Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140780 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Nova Anita
"Ruang Lingkup: Asap rokok kretek terutama asap rokok sampingan dapat mempengaruhi proses spermatogenesis, kualitas semen dan perubahan kadar hormon testosteron. Pengaruh tersebut dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu pertama komponen dalam asap rokok kretek berupa logam (kadmium dan nikel) dapat mengganggu aktifitas enzim adenilsiklase pads membran sel Leydig yang mengakibatkan terhambatnya sintesis hormon testosteron, kedua nikotin dalam asap rokok dapat menstimulasi medula adrenal untuk melepaskan katekolamin yang dapat mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga dapat mengganggu proses spermatogenesis dan sintesis hormon testosteron melalui mekanisme umpan balik antara hipotalamus-hipofisis anterior - testis. Terganggunya proses spermatogenesis dapat juga disebabkan oleh kadar radikal bebas dan kerusakan kadar darah testis. Penelitian ini bertujuan untuk menilai secara kuantitatif perkembangan sel-sel germinal dan frekuensi sebaran stadia epitel seminiferus testis mencit setelah pemajanan asap rokok kretek selama 30 hari; 45 hari dan 60 hari dan menilai ada tidaknya perubahan kadar hormon testosteron total setelah pemajanan tersebut. Cara penelitian: Penelitian menggunakan 36 ekor mencit jantan galur DDY yang dibagi dalam enam kelompok perlakuan yaitu: kelompok kontrol 1 (KKP1); KKP2 dan KKP3 sebagai kontrol untuk kelompok perlakuan I (KP 1); KP2 dan KP3 yang secara berturut-turut diberi asap rokok kretek selama 30 hari; 45 hari dan 60 hari dalam kotak pengasapan selama 90 menit per hari. Pada hari ke 31;46 dan 6 mencit percobaan diisolasi organ testisnya, kemudian dilakukan pembuatan sediaan histologis organ testis dengan metode paraftn dan pengambilan plasma darah mencit melalui aorta jantung. Parameter yang diukur adalah jumlah sel-sel spermatogenik pads stadium V, VII dan XII; frekuensi sebaran stadia epitel seminiferus, kadar hormon testosteron total, berat testis dan ukuran diameter tubulus seminiferus. Hasii dan Kesimpulan: Hasil uji statistik parametrik ANAVA ( cc= 0,05) menunjukkan terjadi penurunan jumlah sel-sel spermatogenik (KP2 dan KP3), perubahan frekuensi sebaran stadia epitel seminiferus (KP3), berat testis (KP2 dan KP3) dan ukuran diameter tubulus seminiferus (KP3) (p < 0,05).
Uji non parametrik Mann-Whitney terhadap kadar hormon testosteron total dalam kelompok perlakuan menunjukkan terjadi penurunan kadar hormon testosteron total pada KP3 dibandingkan kontrolnya Melalui uji Kruskal Wallis tidak terdapat perbedaan bermakna kadar hormon testosteron total antar kelompok perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asap rokok kretek dapat menghambat proses spermatogenesis.

The Alteration in the Distribution of Seminwerous Epithelial Stages, the Reduction of the Number Of Spermatogenic Cells and Total Concentration of Testosterone Hormone in Mice (Musmusculus L.) Strain Ddy Exposed to Kretek SmokeObjectives: kretek smoke, especially sidestream inhaled by passive smokers, can affect the process of spermatogenesis, the quality of semen and the alteration in testosterone concentration. The effects of kretek smoke mentioned occur in two mechanisms. The first mechanism in that the component in kretek smoke (cadmium and nikel) can disturb the activity of adenylciclase enzyme on the membrane of Leydig cells. The disturbance leads the blocking of testosterone synthesis. The second mechanism is that nicotine in kretek smoke will stimulate adrenal medulla to release cathecolamine which can affect central nervous system, which in turn disturb the process of spermatogenesis and the secretion of androgen hormone through the feedback mechanism of hypothalamus-anterior hypofisis -- testis. The disturbance in the process of spermatogenesis is also through to be related with the concentration of free radicals contained in kretek smoke and damages of testicular blood barier. The aim of this study is to quantitavely assess the development of germinal cells and the frequency of distribution of testicular seminiferous ephitelial stages of mice after the exposure to kretek smoke for 30 days, 45 days and 60 days, also to investigate the presence of any alteration in total concentration of testosterone after exposure to kretek smoke. Methods:This study uses 36 male mice (Mus musculus L.) strain DDY which are grouped into 6 study groups: control group I (KKP 1); KKP2 and KKP3 that serve as control for study group 1 (KP 1); KP2 and KP3 which are exposed to kretek smoke for respectively 30 days, 45 days and 60 days in a smoking box, for 90 minutes each day. In the 31"; 46" and 61", the testes of mice used in study are isolated and mice blood plasma is obtained from cardiac aorta. Histological preparation of the testes are then made using the paraffin method. Parameter assessed are the number of spermatogenic cells at stages V, VII and XII, the frequency of the distribution of seminiferous ephitelial stages, total concentration of testosterone, the weight of testes and the diameter of seminiferous tubules. Result and conclusion: The result of parametric ANAVA (a= 0,05) shows that there is significant difference (p < 0,05) or there alteration on the number of spermatogenic cells (KP2 and KP3) , the frequency of the distribution of seminiferous ephitelial stages (KP3), the weight of testes (KP2 and KP3) and the diameter of seminiferous tubules (KP3).
Mann- Whitney test done the total concentration of testosterone in the study groups shows the reduction of testosterone in KP3 compared to its control. Non parametric Kruskal Wallis test shows that there is no significance difference of the total concentration of testosterone between study groups. The study found that the exposure to kretek smoke can block the process of spermatogenesis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arni Amir
"ABSTRAK
Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat tradisionil di Indonesia telah lama dilakukan dan cenderung meningkat. Hal ini tampak dari angka peredaran obat tradisional pada tahun 1979 mencapai Rp. 3,1 milyar, pada tahun 1981 meningkat menjadi Rp. 10,6 milyar (Sutarjadi, 1983). Bahkan di negara-negara Barat tumbuhan tetap menjadi bahan dasar obat yang penting. Data dari National Prescription Audit (NPA) di Amerika Serikat memuat informasi, bahwa 25% obat yang dilupakan oleh masyarakat Amerika Serikat masih mengandung obat yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan (Farnsworth, 1984) dan sekitar 100 bahan obat pada saat ini masih diekstraksi dari tumbuhan (Berg, 1987).
Penggunaan bahan tanaman untuk keperluan kontrasepsi, terutama untuk wanita, sudah lama dilakukan oleh nenek moyang kita. Tetapi dengan diperkenalkannya metode kontrasepsi yang lebih modern, seperti penggunaan hormon, kondom, spiral dan lain sebagainya, maka cara kontrasepsi tradisional mulai dilupakan penggunaannya. Hal ini mungkin disebabkan orang mulai lebih menyukai cara-cara praktis dan, efektif .
Keluarga berencana merupakan suatu usaha yang harus dilakukan oleh suami dan istri. Selama ini yang aktif melaksanakan keluarga berencana kebanyakan adalah wanita.
Di Indonesia, keikutsertaan suami dalam program keluarga berencana masih rendah, hanya 4,38 % dari seluruh peserta keluarga berencana (Suyono, 1985).
Selama ini bahan baku obat kontrasepsi masih diimpor (Danutirto, 1984). Dengan demikian swasembada dalam penyedian bahan baku obat kontrasepsi mempunyai arti yang sangat penting, karena pemakaian ditahun-tahun mendatang terus meningkat. Oleh karena itu dalam memenuhi kebutuhan akan bahan baku obat kontrasepsi tersebut, seyogyanya dicari dari sumber lain, yaitu tanaman. Indonesia merupakan sumberdaya tanaman obat, termasuk yang mengandung zat antifertilitas. Dengan demikian eksplorasi ke arah itu perlu digalakkan. Hal ini ditekankan pula pada amanat Presiden Suharto dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1980, bahwa obat dan cara pengobatan tradisional termasuk bahan yang bersifat kontraseptif dalam pelita V yang akan datang perlu terus digali dan dikembangkan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan secara lebih luas dan merata (Syamsuhidayat, 1988).
Di alam terdapat 250.000 jenis tumbuhan dimana 70 % dari tumbuhan ini tumbuh di negara-negara berkembang, terutama di daerah tropik. Dari jumlah tersebut baru sekitar 1 % yang diketahui mempunyai potensi sebagai tanaman obat (Myers, 1984). Di India selama dua dasawarsa terakhir ini telah diuji 3000 jenis tumbuhan, untuk mengetahui kemungkinannya mengandung bahan berkhasiat kontrasepsi (Anand, 1984). Demikian pula beberapa jenis tanaman yang ada di Indonesia telah diteliti efeknya, baik terhadap organ reproduksi betina maupun organ reproduksi jantan (Crabbe, 1984). Misalnya tanaman Dioscorea macrostachya diketahui mengandung diosgenin yang merupakan bahan baku anti fertilitas, karena dapat diolah menjadi progesteron (Marker, 1940, Djerassi, dkk. (1950) mengubah diosgenin menjadi kortison, yaitu suatu kortikoit yang panting dalam rangka penyediaan hormon-hormon steroid (Crabbe, 1984). Selain itu beberapa jenis Solanum mengandung steroid alkaloid solasodin yang cukup tinggi, dan mempunyai prospek yang baik untuk bahan kontrasepsi (Sudiatso, 1975; Soeradi dkk., 1983).
Suatu substansi tanaman yang dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai antifertilitas pada hewan betina, umumnya berkaitan dengan gangguan sistem hormon reproduksi yang meliputi organ-organ hipotalamus, hipofisis anterior, dan ovarium (Farnsworth dkk., 1975). Hal yang sama terjadi pula pada hewan jantan, karena baik fungsi maupun sistem hormon pada kedua jenis makhluk ini hampir sama {Ganong, 1983)."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Elora Gugun
"Pendahuluan: Hiperglikemia yang berlangsung lama dan tidak ditangani dengan baik dapat meningkatkan produksi ROS dan menyebabkan infertilitas pada pria. Daun sirsak (Annona muricata) merupakan salah satu herbal dengan efek antidiabetik. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh ekstrak etanol daun sirsak (EEDS) terhadap ukuran diameter tubulus seminiferus, jumlah sel sertoli, dan jumlah sel leydig pada mencit yang mengalami diabetes mellitus. Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan studi eksperimental. Sampel yang digunakan sebanyak 30 ekor mencit jantan Swiss Webster yang diinduksi aloksan selama 3 hari, yang dibagi menjadi kelompok kontrol negatif, kontrol positif, dan 3 kelompok uji dengan dosis EEDS masing-masing 150, 300, dan 600 mg/kgBB. EEDS diberikan setiap hari selama 14 hari. Semua preparat jaringan testis diwarnai dengan pewarnaan HE dan diamati pada perbesaran 40x. Diameter tubulus seminiferus diukur menggunakan program Axiovision Release 4.8. Jumlah sel sertoli dan sel leydig dihitung menggunakan perangkat lunak image J. Hasil: EEDS dalam semua dosis uji tidak berpengaruh secara signifikan pada ukuran diameter tubulus seminiferus. EEDS dosis 150, 300, dan 600 mg/kgBB secara signifikan dapat meningkatkan jumlah sel sertoli dibandingkan kelompok kontrol negatif (p<0,05). EEDS dosis 300 mg/kgBB signifikan dapat meningkatkan jumlah sel leydig dibandingkan kelompok kontrol negatif (p<0,05). Kesimpulan: Pemberian EEDS selama 14 hari pada mencit yang diinduksi aloksan tidak mengubah ukuran diameter tubulus seminiferus secara signifikan, namun dapat meningkatkan jumlah sel sertoli dan sel leydig secara signifikan dibandingkan jika tidak diberi pengobatan apapun(
).Introduction: Prolonged and uncontrolled hyperglycemia increases production of ROS and causes male infertility. Soursop leaf (Annona muricata) is herbal medicine that is known to have antidiabetic effect. This study aimed to observe the potential effect of ethanol extract of soursop leaf (EESL) to the alteration of seminiferous tubules’ diameter, sertoli cells’ amount and leydig cells’ amount, as the indicators of male infertility. Method: This is a true experimental in vivo study with randomized control group. The sample used for this study are 30 alloxan-induced Swiss Webster mice which was devided into positive control group, negative control group, and three trial groups (1: 150 mg/kg, 2: 300 mg/kg, 3: 600 mg/kg). EESL solution was given everyday during 14 days. All histopathology preparations were stained by HE-staining and observed on 40x magnification. Diameters of seminiferous tubules were measured by Axiovision Release program version 4.8. The amounts of sertoli and leydig cells were counted by Image J software. Results: EESL in every trial dose doesn’t have significant effect to the diameter of seminiferous tubules on every trial groups. EESL 150, 300, and 600 mg/kg has a significant effect to increase the amounts of sertoli cells (p=0,003). EESL 300 mg/kg has a significant effect to increase the amounts of leydig cells (p=0,03). Conclusion: Administration of Annona muricata leaf during 14 days on alloxan-induced mice doesn’t significantly affect diameters of seminiferous tubules. In contrast, it significantly increases the amounts of sertoli and leydig cells."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Rany Anggraeni
"Latar belakang: Pengembangan kontrasepsi hormonal pada pria didasarkan pada pengetahuan behwa spermatogenesis sangat tergantung pada sekresi dari hormon gonadotropin. Pemberian depot medroksiprogesteron asetat (DMPA) yang dikombinasikan dengan testosteron prospeknya baik untuk dikembangkan menjadi bahan kontarasepsi pria karena dapat menekan gonadotropin, sehingga menghambat spermatogenesis. Di alam terdapat berbagai macam tanaman obat yang mengandung androgen, salah satunya adalah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.). Secara tradisional buah cabe jawa digunaka untuk obat lemah syahwat dan telah terbukti dapet meningkatkan kadar hormon testosteron darah serta meningkatkan frekuensi koitus pria hipogonad.
Tujuan:Mengetahui pengarah kombinasl DMPA dan ekstrnk cabe jawa terbadap berat testis, diameter tubulus seminiferus, populasi sel-sel spermatogenik dan populasi sell Leydig tikus galur Sprague-Dawley.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengksp (RAJ..), equal size sample yaitu terdiri dari 6 kelompok yang menggunakan tikus jantan galur Sprague Dawley sebagai model. Kelompok perlakuan terdiri atas kelompok kontrol perlakuan (KP=tikus disuntik DMPA dan diberi plasebo), perlakuan I (Pl=tikus disuntik DMPA dan ekstrak cabe jawa dosis 6,94 mg), perlakuan II (P!I=tikns disuntik DMPA dan eksrak cabe jawa dosis 1,88 mg), perlakuan ill (Pill=tikus disuntik DMPA dan eksrak cabe jawa dosis 2,82 mg), perlakuan N (tikus disuntik DMPA dan ekstrnk cabe jawa dosis 3,76 mg) dan kelompok kontrol (K). Penyuntikan DMPA dilakukan pada minggu ke-0 dan minggu ke-12 perlakuan, sedangknn pencekokan ekstrnk cahe jawa dilakukan setiap hari dimu!ai dari minggu ke7 sampai minggn ke-18 perlakuan.

Background: The developing of hormonal male contraception based on the knowledge that spermatogenesis is depends to the secretion of gonadotrophin hormone. Administration of depot medroxyprogesterone acetate (DMPA) combined with testosterone has a good prospect II> become hormonal male contaception because they can supress gonadotrophin so that can inhibit spermatogenesis. In the nature there are many kinds of herbal medicine containa of androgene, one of them is javanesse long pepper (Piper retrofractum Vahl). Traditionally, the fruit is used to cure impotency and has been prove can increase blood testosterone levels and frequency of coitus in hypogoned man.
Aim: The aim of this study was to find out the effects of combination of depot medroxyprogesterone acetate {DMPA) and javanesse long pepper toward testis weight, seminiferous tubules dknneter, population of spermatogenic cells, nad Leydig cell of rat.
Method: This research was using complete random design, eqnal size sample consist of six groups using male rat strain prague-Dawley as a model. Treatment groups consist of treatment control (KP=rat administered with DMPA and placebo), treatment I (PI=rat administered with DMPA and javanesse long pepper extract dose (),94 mg), treatment II (PII=mt edministered with DMPA and javanesse long pepper extract dose 1,88 mg), treatment Ill (Pill=mt administered with DMPA aod javanesse long pepper extract dose 2,82 mg), aod treatment IV (PIV=mt administered with DMPA and javanesse long pepper exlnlct dose 3,76 mg), and also control group. Injection of DMPA was conducted in week-0 and week-12, meanwhile administered of Javanese long pepper was conducted everyday startatweek-7 until week-18."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T32424
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yurnadi
"Telah dilakukan suatu penelitian mengenai pengaruh pemajanan medan elektrostatik terhadap konsentrasi spermatozoa dan keadaan sel-sel spermatogenik testis mencit albino (Mus musculus L.) Strain Swiss Webster BPMSOH. Pemajanan dilakukan pada dosis 6 kV dan 7 kV selama 4 jam/hari dengan lama pemajanan selama 54 hari atau sampai pada satu generasi (F1).
Berdasarkan penelitian Soeradi (2), pemajanan medan elektrostatik yang dimulai dari dosis 6 kV dan 7 kV selama 1 jam/hari secara langsung terhadap testis tikus menimbulkan kerusakan pads sel epitel seminiferus, maka perlakuan yang diberikan pads penelitian ini dimulai dari dosis 6 kV ke atas. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 macam dosis perlakuan, yaitu : Kontrol (0 kV), tegangan 6 kV (P I), tegangan 7 kV (P II) yang diberikan selama 4 jam/hari hingga melahirkan keturunan pertama (FA), pemajanan dilakukan secara rutin setiap hari secara tegak lurus yang akan mengenai seluruh tubuh mencit. Sebaliknya untuk mencit kelompok kontrol (0 kV) hanya dikandangkan saja, dikawinkan sampai melahirkan keturunan yang pertama (F7). Setelah mencit dewasa dilakukan pengamatan terhadap mencit F dengan parameter sebagai berikut :
1. Konsentrasi spermatozoa vas deferen
2. Diameter tubules seminiferus
3. Jumlah sel spermatogonium A
4. Jumlah sel spermatosit primer pre-leptoten
5. Jumlah sel spermatosit primer pakhiten
6. Jumlah sel spermatid
Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pemajanan medan elektrostatik pada dosis 6 kV dan 7 kV tidak mempengaruhi konsentrasi spermatozoa vas deferen.
2. Pemajanan medan elektrostatik pada dosis 6 kV dan 7 kV tidak mempengaruhi diameter tubulus seminiferus.
3. Pemajanan medan elektrostatik pada dosis 6 kV dan 7 kV tidak mempengaruhi keadaan sel-sel spermatogenik seperti jumlah sel spermatogonium A, sel spermatosit primer per-leptoten, sel spermatosit primer pakhiten, dan sel spermatid."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Zidni Hidayati
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh penyuntikan ekstrak biji pepaya (Carica papaya L.) terhadap populasi selsel spermatogenik raencit (Mus musculus L.) strain GBR. Dalam penelitian ini digunakan tiga kelompok raencit jantan, masing-masing kelompok kelola tanpa disuntik (K1); kelompok kelola (K2) yang disuntik aqua bidest. sebanyak 0,2 ml/mencit/hari selama 10 hari; dan kelompok eksperimen (E) yang disuntik ekstrak biji pepaya dengan dosis 10 mg/0,2 ml/mencit/hari
selama 10 hari. Tiga hari setelah penyuntikan berakhir sernua kelompok mencit ditimbang kemudian dibunuh.
Hasil perhitungan secara kuantitatif menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak biji pepaya dengan dosis 10 mg/0,2 ml/ mencit/hari selama 10 hari tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti terhadap populasi sel-sel spermatogenik, khususnya spermatogonia A dan spermatosit primer Pakhiten pada tingkat α = 0,05. Selain itu juga tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti terhadap diameter tubulus seminiferus, berat testis, dan berat badan pada tingkat α = 0,05.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa penyuntikan ekstrak biji pepaya dengan dosis 10 mg/0,2 ml/mencit/hari selama 10 hari, pada strain GBR, tidak mempunyai pengaruh terhadap parameter yang diujikan. Diduga bahwa ekstrak biji pepaya beraksi sebagai zat spermatoksit terhadap pematangan sperma kauda epididymis, jadi tidak mempengaruhi proses sperraatogenesis testis."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dekta Filantropi Esa
"Radiasi medan elektromagnetik berpotensi menimbulkan gangguan pada sistem reproduksi, utamanya sistem reproduksi pria saat tahap spermatogenesis. Fenomena ini dikarenakan letak testis pada pria lebih superfisial dibandingkan dengan ovarium pada wanita sehingga testis lebih rentan terpapar medan elektromagnetik. Beberapa penelitian mengenai pemajanan medan elektromagnetik terhadap sistem reproduksi mencit Strain Webster telah dilakukan, khususnya efek pada testis. Tetapi, penelitian tersebut hanya terbatas pada pemajanan untuk satu generasi mencit saja. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui efek pemajanan medan elektromagnetik tingkat sangat rendah pada tiga generasi mencit terhadap diameter tubulus seminiferus yang merupakan komponen penting testis dalam sistem reproduksi mencit jantan.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Pemajanan dilakukan dengan tiga tegangan yang berbeda, yaitu 3 kV/10 cm dengan kuat medan magnet 5,5 uT ; 4 kV/10 cm dengan kuat medan magnet 5,4 uT ; dan 5 kV/10 cm kuat medan magnet 5,3 uT. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS for Windows versi 16 dengan analisis Kruskal-Wallis dan non-parametrik Mann-Whitney.
Dalam penelitian ini ditetapkan nilai α sebesar 0,05 dan interval kepercayaan atau confidence interval (CI) sebesar 95 %. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara bermakna (p<0,05) telah terjadi penurunan diameter Tubulus Seminiferus pada kelompok terpajan ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penurunan diameter Tubulus Seminiferus tersebut cenderung sebanding dengan peningkatan tegangan dan berbanding lurus dengan jumlah generasi. Selain itu, telah terjadi perubahan gambaran jaringan testis pada kelompok terpajan dibandingkan kelompok kontrol.

Electromagnetic Field Radiation is potential to cause disruption in reproductive system, especially spermatogenesis stage in male reproductive system. This phenomenon caused by the position of testis in male is more superficial compared to ovarium position in female, so the testis have greater tendency to get electromagnetic field exposure. Many research about electromagnetic exposure to reproductive system of Webster Strain Mice have been conducted, especially the effect of exposure to testis. However, the exposure in that research are done only in one generation of mice. So, researcher want to know the effect of Extremely Low Frequency-Electromagnetic Field (ELF-EMF) exposure to diameter of seminiferous tubules within three generation of Strain Webster Mice which is important component of reproductive system for the mice.
Experimental is the design of this research, the exposure was done with three different voltages, which are 3 kV/10 cm with magnetic field of 5,5 uT; 4 kV/10 cm with magnetic field of 5,4 uT; and 5 kV/ 10 cm with magnetic field of 5,3 uT. The data was analyzed by SPSS for Windows version 16 software with Kruskal-Wallis analysis nonparametric of Mann-Whitney.
In this research α value of 0,05 and confidence interval of 95% are settled. The result shows that there is significant (p<0,05) decrease in diameter of tubulus seminiferus in intervention group compared to control. The decrease tend to be in direct proportion with increasing voltage and the number of generation. In addition, changes in histological appearance of testis in intervention group have been observed compared to control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yurnadi
"Telah dilakukan suatu penelitian mengenai pengaruh pemajanan medan elektrostatik terhadap mencit albino (Mus musculus L.) strain BPMSOH dan keturunannya. Pemberian pemajanan dilakukan pada dosis 6 kV dan 7 kV selama 4 jam per hari dengan lama pemajanan 81 hari dan 102 hari (F1 dan F2). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola Faktorial dengan variasi dosis perlakuan sebanyak 3 yaitu dosis 6 kV , dosis 7 kV, dan kontrol; dan lamanya pemajanan yaitu 81 hari (F1) dan 102 hari (F2). Pemajanan diberikan selama 4 jam perhari dengan jarak + 10 cm dari elektroda positif terhadap mencit.
Mencit untuk perlakuan dan kontrol berasal dari mencit induk (P0) yang telah dikawinkan dengan jantan normal yang sudah diperkirakan bunting, dipajan dengan perlakuan 6 kV dan 7 kV 4 jam/hari hingga melahirkan keturunan pertama (Fl), setelah dewasa dikawinkan dengan sesamanya dan dilanjutkan pemajanannya sampai melahirkan keturunan kedua (F2). Sedangkan mencit kelompok kontrol hanya dikandangkan saja, dikawinkan sampai melahirkan keturunan pertama (Fl) dan kedua (F2). Setelah mencit dewasa, dilakukan pengamatan terhadap mencit F1 dan F2 dengan parameter sebagai berikut :
1. Jumlah anak mencit keturunan pertama (Fl) dan keturunan kedua (F2).
2. Rasio seks
3. Berat badan anak mencit
4. Perkembangan normal anak mencit/kelainan yang didapatkan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pemajanan medan elektrostatik pada 6 kV dan 7 kV tidak mempengaruhi jumlah anak yang dihasilkan.
2. Pemajanan medan elektrostatik pada 6 kV dan 7 kV tidak mempengaruhi rasio seks untuk mencit generasi pertama, tetapi mempengaruhi rasio seks mencit generasi kedua untuk perlakuan 7 kV.
3. Pemajanan medan elektrostatik pada 6 kV dan 7 kV dapat menurunkan berat badan mencit antar generasi (F1 dan F2).
4. Pemajanan medan elektrostatik pada 6kV dan 7 kV belum dapat mengganggu perkembangan normal mencit."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>