Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113887 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ubaidillah
"TBC Paru merupakan penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang panting di dunia, khususnya di negara yang sedang berkembang.
Menurut WHO prevalensi penyakit ini didunia adalah sekitar 15-20 juta, dengan insiden sekitar 10 juta dan tidak kurang dari 3 juta kematian setiap tahun. Jumlah penderita TBC Paru di Indonesia terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan ada sekitar 500.000 penderita baru setiap tahun dengan 175.000 kematian.
Di Kabupaten Lahat penyakit ini menduduki peringkat ketiga pola penyebab penyakit untuk semua golongan umur dan merupakan penyebab kematian utama pada golongan umur 60 tahun keatas. Tingginya prevalensi penyakit ini disebabkan masih rendahnya angka kesembuhan penderita (<85%). Salah satu penyebab rendahnya angka kesembuhan penderita ini adalah ketidakteraturan berobat penderita.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan berobat penderita TBC Paru di Kabupaten Lahat Propinsi Sumatera Selatan.
Penelitian dilakukan dengan menganalisis data sekunder yaitu data yang bersumber dari kartu pengobatan penderita (TB 01) yang ada di puskesmas. Data yang dianalisis adalah data selama 2 tahun yaitu tahun 1999 dan tahun 2000.
Metode penelitian adalah desain kasus kontrol dimana kasus adalah penderita yang berobat tidak teratur dan kontrol adalah penderita yang berobat teratur. Jumlah sampel sebanyak 225 prang yaitu 75 kasus dan 150 kontrol (1 kasus : 2 kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi penderita TBC paru masih cukup tinggi (32%). Faktor yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan penderita ini adalah a) Tipe penderita (p= 0,0193). Penderita kambuh mempunyai risiko 18 kali lebih besar untuk tidak teratur berobat (OR 18,18 95% CI 2,1 ; 157,4). b) Selang waktu antara penegakan diagnosis dan pemberian obat (p= 0,0059). Penderita yang mempunyai selang waktu mempunyai risiko 3 kali untuk tidak teratur berobat (OR 3,0, 95% CI 1,37 ; 6,57). c) Status Pengawas Menelan Obat (PMO). PMO merupakan faktor pencegah terhadap ketidakteraturan berobat (p=0,132). Penderita yang mempunyai PMO anggota keluarga mempunyai risiko 0,34 kali lebih kecil untuk tidak teratur berobat.
Dalam pengobatan penderita TBC paru perlu memperhatikan tipe penderita dan selang waktu antara diagnosis dan pemberian obat. Penderita kambuh dan penderita yang mempunyai selang waktu perlu diberikan penyuluhan yang lebih intensif agar mereka mengikuti program pengobatan dengan teratur sampai akhir pengobatan. Setiap penderita harus ditunjuk seorang PMO yang dapat mengawasi mereka dalam menelan obat. PMO yang ditunjuk ini sebaiknya adalah anggota keluarga sendiri.
Daftar Pustaka 48 : (1972 - 2000).

Factor Influencing Disobedience of Taking Medicine on Lung Tubeculosis Patients in Lahat District, South Sumatera ProvincesLung Tuberculosis is a communicable disease caused by Mycobacterium Tuberculosis. The disease is still an important health problem especialy in under devloving countries. According to WHO, the prevalence is about 15 to 20 millions while the incidence is 10 millions which caused nat least 3 millions deaths every year. Indonesia has the third biggest of lung tuberculosis patients after India and Cina. It was estimated that there will be 500.000 new patients every year and 175.000 deaths caused by the disease.
In Lahat district, South Sumatera Provinces, this disease is the third as the disease pattern cause in all age and to first to those above 60 years of age. The prevalence of the disease still high because of the low patients recovery rate (< 85 %). One of the causes is disobedience of patients in taking medicine.
The purpose of this research is to know factors influencing disobedience of lung tuberculosis patient in Lahat district. This research used secondary data which taken from patients card (TB 01) available in public health centers of two years priori, since 1999 to 2000. The design is case control. Cases is the disobey patients while controls is the obey patient. Sample are 225 patients which consist of 75 cases and 150 controls.
The result showed that proportion of disobedience patient is still high (32 %). Factors influencing disobedience of patients of taking medicine are the patients type (p=0,0193), Repeated patients have risk 18 times bigger than new patients. (OR 18,18, 95% CI 2,1 < OR < 157,4). In interval between diagnosis and taking therapy (p=0,0059) The patients which have interval have risk 3 times bigger to be disobey. (OR 3,0, 95% CI 1,37
Considering the result of this research I suggest to focus on patients type as wel as interval between diagnosis and taking therapy. Bisides that, it could be better if they could be given information to follow their medication more intensively and have the supervisor of taking medicine from their own family members.
Refrences : 48 ( 1974 - 2000)."
2001
T9551
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi
"Program penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) telah dimulai sejak tahun 1995. Diantara indikator yang dapat digunakan melihat keberhasilan strategi DOTS adalah angka kesembuhan dan angka konversi. Di kota Jambi angka kesembuhan pada tahun 2000 sebesar 87,5% di atas target nasional sebesar 85%, dan tahun 2001 turun menjadi 80%. Sedangkan angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) tahun 2001 hanya mencapai 65% di bawah target nasional sebesar 80%,. Terjadinya penurunan angka kesembuhan dan angka konversi tersebut mengindikasikan adanya penurunan persentase penderita Tb Paru yang patuh berobat di kota Jambi tahun 2001. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di kota Jambi tahun 2001.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 2 bulan, dengan menggunakan data primer yang di peroleh dari basil wawancara melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah seluruh penderita Tb Paru yang telah selesai berobat sejak 1 November 2000 sampai 31 Oktober 2001 sebanyak 133 orang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, efek samping obat (ESO), jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, persepsi terhadappersediaan obat, penyuluhan oleh petugas, jenis PMO dan peran PMO mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru.
Dan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa faktor jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, penyuluhan oleh petugas, dan peran PMO merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di Kota Jambi tahun 2001.
Penelitian ini menyarankan pihak program dapat memanfaatkan tenaga kesehatan yang berdomisili dekat dengan penderita untuk memperrnudah pasien mengambil obat misalnya bidan di desa, perawat, petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu.
Agar PMO benar-benar dapat melaksanakan tugas sesuai fungsi dan peranya dengan baik, maka dimasa yang akan datang disarankan perlu melakukan pemilihan PMO yang lebih selektif, dan semua PMO tersebut di beri pelatihan secara khusus sebelum pengobatan dimulai. Dengan memperhatikan kuatnya hubungan antara penyuluhan yang diberikan petugas dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru serta didukung hasil beberapa penelitian terdahulu, maka di masa akan datang perlu pengamatan secara kualitatif tentang penyuluhan langsung perorangan yang diberikar petugas kepada penderita Tb Paru di Puskesmas, dan kemungkinan altematil pengembangan keterampilan petugas dalam memberi penyuluhan lansung perorangan (misalnya dengan mengikuti pelatihan atau kursus berhubungan dengan penyuluhan tersebut).

Lung Tuberculosis control program by Directly Observed Treatment Short course (DOTS) has been started since 1995. Among the indicators that suggested the ? level of successfulness of DOTS strategy are cure rate and conversion rate. In Jambi recovery rate in year 2000 is 87,5% higher than 85% of national target, but in 2001 decrease to 80%. Whereas conversion rate of Acid-Fast Bacilli positive to negative in 2001 is only 65% below 80% of national target. The decreasing rate of recovery and conversion indicating the decreasingly of lung TB patient which obey regular medication in Jambi. This study generally to find out factors related to medication compliance of lung TB patient in Jambi year of 2001.
This study using a cross sectional design, carried out in two months, primary data obtained from interview with questionnaires. The sample is all of the 133 lung TB patients that have been taking medication since 1st of November 2000 to 31st of December 2001.
This study suggest that such factors like knowledge, drugs side effect, distance from home to community health centre, transportation, perception to drugs availability, information dissemination by health officer, and drug usage supervising have significance correlation to patient's obedient to medication. From multivariate analysis, can conclude that distance factor from house to community health centre, transportation, information by healthcare staff, and drug usage supervising are dominant variable related to lung TB patient's compliance in medication in Jambi year of 2001. This study recommended that program planner to involve every healthcare staff which living nearby patient to help patient in this medication such as midwife or community health centre staffs.
In order to encourage PMOs to do the task appropriately, in the future all PMOs should be rained before doing their job. By considering relationship between educations by healthcare staff with patient's compliance to medication and supported by the results from previous study, so in the future need qualitative observation about information directly to TB lung patient in community health centre, and alternative for developing skill of healthcare staffs in disseminating information directly to an individual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penyakit tuberkulosis (TB paru) merupakan masalah yang masih belum dapat dituntaskan. Data Program P2TB Kota Cirebon tahun 2011 menunjukkan, 91% (CR)/263 orang sembuh, 2.2%/7 orang meninggal, 4.5%/13 orang DO, 2.08%/6 orang gagal, ini telah mencapai indikator keberhasilan nasional, tetapi beberapa puskesmas masih berada di bawah indikator nasional, yaitu Puskesmas Perumnas Utara (Cure Rate/CR 60%), Larangan (CR 70.37%) Puskesmas Kesambi (CR 66.67%), dan Jl. Kembang (CR 75%). Hal ini menunjukkan, peran PMO masih belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor pada Pengawas Minum Obat (PMO) dengan kepatuhan berobat penderita TB paru, serta variabel dominan yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru.
Menggunakan desain penelitian case control, jumlah sampel minimal kasus 34 sampel, perbandingan kasus dan kontrol 1 : 2, jumlah sampel keseluruhan adalah 102 (34 kasus dan 68 kontrol), teknik pengambilan sampel random sampling. Kriteria responden: PMO penderita TB paru yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Hasil penelitian menunjukkan variabel tingkat pengetahuan PMO (p= 0.013, α=0.05) dan penyuluhan (p=0.000, α=0.05) berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru. Penyuluhan merupakan variabel dominan yang mempengaruhi 6.018 kali kepatuhan berobat penderita TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan PMO dan penyuluhan mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru, dengan faktor dominan adalah penyuluhan. Saran dari penelitian ini adalah meningkatkan upaya untuk meningkatkan pengetahuan PMO. Studi untuk mengetahui efektifitas asuhan keperawatan keluarga dalam membina peran
PMO sangat diperlukan."
613 JKKI 10:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Puspitasari
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26695
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harjo
"Penyakit kusta di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang di timbulkan oleh penyakit ini. Menghadapi masalah ini organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menetapkan agar pada tahun 2000 penyakit kusta tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi rate 1 per 10.000 penduduk. Penurunan prevalensi rate ini dapat dicapai dengan upaya penurunan proporsi penderita kusta yang berobat tidak teratur dalam periode waktu tertentu. prevalensi rate Kabupaten Majalengka cenderung menurun dari tahun ke tahun, tetapi belum mencapai target prevalensi rate yang ditargetkan oleh WHO yaitu kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Namun hal ini berbeda dengan penemuan penderita baru yang cenderung meningkat.
Pencapaian persentase ketidakteraturan berobat penderita kusta di Kabupaten Majalengka pada tahun 2000 sebesar 32,31% sehingga RFT hanya sebesar 67,69%. Angka ini relatif masih rendah bila dibandingkan dengan target RFT (Release From Treatment) rate nasional (keteraturan berobat) sebesar 90%.
Beberapa penelitian terdahulu, misalnya di Kabupaten Kuningan menunjukan bahwa ketidakteraturan berobat (1993) mencapai 18,80%, kemudian di Kabupaten Tangerang menunjukan bahwa ketidakteraturan berobat (1993) mencapai 21,60%.
Berdasarkan kenyataan ini, maka dilakukan penelitian yang mengkaji penyebab ketidakteraturan berobat yang sebenarnya dari penderita kusta yang terdiri dari variabel umur penderita kusta, jenis kelamin penderita kusta, pekerjaan penderita kusta, pendidikan penderita kusta, pengetahuan, sikap dan keyakinan penderita tentang penyakitnya, ketersediaan obat di puskesmas, peran petugas kesehatan dan peran keluarga dalam pengobatan.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Majalengka dengan desain cross sectional dan menggunakan data primer. Responden berjumlah 208 orang yang merupakan seluruh populasi yang memenuhi kriteria sampel.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara statistik diperoleh hubungan yang bermakna pengetahuan penderita kusta (OR: 2,62, 95%CI : 1,44 - 4,76), sikap (OR 2,76, 95%C1 : 1,51 -5,05), ketersediaan obat di puskesmas (OR : 3,34, 95%CI : 1,64 - 6,80), dan peran petugas kesehatan (OR : 2,91, 95%CI : 1,60 - 5,31) dengan ketidakteraturan berobat penderita kusta. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya interaksi pada faktor risiko yang berhubungan dengan ketidakteraturan berobat penderita kusta.
Diperlukan upaya meningkatkan penyuluhan melalui media radio, televisi, buku, majalah dan pamflet yang komunikatif, sederhana dan dapat diterima masyarakat di daerah sehingga dapat mengubah perilaku. Disamping itu perlu adanya perencanaan tahunan kebutuhan obat sesuai dengan jumlah sasaran sehingga tidak terjadi kekurangan obat dan perlu juga pendidikan kesehatan yang persuasif dengan menggunakan peran keluarga atau kelompok sesama penderita dengan melibatkan tokoh masyarakat sekaligus sebagai pengawas menelan obat, serta meningkatkan kemampuan petugas pengelola program kusta, yang diharapkan petugas lebih proaktif dalam melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi kepada penderita kusta dan keluarga dengan mendatangi penderita dan keluarga untuk memberikan dukungan sosial dan konsultasi. Selain itu, diharapkan pula petugas dapat memberikan pelayanan pengobatan sesegera mungkin.
Daftar Pustaka : 52 (1956 ? 2001).

Some Factors Relating to the Leprosy Patients Irregularity for Medical Treatment at the Regency of Majalengka in 1998 ? 2000.
Leprosy was still a public health problem in Indonesia. The disease did not only cause a big problem to the medical area, but also to the community. To overcome this matter, the United Nations World Health Organization (WHO) had determined that in the year 2000 leprosy would no longer become a community problem with the prevalence rate of 1 per 10.000 people. The decrease of the prevalence rate could be abstained by reducing the number of leprosy patients who irregularly visited clinics for medical treatment, There was a tendency that the prevalence rate in Majalengka decreased from year to year, although it had not reached the targeted rate of the WHO, namely less than I per 10.000 people. This, however, was unlike the number of the newly known leprosy patients which tended to increase.
In Majalengka the number of leprosy patients with irregular treatment in the year 2000 stood at 32.32 % which meant that the RFT (Release From Treatment) was only 67,69%. This figure was relatively still lower than the targeted national RFT rate (i.e.regular treatment) of 90%.
Some earlier studies, such as one held in the Regency of Kuningan, showed that the irregular treatment in 1993 reached 18.80%. Another study in the Regency of Tangerang (1993) showed an irregularity of 21.60%.
On the basis of these facts, a study was carried out to learn the actual causes of the irregularity for treatment by leprosy patients. The variables included age, sex, occupations, education, knowledge, attitude and belief of the patients on the disease, provision of medicines in the clinics, the roles of the clinic officials and of the relatives in the treatment.
The study in Majalengka made use of the cross-sectional design and primary data, with 208 respondents, namely the whole population meeting the sample criteria.
Results of the study showed there was statistically significant correlation between the knowledge of patients (OR : 2.62, 95%CI : 1.44 - 4,76), their attitudes (OR :2.76, 95%CI : 1.51 - 5.05), provision of medicines in clinics (OR : 3.34, 95%CI : 1,64 - 6,80), the roles of the clinic officials (OR : 2.91, 95%CI : 1.60 -5.31) and the patients irregularity for treatment. The study did not show any interaction of risk factors related to the patient irregularity for treatment.
It was necessary to improve efforts in giving better information through the radio, television, books, magazines and leaflets in a communicative and simple way which would be more digestible to the local people. In this way people were expected to change their behavior. The study also suggested the necessity of an annual plan by the local government for the need of enough medicines for the targeted patients. The local government should also provide persuasive health education by involving active participation of relatives or groups of other leprosy patients, including some social celebrities who, at the some time, acted as watchers of the patients, discipline in taking medicines. It was also considered necessary to be more pro-active in communication and providing information as well as education to both the patients and their relatives by visiting them for social support and consultation. Apart from that, officials were expected to give treatment to the patients as immediately as possible.
Bibliography : 52 (1956 - 2001).
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T2758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamdani Oesman
"Program penanggulangan tuberkulosis paru dengan strategi Directly Obserbved Treatment Short course Chemotheraphy (DOTS) secara nasional telah memberikan hasil yang baik, dimana angka konversi pada fase awal sebesar 81,1%. Hal ini berarti lebih besar dari target nasional untuk angka konversi pada fase awal sebesar 80,0%. Di Propinsi Daerah Istimewa Aceh angka konversi fase awal 59,6%, sedangkan di Kabupaten Aceh Utara angka konversi pada fase awal masih 53,0%. Ketidakteraturan berobat merupakan salah satu penyebab kegagalan program penanggulangan TB Paru.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang kepatuhan berobat penderita TB Paru dan faktor-faktor yang berhubungan. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Aceh Utara.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Sampel penelitian adalah seluruh penderita TB Paru (total populasi) yang berobat sejak 1 Januari 1999 sampai dengan 31 Mei 1999 sebanyak 96 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh penderita TB Paru di Kabupaten Aceh Utara yang patuh (57.3%) dan yang tidak patuh (42.7%).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor pengawas menelan obat, keterjangkauan jarak (jarak dari rumah ke Puskesmas) dan kejelasan isi penyuluhan mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kepatuhan berobat.
Penelitian ini menyarankan untuk mengatasi masalah jarak, biaya dan transportasi maka perlu dilakukan pemberian obat TB Paru melalui bidan di desa setelah pemeriksaan pertama dilakukan di Puskesmas dan kepada bidan desa tersebut diberi pelatihan khusus mengenai program TB Paru demi kelangsungan dan keberhasilan pengobatan. Penelitian ini juga menyarankan dalam memberikan penyuluhan pada penderita perlu adanya kejelasan materi yang disampaikan dan memberi kesempatan pada penderita atau keluarganya yang ditunjuk sebagai pengawas menelan obat (PMO) untuk bertanya tentang hal-hal yang belum jelas mengenai penyakit tersebut sehingga mereka mendapat informasi yang jelas.

Factors related to patient obedience of pulmonal tuberculosis treatment in North Aceh District, on 1999
The pulmonal tuberculosis treatments by DOTS strategy have made a good result with conversion at the first phase around 81.1%. The percentage of conversion in Aceh Province is only around 59.6%. Furthermore, in North Aceh district the conversion is only 53.0%. The unsuccessful result on the treatment of pulmonal tuberculosis disease can be caused by undisciplinary attitude of the patient in observing the treatment program.
The aim of this research was to describe the patient compliance in tuberculosis treatment program and related factors in North Aceh District.
The research design was a cross sectional study. Samples were all of TB patients in North Aceh District and sampling method was a total sampling with 96 patients as respondents.
Result of the research showed that there were 57.3% patient complied with the treatment and 42.78% did not.
This study also concluded that the treatment supervisor, distance from the patient house to Health Center, and clear information are significantly related to the compliance.
This study recommend (1) to train and utilize midwife in village as medical supervisor,; (2) provide clear information about the disease to the patients or their relatives as treatment supervisor and discuss everything until they understand about the disease."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T5319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaumaryadi
"Program penanggulangan TB Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) di Kota Palembang secara nasional telah memberikan hasil yang baik, dimana angka konversi pada fase awal pengobatan sebesar 87%. Hal ini berarti lebih besar dari target nasional untuk angka konversi pada fase awal sebesar 80%, tetapi angka kesembuhan masih rendah (72%) dari target 85%, dengan penderita lalai berobat (defaulted) masih tinggi (12,03%). Keluhan efek samping OAT merupakan salah satu penyebab ketidakpatuhan berobat.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan keluhan efek samping OAT dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB Paru di Kota Palembang Propinsi Sumatera Selatan Tahun 1999-2000.
Pada penelitian ini, sebagai variabel dependen adalah ketidakpatuhan berobat penderita Tuberkulosis Paru dan variabel independen utama keluhan efek samping OAT dan variabel independen lainnya umur responden, pekerjaan responden, pendidikan responden, jenis kelamin responden, jenis PMO, peran PMO, pendidikan PMO, dan mutu pelayanan kesehatan.
Disain penelitian adalah kasus-kontrol tidak berpadanan (unmatched). Sampel adalah sebagian penderita TB Paru BTA positif berumur ≥ 15 tahun yang berobat di 36 puskesmas sejak 1 Oktober 1999 sampai 30 November 2000 dan mendapatkan pengobatan dengan strategi DOTS kategori-1 atau katagori-2. Jumlah sampel sebanyak 305 orang terdiri dari 144 kasus dan 161 kontrol.
Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan keluhan efek samping OAT dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB Paru di Kota Palembang dimana penderita TB Paru ada keluhan efek samping OAT, 3,00 kali lebih berisiko untuk tidak patuh berobat dibandingkan dengan tidak ada keluhan efek samping OAT (OR : 3,00 dan 95% CI : 1,58-4,87).
Penelitian ini menyarankan untuk meminimalkan efek samping OAT yang terjadi perlu dilakukan pemantauan yang ketat dengan pemeriksaan klinis dan laboratoris, konseling atau komunikasi yang baik dengan penderita TB Paru, menyediakan obat-obatan efek samping OAT, penelitian mengenai efek samping OAT dengan disain kohor dan instrumen yang lebih akurat serta penelitian tentang dosis obat TB Paru dihubungkan dengan berat badan penderita, apakah spesifik untuk daerah Sumatera Selatan.

The Relation of Anti-Tuberculosis Drug Side Effect Complain With Lung Tb Patient Taking Drug Disobedience in Palembang South Sumatera Province 1999 - 2000
Lung TB Control Program by the strategy of Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) in Palembang nationally has given a good result, where the conversion rate at intensive phase is 87%. It means higher than national target of conversion rate which is 80%, but the cure rate still lower (72%) from the target 85%, with the defaulted patient still high (12.03%). The complaint of anti-TB drug side effect is one of the causes of the taking drug disobedience.
This research's objective is to find out the relation of anti-TB drug side effect to the taking drug disobedience of lung TB patient in Palembang, South Sumatera Province in 1999 - 2000.
In this research's, dependent variable is lung TB patient taking drug disobedience and independent variable is the complaint of anti-TB drug side effect, the other independent is age, occupation, education, sex of lung TB patient, type of treatment observer, role of treatment observer, education of treatment observer, and quality of health care.
The research's design is unmatched case-control. The sample is a part of BTA positive of lung TB patients by the age of ≥ 15 years old which have taken a treatment in 36 Health Centers since October, 1, 1999 until November, 30, 2000, and get short course treatment by strategy of DOTS category-1 and category-2. Total sample are 305, with 144 cases and 161 controls.
This research's concluded that has relation the complaint of anti-TB drug side effect with lung TB patients taking drug disobedience in Palembang, where lung TB patients who got complaint of anti-TB drug side effect is 3.00 times have risk to disobey medication than those which not have (OR : 3.00 and 95% CI : 1.58-4,87).
This research's recommend to minimize the clinical side effect of anti-TB drug by strict observation with clinical examination and laboratory, counseling or establishing a good communication to lung TB patients when they take medication and control, each Health Centre should prepare medicine to counter anti-TB drug side effect, do the research of anti-TB drug side effect by design cohort and good instrument, and study of relation between body weight to anti-TB drug's dose."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T 8397
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Masduki
"Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan pendekatan "cross sectional" dengan teknik analisis data kuantitatif. Pengambilan data dilakukan dengan penelusuran kartu penderita di Puskesmas serta melakukan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh kemudian diolah secara statistik menggunakan teknik analisis distribusi frekuensi, uji Chi-Square, Phi, serta analisis Regresi Logistik.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kuningan, dengan unit analisis para penderita kusta, baik yang masih aktif berobat maupun penderita yang telah pasif berobat dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku kepatuhan berobat penderita kusta di Kabupaten Kuningan, untuk mengetahui pengaruh faktor kharakteristik, faktor non perilaku, serta faktor perilaku penderita terhadap kepatuhan berobat.
Hasil penelitian didapat bahwa 83.5% dari responden ternyata patuh berobat dan sebanyak 16.56 tidak patuh berobat. Berdasar analisis bivariat ternyata ada hubungan antara faktor-faktor pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, pengetahuan, persepsi dan faktor cacat akibat penyakit kusta dengan kepatuhan berobat di Kabupaten Kuningan. Sedangkan faktor umur, sikap penderita terhadap pengobatan penyakit kusta, serta faktor adanya bercak dikulit penderita tidak ada hubungannya dengan kepatuhan berobat. Begitu pula dengan analisis regresi logistik, dari 9 (sembilan) faktor yang diduga ada pengaruhnya ternyata hanya 6 (enam) faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan berobat. Dari analisis ini pula diketahui bahwa faktor adanya cacat akibat penyakit kusta memberikan kontribusi yang paling besar pengaruhnya diantara ke 6 faktor yang berpengaruh tersebut."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasti Luftyanie Mustopa
"ABSTRAK
Angka keberhasilan pengobatan (Success rate) merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan penanggulangan TB serta untuk mengevaluasi pengobatan pasien TB secara nasional. Kecamatan Jatiluhur merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Purwakarta dengan angka keberhasilan pengobatan TB terendah se-kabupaten dan masih dibawah target nasional yakni sebesar 69,77%. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi angka keberhasilan pengobatan TB, salah satunya adalah faktor dari pasien itu sendiri, faktor pelayanan kesehatan, serta faktor keberadaan pengawas menelan obat selama masa pengobatan. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB paru BTA+ di Kecamatan Jatiluhur Kabupaten Purwakarta tahun 2019. Data yang digunakan adalah data register pasien TB dan Form pasien TB01 di Puskesmas Jatiluhur dari bulan Januari hingga Desember tahun 2019. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Angka keberhasilan pengobatan pada pasien baru TB paru BTA+ di Kecamatan Jatiluhur tahun 2019 adalah sebesar 67,34%. Hasil analisis uji chi square menunjukkan bahwa penelitian ini tidak dapat membuktikan adanya hubungan antara faktor karakteristik pasien (usia dan jenis kelamin), tipe pengobatan, dan peran PMO dengan angka keberhasilan pengobatan TB paru BTA+ (p-value > 0,05).

Treatment success rate is a national indicators that use to measure the success of tuberculosis control programme and to evaluate treatment outcomes of tuberculosis patients. Jatiluhur subdistrict is one of the subdistricts in Purwakarta Regency with the lowest TB treatment success rate among all subdistricts in Purwakarta and still below the national target at 69,77%. Many factors can influence the success rate of TB treatment, such as factor of the patient himself, health care provider, and the presence of patient’s drug supervisor during the treatment period. This study used a cross sectional design aimed to determine independent factors in affecting treatment success rate of smear-positive pulmonary tuberculosis patients at Jatiluhur Subdistrict 2019. The data used is data on register TB patients in Jatiluhur subdistrict public health center who strated treatment between January-December 2019. The analysis used is univariate and bivariate. The results of success rate of smear-positive pulmonary tuberculosis patients 2019 is at 67,34%. The results of the chi square test analysis of the relation between independent factors, such as patient characteristics (age and gender), type of treatment, presence of patient’s drug supervisor, and success rate of smear-positive pulmonary tuberculosis patient there is no significant difference (p-value > 0,05).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jajat Hidajat
"Tuberkulosis Paru (TB. Paru) merupakan masalah kesehatan masyarakat penting, WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya ada 581.000 kasus baru tuberkulosis dengan 140.000 kematian dan merupakan penyumbang ke tiga terbesar kasus tuberkulosis di dunia setelah India dan Cina.
Berdasarkan survei tahun 1979 - 1993 didapat prevalensi BTA (+) rata-rata 0,29%, terendah di Bali (0,08%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,79%). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menyebutkan bahwa TB. Paru adalah penyebab kematian ketiga, sesudah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan. Di Kabupaten Pontianak prevalensi TB. Paru BTA (+) tahun 1994 adalah 0,55 per 1000 penduduk. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2000, disain penelitian adalah kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB. Paru berumur 14 tahun dengan BTA (+) yang bertempat tinggal di Kabupaten Pontianak pada tahun 1999 - 2000 dan mendapat pengobatan dengan OAT, baik kategori-1 maupun kategori-2; sedangkan jurnlah sampel yang diambil berjumlah 108 kasus dan 108 kontrol.
Hasil yang diperoleh, dari 459 penderita TB. Paru BTA (+) yang diobati yang dinyatakan sembuh 74,1%, pengobatan lengkap 21,3%, lalai berobat 0,9%, gagal 2% dan meninggal 1,7%. Hasil analisis univariat, dari 216 responden 64,35% jenis kelamin laki-laki dan 33,65% perempuan; umur terbanyak pada kelompok umur 34-43 tahun (31,02%), tingkat pendidikan terbanyak pendidikan rendah (66,2%) dan pekerjaan terbanyak petani/pedagang (60,19%). Pada analisis univariat, dari 14 variabel independen temyata hanya 12 variabel yang dianggap potensial sebagai faktor risiko (p<0,25), variabel yang dianggap sama untuk kedua kelompok (p>0,25) adalah variabel jenis kelamin dan pendidikan.
Hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik dari 12 variabel independen yang diambil sebagai model, ternyata hanya 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p<0,05), yaitu tidak mengerti materi penyuluhan (OR=5,6 95% CI : 2,3 ; 13,8 dan p=0,000), tidak ada PMO (OR-16,2 95% CI : 4,7 ; 56,0 dan p4,1,000), pengetahuan tentang TB. Paru kurang (OR=31,9 95% CI : 11,3 ; 89,9 dan p=0,000), pelayanan tidak Iengkap (OR-7,0 95% CI : 1,3 ; 36,2 dan p 0,000) dan kelompok umur. Kelompok umur di klasifxkasikan ke dalam 6 kelompok dengan kelompok umur 64-73 tahun sebagai referensi; hasilnya adalah kelompok umur 14-23 tahun (OR-12,9 95% Cl : 1,5 ; 108,5 dan p 0,019), kelompok umur 24-33 tahun (OR-8,3 95% CI : 2.0 ; 68.6 dan p 4l.048), kelompok umur 34-43 tahun (OR-4,9 95% CI : 0,8 ; 32,2 dan p=0,095), kelompok umur 44-53 tahun (OR=11,0 95% CI : 1,5 ; 82,0 dan p--0,020) dan kelompok umur 54-63 tahun (OR-2,7 95% CI : 0,3 ; 20,9 dan p=0,348).
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu faktor tidak mengerti materi penyuluhan, tidak ada PMO, pengetahuan kurang mengenai TB. Paru, pelayanan tidak lengkap, umur yang secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak tahun 1999-2000.
Selanjutnya dapat disarankan agar faktor penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan supaya lebih di intensifkan lagi, dilakukan pembinaan secara berkesinambungan terhadap PMO dan meningkatkan kemampuan pengelola program P2 TB Paru di Puskesmas. Selain itu juga juga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ketidakpatuhan berobat, terutama terhadap faktor stigma masyarakat, ESO, PMO dan persepsi terhadap kemajuan pengobatan dengan suatu alat ukur atau instrurnen yang lebih baik.
Daftar Pustaka 46 : (1986 - 2000)

Pulmonary Tuberculosis (Pulmonary TB) is serious public health problem, WHO estimated about 140 thousands of TB deaths in Indonesia annually, and every year 483 thousands new TB Cases and contributed the 3 rd greatest number of TB cases in the world after India and China. Based on survey between 1979 - 1993, the prevalence of AFB (+) is about 0.29%, the lowest is in Bali (0.08%) and the highest is in East Nusa Tenggara (0.79%). The Household Health Survey (SIKRT) in 1995 mentioned that Pulmonary TB was the Std caused of death after Cardiovascular Diseases and Respiratory Diseases. In Pontianak Regency prevalence of Pulmonary TB in 1994 is 0.55% per 1000 people and there is no formal research result about incompliance treatment of pulmonary TB AFB (+) patient mentioned in area.
The objective of this research is to understand key factors associated with incompliance treatment of patients of Pulmonary TB AFB (+) in Pontianak Regency. Research was done in June 2000, by using case control design. Population sample are the Pulmonary TB patients in the age over 14 year old with AFB (+) who live in Pontianak Regency in 1999 - 2000 with anti-TB drugs treatment, not only the first category but also the second category. The sample size were 108 cases and 108 controls.
The results pre, from 459 Pulmonary TB treated patients AFB (+), 74.1% recovery, 21.3% completed treated, 0.9% defaulted, 2.0% failure and 1.7% dead. The univariate analysis results from 216 respondences 64.35% male and 35.65% female; 31.02% at age group of 34-43 years old, most of them have low education level (66.2%) and 60.19% stated as farmer/merchant. Based on univariate analysis, from 14 independent variables found that only 12 considered as potential risk factors (p<0,25), the variables considered as similar for two categories (p>0.25) are gender and education.
In logistic regression method using 12 independent variables in the model and incompliance toward treatment variable as dependent variable, there were only 5 independent variables that have significant relationship (p<0.05). The 5 variables were : the lack of understanding of health promotion materials (OR=5.6 95% CI : 2.3 ; 13.8 and p=0.000), the availability of overseer of the DOT (OR-I6.2 95% Cl : 4.7 ; 56.0 and p=0.000), the lack of knowledge of Pulmonary TB (OR=31.9 95% CI : 11.3 ; 89.9 and p=q.000), the incomplete of facilities service (OR-7.0 95% CI : 1,3 ; 36,2 and p=0,000) and the age groups. The age groups were classified into 6 groups; i.e. 14-23 year old, 24-33 year old, 3443 year old, 44-53 year old, 54-63 year old and 64-73 year old, The age group of 64-73 year old had become a reference for other groups. Each other groups was compared to reference (64-73 year old). The comparisons result in OR-12,9 95% CI : 1.5 ; 108.5 and p=0.019 (group of age 14-23 year old), OR=8.3 95% Cl : 2,0 ; 68.6 and p O.048 (group of age 24-33 year old), OR=4.9, 95% CI : 0.8 ; 32.2 and p=0.095 (group of age 34-43 year old), (OR-11.0 95% CI : 1,5 ; 82,0 and p=0,020 (group of age 44-53 year old) and OR=2.7 95% CI : 0.3 ; 20.9 and p=0.348 ( group of age 54-63 year old ).
The conclusion is that the lack of understanding of health promotion materials, the availability overseer of the DOT, the lack of knowledge of Pulmonary TB, the uncompleted of facilities service and the age group have significant relationships (p<0.05) with incompliance toward treatment among patients of Pulmonary TB AFB (}) in Pontianak Regency in 1999 - 2000. Furthermore, it is suggested to make health promotion from health staff more intensive, cultivate the overseer of DOT continuously and improve the capability of the organizer TB Program in health center (Puskesmas). Besides that, it needs to do further research on incompliance toward treatment, mainly on community stigma, drug side effect, efficacy of overseer of the DOT and the perceived treatment using a better indicator or instrument.
Reference : 46 (1986 - 2000)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T2755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>