Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82142 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hamzah Shatri
"Stres sebagai salah satu faktor risiko PJK belum mendapat perhatian sebagaimana faktor risiko PJK lain. Stres dapat mencetuskan sindrom koroner akut seperti Infark Mioakard Akut (IMA) dan mempengaruhi terjadinya komplikasi lebih lanjut selama perawatan, namun masih kurang menjadikan perhatian.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh stres terhadap terjadinya komplikasi IMA selama perawatan.
Bahan dan Cara : penderita yang dirawat di ICCU RSUPNCM 1990-1997 dengan kohort historiakal.
Hasil : Stres merupakan prediktor yang independen terhadap terjadinya komplikasi pada penderita IMA selama perawatan intensif. (RR 2,17, p 0,02 ,CI 1,33 - 3,53). Komplikasi aritmia merupakan komplikasi yang terbanyak pada IMA dengan pajanan stres dan berbeda bermakna secara statistik. (p 0,03 ).
Komplikasi lain seperti prolong chest pain, pericarditis (sindrom Dressler), gagal jantung, syok kardiogenik sampai dengan kematian juga lebih tinggi pada penderita IMA, dengan stres selama perawatan intensif.
Kesimpulan stres sebagai prediktor independen terhadap terjadinya komplikasi IMA selama perawatan intensif perlu mendapat perhatian sebagai mana faktor klinis lain seperti hipertensi dan diabetes melitus, sehingga morbiditas dan mortalias IMA dapat lebih diturunkan.

The Influence of Stress on Acute Myocardial Infarction during Intensive CareIt has been known that stress is one of many risk factors for coronary heart disease. Stress may also become a trigger factor to acute coronary syndrome such as event of Acute Myocardial Infarction (AMI) and further complications during intensive care. However most clinicians have still less concern to stress in the relation to these cardiac events.
The objective of this study is to determine the influence of stress on acute myocardial infarction during intensive care. The study was perform in January, 1998-December 1998 using historical cohort design.
Populations of the study consist of patients hospitalized in Intensive Coronary Care Unit (ICCU), Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
We observed 160 cases of AMI exposed to stress and of 160 cases of AMI unexposed to stress. Totally 320 cases of AMI hospitalized in ICCU were included the study.
The result of this study indicated that the complications of AMI exposed to stress about 2 times higher compared to AMI which were unexposed to stress during intensive care, (p 0.002; CI 1.33 -3.53 ). The proportion of arrhythmia on AMI with stress 32 (20 %) was higher than AMI without stress 18 (11 %) and statistically significant, (p <0,005 ). Other complications on AMI with stress such as heart failure, Dressler syndrome and mortality were also higher compared to AMI without stress.
The conclusion of this study suggested that stress is one of independent predictor to AMI complications during intensive care. Stress needs more attentions to reduce morbidity and mortality during intensive care of AMI."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T 8389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leroy Leon Leopold Lasanudin
"Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan oksigen pada otot jantung yang disebabkan oleh obstruksi arteri koroner. Elevasi segmen-ST infark miokard (STEMI) akut terjadi ketika pasien dengan SKA mengalami oklusi total pada pembuluh arteri koroner. Penanganan utama untuk pasien dengan STEMI adalah terapi reperfusi menggunakan angioplasti primer. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade merupakan metode penilaian aliran darah, dimana TIMI 0 flow menandakan tidak adanya perfusi dan TIMI 3 flow menandakan perfusi lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prediktor klinis pasien yang berhubungan dengan TIMI flow akhir 3. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik yang dilaksanakan melalui pengumpulan data karakteristik klinis pasien STEMI dan TIMI flow akhir dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry. Sampel penelitian melibatkan 3706 pasien STEMI yang diobati dengan angioplasti primer antara Februari 1, 2011 dan Agustus 31, 2019. Data dianalisis menggunakan IBM SPSS versi 20. TIMI flow akhir 3 berhubungan dengan durasi antara gejala awal dan terapi reperfusi ≤6 jam (p<0.001) dan dislipidemia (p = 0.008). Sedangkan, TIMI flow akhir <3 berhubungan dengan infark miokard pada dinding anterior jantung (p = 0.03) dan kadar kreatinin dalam darah di atas 1.2 mg/dl (p = 0.03). Durasi antara gejala awal dan terapi reperfusi yang lebih dini (≤6 jam) merupakan prediktor klinis terkuat untuk TIMI flow akhir 3.

Acute coronary syndrome (ACS) is an imbalance between oxygen supply and demand of the heart muscle due to an obstruction in the coronary artery. Acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) occurs when a patient with ACS has a complete coronary artery occlusion. The main treatment for patients with STEMI is reperfusion therapy using primary angioplasty. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade is a method of measuring blood flow, where TIMI 0 flow indicates no perfusion and TIMI 3 flow indicates complete perfusion. This study is aimed to determine which clinical predictors are associated with final TIMI 3 flow. This is an analytical, cross-sectional study which was conducted through data collection of STEMI patients’ clinical characteristics and final TIMI flow from the Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry. The study samples include 3706 STEMI patients who were treated with primary angioplasty between February 1, 2011 and August 31, 2019. The data was analyzed using IBM SPSS version 20. Final TIMI 3 flow is associated with the duration between symptom onset and reperfusion therapy of ≤6 hours (p<0.001) and dyslipidemia (p = 0.008). Meanwhile, final TIMI <3 flow is associated with anterior wall myocardial infarction (p = 0.03) and creatinine level above 1.2 mg/dl (p = 0.03). An earlier duration between symptom onset and reperfusion therapy (≤6 hours) is the strongest clinical predictor of final TIMI 3 flow."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffri
"Latar belakang: Sindrom koroner akut SKA merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Mortalitas SKA dari berbagai studi di luar negeri diketahui berhubungan dengan kadar kalium serum saat admisi. Penelitian mengenai hubungan kadar kalium serum dengan mortalitas pada SKA masih perlu dilakukan karena adanya kemajuan dalam terapi kardiovaskular yang cukup pesat terutama pada era PCI saat ini dan adanya hasil yang bertolakbelakang antara studi terbaru dengan panduan yang ada.
Tujuan: Menilai hubungan antara kadar kalium serum saat admisi dengan mortalitas selama perawatan pasien SKA in-hospital mortality.
Metode: Data kadar kalium dan kematian diperoleh dari rekam medis dengan desain studi kohort retrospektif terhadap 673 pasien SKA yang dirawat dengan sindrom koroner akut di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Keluaran utama yang diamati berupa mortalitas selama perawatan. Analisis bivariat dengan Pearson Chi-square dan multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk menentukan hubungan antara kadar kalium serum abnormal dengan kematian pada sindrom koroner akut.
Hasil dan Pembahasan: Subjek yang datang dengan kadar kalium serum yang abnormal K < 3,50 mEq/L atau > 5,0 mEq/L saat admisi sebesar 24,22 163 pasien , sedangkan grup dengan kalium normal sebesar 510 subjek 75,78. Dari analisis regresi logistik, setelah adjustment terhadap faktor perancu eGFR, didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar kalium serum abnormal saat admisi dengan mortalitas selama perawatan dengan nilai p = 0,04 adjusted RR 2,184; 95 CI: 1,037-4,601. Terjadi peningkatan risiko mortalitas pada subjek dengan kadar serum kalium 4,0-

Background: Acute coronary syndrome ACS is the leading cause of increased morbidity and mortality across the globe. This mortality was known to be associated to the serum potassium level on admission. More studies are still needed due to rapid advancement in cardiovascular medicine especially in the era of interventional cardiology and also the conflicting results that exist between recent studies and established guidelines.
Aims: To determine association between serum potassium levels on admission of subjects with acute coronary syndrome and in-hospital mortality.
Methods: Included in the study were 673 acute coronary syndrome patients hospitalised in Indonesian National Cipto Mangunkusumo Hospital. The outcome of the study was all-cause in-hospital mortality. Logistic regression models adjusted for risk factors, hospital treatment, and co-morbidities were constructed.
Results: Total of 163 patients 24,22 with abnormal serum potassium K < 3,50 mEq/L or > 5,0 mEq/L and 510 subjects with normal serum potassium 75.78. Logistic regression analysis after adjustment of the confounder eGFR shows significant association between serum potassium level on admission and in-hospital mortality with p value of 0,04 adjusted RR 2.184; 95 CI: 1.037-4.601. The risk of dying for patients with serum potassium of 4.0-.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Iskandarsyah
"Latar Belakang
Proses inflamasi memegang peranan terhadap patofisiologis sindroma koroner akut (SKA). High sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) sebagai salah satu petanda inflamasi sistemik yang diproduksi hati merupakan prediktor kuat kejadian kardiovaskuler pada pasien-pasien SKA. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa setengah dart pasien SKA yang dipulangkan mempunyai kadar hs-CRP dalam katagori resiko tinggi. Aktifitas fisik yang teratur dan terukur terbukti menurunkan kadar hs-CRP pada pasien-pasien pasca SKA.
Tujuan Penelitian
Membuktikan bahwa latihan fisik jangka pendek secara teratur dan terukur yang dijalani oleh pasien-pasien pasca infark miokard akut menurunkan kadar hs-CRP yang berbeda dibandingkan dengan yang tidak latihan .
Metodolagi
Penelitian prospektif berupa randomized controlled trial terhadap 32 pasien IMA yang dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dilakukan latihan teratur dan terukur dengan intensitas rendah selama 5 had pada kelompok perlakuan dengan mengukur dan membandingkan kadar hs-CRP sebelum dan sesudah latihan pada kedua kelompok.
Hasil
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan kadar median hs-CRP sebelum latihan antara kelompok perlakuan dan kontrol (p=0.13). Terjadi penurunan kadar median hs-CRP yang bermakna antara sebelum dan sesudah latihan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p 3.0004 vs peJ.038).Tidak terdapat perbedaan kadar median hs-CRP sesudah latihan antara kelompok perlakuan dan kontrol (-0.09).Tidak terdapat perbedaan selisih penurunan kadar median hs-CRP antara kelompok perlakuan dan kontrol (p=0.38).
Kesimpulan
Tidak terdapat perbedaan besar penurunan kadar hs-CRP pada pasien - pasien pasca infark miokard akut yang menjalani latihan fisik jangka pendek secara teratur dan terukur dibandingkan dengan yang tidak latihan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58456
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Perkasa
"Latar belakang : Major Adverse Cardiac Events (MACE) merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas pada pasien ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI) yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Identifikasi faktor prediktor yang mempengaruhi terjadinya MACE selama perawatan diharapkan dapat meningkatkan perawatan dan luaran klinis dari pasien STEMI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor prediktor MACE selama perawatan pada pasien STEMI yang dilakukan IKPP di RSCM.
Metode : Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani IKPP di RSCM periode Januari 2015-Maret 2020. Dilakukan analisa bivariat antara faktor prediktor usia, status merokok, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronik, time-to-treatment, kelas killip, fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK) dan kadar kolesterol LDL dengan kejadian MACE selama perawatan pada pasien STEMI yang menjalani IKPP, menggunakan metode Chi-square. Analisa multivariat dan analisa model prediksi dilakukan dengan metode regresi logistik terhadap variabel dengan nilai p= <0,25 pada analisa bivariat.
Hasil : Didapatkan subyek sebanyak 291 pasien untuk diteliti. Major Adverse Cardiac Events selama perawatan didapatkan sebesar 43,3% dengan usia >60 tahun (29,6%), status merokok (61,2%), hipertensi (50,9%), diabetes mellitus (36.1%), penyakit ginjal kronik (6,2%), kelas Killip II-IV (32,2%), FEVK > 50% (57%) dan kadar kolesterol LDL > 100 mg/dl (79,4%). Median time-to-treatment didapatkan sebesar 528 (379-730) menit. Usia, kelas killip dan FEVK mempengaruhi kejadian MACE selama perawatan dengan OR (IK 95%) masing-masing 2,15 (1,22-3,79), 4,34 (2,49-7,56) dan 2,88 (1,72-4,82). Model prediksi MACE selama perawatan pada pasien STEMI yang menjalani IKPP memiliki nilai area under curve (AUC) 0,729 (IK 95% 0,67-0,78).
Kesimpulan : Major Adverse Cardiac Events (MACE) selama perawatan pada pasien STEMI yang menjalani IKPP sebesar 43,3%, yang dipengaruhi oleh usia, kelas killip dan FEVK.

Introduction: Major Adverse Cardiac Events (MACE) is the main causes to increase mortality on ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) patients who undergo Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). In-hospital MACE inducing factor predictors identification is expected to enhance STEMI patients’ care and outcome. This study aims to identify in-hospital MACE factor predictors on STEMI patients with PPCI treatment at RSCM.
Method: Restropective cohort study by tracing medical record on patients with PPCI treatment at RSCM during January 2015 - March 2020. Chi-squared bivariate analysis concluded between predictor factors; age, smoking, hypertension, diabetic mellitus, chronic kidney disease, time-to-treatment, killip class, left ventricle ejection fraction (LVEF) and LDL cholesterol level. Logistic regression is used on multivariat and prediction model analysis on variables with p=<0,25 in bivariate analysis.
Result: This study involves 291 patient subjects. During this study, the occurance of MACE is 43.3% on patients age > 60 years (29,6%), smoking (61,2%), hypertension (50,9%), diabetes mellitus (36,1%), chronic kidney disease (6,2%), killip class II-IV (32,2%), LVEF > 50% (57%) dan cholesterol LDL level > 100 mg/dl (79,4%). Median time-to-treatment is 528 (379-730) minutes. Age, killip class, and LVEF influences in-hospital MACE during PPCI with OR (95% CI) consecutively are 2,15 (1,22-3,79), 4,34 (2,49-7,56) and 2,88 (1,72-4,82). MACE prediction model in this study produces area under curve (AUC) 0,729 (95% CI 0,67-0,78).
Conclusion: In-hospital MACE on STEMI patient after PPCI occurance is 43.3%, influenced by age, killip class, and LVEF.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawan
"Rasio Netrofil-Limfosit (RNL) adalah pemeriksaan laboratorium murah dan mudah didapatkan dimanapun, dan saat ini berkembang menjadi penanda luaran pada berbagai kondisi, termasuk pada Sindrom Koroner Akut (SKA). RNL menggabungkan dua jalur inflamasi berbeda (netrofil dan limfosit) untuk memprediksi luarannya, dan beberapa studi telah menunjukkan manfaatnya dalam memprediksi Major Adverse Cardiac Events (MACE). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan manfaat RNL dalam stratifikasi risiko SKA pada populasi Indonesia, dan menentukan nilai titik potong RNL untuk peningkatan risiko MACE.
Metode: 380 rekam medis pasien SKA dari Januari 2012-Agustus 2015 diikutkan dalam studi ini. Karakteristik, faktor risiko kardiovaskuler, dan hasil pemeriksaan laboratorium subjek dikumpulkan dan diikuti secara retrospektif untuk menilai kemunculan MACE (aritmia, infark ulang, in-stent restenosis, gagal jantung akut, syok kardiogenik, kematian) selama perawatan. Nilai RNL didapatkan dari pembagian hitung netrofil dan limfosit absolut. Analisis statistik untuk menentukan nilai titik potong RNL dan penyesuaian untuk faktor perancu dilakukan untuk memvalidasi hasil.
Hasil: Subjek mayoritas merupakan laki-laki, dengan rerata usia 57,92 tahun. Hipertensi dan merokok merupakan faktor risiko yang paling sering ditemukan. Rerata RNL subjek adalah 4,72, dan MACE ditemukan pada 73 kasus (19,2%). Setelah analisis ROC, didapatkan nilai titik potong sebesar 3.55 (sensitivitas 72,6%, spesitifitas 60,6%, AUC 0.702). Ditemukan bahwa terdapat peningkatan insidens MACE pada kelompok RNL>3.55 (30.47% vs 9.71% pada ≤3.55, p<0.001). Setelah penyesuaian untuk faktor perancu, RNL>3.55 tetap signifikan dalam memprediksi MACE (p=0.02, adujsted OR 2,626 (IK95% 1,401-4,922)).
Kesimpulan: RNL>3.55 adalah prediktor independen untuk kejadian MACE.

Background: Neutrophil-Lymphocyte Ratio (NLR) is a low-cost, readily available laboratory examination in various places, and is currently emerging as a prognostic marker for various conditions, including Acute Coronary Syndrome (ACS). NLR, which combines two different inflammatory pathways (neutrophil and lymphocyte), have been shown by several studies to be useful in predicting Major Adverse Cardiac Events (MACE). This study aims to prove NLR’s use in ACS risk stratification in Indonesians and determine a cutoff level for MACE risk increase.
Methods: 380 ACS patients’ medical records from January 2012 to August 2015 were included in this study. Subjects’ characteristics, cardiovascular risk factors and laboratory findings were collected, and retrospectively followed to evaluate for MACE (arrhythmia, reinfarction, in-stent restenosis, acute heart failure, cardiogenic shock, death) during hospitalization. NLR value was calculated from neutrophil and lymphocyte counts division. Statistical analysis to determine NLR cutoff point for MACE risks, and adjustment for confounding factors were done for results validation.
Results: Subjects were predominantly male, with average age of 57.92 years old. Hypertension and smoking were the most frequent risk factors found. Average NLR was 4.72, and MACE was found in 73 cases (19.2%). After ROC analysis, a cutoff of 3.55 was determined to be satisfactory (sensitivity 72.6%, spesitivity 60.6%, AUC 0.702). It was found that there is a significant increase in MACE incidence in NLR>3.55 (30.47% vs 9.71% in ≤3.55, p<0.001). After adjusting for confounding factors, NLR>3.55 was still significant in predicting MACE (p=0.02, adujsted OR 2,626 (CI95% 1,401-4,922)).
Conclusion: NLR>3.55 is an independent predictor of in-hospital MACE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jihaz Haneen Hakiki
"ABSTRAK
Sindrom Koroner Akut SKA merupakan kondisi kegawatdaruratan akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan suplai darah yang dapat berakibat pada kematian. Penanganan SKA dengan intervensi koroner perkutan dapat meningkatkan kualitas hidup. Pedoman American Heart Association AHA merekomendasikan standar waktu ? 120 menit dari awal mula munculnya gejala hingga pasien tiba di rumah sakit yaitu. Namun masih ditemukan terjadinya keterlambatan prehospital. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan representasi gejala dengan keterlambatan prehospital pada pasien sindrom SKA. Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan metode purposive sampling yang melibatkan sampel sebanyak 63 responden. Responden didominasi oleh lansia yang berusia 51-60 tahun, laki-laki, tingkat Pendidikan SMA. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan antara representasi gejala yang meliputi tingkat nyeri p 0.001, kualitas nyeri p 0.01, dan lokasi nyeri p 0.032 dengan keterlambatan prehospital terkecuali gejala penyerta p 0.054. Perawat dianjurkan meningkatkan kompetensi dalam pengkajian gejala SKA dan pemberian edukasi. Sehingga dapat menurunkan angka keterlambatan prehospital.

ABSTRACT
Acute Coronary Syndrome ACS is an emergency condition due to an imbalance between the need for oxygen and the blood supply that can result in death. ACS with percutaneous coronary intervention may improve the quality of life. The American Heart Association ACCF AHA guidelines recommended is 120 minutes from onset symptoms until hospital arrived. for recording time standards when facing symptoms arrive at the hospital However, there is still a pre hospital delay. This study aimed to identify correlation of symptoms representation with pre hospital delay in patients with ACS symptoms. This crossectional study design is cross sectional of purposive sampling method involved 63 respondents. Respondents mostly 51 60 years old, men, and high school education level. The results showed there was a correlation symptoms factor representation including pain level p 0.001, pain quality p 0,01, and pain location p 0,032 except commorbid symptom p 0,054. Nurses recommended to improve their ability to assess ACS symptoms and provide proper health education to decrease educational the prehospital delays."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq
"Latar Belakang: Studi epidemiologi menunjukkan bahwa DM merupakan salah satu faktor dalam proses terjadinya aterosklerosis dan mempengaruhi secara nyata kesaldtan dan kematian akibat PIK. Dibandingkan dengan penderita bukan DM, penderita DM 2-4 kali lebih banyak menderita P3K dan 2-4 kali lebih banyak mengalami kematian jangka pendek setelah menderita serangan infark miokard akut Dewabrata mendapati 23,2% penderita infark miokard akut yang di rawat di RSCM selama periode 1994-1999. Data di Indonesia tersebut belum banyak menggambarkan bagaimana karakteristik penderita DM tersebut saat terbukti menderita infark miokard akut. Dengan demildan, gambaran penderita DM yang mengalami sindrom koroner akut merupakan ha! yang renting untuk diketahui, baik karakteristik klinis maupun komplikasi yang muncul akibat S1CA tersebut.
Tujuan. Penelitian ini ingin mengetahui prevalensi SKA pada penderita DM tipe-2. Penelitian ini juga ingin mengetahui karakteristik klinis dan komplikasi SKA pada penderita DM tipe-2 serta perbandingannya dengan penderita bukan DM. Metodologi. Studi potong lintang retrospektif untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik klinis serta studi kohort retrospektif untuk mengetahui perbandingan komplikasi SKA pads penderita DM tipe-2 dan penderita bukan DM, terhadap penderita yang dirawat di ICCU RSCM periode 1 Januari 2001 s.d. 31 Desember 2005.
Hasil. Didapatkan data: Prevalensi SKA penderita DM tipe-2: 34,2%. Awitan nyeri penderita DM lebih lama, 70,7% vs 53,4%, p=0,001; 1K 95%; DR=2,259 (1,372-3,719). Nyeri dada tidak khas, didapati penderita DM lebih banyak, 17,3% vs 9,8% p~ 0,041; 1K 95%; OR=1,713 (1,019-2,881)_ Komplikasi: Gagal jantung: penderita DM tipe-2 Iebih banyak: 39,35% vs 16,8%, p=0,001; 11(95%; RR-3,213 (1,992-5,182). Untuk komplikasi syok kardiogenik, didapati penderita DM tipe-2 Iebih banyak, 16,2% vs 8,9%, p= 0,031; IK 95%; RR==1,983 (1,057-3,721). Sedangkan komplikasi kematian didapati penderita DM tipe-2 lebih banyak, 17,3% vs 6,3%, dengan p= 0,001; 1K 95%; RR= 3,116 (1,556-6,239).
Simpulan. Didapatkan perbedaan karakteristik klinis SKA antara penderita DM tipe-2 dengan penderita SKA bukan DM. Awitan nyeri lebih lama dan keluhan nyeri dada yang tidak khan, Iebih banyak didapati Dada penderita DM tipe-2. Didapatkan juga perbedaan dalam hat komplikasi SKA. Kejadian gagal jantung, syok kardiogenik dan kematian didapatkan lebih tinggi pada penderita DM tipe-2.

Background. Epidemiologic studies revealed diabetes mellitus (DM) as one of the factors involved in atherosclerosis process. DM also influence morbidity and mortality-related to coronary artery disease (CAD). Compared to non diabetic patients, type -2 DM patients suffer CAD 2-4 times more often and had increased short term mortality rate due to acute myocardial infarction 2-4 times more likely. During 1994-1999, Dewabrata found 23.2% of all acute myocardial infarction patients was diabetic patients treated in ICCU Cipto Mangunkusumo hospital. Unfortunately these data did not describe the clinical characteristic and complication ACS in type -2 DM patients. Therefore it is important to know the clinical characteristics and ACS related complications in type-2 DM patients.
Objectives. To know the prevalence of type-2 DM among ACS patients, to learn clinical characteristics and ACS related complications in type-2 DM compared to non diabetic patients.
Methods. A cross sectional retrospective study was performed to know the prevalence of ACS in type -2 DM patients and their clinical characteristics_ A retrospective cohort study was performed to compare the differences in ACS related complications in type -2 DM and non diabetic patients who were hospitalized in ICCU Cipto Mangunkusumo hospital during 5 years period (January 1st, 200I December 31st, 2005).
Results. Prevalence of Type-2 DM among ACS patients : 34.2%. The onset of chest pain in type-2 DM patients was longer, 70.7% vs 53.4%, p=0.40l; CI 95%; OR=2.259 (1.372-3.719). Aypical chest pain were often in type-2 DM patients, 17.3% vs 9.8%; p= 0.041; CI 95%; OR 1.713 (L019 2.881). Heart failure as complications were more often found in type-2 DM patients, 39.35% vs 16.8%, p=0.001; CI 95%; RR=3.213 (1.992-5.182), cardiogenic shock were more often found in type-2 DM patients, 16.2% vs 8.9%, p= 0.031; CI 95%; RR 1.983 (1.057-3.721), and death were more often found in type-2 DM patients, 17.3% vs 6.3%, p= 0.001; CI 95%; RR= 3.116 (L556-6.239).
Conclusions. There are differences in clinical characteristics of ACS between type-2 DM patients and non diabetic patients; which are longer onset of chestpain and atypical chestpain more often in type-2 DM patients. There are also differences in complications related ACS between Type-2 DM patients and non diabetic patients; heart failure, cardiogenic shock, and death more often in Type-2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nunung Nursyarofah
"Latar Belakang: Respon antar-individu yang bervariasi terhadap obat antiplatelet (clopidogrel) telah dilaporkan. Perbedaan tingkat metabolisme clopidogrel untuk metabolit aktif tiol menggambarkan variabilitas antar-individu dalam penghambatan trombosit. Sitokrom P4502C19 (CYP2C19) memetabolisme zat metabolit aktif tiol. Carier polimorfisme yang menyebabkan hilangnya fungsi CYP2C19 * 2 dan * 3 alel pada terapi antiplatelet mengakibatkan berkurangnya penghambatan agregasi trombosit. Informasi mengenai hubungan antara CYP2C19 * 2 dan * 3 dengan inhibisi agregasi trombosit pada pasien Sindroma koroner akut di Indonesia masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua varian, CYP2C19 * 2 (6816>A) dan CYP2C19 * 3 (636G>A) terhadap penurunan fungsi inhibisi agregasi trombosit.
Bahan dan Metode: Desain penelitian cross sectional. Jumlah responden adalah 114 orang (dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi). Pemeriksaan polimorfisme CYP2C19 dilakukan dengan menggunakan teknik Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) TaqMan SNP Genotyping Assays dengan alat dari applied Biosystems 7500 Fast/7900HT Fast Real Time PCR Systems (in standart or 9600 emulation mode). Inhibisi agregasi trombosit diperiksa dengan menggunakan metode Light Transmisi Aggregometry (LTA) dengan alat Helena AggGRAM Analyzer pada penambahan 5umol/L ADP sebagai agregator.
Hasil: Distribusi inhibisi agregasi trombosit menunjukkan perbedaan rerata antara responden non carier polimorfisme dengan responden carier polimorfisme (16,9 CI95%: 12,1-21,6 vs 9,4 CI95%: 2,9 - 15,0). Analisis regresi linier menunjukkan bahwa responden carier polimorfisme memiliki inhibisi agregasi trombosit lebih rendah dibandingkan dengan responden non carier polimorfisme. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa responden carier polimorfisme mempunyai odds untuk merespon kurang baik terhadap clopidogrel sebesar 1,9 kali jika dibandingkan dengan responden yang non carier setelah dikontrol oleh variabel umur dan jenis kelamin, hal tersebut mengindikasikan bahwa carier polimorfisme mempunyai inhibisi yang rendah terhadap agregasi trombosit.
Kesimpulan: Temuan kami membuktikan adanya hubungan antara CYP2C19 * 2 dan * 3 polimorfisme dengan inhibisi agregasi trombosit.

Background: Inter-individual variability in response to antiplatelet drugs (clopidogrel) has been reported. The difference in the extent of metabolism of clopidogrel to its active metabolite tiol is the most plausible mechanism for the observed inter-individual variability in platelet inhibition. The cytochrome P4502C19 (CYP2C19) metabolizes the active metabolite tiol. The carrier polymorphisms of reduced - functions of CYP2C19*2 and *3 allele on antiplatelet therapy showed diminished platelet aggregation inhibition. There is limited information on the association between CYP2C19 *2 and *3 with platelet aggregation inhibition in ACS patients generally in Indonesia Population. The aim of this study was to determine the association between two variants, CYP2C19*2 (6816>A) and CYP2C19*3 (636G>A) reduced function with platelet aggregation inhibition.
Material & Method: a cross sectional study was done with 114 subjects (selected by inclusions and exclusions criteria). The CYP2C19 polymorphisms were genotype using the PCR method with TaqMan SNP Genotyping Assays from applied Bio systems 7500 Fast/7900HT Fast Real Time PCR Systems (in standard or 9600 emulation mode). The platelet aggregation inhibition was tested using Light Transmission Aggregometry (LTA) by Helena AggGRAM Analyzer with 5umol/L ADP as aggregator.
Results: The distribution of platelet inhibition aggregation showed difference between respondents with non-carrier polymorphisms and carrier polymorphisms (16,9 CI95%: 12,1 -21,6 vs 9,4 CI95%: 2,9 - 15,0). The linier regression analysist indicated that the carrier polymorphisms have lowest platelet aggregation inhibition compared with non-carrier polymorphisms. The logistic regression analysis indicated that carrier polymorphisms respondents has 1,9 odds to be low response to clopidogrel if compared with non-carrier polymorphisms respondents after adjusted with age and sex and it is indicated that it has low platelet aggregation inhibition.
Conclusion: Our present findings the evidence of an association between CYP2C19 *2 and *3 polymorphisms and platelet aggregation inhibition.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T38654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leni Indrawati
"Latar belakang. Gagal jantung akut telah menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia dengan penyakit jantung koroner sebagai penyebab terbanyak.
Tujuan. Mengetahui hubungan antara penyakit jantung koroner dengan mortalitas pasien gagal jantung akut selama perawatan.
Metode. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang serta menggunakan 685 data sekunder dari studi Acute Decompensated Heart Failure Registry (ADHERE) di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember 2005 ? 2006.
Hasil. Penelitian ini melibatkan 957 pasien gagal jantung akut. Proporsi pasien gagal jantung akut yang mengalami penyakit jantung koroner di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember 2005 ? 2006 mencapai 74,8 %. Angka mortalitas pasien gagal jantung akut selama perawatan secara umum adalah 4,1 %. Angka mortalitas pasien yang mengalami PJK lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa PJK (P = 0,493, OR = 1,3, CI 95% 0,59 ? 2,90). Angka mortalitas pasien gagal jantung akut yang disertai penyakit jantung koroner selama perawatan adalah 4,3 %, Sedangkan pada pasien tanpa penyakit jantung koroner adalah 3,3 %.
Kesimpulan. Tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat penyakit jantung koroner dengan angka mortalitas gagal jantung akut selama perawatan di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember 2005 - 2006.

Background. Acute heart failure has become health problem on the world and coronary heart disease is known as common etiology.
Objective. To determine relationship between history of coronary heart disease and mortality of acute heart failure
Method. This study was conducted by using cross sectional method. Using 685 secondary data from study Acute Decompensated Heart Failure Registry (ADHERE) in five hospital in Indonesia on December 2005 -2006.
Result. From 957 patient acute heart failure, about 76,2 % patient have coronary heart disease. Overall in-hospital mortality among patient with acute heart failure is 4,1 %. In-hospital mortality in patient with coronary heart disease is 4,3 % and 3,3 % in patient without coronary heart disease (P = 0,493, OR = 1,3, CI 95% 0,59 - 2,90).
Conclusion. There is no significant relationship between coronary heart disease and mortality of acute heart Failure in five hospitals in Indonesia on December 2005-2006.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09043fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>