Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2465 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Alfi Isra
"Latar Belakang: Cedera kepala merupakan penyebab kematian paling sering pada orang dewasa muda, Dari penelitian perkiraan keluaran pasien cedera kepala sudah dapat diprediksi dalam 3 hari perawatan. Klasifikasi diffuse injury berdasarkan tomografi komputer kepala saat pertama kali datang dengan melihat sisterna mesensefalika, derajat midline shift dan ada atau tidak rnassa intrakranial operatif dapat memprediksi kematian pasien cedera kepala. Skala diffuse injury dibagi menjadi 4 subgrup, makin tinggi skala diffuse injury-nya, makin tinggi angka kematiannya.
Tujuan: Menentukan derajat diffuse injury untuk memperkirakan kemungkinan kematian 3 hari pertama pasien dewasa cedera kepala sedang dan berat,
Desain dan Metode: Studi dengan disain nested case control yang bersarang pada penelitian prospektif tanpa pembanding. Pasien dewasa cedera kepala derajat sedang dan berat yang mengalami kematian dini akan dimasukkan sebagai kelompok studi, sedangkan kelompok kontrol akan diambil secara random dari pasien-pasien yang tidak mengalami kematian dini.
Hasil: Dari 103 subyek penelitian didapatkan 24 (23,3%) penderita mengalami CKB dan 79 (76,7%) penderita CKS. Terdapat 23 (22,3 %) penderita yang meninggal daiam 3 hari pertama. Faktor yang berpeng ruh terhadap kematian adalah SKG, diffuse injury, sisterna mesensefalika, mid/Inc shift 5 mm atau lebih, denyut nadi, frekuensi nafas, jumlah leukosit dan tekanan PC02. Hasil analisis muitivariat menunjukkan bahwa faktor resiko independen kematian 3 hari pertama adalah skala diffuse injury (p=0,005), midline shift 5 mm (p=0,000) dan denyut nadi (p=0,016).
Kesimpulan: Skala diffuse injury unfavorable dapat memprediksi kematian dalam 3 hari pertama. Midline shift 5 mm sebagai komponen skala berperan sebagai faktor resiko terjadinya kematian pasien dewasa cedera kepala sedang dan berat.

Background: Head injury is the most frequent cause of mortality in young adult. Previous studies showed that outcome of head injured patient could be predicted in the first 3 days from the on set. Classification of head injury based primarily on information gleaned from the initial computerized tomography (CT) is described. It utilizes the status of the mesencephalic cisterns, the degree ofmidiine shift in millimeters, and the presence of absence of one or more surgical masses could be predict mortality in trauma. The term `diffuse injury' is divided into four subgroups, and the higher mortality had a strong correlation with the higher scale,
Objective: To formulate prediction scale using `diffuse injury' to know the risk of moderate and severe head injury in the first 3 days.
Methods: It was cross sectional study and continued with nested case control without comparison between moderate and severe head injury patient. Patient who was died in the first 3 days were included as study group while control group has been consisted of patient who was not died in the first 3 days and selected randomly.
Result: from 103 subject, there were 24 (23,3%) severe head injury and 79 (76,7%) moderate head injury. There were 23 (22,3%) patients who was died in the first three days. Significant factor that had influence to the mortality were GCS, diffuse injury, mesencephalic cisterns, midline shift 5 mm or more, pulse rate, respiratory rate, leucocytes count and PCO2 . Multivariate analysis showed the independent risk factors to mortality in the first 3 days were diffuse injury (p=0,006), midline shift 5 mm or more (p=0,000) and pulse rate (p=0,016).
Conclusion: Diffuse injury could predict mortality in the first 3 days of head injury patient. Midline shift as one of diffuse injury components is the leading risk factor of mortality in moderate and severe head injury patients in this research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ingka Nila Wardani
"Tatalaksana nutrisi pada pasien cedera kepala sedang dan berat mencakup pemberian makronutrien mikronutrien nutrien spesifik pengelolaan cairan dan elektrolit serta pemantauan dan evaluasi Dukungan nutrisi yang adekuat perlu diberikan pada pasien cedera kepala agar meningkatkan perbaikan kondisi optimal pasien Sebagian besar pasien cedera kepala memiliki status gizi yang baik sebelum terjadinya trauma Pemenuhan nutrisi yang optimal dapat turut menunjang perbaikan inflamasi metabolisme dan menjaga tidak terjadi penurunan status gizi Pasien pada serial kasus ini seluruh pasien laki laki mempunyai rentang usia 19 sampai 49 tahun Adanya penyakit penyerta mempengaruhi luaran akhir pasien cedera kepala Terapi nutrisi diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap pasien Kebutuhan energi total dihitung berdasarkan perkiraan kebutuhan energi basal menggunakan persamaan Harris Benedict dikalikan faktor stres 1 4 1 6 dan pemberiannya disesuaikan dengan kondisi klinis pasien Kebutuhan protein 1 5 2 g kg BB hari dan lemak 20 30 Pemantauan mencakup tanda klinis toleransi asupan makanan kapasitas fungsional keseimbangan cairan parameter laboratorium dan antropometri Pemberian nutrisi pada pasien cedera kepala berat dengan sakit kritis bersifat individual dan mencakup semua aspek Tatalaksana nutrisi yang baik dan dilanjutkan dengan edukasi pada pasien dan keluarga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien cedera kepala dengan meminimalkan komplikasi yang dapat terjadi

Nutrition therapy in patients with moderate and severe traumatic brain injury includes the provision of macronutrient micronutrient specific nutrition fluid and electrolyte management with monitoring and evaluation Adequate nutrition support should be given in traumatic brain injury to optmalyze outcome patient Three from four this case series have a normoweight before trauma Nutritional support can improve metabolism decrease inflammation and manage nutritional status Patients in this case series all male have an age range from 19 to 49 kg years Their comorbid condition influence outcome of traumatic brain injury patient Nutritional support is given according to each patient rsquo s requirement which is calculated with basal energy requirement using Harris Benedict equation with stress factor 1 4 1 6 and the administration starts with individual condition which gradually increased to reach the total energy expenditure Protein requirement 1 5 2 g kg day and lipid requirement is calculated 20 30 total energy requirement Patient rsquo s monitoring include clinical signs food intake tolerance functional capacity fluid balance laboratory and anthropometric parameter were taken With the management of good nutrition expected quality of life of patients with moderate and severe traumatic brain injury various comorbidities would be better
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elisa Harlean
"Latar Belakang: Cedera kepala dikaitkan dengan aktivasi kaskade koagulasi dapat menyebabkan koagulopati. Hal ini berhubungan dengan hasil akhir atau keluaran yang tidak baik pada pasien. Deteksi dini dan evaluasi berkala faktor hemostasis dibutuhkan pada pengelolaan pasien cedera kepala sedang dan berat dalam memperbaiki hasil keluaran perawatan pasien cedera kepala.
Tujuan: Diketahuinya angka kejadian prevalensi koagulopati pada pasien cedera kepala sedang berat dan hubungan gangguan hemostasis tersebut dengan hasil keluarannya.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi ?nested case control?. Studi ini bersarang pada penelitian awal yang berupa studi komparasi potong lintang. Data hemostasis diperiksa pada hari pertama(<24 jam dari kejadian) saat di Instalasi Gawat Darurat(IGD) RSCM. Pasien cedera kepala sedang dan berat ini nantinya akan diikuti sampai akhir perawatan inap dan dinilai hasil keluaran perawatannya. Koagulopati adalah gangguan status koagulasi, dapat berupa hiperkoagulasi atau hipokoagulasi
Hasil: Terdapat 76 sampel, 38 sampel memiliki keluaran baik dan 38 sampel memiliki keluaran buruk. Pria(81,6%) lebih banyak dari wanita. Sebagian besar subjek berusia 18-50 tahun(81,6%). Koagulopati terjadi pada 34,2% pasien. Koagulopati merupakan faktor prediksi keluaran buruk pada cedera kepala (OR 4,429; 95%IK 1,569 ? 12,502; p=0,004). Hasil analisis multivariat menunjukkan urutan prioritas kemaknaan faktor yang mempengaruhi keluaran subjek cedera kepala yang terkuat berturut-turut di penelitian ini adalah usia (50,271), derajat cedera kepala (46,522), dan koagulopati (5,409). Terdapat hubungan bermakna antara beratnya derajat cedera kepala dengan terjadinya koagulopati p= 0,009.
Kesimpulan: Prevalensi koagulopati pada cedera kepala sedang berat cukup tinggi. Pasien dengan koagulopati memiliki keluaran yang lebih buruk

Background: Brain injury is associated with activation of the coagulation cascade, contributing to coagulopathy. This condition is correlated with unfavorable outcome. Early detection and evaluation of hemostatic factors are needed in treatment of moderate-severe traumatic brain injury (TBI) to improve patient outcome.
Objectives: To determined the number of prevelence coagulopathy in moderate severe TBI and the relationship of the hemostatic disorder with outcome.
Materials and Method: We did the nested case control study. Hemostatic parameters were recorded from emergency departement (ED) not exceeding 24 hours from onset of accident. Moderate-severe TBI patients were followed until the patients discharged and we assessed the outcome. Coagulopathy was defined as hypocoagulopathy or hypercoagulopathy.
Results: From 76 subjects, 38 subjects were favorable outcome and 38 subjects had unfavorable outcome. Men were higher than women (81,6%), mostly subjects were in range 18-50 years(81,6%). Coagulopathy occured in 36% of all patients. Coagulopathy was the predictor of unfavorable outcome for TBI (OR 4,429; 95%CI 1,569 ? 12,502; p=0,004). From the multivariate analysis, the priority level for TBI outcome, in order of strongest to weakest correlation, were age (50,271), severity of traumatic brain injury(46,522) and coagulopathy(5,409). There was significant correlation between severity of traumatic brain injury and coagulopathy (p= 0,009).
Conclusions: Our study confirmed a quite high prevalence of coagulopathy in patients with moderate-severe TBI. Patients with coagulopathy had poorer outcome compared to non-coagulopathy
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Amanda
"Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada populasi dunia berusia di bawah 45 tahun. Cedera kepala sedang (CKS) dan berat (CKB) biasanya memerlukan perawatan intensif dan pendekatan medis-bedah. Pasien dengan cedera kepala mengalami peningkatan laju metabolisme sehingga memerlukan tatalaksana medik gizi yang sesuai. Pemenuhan kebutuhan energi yang tidak adekuat dapat menyebabkan peningkatan angka morbiditas, risiko infeksi, dan komplikasi lainnya. Pemberian nutrisi enteral dini dalam kurun 24-48 jam setelah masuk Intensive Care Unit (ICU) dapat memperbaiki luaran klinis pasca cedera.
Serial kasus ini bertujuan untuk melaporkan peran tatalaksana medik gizi pada status gizi, lama pemakaian ventilator, tingkat kesadaran dan kapasitas fungsional pada pasien kritis dengan CKS dan CKB. Empat pasien laki-laki dengan rentang usia 25-46 tahun diobservasi selama perawatan di ICU RS Cipto Mangunkusumo, dua pasien dengan diagnosis CKS dan sisanya dengan diagnosis CKB. Status gizi berdasarkan indeks massa tubuh, dua pasien memiliki berat badan (BB) normal, satu pasien BB lebih dan satu pasien obesitas II. Tingkat kesadaran berdasarkan skor Glascow Coma Scale (GCS) pasien pada saat masuk ICU adalah 6-11.
Selama perawatan keempat pasien mendapat nutrisi enteral dini dan pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap. Pada seluruh pasien, kebutuhan energi dapat dipenuhi sesuai target 25-30 kkal/kg BB. Kebutuhan makronutrien dapat dipenuhi sesuai target, yaitu protein 1,2-2 g/kg BB, lemak 20-30%, dan karbohidrat minimal 100 g/hari. Pada dua pasien dengan CKB, diberikan nutrien spesifik berupa glutamin sebesar 0,2 g/kgBB/hari dan mikronutrien berupa vitamin C, vitamin B kompleks, asam folat, dan seng.
Hingga akhir pemantauan status gizi pada dua pasien CKS dapat dipertahankan, sedangkan dua pasien dengan CKB mengalami penurunan berat badan. Dua pasien CKS hanya menggunakan ventilator selama 4-5 hari, sedangkan dua pasien dengan CKB menggunakan ventilator lebih lama yaitu 12 dan 31 hari dengan disertai komorbiditas pneumotoraks dan ventilator-associated pneumonia. Tingkat kesadaran seluruh pasien mengalami perbaikan. Skor GCS pasien pada akhir perawatan di ICU adalah 7-15. Kapasitas fungsional berdasarkan Indeks Barthel juga mengalami perbaikan pada tiga pasien, yaitu dari ketergantungan total menjadi ketergantungan sedang atau berat.
Dapat disimpulkan bahwa tatalaksana medik gizi dapat berperan dalam mempertahankan status gizi, menurunkan lamanya pemakaian ventilator, memperbaiki tingkat kesadaran dan kapasitas fungsional pada pasien sakit kritis dengan CKB dan CKS. Tingkat keparahan cedera kepala dan komorbiditas dapat memengaruhi luaran klinis dan harus dipertimbangkan dalam memberi tatalaksana medik gizi.

Traumatic brain injury (TBI) is a leading cause of death and disability in the global population under 45 years old. Moderate and severe TBI usually require intensive care and a medical-surgical approach. Patients with TBI experience an increase in metabolic rate and therefore require appropriate medical nutrition therapy. Inadequate energy intake can cause an increase in morbidity, risk of infection, and other complications. Early enteral nutrition within 24-48 hours after ICU admission has been shown to improve clinical outcome.
This case series aims to report the role of medical nutrition therapy on nutritional status and clinical outcomes of critically ill patients with moderate and severe TBI. Four male patients aged 25-46 years were observed during their stay at the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Based on body mass index, two patients were normoweight, one patient was overweight and one patient was class II obese. The Glascow Coma Scale (GCS) scores of the patients on ICU admission were ranged 6-11.
Two of the four patients were classified as moderate TBI and the other two patients were as classified as severe TBI. On monitoring four patients received early enteral nutrition and the nutrition was gradually increased to reach the target of 25-30 kcal/kg body weight (BW). Enteral formula were targeted to achieve protein intake of 1.2-2 g/kgBW, fat intake of 20-30% of energy intake, and carbohydrate intake of at least 100 g/day. Two patients with severe TBI were given specific nutrients in the form of glutamine as much as 0.2 g/kgBW/day and micronutrients in the form of vitamin C, vitamin B complex, folic acid, and zinc. Two patients with moderate TBI received mechanical ventilation for 4 and 5 days, while two patients with severe TBI received mechanical ventilation for 12 and 31 days. In two patients with severe TBI, prolonged use of mechanical ventilation may be associated with the comorbidities of pneumothorax and ventilator-associated pneumonia.
At the end of monitoring, the levels of consciousness were improved in all patients. The patients GCS score at the end of treatment in the ICU were ranged 7-15. Functional capacity based on the Barthel Index also improved in three patients, from total dependence to moderate or severe dependence. Weight loss was experienced in two patients with severe TBI, possibly due to severe and prolonged catabolism in severe TBI. Patients with severe TBI may have higher energy requirements to maintain their nutritional status.
It can be concluded that medical nutrition therapy may play a role in improving the level of consciousness and functional capacity in critically ill patients with moderate and severe traumatic brain injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffri Harisman
"Latar belakang: Status epileptikus non konvulsif (SENK) dapat ditemukan pada
cedera kepala sedang-berat (CKS-B). Timbulnya kejang pascatrauma dapat
memperberat cedera otak yang sudah terjadi, sehingga dapat mempengaruhi luaran.
Gejala klinis SENK tidak spesifik, sehingga membutuhkan pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) dalam penegakkan diagnosis. Penelitian ini bertujuan
mengetahui angka kejadian SENK, faktor yang mempengaruhi, gambaran demografi
(usia, jenis kelamin dan luaran), gejala klinis, gambaran pencitraan dan EEG pada
pasien CKS-B dengan SENK.
Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan sampel
terdiri dari data primer, yaitu semua CKS-B dari bulan Juli-Desember 2019 secara
consecutive sampling dan data sekunder, yaitu subjek CKS-B dengan klinis kecurigaan
SENK dari bulan Januari 2017-Juni 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSUPNCM), Jakarta. Penegakkan diagnosis SENK dilakukan melalui
kriteria modified salzburg consensus criteria for non convulsive status epilepticus
(mSCNC).
Hasil penelitian: Sebanyak 39 sampel CKS-B masuk ke dalam penelitian yang terdiri
dari 14 data primer dan 25 data sekunder. Sebanyak 19 dari 39 sampel terdiagnosis
SENK. Proporsi insiden SENK pada CKS-B dari Juli-Desember 2019 sebesar 21,4% (3
dari 14 sampel). Pada kelompok SENK didapatkan usia lebih tua, laki-laki lebih banyak
dari perempuan (3:1) dan kecelakaan lalu lintas sebagai mekanisme utama. Manifestasi
klinis SENK, antara lain penurunan kesadaran (23,1%), agitasi psikomotor (12,8%),
delirium (5,1%) dan gangguan persepsi (5,1%). Lobus frontal dan SAH merupakan
daerah lokasi cedera dan patologi terbanyak. Hanya didapatkan 2 sampel dengan kriteria
definit SENK dan selebihnya possible SENK. Sebagian besar bangkitan SENK berasal
dari lobus temporal. Analisis multivariat menunjukkan lokasi cedera lobus temporal
bermakna berhubungan dengan kejadian SENK (p = 0,036, OR 11,45 (95% IK 1,17-
111,6).
Kesimpulan: Proporsi insiden SENK pada CKS-B di RSUPNCM sebesar 21,4%.
Penurunan kesadaran merupakan gejala klinis SENK terbanyak. Lobus temporal
merupakan faktor yang berhubungan terhadap kejadian SENK.

Background: Non convulsive status epilepticus (NCSE) can be accounted by moderatesevere
traumatic brain injury (TBI). Posttraumatic seizure can aggravate the previous
injury and produce poor outcome. Electroecephalography (EEG) was employed as
diagnostic tool because unspecified clinical symptoms. This study was aimed to find
incidence proportion, associated risk factors, demographic profiles (age, gender,
outcome), clinical symptoms, imaging and EEG patterns of NCSE in moderate-severe
TBI patients.
Method: Cross-sectional design was applied ini this study. Data is consist of primary
data which include all moderate-severe TBI since July-December 2019 by consecutive
sampling and secondary data which include moderate-severe TBI since January 2017-
June 2019 with highly suspicious NCSE symptoms in Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta. EEG was employed as diagnostic tool by using modified salzburg consensus
criteria for non convulsive status epilepticus (mSCNC) as a criteria.
Result: Of 39 samples, 19 moderate-severe TBI samples (14 primary data, 25
secondary data) were diagnosed as NCSE. Incidence proportion of NCSE from July-
December 2019 is 21,4% (3 from 14 samples). Older age, man gender, traffic accident
and worse outcome are the most common NCSE demographic profiles. Loss of
consciousness (23,1%) is a main symptom, followed by psychomotor agitation (12,8%),
delirium (5,1%) dan perception disturbance (5,1%). Frontal lobe and SAH are
consecutively as the most common injury location and pathologic finding. Only 2
samples have definite NCSE diagnosis and the remaining as possible NCSE. Most of
NCSE discharges were originated from temporal lobe. Temporal lobe injury location
has significance relation toward SENK occurance (p = 0,036, OR 11,45 (95% CI 1,17-
111,6).
Conclusion: Incidence proportion of NCSE in moderate-severe TBI is 21,4%. Loss of
consciousness is the most finding symptoms. Temporal lobe is a factor relates to NCSE
occurance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beauty Rose Mawargany
"Latar belakang: Cedera kepala merupakan kegawatan di bidang Neurologi yang sering menyebabkan kematian dan kecacatan. Prognosis yang dapat dibuat diawal terjadinya cedera kepala akan membantu klinisi dalam memberikan tatalaksana yang tepat. Penelitian faktor prognostik pada cedera kepala dengan luaran skor GOSE yang dilakukan dalam tiga waktu pemantauan yang berbeda belum pernah dilakukan di RSUPN. Cipto Mangunkusumo.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan uji prognostik dengan disain kohort prospektif dan retrospektif untuk mengetahui faktor prognostik luaran GOSE pasien cedera kepala sedang dan berat pada hari 90 sebagai luaran primer, juga luaran pada hari 14 dan 30. Populasi yaitu pasien cedera kepala di RSUPN. Cipto Mangunkusumo selama bulan Oktober 2019- Maret 2021. Analisis data bivariat dengan chi-square dilanjutkan analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Dari 139 sampel cedera kepala sedang dan berat didapatkan data demografik yaitu 81.3% sampel merupakan laki-laki dan usia rerata 40±44. Didapatkan sebaran klinis, SKG 3-8 16 sampel (11.5%), hipotensi 20 sampel (14.4%), Hipoksia sebanyak 11 sampel (7.9%), Anemia sebanyak 13 sampel (9.4%), hiperglikemi sebanyak 30 sampel ( 21.6%), skor ISS > 24 sebanyak 6 sampel (4.3%), skor Rotterdam > 4 sebanyak 56 sampel (45.2%). Pupil tidak reaktif bilateral 3.6%, reaktif unilateral 7.2%, reaktif bilateral 89.2%
Untuk luaran GOSE hari 90 sebagai luaran primer yaitu luaran baik 60.4% dan luaran buruk 39.6%. Luaran hari 30 luaran baik 46.8% dan luaran buruk 53.2%. Luaran fase awal yaitu hari 14 luaran baik 31.7% dan luara buruk 68.3%.
Analisis multivariat didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran pada hari 14 yaitu usia di atas 60 tahun dan skor Rotterdam > 4. Analisis multivariat luaran hari 30 tidak didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran GOSE. Pada hari 90 didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran GOSE yaitu hipotensi < 100 mmHg.
Kesimpulan: Didapatkan faktor prognostik pada hari 14 yaitu usia dan skor Rotterdam dan faktor prognostik pada hari 90 yaitu hipotensi.

Background: Brain injury is an emergency in Neurology that often causes death and disability. Prognosis that can be made early in the occurrence of head injury will assist clinicians in providing appropriate management. The study of prognostic factors in head injury with GOSE score outcome that was conducted in three different monitoring times had never been done in RSUPN. Cipto Mangunkusumo.
Research method: Prognostic test with a prospective and retrospective cohort design to determine the prognostic factors for GOSE outcome in moderate and severe brain injury patients on day 90 as the primary outcome, as well as outcomes on days 14 and 30. The population was brain injury patients at the RSUPN. Cipto Mangunkusumo during October 2019-March 2021. Bivariat analysis with chi-square was followed by multivariate analysis with logistic regression.
Results: 139 samples of moderate and severe brain injury, demographic data were obtained, 81.3% of the sample were male and the mean age was 40±44. Obtained clinical distribution, SKG 3-8 16 samples (11.5%), hypotension 20 samples (14.4%), Hypoxia in 11 samples (7.9%), Anemia in 13 samples (9.4%), hyperglycemia in 30 samples (21.6%), ISS score > 24 for 6 samples (4.3%), Rotterdam score > 4 for 56 samples (45.2%). Bilateral unreactive pupils 3.6%, unilateral reactive 7.2%, bilaterally reactive 89.2%
For the 90 day GOSE outcome as the primary outcome, 60.4% good outcome and 39.6% bad outcome. The 30 day output is 46.8% good and 53.2% bad. The output of the initial phase was on day 14, good outcome was 31.7% and bad outcome was 68.3%.
Multivariate analysis found that the factors that significantly affected the outcome on day 14 were age over 60 years and Rotterdam score > 4. Multivariate analysis on day 30 did not find any significant factor influencing the outcome of GOSE. On day 90, it was found that a significant factor affecting the outcome of GOSE was hypotension < 100 mmHg.
Conclusion: In patients with moderate and severe brain injury, there were different prognostic factors for monitoring GOSE outcomes on days 14, 30 and 90.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jofizal Jannis
"BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Beberapa tahun terakhir ini dengan meningkatnya arus lalulintas di tanah air kita, khususnya Jakarta, maka terjadi pula peningkatan jumlah penderita cedera kepala yang seringkali berakibat cacad (skwele) berupa hemiparesis, afasia, epilepsi, dan kerusakan saraf kranial dengan keluhan seperti diplopia, anosmia dan kaburnya penglihatan, atau bahkan kematian. Dari tahun 1983 dan 1984 misalnya, dimana jumlah penderita cedera kepala yang dirawat di RSCM adalah 3315 orang dan 2959 orang, tanpa tendensi kenaikan, tetapi dicatat kenaikan cedera kepala berat terjadi sebesar 5% (12). Data tersebut tidak mengungkapkan angka kecacatan yang menjadi keluhan sejak selesai perawatan.
Selain itu kecacatan akibat cedera kepala juga merupakan aspek tertentu yang penting dilihat dari sudut kehidupan sosial penderita. Penderita kecacatan akan mendapat kesulitan dalam melakukan pekerjaanya dengan baik bahkan mungkin tidak bisa bekerja sama sekali.
Suatu pengamatan tentang akibat cedera kepala di Inggris (7) memberi gambaran yang sangat memprihatinkan. Menurut catatan sekitar 50% dari penderita pasca cedera kepala terpaksa menganggur disebabkan ketidakmampuan berfungsi dengan baik dalam melaksanakan tugasnya.
Kerusakan-kerusakan yang timbul akibat cedera kepala pada umumnya akan mengenai kulit kepala berupa luka atau penumpukan darah di subgaleal, fraktur linier/impresi pada tulang tengkorak disertai cedera otak, disertai penurunan tingkat kesadaran dan adanya perdarahan dalam rongga kepala (4,27,43).
Sampai saat ini memang belum banyak ditemukan penelitian yang agak spesifik untuk menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi disfungsi dan kelumpuhan saraf kranial. Tetapi banyak hasil studi telah memberikan petunjuk kuat bagaimana kelumpuhan saraf kranial secara korelatif terkait dengan faktor-faktor tertentu.
Berikut ini, beberapa hasil studi yang telah dilakukan Para ahli menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan saraf kranial akan diuraikan secara ringkas.
Terjadinya cedera kepala dapat menyebabkan komplikasi kelumpuhan saraf kranial yang kemungkinan disebabkan oleh fraktur, hematom yang menekan, tarikan segera setelah otak tergeser akibat akselerasi dan tekanan serebral traunatik yang menekan batang otak. (24,41,47).
Soernargo (44) pada tahun 1983 mencatat kecacatan saraf kranial berupa kelumpuhan n.fasialis tipe perifer pada 9 orang periderita dan optalmoparesis pada 5 orang penderita. Tidak dilaporkan adanya kelumpuhan saraf kranial yang lain.
Jennet (22) mengamati 150 pasien dan melaporkan terjadinya kerusakan saraf kranial pada 37% penderita, dimana 50% diantaranya hemianopia. Sedangkan kelumpuhan n.fasialis pada fraktur ospetrosum transversus antara 30-50% dan 10-25% terjadi pada fraktur longitudinal.
Menurut kepustakaan lain (30,48) disebutkan bahwa kelumpuhan saraf kranial sering terjadi pada penderita cedera kepala. Yang paling sering terkena adalah n.olfaktorius, n.optikus, n.akustikus, n.okulomotorius dan n.fasialis.
Bannister dan Rovit (3,42) mencatat bahwa saraf kranial yang paling sering dikenai adalah: n.fasialis, n.optikus, n.abdusen, n.okulomotorius dan n.trokhlearis. Dari basil penelitiannya, kehilangan penciuman terjadi pada 5-77. dari semua pasien penderita yang dirawat.
Kelumpuhan saraf kranial lain yang pernah dilaporkan 7,41,42) adalah kelair. pr1 n.optikus don kh_asma 0.3 5.2% dan Optalmoparesis; 2.6% n.okulomotorius, 2.7% n.abdusen dan 1.3% kombinasi n.okulomotorius dan n.abdusen.
Hughes (4) pada penelitian dengan 1000 sampel pasien mengamati 34 orang dengan kelumpuhan n.okulomotorius, 55 orang mengalami kelumpuhan n.abdusen dan 23 orang dengan kelumpuhan n.trokhlearis. Lebih jauh Hughes?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58524
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Rofina F K
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>