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Tri Prasetyo
"Varikokel telah terbukti mempengaruhi kualitas sperma. Namun, efek operasi varikokel terhadap tingkat keberhasilan pengambilan sperma melalui pembedahan dan pola histopatologi testis pada pria dengan azoospermia nonobstruktif belum banyak dilaporkan. Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk menginvestigasi tingkat keberhasilan pengambilan sperma dengan teknik operasi dan pola histopatologi testis pada pria dengan azoospermia nonobstruktif yang dirujuk ke Klinik Urologi di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (Jakarta, Indonesia) dan Rumah Sakit Umum Bunda (Jakarta, Indonesia) pada periode Januari 2009 hingga Desember 2019. Subjek yang dibandingkan adalah pasien yang menjalani prosedur pengambilan sperma melalui pembedahan tidak lebih awal dari tiga bulan setelah operasi varikokel dan pasien yang tidak menjalani operasi varikokel melainkan langsung menjalani prosedur pengambilan sperma melalui pembedahan. Penelitian ini melibatkan 104 subjek dengan rentang usia 26-54 tahun, 42 di antaranya telah menjalani operasi varikokel sebelum prosedur pengambilan sperma. Spermatozoa motil ditemukan pada 29 (69,1%) pasien yang menjalani operasi varikokel dan 17 (27,4%) pasien yang langsung menjalani prosedur pengambilan sperma melalui pembedahan (risiko relatif: 2,51; interval kepercayaan 95%: 1,60±3,96; P < 0,001). Grafik probabilitas yang diprediksi menunjukkan tingkat keberhasilan prosedur pengambilan sperma yang lebih tinggi secara konsisten untuk subjek yang menjalani operasi varikokel terlebih dahulu. Pasien yang menjalani operasi varikokel menunjukkan pola histopatologi testis yang lebih baik (P = 0,001). Kesimpulan penelitian ini adalah pria dengan azoospermia nonobstruktif dan varikokel klinis yang menjalani operasi varikokel memiliki tingkat keberhasilan pengambilan sperma yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak menjalani operasi varikokel.

Varicocele adversely affects semen parameters. However, the effect of varicocele repair on the sperm retrieval rate and testicular histopathological patterns in men with nonobstructive azoospermia has not been widely reported. We retrospectively assessed the sperm retrieval rates and testicular histopathological patterns in men with nonobstructive azoospermia who were referred to the Urology Clinic in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (Jakarta, Indonesia) and Bunda General Hospital (Jakarta, Indonesia) between January 2009 and December 2019. We compared patients who had undergone a surgical sperm retrieval procedure for assisted reproductive technology no earlier than three months after varicocele repair and those who had not undergone varicocele repair. The study included 104 patients (age range: 26±54 years), 42 of whom had undergone varicocele repair before the sperm retrieval procedure and 62 who had not. Motile spermatozoa were found in 29 (69.1%) and 17 (27.4%) patients who had undergone varicocele repair before the sperm retrieval procedure and those who had not undergone the repair, respectively (relative risk: 2.51; 95% confidence interval: 1.60± 3.96; P < 0.001). A predicted probabilities graph showed consistently higher sperm retrieval rates for patients with varicocele repair, regardless of their follicle-stimulating hormone levels. Patients who underwent varicocele repair showed higher testicular histopathological patterns (P = 0.001). In conclusion, men with nonobstructive azoospermia and clinical varicocele who underwent varicocele repair before the sperm retrieval procedure had higher sperm retrieval rates compared to those who did not undergo varicocele repair"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naida Faustina
"Methylenetetrahydrofolat-reductase (MTHFR) adalah gen yang berperan penting dalam pembentukan folat dan methionin. MTHFR sangat dibutuhkan untuk sintesis dan metilasi DNA. Deregulasi MTHFR bisa menyebabkan infertilitas pada pria. Mutasi pada titik A1298C bisa menyebabkan penurunan level plasma folat dan spermatogenic arrest. Penelitian ini bertujuan menganalisis polimorfisme gen MTHFR A1298C pada pria normal dan pria oligozoospermia di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan mengambil darah 3mL dari pria normal dan oligozoospermia di Indonesia dengan jumlah total 104 pria. Gen MTHFR diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan primer spesifik, sedangkan analisis PCR-RFLP pada MTHFR gen menggunakan enzim restriksi MboII dimana teknik ini dapat menentukan genotip dan alotip A1298C pada pria normal dan pria oligozoospermia di Indonesia. Analisis data dilakukan dengan menggunakan tes Chi Square.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada pria normal, 66.7% memiliki genotip AA, 23.8% memiliki genotip AC, dan 9.5% memiliki genotip CC. Sedangkan 15.7% pria oligozoospermia memiliki genotip AA, 79.5% memiliki genotip AC, dan 4.8% memiliki genotip CC. Selain itu, ada asosiasi yang signifikan antara polimorfisme gen MTHFR A1298C dengan pria oligozoospermia (p=0.000) dan juga antara alotip A dengan pria oligozoospermia (p=0.006). Polimorfisme gen MTHFR A1298C berhubungan dengan infertilitas pria di Indonesia, terutama pada pria oligozoospermia (p<0.05).

Methylenetetrahydrofolate-reductase (MTHFR) is a gene that plays a critical role in the metabolism of folate and methionine. MTHFR is very important in the synthesis and methylation of DNA. Deregulation of MTHFR may lead to infertility in male. Mutation in point 1298 may result in the reduction of plasma folate levels and spermatogenic arrest. This study aims to analyze MTHFR gene polymorphism A1298C in normal and oligozoospermic Indonesian men.
This was a cross sectional study conducted with a laboratory approach. Three mL of blood was drawn from a total of 104 normal and oligozoospermic men. MTHFR gene is analyzed by using PCR with specific primers, whereas the PCR-RFLP analysis of the MTHFR gene uses restriction enzyme MboII where it determines the allotypes of A1298C in normal and oligozoospermia Indonesian men.
The result of this study shows that in normal male 66.7% has AA genotype, 23.8% has AC genotype, and 9.5% has CC genotype. Whereas, in oligozoospermic male 15.7% has AA genotype, 79.5% has AC genotype, and 4.8% has CC genotype. Futhermore, there is an association between MTHFR gene polymorphism A1298C with oligozoospermia (p=0.000) and also between allotype A with oligozoospermia (p=0.006). In conclusion, MTHFR gene polymorphism of A1298C is associated with male infertility in Indonesian men especially men with severe oligozoospermia (p<0.05).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Anita Suryandari
"Penelitian ini bertujuan mengetahui frekuensi mikrodelesi kromosom Y pada pria azoospermia di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode PCR dengan lima STS untuk melihat delesi yang timbul pada tiga subregio (AZFa, AZFb, dan AZFc) dan satu STS untuk mengamplifikasi gen SRY yang merupakan kontrol internal. Dari 35 sampel pria dengan azoospermia terdeteksi dua orang (5,7%) yang mengalami mikrodelesi pada kromosom Y (Yq). Mikrodelesi yang terdeteksi dengan enam STS adalah satu orang mengalami delesi pada sY84 (subregio AZFa) dan RBMY1 (subregio AZFb), dan satu orang mengalami delesi pada sY254 dan sY255 (subregio AZFc). Pemeriksaan delesi kromosom Y sangat dianjurkan pada pria azoospermia yang ingin mengikuti program ICSI untuk menghindarkan kelainan genetik pada keturunannya.

Analysis of Y Chromosome Microdeletion in Indonesian Males. The aim of this study is to find out Y chromosome microdeletion in Indonesian azoospermic men. This study used the PCR method with five STS to locate deletion on three different subregions (AZFa, AZFb, and AZFc) of azoospermic men and one STS to amplify SRY gen which act as an internal control. In this study we detected two of 35 (5,7%) azoospermic men had microdeletion Yq. One had microdeletion on subregion AZFa (sY84) and AZFb (RBMY1) and the other one on subregion AZFc (sY254 and sY255). Therefore microdeletion of the Y chromosome in Indonesian azoospermic men excist. Examination of microdeletion of Y chromosomes in azoospermic men is important if they are going to participate in the Intra Cytoplasmic Infection Program to avoid genetic disorders of their descendants."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ekasari Hendra
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Kasus infertilitas dijumpai pada 10-15% pasangan suami istri dan 50% diantaranya disebabkan oleh faktor gangguan pada pria. Perkembangan di bidang biologi molekuler mendeterminasi bahwa mikrodelesi kromosom Y merupakan penyebab panting pada infertilitas pria dan merupakan penyebab genetik kedua yang paling sering terjadi pada pria infertil. Region AZoospermic Factor (AZF) dengan 3 subregion (AZFa,AZFb,AZFc) pada Yq11 diduga berpengaruh terhadap gangguan spermatogenesis. Kandidat potensial AZF adalah RBMY1 dan DAZ yang memiliki implikasi pada metabolisme testis-specifik RNA. Frekuensi delesi pada lengan panjang kromosom Y (Yq) pada pasien pria infertil bervariasi antara 1-55% tergantung pada kriteria seleksi pasien. Penelitian mikrodelesi kromosom Y secara spesifik penting sejalan dengan perkembangan teknik reproduksi berbantuan karena potensi transmisi abnomialitas genetik kepada keturunannya. Mikrodelesi kromosom Y tidak dapat diprediksi secara sitogenetik, pemeriksaan klinik, maupun dari hasil analisis semen. Pada penelitian ini digunakan metode PCR menggunakan 6 STS (sequence-tagged sites) pada 50 pria penderita oligozoospermia berat, 10 pria normozoospermia (kontrol positif}, dan 8 wanita memiliki anak (kontrol negatif). Hasil PCR kemudian dielektroforesis pada gel agarose 2% untuk melihat ada tidaknya delesi yang ditunjukkan dengan ada tidaknya pita spesifik dengan ukuran tertentu. Beberapa hasil PCR disekuensing untuk konfirmasi ketepatan lokus yang diamplifikasi.
Hasil dan Kesimpulan: Dalam penelitian ini ditemukan 1 dan 50 (2%) pria Indonesia penderita oligozoospermia berat yang mengalami delesi pada Yq11. Hasil pengujian dengan 6 STS menunjukkan lokasi delesi pada STS sY254 dan sY255 (kedua STS terletak pada AZFc). Hasil pemeriksaan hormon FSH, LH, dan testosteron pada pasien dengan mikrodelesi tersebut menunjukkan masih dalam kisaran normal. Frekuensi delesi pada penelitian ini masih dalam kisaran umum (1-55%) dengan lokasi delesi pada AZFc.

Scope and methods of study: Infertility affects 10% to 15% of marriage couples, in which male factor contribute about 50% of cases. The rapid growth of molecular biology technique is able to determine microdeletions of the Y chromosome that represent an important cause of male infertility, and the second most frequent genetic cause of male infertility. The AZF region has 3 non-overlapping subregion-AZFa, AZFb, and AZFc which are required for normal spermatogenesis. Two potential AZF candidates, RBMY1 and DAZ have been implicated in testis-specific RNA metabolism. The incidence of Y microdeletions varies; from 1°/o to 55% depends on the selection criteria of the patients. The study of Y chromosome microdeletions is important because of the potential for transmission of genetic abnormalities to the offspring. The Y chromosome microdeletions are unable to be predicted cytogenetically, or on the basis of clinical findings, or on semen analysis. The aim of this study is to determine the frequency and the loci of Y chromosome microdeletions in idiopathic infertility men in Indonesian population. The study includes DNA isolation of peripheral blood from 50 severe oligozoospermic men, 10 normozoospermic men, and 8 Indonesian women. We used PCR-based Y chromosome screening with 6 STS for microdeletions, and observed it in agarose electrophoresis. One sample of each STS was sequenced to confirm the exact loci.
Result and conclusion: We found 1 in 50 severe oligozoospermic men indicating Yq11 microdeletion. The frequency of microdeletions was 1150 (2%) and the locations of these microdeletions were detected with sY254 and sY255. Both of these two STS are representing DAZ gene in AZFc subregion, FSH, LH, and testosterone level of this patient were in normal range. Incidence deletion of this study was presence in global range and the location of deletion was in the AZFc region."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>