Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107345 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R.A. Arief
"Perjanjian Camp David yang ditandatangani oleh Mesir dan Israel menyebabkan terjadinya perubahan kondisi politik di kawasan Timur Tengah. Negara-negara Arab yang tidak menyetujui perjanjian tersebut memboikot dan memutuskan hubungannya dengan Mesir. Mesir yang mengharapkan bahwa dengan perjanjian damainya dengan Israel dapat menciptakan stabilitas politik di kawasan ini melalui kesediaan Israel untuk mengembalikan wilayah-wilayah Arab yang didudukinya, sampai saat ini belum terwujud.
Permasalahan yang dihadapi oleh Mesir untuk melanjutkan proses perdamaian khususnya setelah perjanjian tersebut adalah mengembalikan kepercayaan bangsa-bangsa di kawasan yang rawan konflik ini terhadap Mesir, di samping menjalin hubungan dengan negara-negara besar Iainnya seperti Amerika Serikat dan Uni Sovyet.
Dengan menggunakan teori Willian D Coplin yang menyatakan bahwa politik luar negeri ditentukan oleh konteks internasional,perilaku pengambil keputusan, dampak kondisi ekonomi dan militer terhadap suatu negara dan peran politik dalam negeri dan teori dari Dale J.Hekhuis dkk yang menyatakan bahwa terdapat dua indikator menyangkut stabilitas yaitu pecahnya perang dengan daya hancur yang tinggi dan penaklukan atas orang-orang yang telah merdeka, serta pendapat dari Robert Gilpin yang menyatakan bahwa jika variabel kualitatif dalam determinan domestik berubah maka kepentingan dan kekuatan negara tersebut juga berubah, maka dengan menggunakan metode eksplanatif, penulis ingin mengetahui bagaimana peran Mesir di Timur Tengah sebagai upaya untuk mewujudkan stabilitas politik di kawasan.
Proses perdamaian yang tidak mengalami kemajuan khususnya selama tahun 1980-an, menuntut Mesir untuk lebih banyak mengarahkan politik Iuar negerinya ke negara-negara di kawasan Timur Tengah di samping tetap mempertahankan hubungan baiknya dengan Amerika. Sedangkan selama tahun 1990-an, Mesir aktif sebagai mediator dan fasilitator dengan terlibat Iangsung sebagai "Full Partner" dalam berbagai perundingan di tingkat bilateral dan multilateral. Amerika Serikat sebagai mitra Mesir masih mempunyai peran yang dominan dalam membantu kelangsungan proses perdamaian. Sementara Israel yang berkonflik dengan negara-negara Arab, kerap kali dapat mempengaruhi kebijaksanaan luar negeri AS terhadap negara-negara di Timur Tengah yang cenderung merugikan.
Oleh karena itu, agar Mesir tetap berperan dalam proses perdamaian untuk mewujudkan stabilitas politik di Timur Tengah maka Mesir harus menggali potensi (ekonomi) dalam negeri sendiri disamping dari luar negeri kecuali AS, dan tetap menjaga hubungan baiknya dengan negara-negara tetangga. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandu Utama Manggala
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan assessment terhadap Politik Luar Negeri Indonesia di ASEAN, khususnya setelah ASEAN berupaya mengembangkan diri menjadi organisasi regional yang lebih terintegrasi dengan visinya ASEAN Community 2015. Sejak saat itu, negara-negara anggota ASEAN berupaya melakukan berbagai cara untuk menjadikan ASEAN lebih solid secara entitas regional dan juga berupaya mengubah orientasi ASEAN lebih dekat kepada masyarakatnya. ASEAN yang lebih solid dinilai akan dapat membuat negara-negara anggotanya menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di kawasan, serta juga memberikan banyak manfaat bagi negara anggotanya di tengah dunia internasional yang semakin kompleks. Berdasarkan pandangan tersebut, Indonesia selalu menempatkan ASEAN ke dalam lingkaran politik luar negerinya. Sebagai implementasinya, Pemerintahan Indonesia di bawah SBY berupaya memainkan peran yang lebih aktif dan besar ASEAN, yang diharapkan akan memberikan banyak manfaat buat masyarakatnya. Selain itu, visi ASEAN Community 2015 dilihat dapat memberikan momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan peran kepemimpinannya di ASEAN yang sempat memudar akibat terhempas krisis pada periode akhir 1990-an. Terlepas dari itu semua, ada beberapa pertanyaan yang sering mengemuka mengenai peran Indonesia di ASEAN ini, yakni apakah Politik Luar Negeri Indonesia yang dijalankan telah efektif dalam mendorong ASEAN untuk menjadi entitas regional yang lebih solid dan lebih berorientasi kepada masyarakat; apakah Indonesia telah menunjukkan peran kepemimpinan yang kuat di ASEAN; dan apakah Indonesia telah secara berhasil menjadikan ASEAN lebih dekat kepada masyarakatnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian berupaya dijawab dengan menggunakan kerangka berpikir New Regionalism dari Bjorn Hettne. Kerangka New Regionalism Bjorn Hettne sendiri adalah sebuah pendekatan baru regionalisme yang mengeksplorasi integrasi dan kerja sama cross border berdasarkan pemahaman komparatif, historis, dan perspektif multi-level. Dengan menggunakan kerangka New Regionalism Bjorn Hettne, dapat dianalisa jalan menuju pembangunan regionalisme yang lebih komprehensif. Oleh sebab itu, pendekatan teoretis New Regionalism Bjorn Hettne ini akan digunakan sebagai alat analisa dalam melihat efektivitas peran yang dijalankan Indonesia dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN, pada masa Pemerintahan SBY.

This research tries to assess Indonesia?s foreign policy towards ASEAN, especially after ASEAN tries to rejuvenate itself with its vision of ASEAN Community 2015. Since then, ASEAN member countries have attempted on bringing ASEAN into a more solid of regional entity and a more people centered organization. A stronger ASEAN is perceived by its member will make them can solve every problem that occurs in the region. Moreover, by having a more solid regional entity, ASEAN member countries will get benefits as the world becoming more dynamic and challenging. By that viewpoint, Indonesia still consider ASEAN as the first concentric circle of its foreign policy. The onsequence of that outlook is in the current Indonesia government, the SBY administration, Indonesia tries to play a more active and bigger role in ASEAN, that will eventually give benefits to its own citizen. Furthermore, ASEAN vision to become a more solid regional entity is perceived will bring momentum for Indonesia to rise its leadership role after being shattered by the crisis in the late 1990s. However, questions remain arouse are whether Indonesian Foreign Policy towards ASEAN is effective to push ASEAN into a more solid regional entity and a more people centered organization or not; whether Indonesia has put its leadership role in ASEAN that will eventually bring prosperity for Indonesia citizen or not; and wheter Indonesia has been successful in bringing ASEAN into the heart of the society or not. By using Bjorn Hettne theoretical approach of regionalism, the New Regionalism approach, this research tries to explore and answer those questions. Bjorn Hettne New Regionalism is an approach that explores cross border integration and cooperation based on comparative, historic, and multilevel perspective. By using Bjorn Hettne New Regionalism, we can analyze in what ways a more comprehensive regionalism can be built. Therefore, this theoretical approach then will be used as an analytical tool to measure the Indonesian Foreign Policy toward ASEAN, in the current SBY dministration."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tutuhatunewa, Spica Alphanya
"Dalam kurun waktu 1998-1999 Australia menunjukkan perubahan sikap politik (terlihat dalam pelaksanaan politik luar negeri dan sikap aktor/elit politiknya) yang cukup drastis ke sisi negatif kepada Indonesia terkait dengan masalah Timor Timur sampai membuat hubungan kedua negara turun pada titik yang terendah untuk masa lebih dari sepuluh tahun terakhir. Perubahan dalam politik luar negeri Australia yang awalnya sangat bersahabat, dapat dikatakan dimulai ketika terjadi pergeseran dalam kebijakan luar negeri Australia yang lebih memprioritaskan hubungan dengan Amerika Serikat daripada negara-negara tetangganya di Asia termasuk Indonesia, seperti yang terlihat dari Buku Putih Kebijakan Luar Negeri dan Perdagangan Australia tahun 1997.
Ketika isu hak asasi manusia (HAM) mulai menjadi topik utama hubungan internasional bahkan pandangan integratif yaitu pandangan yang menyetujui keterkaitan HAM dengan berbagai bidang lainnya lebih mendominasi dunia, dibandingkan dengan pandangan fragmentatif, publik Australia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang demokratis juga makin meningkat kepeduliannya terhadap isu HAM. Dengan letak geografis yang sangat berdekatan, Indonesia dan Timor Timur kemudian menjadi sorotan bagi kampanye HAM Australia.
Perubahan kebijakan luar negeri Australia sebagai suatu entitas terhadap Indonesia dapat dilihat dari perubahan politik luar negeri Australia baik dari kebijakannya (policy) sendiri maupun pernyataan politik aktor-aktornya. Aktor/elit politik yang paling menentukan adalah Perdana Menteri Australia. Secara pribadi, Perdana Menteri Australia John Howard mempunyai kepentingan untuk mengakomodir tuntutan domestik yang diwarnai isu HAM ini terkait dengan ambisinya menjadikan Australia sebagai deputi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Alasan pribadi lainnya adalah untuk menaikkan popularitasnya agar dalam referendum Republik Australia (dilaksanakan tanggal 6 November 1999), pandangannya yang monarkis dapat lebih diperhatikan publik dan Australia tetap menjadi bagian dari Kerajaan Inggris."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrul Awal
"Tesis ini menganalisis politik luar negeri AS terhadap proses demokratisasi serta perjuangan kelompok FSA (Free Syirian Army) dan SNC (Syirian National Council) dalam upaya menjatuhkan kediktatoran rezim Bashar Al-assad yang telah berkuasa selama 16 tahun di Suriah. Paradoksnya adalah bahwa selama terjadinya konflik antara kelompok oposisi dan rezim Assad yang didukung oleh kekuatan militer Rusia, Amerika Serikat sebagai pendukung demokrasi di dunia tidak memberikan suatu reaksi yang tegas terhadap tindakan rezim Suriah. Tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kerangka teori pilihan rasional, rasional aktor model dan kepentingan nasional. Penelitian ini menemukan bahwa Politik luar negeri Amerika Serikat di bawah pemerintahan Barack Obama dalam memperjuangkan demokrasi di Suriah cenderung beralih ke politik minimalis dari politik maksimalis. Tesis ini menyimpulkan bahwa, Peralihan paradigma politik tersebut disebabkan Suriah tidak mempunyai arti strategis bagi kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat di Timur-Tengah.

This tesis analyzes US foreign policy towards the democratization process and the FSA (Free Syirian Army) and SNC (Syirian National Council) effort to topple the Bashar Al-Assad dictatorship regime that has ruled for 16 years in Syria. The paradox is that during the conflict between the opposition and Assad's regime that has been supported by the military power of Russia, US support of democracy in the world does not give an explicit reaction against the actions of the Syrian regime. Using qualitative approach and the theorotical framework of rational choice, rational actor models and national interest. This study finds that under Barack Obama‟s presidency in the fight for democracy in Syria US foreign policy is likely to turn from political maximalist to political minimalist. The study concludes that, this political paradigm shift happens because Syria does not have a strategic significance for US national security interests in the Middle East.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Khoirul Huda
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang dinamika kebijakan luar negeri Mesir terhadap Israel pasca pemerintahan Hosni Mubarak Tahun 2011-2018. Pasca Mubarak, Mesir berupaya meningkatkan power dalam lingkup regional, khususnya hubungan bilateral dengan Israel, posisi yang ditunjukkan oleh Mesir lebih banyak berfokus pada keberlanjutan perjanjian camp david, masalah keamanan di perbatasan wilayah Sinai, dan konflik Palestina-Israel. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif-analitis dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan dua jenis teori, yaitu rational model dan the decision-making model untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Mesir. Dinamika yang terjadi dalam hubungan kedua negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari internal maupun eksternal Mesir. Dari faktor internal Mesir dipengaruhi oleh struktur pengambil kebijakan, kondisi politik dalam negeri, serta kondisi ekonomi dan militer. Sementara faktor eksternal dipengaruhi oleh adanya hubungan Mesir dengan negara-negara lain. Adanya hubungan tersebut disebabkan oleh faktor kepentingan nasional yang dimiliki oleh kedua belah pihak.Kata Kunci; Kebijakan Luar Negeri, Mesir, Israel, Perjanjian Camp David.

ABSTRACT
AbstractThis research discusses the dynamics of the Egyptian foreign policy towards Israel after Hosni Mubarak Administration from 2011 2018. Post Mubarak Egypt attempts to increase its power within the regional scope, particularly its bilateral relations with Israel. The Egyptian positions indicate more focus on the sustainability of Camp David Accord, security issues in the border region of Sinai, and the Palestinian Israeli conflict. This thesis is a descriptive analysis research with qualitative approach. Using two types of theory, the rational model and the decision making model to analyze the factors affecting Egypt 39 s foreign policy. The dynamics of relations between the two countries are influenced by several factors, both internal and external. From internal factors, Egypt is influenced by the policy making structure, domestic political situations, as well as economic and military conditions. While the external factors are influenced by Egypt 39 s relations with other countries. The existence of the relations is caused by national interest factors possessed by both countries.Keywords Foreign Policy, Egypt, Israel, the Camp David Accords. "
2018
T50982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Indradjaja
"Adanya pendapat yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tidak berperan dalam proses pembuatan politik luar negeri, menjadi latar belakang dipilihnya topik ini. Pertanyaannya adalah apakah benar bahwa DPR RI tidak ada peran ? Kalau benar, mengapa demikian ? Kalau ada, bagaimana peran DPR RI tersebut ? Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu merupakan hal-hal yang dikaji dalam tesis ini.
Sesuai dengan definisi politik luar negeri, yaitu tindakan-tindakan suata negara terhadap lingkungan luar dan kondisi-kondisi yang melingkupi pembuatan tindakan tersebut, make dipilihlah 2 (dua) kasus. Kasus itu adalah Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia Republik Rakyat Cina dan kasus Penyelesaian Masalah Timor Timur di For a Intemasional Pasca Peristiwa Dili 1991.
Untuk memahami peran DPR RI tersebut, maka digunakan beberapa kerangka pemikiran. Partama, adalah tentang model hubungan legislatif dan eksekutif dalam suatu sistem politik dalam kaitan dengan pembuatan politik luar negeri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kenneth N, Waltz. Kedua, adalah konsep-konsep tentang fungsi dan hak-hak lembaga legislatif secara umum dan DPR RI secara khusus.
Hasil temuan tesis ini menunjukkan bahwa politik luar negeri (kasus Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia Republik Rakyat Cina dan kasus Penyelesaian Masalah Timor Timur di For a Internasional Pasca Peristiwa Dili 1991) sebagai output bukanlah berbentuk peraturan setingkat Undang-Undang (W). Konsekuensi logisnya adalah fungsi pembuatan W yang dimiliki DPR RI tidak digunakan. Yang digunakan oleh DPR RI adalah fungsi kontrol saja. Fungsi kontrol inipun digunakan secara terbatas oleh DPR RI, yang ditunjukkan oleh digunakannya wewenang bertanya di dalam Komisi saja. Selain itu penggunaan fungsi kontrol ditunjukkan juga oleh adanya berbagai masukan dan saran yang diberikan Komisi I DPR RI kepada Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.
Tesis ini juga menemukan kenyataan bahwa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia adalah pelaksana politik luar negeri Indonesia). Demikian halnya dalam kasus Penyelesaian Masalah Timor Timm- pasca Peristiwa Dili 1991. Kebijakan Penyelesaian Masalah Timor Timur tersebut tidak pernah dibahas oleh pemerintah secara serius di dalam rapat-rapat dengan DPR RI (Komisi I). Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa Presiden Republik Indonesia (Jenderal purnawirawan Suharto) adalah tokoh yang menentukan dan mendominasi pembuatan politik luar negeri Indonesia (dua kasus) tersebut. Salah satu sebab dominannya Presiden RI tersebut karena pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 belum dijelaskan dalam peraturan perundangan yang lebih operasional. Ketiadaan perturan perundangan yang lebih opersional tersebut menyebabkan kedudukan DPR dalam pembuatan politik luar negeri RI menjadi tidak terlalu jelas. Akibatnya DPR RI tidak berdaya, ketika lembaga tersebut diabai.kan oleh eksekutif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leifer, Michael
Jakarta: Gramedia, 1989
327.598 LEI t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Panitia Peringatan HUT ke-32 Perjanjian Persahatan Indonesia-Mesir, 1978
327 SEK
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Newsom, David D.
Bandung: Angkasa, 1996
327.73 NEW d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Hatta, 1902-1980
Jakarta: Tintamas, 1953
327.991 MOH d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>