Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184902 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), 2000
320.459 8 SEM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, A.S.S.
Jakarta: Binacipta, 1986
324.659 8 TAM p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rildo Ananda Anwar
"Lembaga Kepresidenan adalah suatu lembaga yang sangat strategis dalam menentukan perjalanan kehidupan bangsa dan negara. Praktik lembaga kepresidenan dalam kehidupan ketatanegaraan yang sesuai dengan konstitusi, norma-norma hukum, dan prinsip-prinsip demokrasi akan berakibat terciptanya kehidupan bangsa dan negara yang demokratis dan konstitusional. Sebaliknya, praktik lembaga kepresidenan yang menyimpang dari konstitusi akan berakibat memburuknya sistem kehidupan bangsa dan negara. Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, kinerja lembaga kepresidenan pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi di bawah kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) cenderung terjadi beberapa penyimpangan substansi konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi. Pada masa Orde Lama kehidupan politik belum mampu beijalan sebagaimana mestinya, karena Negara Indonesia masih dalam kondisi peijuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Presiden Soekarno dalam menyelenggarakan pemerintahan melakukan beberapa penyimpangan yakni; konsepsi ideologi Pancasila diubah dengan konsepsi Nasakom; pelaksanaan Demokrasi Terpimpin menyebabkan terpusatnya kekuasaan di tangan Presiden; dan pimpinan lembaga tinggi negara diangkat sebagai Menteri yang berarti menjadi pembantu Presiden. Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, pada awalnya berjalan sesuai dengan komitmen yaitu melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara mumi dan konsekuen. Namun dalam kenyataannya, Soeharto mempunyai ambisi yang besar untuk mempertahankan kekuasaannya. Akibatnya terjadi pemusatan kekuasaan di tangan Presiden, sirkulasi politik (Pemilu) tidak bisa berjalan secara fair, lembagalembaga tinggi negara tidak bisa menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, peran sosial politik TNI yang sangat dominan, dan merajalelanya praktik KKN yang berakibat munculnya krisis multidimensional. Pada era Reformasi (Gus Dur) yang diharapkan mampu mengatasi konflik dan menyelesaikan krisis multidimensional, justru sebaliknya yaitu menambah permasalahan yang tidak dapat diterima oleh sebagian besar rakyat Indonesia, yakni dengan menerbitkan “Dekrit Presiden yang berisi membekukan DPR/MPR" sehingga Presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan dari kursi kepresidenan melalui Sidang Istimewa tahun 2001. Penyimpangan-penyimpangan tersebut mengakibatkan kinerja lembaga kepresidenan tidak stabil, hal ini juga disebabkan antara lain belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur lembaga kepresidenan dan yang paling dominan adalah ambisi Presiden untuk mempertahankan kekuasaannya. Untuk menghidari terulangnya penyimpangan-penyimpangan konstitusi tersebut, perlu dilakukan langkahlangkah perbaikan seperti; dalam pemilihan Presiden, calon Presiden harus betul-betul putra bangsa yang terbaik dan mempunyai sifat-sifat kenegarawanan yang tinggi, gagasan membentuk undang-undang lembaga kepresidenan harus segera diwujudkan, dan UUD 1945 yang telah diamandemen harus dilaksanakan secara konsisten."
Universitas Indonesia, 2002
T36312
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagir Manan
Yogyakarta: Gama Media, 1999
352.23 BAG l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bagir Manan
Yogyakarta: FH UII Press, 2003
352.23 BAG l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suratna
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola hubungan antara pers dengan Lembaga Legislatif. Bagaimana pers sebagai salah media komunikasi massa dalam era reformasi ini melakukan fungsi kontrol atas DPR-RI Bagaimana tanggapan DPR-RI terhadap pers, dan bagaimana pengelolaan manajemen Humas Sekretarait Jenderal DPR RI sebagai mediator antara pers dan DPR-RI.
Kerangka pemikiran dari penilitian ini adalah bahwa pers sebagai salah satu media komunikasi massa memiliki fungsi informasi, hiburan, pendidikan dan kontrol sosial. Fungsi kontrol sosial pers ini sangat terkait dengan pelaksanaan kelembagaan pemerintahan termasuk DPR-RI. Pers dan DPR adalah merupakan sub sistem dari sistem politik, sehingga Dinamika hubungan kedua institusi tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi politik yang sedang berlangsung. Reformasi telah mengubah wajah demokrasi Indonesia termasuk Pers dan DPR. Pers lebih bebas dalam melakukan aktifitas jurnalistiknya sementara itu hubungan antar lembaga tinggi negara lebih ditengarai adanya parliament heavy. Adanya penguatan fungsi dua lembaga tersebut menyebabkan kedua hubungan menjadi menarik untuk diamati.
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan wawancara mendalam. Wawawancara dilakukan terhadap informan yang terdiri dari anggota DPR-RI, kelompok pers dan kelompok masyarakat.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pers di era reformasi diwarnai dengan semangat kebebasan yang sangat luar biasa. Hal ini disebabkan oleh karena adanya tuntutan perkembangan demokrasi. Pers Indonesia saat ini sedang mencari jati diri. Hal ini menyebabkan pers tidak mudah untuk diatur oleh siapapun, termasuk dewan. Saat ini belum jelas bentuk pers Indonesia.
Selain itu, Pers Indonesia yang baru saja bebas dari tekanan pemerintah dalam melakukan aktifitas jurnalistiknya merasa bahwa saat ini tidak ada suatu institusi yang dapat mengontrol pers. sehingga pers Indonesia saat ini merasa bebas untuk melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Pers di era reformasi ini lebih suka menyerang siapa saja, hanya mengambil segi-segi negatif dari Dewan, dan tidak menempatkan isu tidak secara prosposional. Namun fungsi kontrol pers terhadap DPR-.RI dirasakan belum effektif. Hal ini disebabkan karena DPR di dalam era reformasi ini juga memiliki kekuasaan yang luar biasa.
Ristriksi politik yang mempengaruhi kehidupan pers, di era reformasi ini relatif sudah tidak dirasakan oleh pers. Namun Penyelesaian sengketa masyarakat dengan pers melalui lembaga peradilan yang mengacu pada KUHP, dirasakan sangat merugikan pers. Sementara ristriksi ekonomi yang berupa pertimbangan bisnis perusahaan pers mempengaruhi kebijakan redaksi.
Peran Bagian Pemberitaan dan Penerbitan (Humas) DPR RI dirasakan belum mampu membantu meningkatkan citra positif DPR-RI. Hal ini disebabkan karena kurang terbangunnya hubungan yang baik antara wartawan yang ada di DPR dengan Bagian Pemberitaan dan Penerbitan. Selain itu masih rendahnya kreatifitas Bagian Pemberitaan dan Penerbitan dalam membangun citra, lambannya kinerja staf karena mental pegawai masih diwarnai sebagai seorang birokrat, jumlah personil yang terbatas, kurang jelasnya otoritas kewenangan, serta anggaran yang belum memadai.
x + 108 halaman + Lampiran
Daftar Pustaka : 30 buku (Tahun 1971 s.d. 2003) + 2 Artikel."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin
"Penelitian ini membahas tentang lembaga Kementerian Sekretariat Negara sebagai bagian dalam lembaga kepresidenan Indonesia selain terdapatnya lembaga Sekretariat Kabinet dan Kantor Staf Presiden. Sampai dengan saat ini, masih dilakukan pembedaan antara Kementerian Sekrerariat Negara dengan Sekretariat Kabinet dan Kantor Staf Presiden meskipun diantaranya menjalankan tugas dan fungsi yang serupa yakni dalam rangka membantu Presiden selaku kepala negara dan sekaligus selaku kepala pemerintahan dalam sistem pemerintahan presidensiil yang dianut dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pembedaan antara lembaga Sekretariat Negara dengan Sekretariat Kabinet merupakan sebuah bentuk kekeliruan dalam sistem pemerintahan presidensiil, yang tidak mengenal pembedaan ataupun pemisahan antara Presiden selaku kepala negara dan selaku kepala pemerintahan sehingga melalui penelitian ini akan disampaikan gagasan mengenai permasalahan tersebut melalui tinjauan historis, yuridis, bahkan terhadap aspek perbandingan dengan lembaga serupa di negara lain. Gagasan unifikasi lembaga kepresidenan yang diangkat dalam penelitian ini diharapkan dapat mewujudkan sistem ketatanegaraan yang lebih ideal dan optimal untuk ke depannya.

This research discusses about the structure of institution of The Ministry of State Secretariat of The Republic of Indonesia as its standing on Indonesias presidential institution besides The Cabinet Secretariat and The Office of President Staff. Until today, the differentiation amongs the three organization still held despite performing the same duty, which is doing the service for the President as the head of state and the head of government in presidential system adopted in Indonesia. The differentiation is clearly a misconception in presidential system which does not separate the function of President as head of state or as the head of government. This thesis explains about the problem based on historical, juridicial, even comparatical studies about the standing of State Secretariat institution in other nations. Idea about presidential institution unification which is discussed in this thesis is expected to make the governmental system in Indonesia could be more optimal and ideal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Aksara Karunia, 2003
920 SEM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sagala, Budiman B.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982
328.3 SAG t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Misbahul Munir
"Hingga sekarang masih ditemukan banyak masalah mengenai pembentukan undang-undang, dimana salah satunya ialah korupsi legislasi yakni proses pembentukan undang-undang yang tidak sesuai dengan prosedur yang secara normatif telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Permasalahan pokok yang dibahas dalam tesis ini mengenai pembentukan undang-undang selama “lame duck session” di Indonesia, khususnya terkait Undang-undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konfigurasi politik hukum dalam perubahan kedua undang-undang ini selama “lame duck session” bersifat represif/otoriter. Hal ini salah satunya karena unsur partisipasi dan akuntabilitas publik dalam perubahan kedua UU ini tidak dipenuhi, sehingga kedua UU ini dilakukan hanya berdasarkan preferensi politik sekelompok pihak saja. Selain itu, bila dilihat dari aspek prosedur pembentukan UU, perubahan terhadap kedua UU ini telah melanggar asas-asas pembentukan UU, khususnya asas formil sebagaimana dimaksud pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Untuk itu, guna mencegah maraknya korupsi legislasi selama “lame duck session” di Indonesia yang memang relatif lama, dibutuhkan perubahan pengaturan terhadap jarak dari masa pemilihan hingga pelantikan anggota legislatif dan eksekutif serta pembatasan kewenangan mereka, sehinga kebijakan yang bersifat strategis tanpa urgensi yang jelas selama “lame duck session” tidak muncul dan memicu kontroversi di masyarakat.

At present there are still many problems regarding the formation of laws, one of which is legislative corruption, where the process of forming laws is not in accordance with the procedures of Law Number 12 of 2011 concerning the Formation of Legislation, it was determined that the last amendment was made by Law Number 13 of 2022 concerning the Second Amendment to Law Number 12 of 2011 concerning the Formation of Legislation and its products are considered to be made only for certain purposes so that they produce bad products and violate people's rights. The problem discussed in this thesis is how the formation of laws during the "lame duck session" in Indonesia, especially related to Law Number 42 of 2014 concerning Amendments to Law Number 17 of 2014 concerning the People's Consultative Assembly, the People's Representative Council, the Regional Representatives, and the Regional People's Representative Council (MD3 Law) and Law Number 19 of 2019 concerning the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission (KPK Law). The research method used is juridical-normative with a conceptual approach, based on how the formation of laws is seen from both a legislative and political aspect, especially during the "lame duck" era. The results of the study show that the configuration of legal politics in the amendments to the KPK Law and the MD3 Law in the “lame duck session” is a repressive/authoritarian legal political configuration, this is because participatory elements that involve the community are not fulfilled so that the formation of laws is only based on the political interests of a group of people, apart from Therefore, if you look at the formation of laws, the Corruption Eradication Commission Law and the MD3 Law have carried out the principles of forming laws and the process of forming laws. This reinforces the configuration of authoritarian legal politics in the amendments to the KPK Law and the MD3 Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>