Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184363 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shinta
"Aspergilli moulds were isolated from 27 Indonesian tobacco samples, which were collected from different areas in Indonesia. Isolation of moulds was carried out by direct plating in Tauge Extract Agar (TEA) medium and representative colonies were isolated. Identification was carried out in Czapek . Dox Agar (CDA) and Malt Extract Agar (MEA) media based on macroscopic and microscopic observation of colony morphology. Total aspergilli moulds identified were 44 isolates, which consisted of 11 species. Asp. awamori (14 isolates) was the dominant species followed by Asp. flavus (13 isolates).

The capability of 13 isolates of Asp. flavus to produce aflatoxin B1 was investigated. The isolates were cultivated in a semisynthetic liquid medium for aflatoxin B1 production, followed by extraction with organic solvents and quantification by High Performance Liquid Chromatography (HPLC). The results showed that only 12 isolates were able to produce aflatoxin al and the average concentration ranged from 3.28 to 351.26 ppb."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heri Maryanto
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004
T40128
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Martina
"Aflatoksin B1 adalah racun yang potensial bersifat karsinogenik, hepatotoksik, mutagenik, dan imunosupresif, yang merupakan metabolit sekunder dari galur tertentu jamur Aspergillus yang tumbuh pada berbagai bahan makanan dan minuman.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan aflatoksin dalam jus buah kemasan yang beredar di pasaran, yaitu jus buah jeruk, mangga, dan jambu secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) densitometri.
Kondisi optimum KLT terdiri atas fase diam berupa lempeng KLT silika gel 60 F254, 20 x 10 cm dengan tebal lapisan 0,25 mm (Merck); fase gerak berupa kloroform-etil asetat (7:3); dan metanol sebagai pelarut. Deteksi dan kuantitasi dilakukan dengan Camag TLC scanner III, menggunakan detektor fluoresensi pada panjang gelombang eksitasi maksimum 354 nm dan emisi 400 nm.
Hasil pengujian menunjukkan data kurva kalibrasi yang linear antara 20—160 pg dengan koefisien korelasi 0,9977; batas deteksi 10,70 pg; dan batas kuantitasi 35,67 pg. Rata-rata uji perolehan kembali jus buah mangga 95,82% dan jus buah jambu 83,59%. Penerapan metode ini terhadap masing-masing tiga merk sampel jus buah mangga dan jus buah jambu kemasan menunjukkan tidak satupun yang tercemar AFB1."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S32541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Ernawati
"Salah satu masalah dalam pengobatan dan pencegahan kanker adalah kenyataan bahwa kanker hampir tidak pernah ditemukan pada keadaan dini. Kebanyakan diagnosis ditegakkan pada saat kanker sudah mencapai stadium yang cukup lanjut, sehingga pengobatan pun menjadi sukar. Dengan demikian peluang kesembuhan menjadi kecil. Hal ini antara lain disebabkan oleh belum ditemukannya senyawa yang secara dini dapat memberi isyarat bahwa seseorang mungkin mulai dijangkiti kanker. Adanya suatu pertanda kanker yang dapat dideteksi kehadirannya sejak dini akan meningkatkan kewaspadaan, baik pada dokter yang memeriksa maupun pada penderita sendiri. Dengan demikian usaha pengobatan yang lebih terarah dapat dilakukan.
Beberapa tahun terakhir ini para ahli telah melakukan banyak penelitian dalam usaha menemukan pertanda kanker. Pertanda kanker adalah senyawa-senyawa yang keberadaannya secara kualitatif atau kuantitatif, dapat menjadi pertanda adanya kanker dalam tubuh seseorang. Beberapa senyawa diperkirakan mempunyai potensi tersebut, salah satu di antaranya adalah asam sialat.
Asam sialat merupakan senyawa karbohidrat yang banyak terdapat pada permukaan sel. Asam sialat tidak terdapat dalam bentuk bebas. Senyawa ini selalu terikat dalam posisi terminal sebagai glikosfingolipid atau glikoprotein. Sampai saat ini fungsi asam sialat yang pasti belum jelas. Namun, senyawa-senyawa glikosfingolipid dan glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel diketahui mempunyai peran penting dalam interaksi antar sel dan interaksi antara sel dengan lingkungan abiotiknya.
Pada transformasi neoplastik terjadi berbagai perubahan pada sel, antara lain yang menyangkut sifat sosial sel. Sehubungan dengan hal itu telah diungkapkan berbagai perubahan yang terjadi pada permukaan sel. Perubahan tersebut ditemukan antara lain pada senyawa-senyawa glikosfingolipid dan glikoprotein yang berada di permukaan sel yang mengalami transformasi neoplastik.
Banyak hasil penelitian mengungkapkan bahwa kadar asam sialat dalam serum penderita kanker umumnya lebih tinggi dari pada normal. Kenaikan tersebut dijumpai pada berbagai jenis kanker, antara lain melanoma ganas, kanker payudara, kanker ovarium, kanker mulut rahim, kanker saluran urogenital, kanker saluran pencernaan, kanker paru, kanker hati, kanker urea dan leukemia.
Dari beberapa penelitian terungkap pula bahwa kenaikan kadar asam sialat serum sejalan dengan tingkat keparahan kanker dan besarnya tumor.
Namun belum lagi diketahui apakah kenaikan kadar asam sialat dalam serum tersebut sudah terjadi sejak dini, yaitu pada stadium ketika neoplasma tersebut masih berukuran kecil dan belum melakukan invasi terhadap jaringan di sekitarnya, kalau dapat bahkan pada keadaan pra kanker. Kadar asam sialat yang tinggi pada serum penderita kanker dapat dimanfaatkan sebagai salah satu petunjuk akan adanya kanker pada seseorang. Akan tetapi kegunaannya akan lebih besar apabila kenaikan kadar tersebut sudah dapat diketahui pada tingkat yang dini. Dengan perkataan lain asam sialat akan menjadi lebih bermanfaat jika dapat berfungsi sebagai pertanda dini kanker. Yang dimaksud dengan pertanda dini kanker adalah pertanda kanker yang sudah muncul dan dapat dideteksi kehadirannya sejak dini. Dengan demikian pertanda dini kanker adalah senyawa-senyawa yang dapat menjadi isyarat bahwa dalam tubuh seseorang sudah mulai terjadi proses perubahan sel ke arah keganasan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T6724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Aflatoksin merupakan metabolit yang diproduksi oleh kapang Aspergillus pada makanan dan pakan. Aflatoksin telah mendapatkan perhatian yang lebih besar dari mikotoksin lain karena menunjukkan efek karsinogenik pada hewan percobaan dan efek toksik akut pada manusia. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kandungan aflatoksin yang terdapat dalam kacang tanah dan jagung secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Kondisi optimum KCKT adalah dengan menggunakan kolom Supelcosil LC-18 25 cm x 4 mm ID, fase gerak metanol-asam asetat glasial-air (20:15:65) dengan laju alir 1,5 ml/menit. Analisis dilakukan dengan Shimadzu LC-6A, pemroses data Class C-R4A dan detektor Shimadzu RF-535 dengan panjang gelombang eksitasi 365 nm dan panjang gelombang emisi 425 nm. Hasil pengujian menunjukkan data kurva kalibrasi yang linear antara 10 -100 ng/ml dengan koefisien korelasi 0,9999; batas deteksi 1,913 ng/ml dan batas kuantitasi 6,379 ng/ml. Rata-rata uji perolehan kembali pada jagung 98,29% ±1,86%. Penerapan metode ini terhadap tiga sampel jagung rebus dan dua sampel jagung mentah menunjukkan tidak satupun yang tercemar AFB1."
Universitas Indonesia, 2006
S32558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Aflatoksin B1 adalah salah satu jenis mikotoksin jamur yang dikenal karena efek toksik dan karsinogeniknya pada beberapa hewan coba dan manusia. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan aflatoksin B1 dalam susu dan yoghurt kemasan di wilayah Lembang, Bandung Utara, secara Kromatografi Lapis Tipis Densitometri. Kondisi optimum terdiri dari fase diam yang berupa lempeng KLT silika gel 60 F254 (Merck), ukuran 20 x 10 cm dan fase gerak berupa campuran pelarut kloroform-etil asetat (7:3). Deteksi dan kuantitasi dilakukan dengan Camag TLC scanner III, menggunakan detektor fluoresensi pada panjang gelombang eksitasi maksimum 354 nm dan emisi 432 nm. Hasil pengamatan menunjukkan data kurva kalibrasi yang linear antara 20-160 pg dengan koefisien korelasi 0,9998; batas deteksi 3,002 pg; dan batas kuantitasi 10,005 pg. Rata-rata uji perolehan kembali menggunakan matriks blangko susu dan yoghurt rasa durian sebesar 100,05% dan 98,24%. Penerapan metode ini terhadap masing-masing dua merk sampel susu murni dan yoghurt rasa buah menunjukkan tidak satupun yang tercemar aflatoksin B1."
Universitas Indonesia, 2007
S32586
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiyogo Prio Wicaksono
"[ABSTRAK
Antibodi poliklonal anti aflatoksin B1 telah berhasil diproduksi pada hewan uji kelinci betina New Zealand White setelah diimunisasikan hapten aflatoksin B1-CMO yang dikonjugasikan dengan Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai antigen. Hapten aflatoksin B1-CMO disintesis menggunakan metode karbodiimida dengan substrat aflatoksin B1 dan carboxymethyl hydroxylamine hemihydrochloride (CMO) sebagai linkernya. Hasil karakterisasi kromatografi lapis tipis dengan nilai Rf rata-rata sebesar 0.395, spektrum UV-Visibel dengan puncak λ maks pada 362, 264, 218 nm, spektrum IR dengan puncak 3448.126 cm-1 (3000-3600 cm-1) : OH, pada 1632.249 cm-1(1540-1725 cm-1) : C=O, dan 1642.451 cm-1 (1640-1690 cm-1) :C=N (Oksim), dan hasil fragmentasi spektrometri massa (MS/MS) pada m/z 386, 368.2, 310 membuktikan hapten aflatoksin B1-CMO berhasil disintesis. Hapten ini kemudian dikonjugasikan dengan BSA membentuk antigen aflatoksin B1-BSA (AFB1-BSA) sebelum diimunisasikan ke kelinci. Spesifitas antigen AFB1-BSA terhadap antibodinya dan uji konjugasi hapten ke BSA menunjukkan hasil positif menggunakan uji Dot Blot Immunoassay dengan konsentrasi BSA di dalam antigennya sebesar 1.74 mg/mL. Serum darah kelinci berdasarkan uji Agar Gel Precipitation Test (AGPT) positif mengandung antibodi poliklonal anti aflatoksin B1 setelah dua pekan (hari ke-11) sejak imunisasi primer antigen AFB1-BSA dilakukan. Dari serum darah bleeding panen, diperoleh konsentrasi antibodinya sebesar sebesar 2.19 mg/mL. Immunokromatogafi strip tes berhasil dibuat dengan nanopartikel iridium oksida (IrO2 NPs) sebagai kandidat label antibodinya dan dapat digunakan untuk mendeteksi sampel H IgG pada rentang 0.1 μg/mL sampai 10 μg/mL. Studi pendahuluan ini menunjukkan bahwa perangkat strip tes ini dapat digunakan untuk aplikasi konjugat sensor antibodi anti aflatoksin B1-nanopartikel iridium oksida untuk deteksi aflatoksin B1.

ABSTRACT
Polyclonal antibody against aflatoxin B1 have been successfully produced in New Zealand White Rabbit after immunized by hapten of aflatoxin B1-CMO conjugated with Bovine Serum Albumin (BSA) as antigen. Hapten of aflatoxin B1-CMO was synthesized using carbodiimide method with afltoksin B1 as substrate and carboxymethyl hydroxylamine hemihydrochloride (CMO) as its linker. The characterization results of thin layer chromatography with Rf value of 0.395, the spectrum of UV-Visible with λ max peaks at 362, 264, 218 nm, the IR spectrum with peak at 3448.126 cm-1 (3000-3600 cm-1): OH , 1632.249 cm-1(1540-1725 cm-1): C = O, 1642.451 cm-1 (1640-1690 cm-1): C = N (oxime), and the results of mass spectrometry fragmentation (MS / MS) at m/ z of 386, 368.2, 310 proved that hapten of aflatoxin B1 -CMO successfully synthesized. Then, the hapten was conjugated to BSA to form antigen of aflatoxin B1-BSA (AFB1-BSA) before immunized to rabbits. The specificity of antigen of AFB1-BSA to its antibody and the confirmation of hapten-BSA conjugated showed positive results using dot blot immunoassay with BSA concentration in the antigen of 1.74 mg/mL. Based on Agar Gel Precipitation Test (AGPT) shown the rabbit blood serum resulted positive for polyclonal antibody against aflatoxin B1 after two weeks (day 11st) since the primary immunization of its antigen. From blood serum bleeding at harvest obtained the concentration of antibodies was 2.19 mg / mL. An Immunochromatogaphic test strip was successfully fabricated using iridium oxide nanoparticles (IrO2 NPs) as a labeled antibody candidate and can be used to detect the IgG H sample between of 0.1 μg/mL to 10 μg/mL. This preliminary study shown that the device can be used for applications of antibody against aflatoxin B1-nanoparticle iridium oxide conjugate for detection of aflatoxin B1
, Polyclonal antibody against aflatoxin B1 have been successfully produced in New Zealand White Rabbit after immunized by hapten of aflatoxin B1-CMO conjugated with Bovine Serum Albumin (BSA) as antigen. Hapten of aflatoxin B1-CMO was synthesized using carbodiimide method with afltoksin B1 as substrate and carboxymethyl hydroxylamine hemihydrochloride (CMO) as its linker. The characterization results of thin layer chromatography with Rf value of 0.395, the spectrum of UV-Visible with λ max peaks at 362, 264, 218 nm, the IR spectrum with peak at 3448.126 cm-1 (3000-3600 cm-1): OH , 1632.249 cm-1(1540-1725 cm-1): C = O, 1642.451 cm-1 (1640-1690 cm-1): C = N (oxime), and the results of mass spectrometry fragmentation (MS / MS) at m/ z of 386, 368.2, 310 proved that hapten of aflatoxin B1 -CMO successfully synthesized. Then, the hapten was conjugated to BSA to form antigen of aflatoxin B1-BSA (AFB1-BSA) before immunized to rabbits. The specificity of antigen of AFB1-BSA to its antibody and the confirmation of hapten-BSA conjugated showed positive results using dot blot immunoassay with BSA concentration in the antigen of 1.74 mg/mL. Based on Agar Gel Precipitation Test (AGPT) shown the rabbit blood serum resulted positive for polyclonal antibody against aflatoxin B1 after two weeks (day 11st) since the primary immunization of its antigen. From blood serum bleeding at harvest obtained the concentration of antibodies was 2.19 mg / mL. An Immunochromatogaphic test strip was successfully fabricated using iridium oxide nanoparticles (IrO2 NPs) as a labeled antibody candidate and can be used to detect the IgG H sample between of 0.1 μg/mL to 10 μg/mL. This preliminary study shown that the device can be used for applications of antibody against aflatoxin B1-nanoparticle iridium oxide conjugate for detection of aflatoxin B1
]"
2015
T43541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfian
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai efek penggunaan dua produk (A dan B) dengan komposisi Natrium kalsium aluminasilikat hidrat 11 dan 14%, senyawa propionat 46 & 52% serta Kalsium karbonat 43 dan 34% terhadap Aspergilus flavus dan aflatoksin B1 Tujuannya adalah menentukan kadar hambat minimalnya terhadap Aspergillus flavus Z2269-3B dan daya adsorpsiriya terhadap aflatoksin BI di dalam pakan ayam dengan dosis 203 dan 400 ppm. Kadar hambat minimal ditentukan denqan metode pengenceran tabung (tube dilution) dan daya adsorpsi dengan melihat pengaruh penambahan kedua produk terhadap kadar aflatoksin B1 dalam pakan setelah 6 hari sejak penambahan produk. Aflatoksin B1 diekstraksi dan ditentukan kadarnya secara fluoredensiometri. Hasil penelitian kadar hambat minimal produk A1 mg/ml dan B = 2 mg/ml, dan daya adsorpsi kedua produk dengan dua perulangan memberikan hasil yang tidak berbeda bermakna (P> 0,05) dibandingkan terhadap kontrol."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1993
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahiyah Rania Fachri
"Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang diproduksi oleh jamur genus Aspergillus. Aflatoksin bersifat karsinogen, hal ini menyebabkan keberadaan aflatoksin makanan menjadi perhatian. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kenaikan kadar flatoksin selama penyimpanan pada bumbu kacang buatan pabrik dan bumbu kacang buatan sendiri yang disimpan selama beberapa hari dengan dibungkus dan tidak dibungkus. Penetapan kadar dilakukan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi detektor fluoresensi. Analisis kondisi dilakukan pada panjang gelombang eksitasi 365 nm dan emisi 455 nm dengan komposisi fase gerak air-metanol (60:40). Hasil validasi standar aflatoksin B1 dengan rentang 50-150 pg dan aflatoksin B2 dengan rentang 12,5-37,5 pg diperoleh persamaan garis kurva kalibrasi berturut-turut y = 123,95x - 71 dan y = 5111,5x - 589,6 dengan koefiesien pertunjukan (r) sebesar 0,999 untuk memuaskan. Nilai LOD dan LOQ senyawa aflatoksin B1 adalah 5,0975 pg dan 16,992 pg, untuk aflatoksin B2 sebesar 0,6818 pg dan 2,2727 pg. % UPK dan% KV yang didapat berturut-turut adalah 66,02-71,63% dan 0,17-1,29%. Pada bumbu kacang yang dianalisis ditemukan aflatoksin, namun pada bumbu kacang buatan pabrik ditemukan afltoksin dengan konsentrasi yang berada dibawah batas yang berasal dari BPOM. Hasil menunjukkan adanya pengaruh dalam penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin dalam bumbu kacang yang disimpan tanpa pembungkus, karena adanya peningkatan flatoksin dari hari ke hari dengan peningkatan signifikan pada bumbu kacang buatan sendiri yaitu dari 7,3661 ppb menjadi 21,8776 ppb setelah 6 hari penyimpanan.
Aflatoxins are secondary metabolites produced by the fungus genus Aspergillus. Aflatoxins are known as a carcinogen, this causes the importance of aflatoxins in food to be a concern. This research was carried out to identify the increase in aflatoxin levels during storage in factory-made peanut sauce and homemade peanut sauce which were stored for several days with and without packaging. The determination of the content is carried out using a high-performance liquid chromatography fluorescence detector. Condition analysis was performed at 365 nm excitation wavelength and 455 nm emission with water-methanol (60:40) mobile phase composition. The results validation of aflatoxin B1 in the range of 50-150 pg and aflatoxin B2 in the range of 12.5-37.5 pg obtained the calibration curve equation successively y = 123.95x - 71 and y = 5111.5x - 589.6 with coefficients correlation (r) of 0.999 for both. The LOD and LOQ values ​​of aflatoxin B1 compounds were 5.0975 pg and 16.992 pg, aflatoxin B2 compounds were 0.6818 pg and 2.2727 pg. The% recovery and% CV obtained were 66.02-71.63% and 0.17-1.29%, respectively. In all analyzed peanut sauce aflatoxin was found, but in factory-made peanut sauce, the concentration of aflatoxin was found below the limit allowed by BPOM. The results show that there is an effect of storage with aflatoxin content in peanut sauce that is stored without packaging, due to an increase in aflatoxin levels from day to day with a significant increase in the level of homemade peanut sauce from 7.3661 ppb to 21.8776 ppb after 6 days of storage."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S70485
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>