Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166914 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Leonard Joseph Triyono
"Isu terorisme merupakan berita yang hangat terutama semenjak terjadinya serangan teroris pada menara kembar World Trade Center di New York dan Gedung Departemen Pertahanan Amerika Serikat Pentagon di Washington, DC pada tanggal 11 September 2001. Di Indonesia, isu ini menjadi semakin hangat semenjak terjadinya tragedi bom Bali, 12 Oktober 2002. Pengamatan pada pemberitaan tentang isu terorisrne memberikan indikasi adanya keberagaman pandangan, dilihat dari nada berita yang dilaporkan oleh media berita. Diamati pula bahwa ada kecenderungan menghubungkan Amerika Serikat (AS) pada kebanyakan berita tentang isu terorisme. Fenomena demikian nampaknya wajar berhubung isu terorisme menjadi wacana hangat di kalangan masyarakat setelah negara itu mengkampanyekan perlawanannya secara global. Dalam hal ini AS mendapat penilaian beragam, yakni positif netral, dan negatif seperti dapat dideteksi dari kemasan berita.
Mengingat pentingnya pengaruh suratkabar pada khalayak pembacanya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar isu terorisme ditonjolkan dalam bentuk berita, dan nada yang bagaimana tentang AS yang disiratkan dalam berita-berita itu. Dengan memakai analisis isi sebagai penelitian unobtrusive, proses pengkodean dilakukan pada tiga suratkabar mainstream (Kompas, Media Indonesia, dan Jawa Pos) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan: seberapa besar isu terorisme mendapat peliputan oleh ketiga suratkabar; seberapa besar AS disinggung dalam pemberitaan; seberapa besar tragedi bom Bali mempengaruhi frekuensi pemberitaan isu terorisme; bagaimana nada pemberitaan tentang AS; bagaimana tragedi bom Bali mempengaruhi nada tentang AS; bagaimana format berita berpengaruh pada nada tentang AS; bagaimana sumber berita berpengaruh pada nada tentang AS; dan seberapa besar subsidi berita dan Kedubes AS di Jakarta dipakai oleo ketiga suratkabar. Untuk mengetahui hubungan-hubungan itu dilakukan analisis kuantitatif terhadap isi ketiga suratkabar di atas dalam periode 19 hari sebelum dan 19 hari sesudah peristiwa bom Bali. Uji statistik terhadap data kuantitatif ini dilakukan dengan Chi-Square. Sebagai pendukung temuan-temuan kuantitatif, penelitian ini desertai analisis kualitatif pada level talcs, menggunakan analisis framing dengan mengadopsi model William A. Gamson.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dalam pemberitaan tentang terorisme, ketiga suratkabar memberikan porsilfrekuensi yang cukup besar dan kurang lebih sama jumlahnya; persentase berita tentang isu terorisme yang menyinggung mengenai AS lebih besar dibandingkan dengan berita yang sama sekali tidak menyinggungnya; persentase jumlah berita tentang terorisme yang berorientasi sebagai isu (bukan semata-mata sebagai peristiwa) lebih besar secara signifikan sesudah tragedi bom Bali dibanding sebelumnya; persentase berita tentang terorisme yang bernada negatif mengenai AS lebih besar dibandingkan dengan yang bernada positif; persentase berita tentang terorisme dengan nada positif mengenai AS lebih besar setelah tragedi bom Bali dibanding sebelumnya; berita dengan format straight news cenderung lebih netral terhadap AS dibandingkan dengan berita dengan format lainnya; berita yang menggunakan sumber berita dari Barat cenderung bernada lebih netral tentang AS; dan subsidi berita tentang isu terorisme dari Kedubes AS di Jakarta sangat tidak signifikan pengaruhnya pada isi media pada ketiga suratkabar yang diteliti.
Penelitian tentang masalah ini memiliki potensi besar di masa depan, dan agar suatu studi dapat menarik kesimpulan-kesimpulan yang valid serta dapat menggeneralisasikan temuan-temuannya, maka kepada pars perninat penelitian ini direkomendasikan agar analisis isi disertai dengan survey mengenai apa saja yang menjadi kendala bagi para gatekeeper dalam memberitakan suatu isu karena dengan cara itu akan dapat dideteksi faktor-faktor, kekuatan-kekuatan, dan aktor-aktor penyebab adanya ketidakleluasaan dalam pemberitaan suatu isu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12068
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Santosa
"Dalam beberapa belakangan setelah berakhirnya Perang Dingin, masalah terorisme telah menjadi ancaman yang semakin mengkhawatirkan bagi kebanyakan orang di negara maju. Serangan terorisme ke Amerika Serikat (AS) pada tanggal 11 September 2001 pada gilirannya telah menandai perkembangan baru gerakan terorisme, yang membawa implikasi terhadap perspektif keamanan global dan kawasan. Di tengah sistem dunia yang unipolar dan kebijakan unilateralise AS dalam perang terhadap terorisme, PBB mengeluarkan Resolusi DK PBB no. 1373 (2001) secara relatif dapat dikatakan sebagai multilateralisasi kepentingan AS dalam penanganan terorisme. Terlepas dari terorisme tersebut merupakan ancaman bersama, bobot isi resolusi tersebut, dapat diartikan sebagai wadah bagi kepentingan nasional AS. Resolusi DK PBB no. 1373 (2001) ini secara garis besar mewajibkan negara-negara anggota PBB untuk bekerjasama, antara lain lewat pengaturan serta perjanjian bilateral dan multilateral, mencegah serangan teroris, mengambil tindakan untuk melawan pelaku aksiaksi tersebut, dan secepat mungkin menjadi pihak pada konvensi-konvensi internasional serta protokol-protokolnya yang berkaitan dengan terorisme.
Resolusi juga memutuskan untuk membentuk suatu Komite di Dewan Keamanan PBB, yang kemudian dikenal dengan Hama Counter Terrorism Committee (CTC). CTC ini menyerukan kepada semua negara untuk melapor kepada Komite tidak lebih dari 90 hari sejak tanggal resolusi ditetapkan dan setelah itu sesuai dengan jadwal harus diajukan kepada Komite guna penetapan langkah-langkah untuk mengimplementasikan resolusi tersebut. Pemenuhan kewajiban di Counter Terrorism Committee (CTC) memperlihatkan adanya keseriusan Pemerintah Indonesia dalam rangka pemberantasan terorisme khususnya melalui kerangka kerjasama multilateral. Keseriusan ini dapat dinilai dari waktu penyampaian laporan yang dilaksanakan sebelum batas waktu yang ditentukan. Keseriusan lain adalah isi laporan yang disusun berdasarkan masukan-masukan dari departemen terkait. Pencapaian ini jauh lebih baik dibandingkan dengan negara-negara anggota PBB lainnya. Pemenuhan kewajiban di CTC oleh Pemerintah Indonesia terlihat agak berbeda dengan opini yang ada di masyarakat Indonesia. Terlebih lagi opini yang berkembang di masyarakat ini sepertinya didukung pendapat atau pernyataan yang dikemukakan oleh pejabat tinggi negara, tokoh masyarakat, partai politik dan lain-lain. Opini yang berkembang di masyarakat cenderung menyatakan bahwa mereka tidak setuju dengan upaya pemberantasan terorisme yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia karena mereka menganggap sasaran akhir dari opini dunia yang sedang dibangun oleh negara-negara barat dalam rangka pemberantasan teroris adalah umat Islam.
Teori-teori utama yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori kebijakan luar negeri dari W.D. Coplin, yang didukung oleh teori struktur politik dari Kenneth Waftz, Teori Rejim Keamanan dari Robert Jervis. Pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini adalah mengapa Indonesia memenuhi kewajibannya di CTC sebagai langkah pemberantasan terorisme internasional. Dengan menggunakan penelitian deskriptif analitis, dapat dikatakan bahwa di tingkat ekstemal, unipolarisme dalam struktur sistem internasional saat ini tercermin dalam dominasi peran AS di PBB. Banyak negara, termasuk Indonesia tidak mempunyai ruang manuver yang cukup luas di forum multilateral untuk menentukan sendiri kebijakan luar negeri yang sesuai dengan aspirasi domestik yang sering kali berseberangan dengan kecenderungan pengambilan keputusan di forum PBB. Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh Indonesia dalam forum multilateral adalah untuk mengantisipasi kebijakan negara lain atau posisi mayoritas yang mengemuka dalam masalah tersebut. Upaya Indonesia dalam CTC dilakukan dalam rangka memperkuat leverage posisi Indonesia nantinya. Hal ini dilakukan mengingat keterkaitan antara situasi domestik dengan kebijakan luar negeri tidaklah seerat dan seintensif keterkaitan posisi Indonesia di CTC dengan struktur sistefn internasional yang melingkupinya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12076
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoni Djuhana
"ABSTRAK
Fenomena penyebaran faham radikalisme dan aksi terorisme merupakan
permasalahan yang serius yang mengancam kesatuan dan persatuan Negara
Republik Indonesia. Issue tentang perbedaan faham dan pandangan tentang akidah
dan syariat agama menjadi hal yang paling mendasar, sehingga yang terjadi
adalah intoleransi sesama umat Muslim, terlebih lagi dengan umat non muslim.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisa sejauh mana
pelaksanaan kegiatan atau program kontra radikalisme yang dilaksanakan oleh
Bidang Pencegahan Densus 88 AT Polri, dan juga melihat sejauh mana
kementerian dan lembaga yang terkait dalam menyikapi masifnya penyebaran
faham radikalisme dan aksi terorisme saat ini. Dari penelitian ini, peneliti juga
menyusun dan membuat suatu konsep pelaksanaan kegiatan kontra radikalisme
yang terintegrasi, dimana pihak ? pihak yang terkait dalam pelaksanaan kegiatan
kontra radikalisme bersama ? sama turun ke lapangan, berada di tengah ? tengah
masyarakat, sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi serta peranannya
melaksanakan kegiatan pencegahan terhadap penyebaran faham radikalisme dan
aksi terorisme di Indonesia.
Dengan konsep kegiatan/program Kontra radikalisme yang terintegrasi
diharapkan mampu menyentuh masyarakat di berbagai lapisan dan tingkatan
maupun di berbagai komunitas masyarakat guna membentengi dan meng counter
penyebaran faham radikalisme dan aksi terorisme yang terjadi di tengah ? tengah
masyarakat, sehingga kesatuan dan persatuan NKRI dapat terpelihara dan terjaga
dari berbagai ancaman disintegrasi bangsa dan Negara yang terjadi

ABSTRACT
The phenomenon of the spread of radicalism and terrorism is a serious problem
that threatens the unity and integrity the Republic of Indonesia. Issue about the
differences ideology and views on faith and religious laws become the most basic
things, so that happen is intolerance among Muslims, especially with the non-
Muslim community. This study aims to assess and analyze the extent to which the
implementation of activities or programs carried out by the counter radicalism
Prevention Division Densus 88 AT Police, and also look at the extent to which the
relevant ministries and agencies in responding to the massive spread of radicalism
and terrorism at this time. From this study, researchers also compiled and made a
draft implementation of the counter-radicalism integrated, where the relevant
parties in the implementation of counter radicalism together down to the field,
located in the middle of the community, according to their roles, responsibilities
and functions as well as conducting preventive role against the spread of
radicalism and terrorism in Indonesia.
With the concept of activities / programs Contra radicalism that integrates
expected to be able to touch people in different layers and levels and in various
communities in order to fortify and counters the spread of radicalism and
terrorism that occurred in the middle - the middle of the community, so that the
unity and integrity of the Republic of Indonesia can be maintained and awake
from a variety of threats disintegration and state what happened"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Pakpahan, Baginda
"Pasca peristiwa kelabu 11 September 2001 serangan terorisme di Amerika Serikat (New York dan Washington), situasi dunia telah berubah sebagai titik balik dari hubungan internasional. Titik balik dari hubungan yang biasanya diidentifikasikan dengan blok-blok yang saling berkonfrontasi menjadi sulit untuk identifikasikan. Terorisme menjadi pusat kutukan dan musuh bersama dari seluruh negara dan bangsa di dunis. Teroris merupakan pendatang / aktor baru hubungan internasional yang tidak nyata atau bayangan. Dunia menghadapi rencana ancaman dan pelaksanaan teroris global dan Amerika Serikat sebagai sasaran perdana dari aksi teroris global sebagai tanda eksisnya kelompok itu. Amerika Serikat melakukan peningkatan lebih ekstra dalam pertahanan dalam negeri dari biasanya. Hal ini merupakan ancaman kepada kebebasan dan demokrasi yang telah diyakini atau ditetapkan."
Jurnal Studi Amerika, 2002
JSAM-VIII-JanDes2002-42
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mohammad Rinaldi
"Penelitian ini menempatkan media massa sebagai ruang kontestasi. Untuk itu kemudian wacana yang tersaji adalah representasi dari kekuatan yang dominan. Penelitian ini ingin melihat bagaimana keterkaitan hegemoni ideologi demokrasiliberal Amerika terhadap pembentukan wacana war on terror di media massa tanah air. Penelitian ini dilakukan dengan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teori ekonomi politik kritis konstruktivis serta menggunakan strategi penelitian Analisis Wacana Kritis. Dengan Analisis Wacana Kritis penelitian kemudian dilakukan di tiga level yaitu pada level mikro yaitu teks dengan menganalisis teks berita, pada level meso yaitu praktik diskursus dengan data wawancara terhadap dua wartawan desk internasional, dan pada level makro yaitu praktik sosiokultural. Untuk memenuhi kriteria kualitas penelitian kritis dilakukan juga analisis historical situatedness. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara hegemoni ideologi demokrasi-liberal Amerika Serikat yang dibangun oleh proses sejarah dengan wacana 'War On Terror' yang tersaji kepada publik dalam ruang-ruang media massa.

This research observed mass media as a contested terrain. In such context, the discourse represented through news in mass media was perceived as representing the dominant power. This research analyzed how US liberal-democracy ideology hegemony was taken part into the war on terror discourse propagation throughout Indonesian national mass media. This research applies critical paradigm and qualitative approach with constructivist critical political economy theory and critical discourse analysis strategy. Through conducting critical discourse analysis, this research focuses on three level of analyses: (1) at the micro level, by doing news text analysis, (2) at the meso level, by doing discourse analysis through administering interviews with two journalists in international desk, and (3) at the macro level, by doing socio-cultural practice analysis. To ensure the critical research quality, historical situatedness analysis was undertaken, as well. The result of this research revealed that there is a relation between the US democracy-liberal ideology hegemony that is continuously constructed through historical process with the 'War On Terror' discourse disseminated to the public and represented in mass media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arifatul Choiri Fauzi
"Peristiwa bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002, yang memakan banyak korban membuat hampir seluruh media memunculkan pemberitaan peledakan Bali tidak hanya sebagai berita utama tetapi menjadi berita di halaman satu selama beberapa hari bahkan hampir tiga minggu. Ini menunjukkan bahwa media memiliki perhatian yang tinggi terhadap peristiwa peledakan bom di Bali. Namun masing-masing media memberitakan tentunya sesuai dengan visi dan misinya. Kecenderungan pemberitaan sebuah media bisa terlihat dari frame yang dibawa.
Untuk itu kemudian penulis mengambil dua harian yang terkemuka yaitu Republika dan Kompas. Selanjutnya penulis membuat dua pertanyaan besar bagaimana frame yang digunakan oleh kedua harian tersebut dan apa yang melatar belakangi perbedaan frame di kedua harian tersebut.
Aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemberitaan tentang peledakan bom di Bali. Secara metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan menerapkan analisa tekstual yang terdiri dari analisa kuantitatif dan analisa kualitatif berupa analisa framing. Selain itu penelitian ini juga menggunakan analisa intelektual yang meliputi analisa produksi teks dan sosial budaya dengan menggunakan analisis framing Pan & Kosicki sebagai alat analisisnya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya frame yang berbeda antara Harian Kompas dan Republika dalam melihat peristiwa peledakan bom di Bali. Harian Republika menggunakan wacana terorisme stigmatik ideology (bahwa teror itu dilakukan oleh kelompok yang memiliki misi suci agamanya) dan wacana terorisme hegemonik politis (bahwa teror dilihat dengan adanya sikap hegemoni negara besar atas negara kecil} dalam melihat peristiwa peledakan bom di Bali. Frame yang dibawa oleh Republika adalah bahwa Peledakan bom Bali merupakan rekayasa asing, artinya ada keterlibatan pihak asing dalam peristiwa tersebut, kalau belum bisa disebutkan sebagai pelakunya. Frame Republika ini terlihat dari berita-berita yang diturunkan. Frame Republika dalam penelitian ini terlihat bagaimana Republika dalam pemilihan sumber berita, penekanan pada kesalahan-kesalahan pihak asing atau Amnerika juga penekanan pada hal-hal yang erat kaitannya dengan Amerika seperti jenis bom yang biasa digunakan oleh militer Amerika. Selain itu Republika juga memblow up tuduhan Amerika terhadap kelompok Islam tentunya dengan maksud untuk membangkitkan semangat beragama para pembacanya yang sebagian besar adalah kelompok Islam.
Berbeda dengan Republika, Kompas memunculkan frame humanisme atau kemanusiaan. Kompas dalam melihat peristiwa peledakan bom di Bali ini dari sisi kemanusiaannya, sesuai dengan visi dan misinya. Kompas tidak mengarahkan pemberitaan kepada pihak atau kelompok tertentu tapi lebih memusatkan pemberitaan pada aspek investigatif yang dilakukan oleh pihak yang berwenang. Siapapun pelaku dari pengeboman ini harus diproses secara hukum tanpa melihat latar belakang suku, agama dan latar belakang lainnya. Siapapun pelakunya adalah teroris yang sangat biadab dan tidak berperikemanusiaan. Wacana teroris yang dibawa Kompas adalah menekankan sisi humanisme."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T1767
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trina Liztyani
"Runtuhnya gedung World Trade Centre (WTC) di New York tanggal 11 September 2001 akibat serangan teroris kini dilihat banyak pihak sebagai momen yang dramatis yang mengakhiri era Pasca Perang Dingin. Memang, tragedi 11 September 2001 membawa implikasi fundamental terhadap situasi dan percaturan politik internasional. Bagi Amerika Serikat (AS) sendiri, peristiwa tersebut merupakan pukulan telak bagi supremasi adidaya, yang menuntut respon dalam bentuk ?perang terhadap terorisme.? Bagi negara-negara lainya, selain menyadarkan mereka bahwa ancaman serius terhadap kemanusiaan dapat mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tragedi WTC dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari terbangunnya sebuah tatanan politik dunia yang ditandai oleh meningkatnya ancaman non-tradisional (khususnya dalam bentuk terorisme) dan hegemonisme AS sebagai adidaya tunggal. Presiden George W. Bush memiliki pandangan yang paralel dengan Samuel P.
Huntington, seorang penasihat Gedung Putih, yang melihat serangan teroris 11 September, bahwa kepentingan keamanan negara itu tidak dapat dilepaskan dari situasi keamanan global, yang pada gilirannya menuntut penguatan posisi hegemoni AS dan keterlibatan luas dalam percaturan politik internasional. Dalam merespons terorisme, kalkulasi kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS dapat dikatakan berubah secara signifikan, yang pada gilirannya telah mempengaruhi konstelasi politik internasional. Di sini sikap Bush yang keras terhadap terorisme teraktualisasi dalam kebijakan AS yang melahirkan semacam struktur "bipolar" baru yang memperumit pola-pola hubungan antarnegara. Pernyataan Bush, "either you are with us or you are with the terrorists", secara hitam-putih menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.
Pembelahan dunia demikian mempersulit posisi banyak negara.Bagi Bush dan Huntington, tragedi 11 September 2001 juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan AS dalam menilai sebuah negara. Kenyataan bahwa Presiden Pervez Musharraf di Pakistan naik ke tangga kekuasaan melalui kudeta militer tidak lagi menjadi kendala dan penghalang bagi AS untuk menjalin aliansi antiterorisme dengan negara itu. Persepsi Bush paralel dengan Huntington, yang menyatakan musuh utama Barat pasca-Perang Dingin adalah ''Islam militan'', dan dari berbagai penjelasannya, definisi Islam militan melebar ke manamana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, baik radikal maupun fundamental.
Peristiwa serangan 11 September 2001 di Amerika memunculkan isu terorisme internasional. Kedekatan Pakistan dengan Afghanistan menyebabkan Pakistan masuk ke dalam situasi dilematis. Pakistan harus memilih antara berpihak pada Amerika Serikat dan koalisi internasional anti ?terorisme? atau tetap mempertahankan hubungannya dengan Taliban. Pada akhirnya Pakistan memilih untuk berpihak pada Amerika Serikat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007.
T 22745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhoni
"Seiring dengan perkembangan dunia modern dan pertumbuhan yang pesat dari media informasi, isu mengenai teror dan terorisme semakin terasa dekat dikarenakan paparan yang terus disajikan oleh media. Media sosial, dimana penggunanya seringkali mendapatkan kebebasan berpendapat dengan memanfaatkan fitur anonimitas, seringkali disalahgunakan untuk menyebarkan berita palsu ataupun ancaman mengenai isu teror dan terorisme. Hal seperti itu memaksa pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pengendalian untuk mencegah adanya serangan yang mungkin ditimbulkan akibat informasi yang keluar tersebut. Menggunakan beberapa contoh kasus ancaman bom dan beberapa kasus mengenai isu teror dan terorisme, tulisan ini menganalisis dengan teori panopticism mengenai bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah negara Amerika Serikat, untuk mengawasi warga negara mereka dan mencegah terjadinya bencana yang mungkin berakibat dari pesan-pesan tersebut.

Along with the development of the modern world and the rapid growth of the media, the issues regarding terror and terrorism is seemingly getting closer because of the exposure that continues to be presented by the medias. Social media, where users often get the freedom of speech granted by the anonymity in the virtual space, is often misused to spread false news or threats regarding the issue of terror and terrorism. Such matters compel the government to exercise oversight and control to prevent possible attacks from the outgoing information that is available to them. Using several examples of bomb threats and some cases of terror and terrorism issues, this paper analyzes with the theory of panopticism on how government oversight, especially the United States government, oversees their citizens and prevents the occurrence of disasters that may come from those messages."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>