Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11720 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New Jersey : Humana Press , 2003
616.123 MAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Damba Dwisepto Aulia Sakti
"Latar Belakang : Blok atrio-ventrikular AV derajat dua tipe dua mobitz tipedua atau blok AV total merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada pasiendengan infark miokard akut IMA . Pada pasien IMA dengan elevasi segmen ST IMA-EST yang datang dengan awitan >12 jam disertai blok AV derajat tiga atauderajat dua tipe dua, peran intervensi koroner perkutan IKP masih kontroversi. Tujuan : Menilai pengaruh intervensi koroner perkutan terhadap lama rawat padapasien IMA-EST awitan >12 jam disertai blok AV derajat tiga atau derajat dua tipedua. Metode : Dilakukan studi kohort retrospektif pada pasien IMA-EST awitan >12jam disertai blok AV derajat tinggi selama periode Januari 2011 hingga Januari2017 di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Tindakan IKP menjadivariabel independen yang diperkirakan memiliki pengaruh terhadap lama rawatpasien IMA-EST awitan >12 jam disertai blok AV derajat tinggi. Variabeldependen pada penelitian ini adalah lama rawat. Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 91 sampel, terdiri dari 52 orang yangmenjalani IKP dan 39 orang tanpa IKP. Pada kelompok IKP, didapatkan sebanyak40 subjek 76,9 memiliki lama rawat le; 8 hari, sedangkan pada kelompok tanpaIKP sebanyak 9 subjek 23,1 memiliki lama rawat le; 8 hari. Dari hasil analisismultivariat, variabel yang mempengaruhi lama rawat yaitu variabel IKP [OR 3,75 IK 95 1,06 - 13,26 ; nilai p=0,04], dan lama konversi irama sinus [OR 8,83 IK95 2,52 ndash; 30,89 ; nilai p=0,001]. Kesimpulan : Intervensi koroner perkutan memperpendek lama rawat pasiendengan IMA-EST awitan >12 jam yang disertai dengan blok AV derajat tiga atauderajat dua tipe dua.
Background : High degree atrio ventricular AV block is a common complicationin patients with ST elevation myocardial infarction STEMI. In late presentationSTEMI patients 12 hours onset with high degree AV block, the effect ofpercutaneous coronary intervention PCI in converting the rhythm and shorten thelength of stay is still debatable. Objective : To assess the effect of PCI on length of stay in patients with stemi lateonset with high degree av block. Method : We conducted a retrospective cohort study in late onset STEMI patientswith high degree AV block during the period of January 2011 until January 2017 in National Cardiovascular Center Harapan Kita. Percutaneous coronaryintervention is the independent variable which expected to have an influence on thelength of stay. The dependent variable was the length of stay. Result : There were 91 subjects in this study, that consist of 52 subjects in thepercutaneous coronary intervention PCI group and 39 subjects in the non PCIgroup. There were 40 subjects 76,9 with length of stay le 8 days in PCI groupand 9 subjects 23,1 with length of stay le 8 days in the non PCI group. From multivariate analysis, the significant variables to determine the length of stay werePCI OR 3,75 IK 95 1,06 13,26 p value 0,04 , and duration of rhythm conversion OR 8,83 IK 95 2,52 ndash 30,89 p value 0,001. Conclusion : Percutaneous coronary intervention may shortening the length of stayof patients with STEMI 12 hours who had third or second degree type two AVblock."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin
"Latar Belakang: Indonesia sebagai negara berkembang mengalami tantangan dalam aplikasi trombektomi mekanik (TM) seperti tenaga ahli neurointervensi, biaya, dan waktu. Efektivitas TM dibandingkan terapi konservatif dalam memperbaiki luaran fungsional pada stroke iskemik akut di negara berkembang belum ada.
Metode Penelitian: Studi kohort retrospektif ini menggunakan data rekam medik di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2017 hingga Desember 2021. Stroke iskemik sirkulasi anterior dibuktikan dari gabungan klinis dan pencitraan. Kelompok TM dengan/tanpa trombolisis intravena (TIV) dibandingkan dengan konservatif (TIV saja/ medikamentosa). Luaran utama adalah kemandirian fungsional berdasarkan modified Rankin Scale (mRS) bulan ketiga.
Hasil: Dari 111 subjek, terpilih 32 subjek pada TM dan 50 subjek pada konservatif dianalisis lebih lanjut. Kelompok TM memiliki rerata usia lebih muda (p=0,004), proporsi hipertensi lebih rendah (p<0,001), intubasi lebih tinggi (p=0,014), dan awitan lebih dini (p=0,023). Trombektomi mekanik tunggal lebih dipilih pada waktu awitan lebih panjang dibandingkan terapi kombinasi (180 vs. 120 menit; p=0,411), tetapi tidak ada perbedaan median door to recanalization (395 vs. 370 menit; p=0,153). Proporsi mRS 0-2 bulan ketiga pada kelompok TM lebih tinggi dibandingkan konservatif (28,1% vs. 18,0%; p=0,280). Pada analisis multivariat, ASPECTS (aOR 2,43; IK95% 1,26-4,70; p=0,008) menentukan kemandirian fungsional pada TM.
Kesimpulan: Proporsi mRS 0-2 bulan ketiga pada kelompok TM lebih tinggi dibandingkan dengan terapi konservatif pada pasien stroke iskemik akut oklusi pembuluh darah besar di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo walaupun tidak berbeda secara statistik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Chikita Fredy
"Latar belakang: Pada era intervensi koroner perkutan primer (IKKP), angka kematian akibat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) berhasil ditekan. Peningkatan angka sintasan tersebut berbanding dengan peningkatan insiden gagal jantung. Proses remodeling pascamiokard infark yang belum sepenuhnya dihambat oleh standar terapi saat ini akan berujung pada kondisi gagal jantung. Doksisiklin sebagai anti-matriks metaloproteinase (MMP) menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah proses remodeling. Biomarker remodeling merupakan surrogate dini yang baik untuk memprediksi kejadian remodeling. Namun, efek doksisiklin terhadap biomarker remodeling dan luaran klins pasien IMA-EST belum diketahui.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar biomarker remodeling pascainfark miokard.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis tersamar tripel. Pasien IMA-EST dengan keterlibatan anterior atau Killip 2-3 dengan onset kurang dari 12 jam yang menjalani IKKP terbagi acak kedalam grup yang mendapat doksisiklin 2x100 mg selama 7 hari sebagai tambahan dari standar terapi dan grup dengan standar terapi. Pemeriksaan biomarker (netrofil, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-pro BNP) dilakukan saat admisi rumah sakit dan evaluasi intraperawatan. Ekokardiografi dilakuan saat admisi dan hari ke-5 untuk menilai dimensi dan fungsi ventrikel kiri.
Hasil: Terdapat 94 subyek yang diikutkan dalam penelitian dan terbagi rata ke dalam kedua grup. Karakteristik demografis dan klinis kedua grup homogen. Grup doksisiklin menujukkan nilai netrofil jam ke-24 yang lebih rendah dibanding grup kontrol (69,1±5,8% vs 71,9±8,0%, p=0,049). Peningkatan hs-Troponin T didapatkan lebih rendah pada kelompok dengan onset lebih dari 6 jam yang mendapatkan doksisiklin, namun tidak pada grup kontrol. Insiden gagal jantung 11,3% lebih rendah pada grup doksisiklin. Perbaikan fraksi ejeksi signifikan didapat pada grup doksisiklin dibanding grup kontrol (4,5±10,4% vs 0,3±10,3%, p=0,05). Peningkatan tersebut lebih besar pada pasien dengan onset lebih dari 6 jam dengan rerata peningkatan 5,9% (95%IK 0,05-11,7%, p=0,048).
Kesimpulan: Doksisiklin memiliki efek perbaikan biomarker remodeling ventrikel, terutama netrofil dan hs-troponin T, serta fraksi ejeksi ventrikel kiri. Jumlah insiden gagal jantung lebih rendah pada grup doksisiklin.

Background: In era of primary percutaneous coronary intervention (PPCI), mortaliry rate was reduced significantly. The increament in survival rate was followed by increament in heart failure cases. Cardiac remodelling after myocardial infarction was not fully anticipated by current therapy hence the patent would suffer for hear failure. Doxycycline as antimatrix metaloproteinase (MMP) inhibitor showed a promising results in modulation cardiac remodelling. Cardiac biomarkers for remodelling are surrogate parameters for early indentifying of remodelling. However, the effect of doxycyline to cardiac remodelling and its clinical implication are unknown.
Objective: To determine the effect of doxycycline on cardiac remodelling biomarkers after myocardial infarction.
Methods: We conducted triple blinded-randomized control trial. Patients with STEMI anterior or with Killip class 2-3 who underwent PPCI were randomly assigned to doxycycline (100 mg b.i.d for 7 days) in addition to standard therapy or to standar care. Cardiac remodelling biomarkers (neutrophils, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-proBNP) were obtained on admission and during hospitalization. Echocardiography were assessed on admission and at 5 days to evaluate left ventricle dimmension and function.
Results: There were 94 patients assigned into doxycycline and control group. Baseline demographics and clinical characteristics were comparable between 2 groups. Doxycycline group showed lower percent neutrophils at 12 hours compare to control group (69.1±5.8% vs 71.9±8.0%, p=0.049). hs-Troponin T changes were lower in patients with onset >6 hours who received doxycycline and there were no differences among control group. Heart failure incidence was 11.3% lower in doxycycline group to control group. The improvement of left ventricle ejection fraction was sifnificantly higher in doxycycline group than in control group (4.5±10.4% vs 0.3±10.3%, p=0.05). The imrpovement was even higher in those with onset >6 hours with mean increament of 5.9% (95%CI 0.05-11.7%, p=0.048).
Conclusion: Doxycycline had effect in improving cardiac remodelling biomarkers, ie percent neutrophils and hs-Troponin T and left ventricle ejection fraction. Incidence of heart failure was lowe in doxycycline group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Putri Dewita
"Latar belakang : Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) memiliki angka mortalitas yang tinggi. Penatalaksanaan IMA-EST adalah intervensi koroner perkutan primer (IKPP) yang dapat membatasi ukuran infark dan menjaga fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK). FEVK merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas utama setelah infark miokard akut. Disfungsi ventrikel kiri pasca IMA-EST dipengaruhi oleh remodeling ventrikel kiri dan perbaikannya dipengaruhi oleh kemampuan reverse remodeling miokard. Terdapat perbedaan pada kemampuan remodeling pada populasi dewasa muda dan usia tua. Belum ada data mengenai perbaikan FEVK pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP pada usia dewasa muda. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perbaikan nilai FEVK pasien IMA-EST setelah IKPP antara kelompok usia dewasa muda dengan usia tua. Metode : Sebuah penelitian kohort retrospektif dengan populasi penelitian kasus IMA-EST yang menjalani prosedur IKPP selama periode Juni 2015 sampai dengan Juni 2020 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Hasil : Dari 411 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, terdapat 259 pasien dengan FEVK dasar <50% yang selanjutnya dibandingkan perbaikan FEVK berdasarkan kelompok usia ≤55 tahun dan >55 tahun. Selisih perbaikan FEVK antara kedua kelompok usia tidak berbeda bermakna (p = 0.787). Dari 140 pasien yang mengalami perbaikan nilai FEVK proporsi pasien yang berusia ≤55 tahun adalah 53,6%. Pada analisa multivariat regresi logistik ditemukan variable independen yang berhubungan dengan perbaikan FEVK adalah nilai FEVK dasar yang rendah (OR 0,925:95% IK 0,890-0,962;p<0,0001).

Background : ST-elevation myocardial infarction (STEMI) is known to have high mortality rate with primary percutaneous coronary intervention (PPCI) is the treatment of choice that may limit the area of infarct and preserve left ventricular ejection fraction (LVEF). LVEF is the main predictor for morbidity and mortality in patients with STEMI. Left ventricular (LV) dysfunction in patients with STEMI occur due to LV remodelling and the myocardium reverse remodelling ability may improve LV function. It is believed there is a difference in the myocardium remodelling ability by age, yet there has been limited data regarding improvement of LVEF in young adults. Objective : This study aimed to identify the difference of LVEF recovery in STEMI patients following primary PCI between young adults and adults. Methods : This is a retrospective cohort study. Population of study were STEMI patients who underwent primary PCI during the period of June 2015 to July 2020 in National Cardiovascular Centre Harapan Kita Hospital. Results : 411 patients were included in the study, 259 of them had baseline LVEF <50%, which were divided into two groups of age, ≤55 years old and >55 years old. The difference of LVEF improvement between two groups is not significant (p = 0.787). 75 out of 140 (53.6%) patients with improved LVEF were from the ≤55 years old group. From multivariate logistic regression, the independent predictor of LVEF recovery was lower LVEF baseline (OR 0,925:95% CI 0,890-0,962; p<0,0001). Conclusion : There was no significant difference of LVEF improvement between young adults and adults following STEMI and PPCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Arintawati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prevalensi gagal jantung semakin meningkat per tahun, 60-70% disebabkan penyakit jantung koroner (PJK). Beberapa faktor risiko penyebab gagal jantung yaitu DM, hipertensi, obesitas, sindrom metabolik, dan aterosklerosis. Patofisologi gagal jantung sangat kompleks dan melibatkan banyak sistem, terjadi hipermetabolisme yang dapat menyebabkan penurunan
berat badan dan memicu terjadinya malnutrisi. Keadaan gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama membutuhkan penanganan segera di RS untuk menghindari komplikasi lebih lanjut.
Metode: Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus pasien gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama, berusia antara 41 hingga 70 tahun, dan tiga diantaranya dengan riwayat DM tipe II. Semua pasien memerlukan dukungan nutrisi, tiga pasien memiliki status gizi obesitas dan satu pasien berat badan normal. Masalah berkaitan erat pada nutrisi keempat pasien adalah hipoalbuminemia, gangguan elektrolit, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, keseimbangan cairan, serta defisiensi mikronutrien. Perhitungan kebutuhan energi basal (KEB) dihitung berdasarkan rumus Harris Benedict dengan faktor stres sesuai kondisi klinis dan penyakit penyerta. Komposisi makronutrien diberikan menurut
rekomendasi Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) dan American Heart Association (AHA), pemberian protein disesuaikan dengan fungsi ginjal masing-masing pasien. Pemberian suplementasi mikronutrien juga diberikan
kepada keempat pasien. Pemantauan pasien meliputi keluhan subyektif, hemodinamik, analisis toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, antropometri, keseimbangan cairan dan kapasitas fungsional.
Hasil: pemantauan selama di RS, keempat pasien menunjukkan perbaikan klinis, peningkatan toleransi asupan, perbaikan kadar elektrolit dan peningkatan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi nutrisi medik yang adekuat dapat memperbaiki kondisi klinis pasien gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama.

ABSTRACT
Background: The prevalence of heart failure increase annually, 60-70% due to coronary heart disease (CHD). Some of the risk factors associated with heart failure are diabetes, hypertension, obesity, metabolic syndrome, and atherosclerosis. The phatophysiology of heart failure is very complex and involves many systems. The occurance of hypermetabolism can lead to weight loss and triger malnutrition. The state of acute decompensated heart failure due to old myocardial infarction require immediate treatment in hospital to avoid further complications.
Methods: This series of case report describes four cases of patients with acute myocardial heart failure, due to old infarction, aged between 41 to 70 years old, and three of them with a history of type 2 diabetes melitus. All patients required nutritional support, three patients had nutritional status of obese and one patient was normal in weight. The problems which closely linked to all nutrition of the four patients were hypoalbuminemia, electrolyte disturbances, impaired renal function, impaired liver function, fluid inbalance, and micronutrient deficiencies. Basal Energy Requirement was calculated using Harris Benedict formula with stress factors corresponding clinical condition and comorbidities. Macronutrients composition was given according to the recommendation of the Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) and the American Heart Association (AHA), while the provision of proteins was
tailored with the kidney function of each patient. Micronutrients supplementation was also given to four patients. Patient monitoring parameters included subjective complaints, hemodynamic, analysis tolerance
of intake, laboratory tests, anthropometric, fluid balance and functional capacity.
Results: During the monitoring period in the hospital four patients showed clinical improvement, increased tolerance of intake, improved electrolyte levels and increased functional capacity.
Conclusion:Adequate medical nutrition therapy can improve the clinical condition of patients with acute decompensated heart failure due to old myocardial infarction.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Nadia
"Studi mengenai pemberian klopidogrel sebelum angiografi koroner (pretreatment) pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang akan menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) terbatas, namun dapat disimpulkan bahwa aman dan dapat penurunan angka major adverse cardiovascular events (MACE). Pada studi yang dilakukan beberapa tahun terakhir, manfaat pemberian klopidogrel pretreatment dipertanyakan. Studi yang telah ada dilakukan di negara lain berbeda dengan kondisi di Indonesia; terdapat perbedaan karakteristik seperti waktu onset nyeri dada hingga pasien sampai ke fasilitas kesehatan primer, loading antiplatelet, serta dilakukan tindakan IKPP yang lebih panjang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian klopidogrel pretreatment  dengan TIMI-flow pasien IMA EST yang menjalani IKPP. Studi potong lintang retrospektif terhadap 220 pasien IMA EST dilakukan di rumah sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita sejak tanggal 1 Januari - 30 Oktober 2018 dengan membagi subjek dalam kelompok klopidogrel pretreatment (600 mg klopidogrel diberikan > 120 menit sebelum angiografi koroner) dan kelompok yang diberikan < 120 menit.
Analisis multivariat menunjukkan bahwa klopidogrel pretreatment merupakan prediktor utama yang mempengaruhi TIMI flow sebelum tindakan IKPP (OR 0.273, 95% CI 0.104-0.716; p=0.008). Pemberian klopidogrel pretreatment berhubungan dengan TIMI flow sebelum tindakan IKPP, namun tidak berpengaruh terhadap TIMI setelah dilakukan tindakan IKPP. 

Immediate antiplatelet administration is the standard therapy used in acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) undergoing primary percutaneous coronary intervention. Studi on clopidogrel pretreatment are limited, but it can be concluded that was safe, also reduced the number of major adverse cardiovascular events (MACE). Recently, pretreatment with P2Y12 are questioned. There are differences in the background and the conditions between the studies that have been conducted and the condition in Indonesia; such as duration of angina onset until arrive at primary health care, time of loading antiplatelet and longer ischemic time.
This study sought to evaluate the association between clopidogrel pretreatment and TIMI flow of patients with acute STEMI undergoing primary PCI. Single-center retrospective cross sectional study of 220 patients with acute STEMI were conducted in National Centre of Cardiovascular Harapan Kita, Indonesia from 1 January-30 October 2018. Subjects are devided into two groups: clopidogrel pretreatment (≥ 120 minute from coronary angiography conducted) and non pretreatment group (<120 minute). Multivariate analysis revealed that clopidogrel pretreatment is the main predictor of preprocedural TIMI grade flow (OR 0.273, 95% CI 0.104-0.716; p=0.008). Clopidogrel pretreatement was associated with TIMI flow grade pre intervention, but not with TIMI flow grade post intervention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jihaz Haneen Hakiki
"ABSTRAK
Sindrom Koroner Akut SKA merupakan kondisi kegawatdaruratan akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan suplai darah yang dapat berakibat pada kematian. Penanganan SKA dengan intervensi koroner perkutan dapat meningkatkan kualitas hidup. Pedoman American Heart Association AHA merekomendasikan standar waktu ? 120 menit dari awal mula munculnya gejala hingga pasien tiba di rumah sakit yaitu. Namun masih ditemukan terjadinya keterlambatan prehospital. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan representasi gejala dengan keterlambatan prehospital pada pasien sindrom SKA. Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan metode purposive sampling yang melibatkan sampel sebanyak 63 responden. Responden didominasi oleh lansia yang berusia 51-60 tahun, laki-laki, tingkat Pendidikan SMA. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan antara representasi gejala yang meliputi tingkat nyeri p 0.001, kualitas nyeri p 0.01, dan lokasi nyeri p 0.032 dengan keterlambatan prehospital terkecuali gejala penyerta p 0.054. Perawat dianjurkan meningkatkan kompetensi dalam pengkajian gejala SKA dan pemberian edukasi. Sehingga dapat menurunkan angka keterlambatan prehospital.

ABSTRACT
Acute Coronary Syndrome ACS is an emergency condition due to an imbalance between the need for oxygen and the blood supply that can result in death. ACS with percutaneous coronary intervention may improve the quality of life. The American Heart Association ACCF AHA guidelines recommended is 120 minutes from onset symptoms until hospital arrived. for recording time standards when facing symptoms arrive at the hospital However, there is still a pre hospital delay. This study aimed to identify correlation of symptoms representation with pre hospital delay in patients with ACS symptoms. This crossectional study design is cross sectional of purposive sampling method involved 63 respondents. Respondents mostly 51 60 years old, men, and high school education level. The results showed there was a correlation symptoms factor representation including pain level p 0.001, pain quality p 0,01, and pain location p 0,032 except commorbid symptom p 0,054. Nurses recommended to improve their ability to assess ACS symptoms and provide proper health education to decrease educational the prehospital delays."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffri
"Latar belakang: Sindrom koroner akut SKA merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Mortalitas SKA dari berbagai studi di luar negeri diketahui berhubungan dengan kadar kalium serum saat admisi. Penelitian mengenai hubungan kadar kalium serum dengan mortalitas pada SKA masih perlu dilakukan karena adanya kemajuan dalam terapi kardiovaskular yang cukup pesat terutama pada era PCI saat ini dan adanya hasil yang bertolakbelakang antara studi terbaru dengan panduan yang ada.
Tujuan: Menilai hubungan antara kadar kalium serum saat admisi dengan mortalitas selama perawatan pasien SKA in-hospital mortality.
Metode: Data kadar kalium dan kematian diperoleh dari rekam medis dengan desain studi kohort retrospektif terhadap 673 pasien SKA yang dirawat dengan sindrom koroner akut di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Keluaran utama yang diamati berupa mortalitas selama perawatan. Analisis bivariat dengan Pearson Chi-square dan multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk menentukan hubungan antara kadar kalium serum abnormal dengan kematian pada sindrom koroner akut.
Hasil dan Pembahasan: Subjek yang datang dengan kadar kalium serum yang abnormal K < 3,50 mEq/L atau > 5,0 mEq/L saat admisi sebesar 24,22 163 pasien , sedangkan grup dengan kalium normal sebesar 510 subjek 75,78. Dari analisis regresi logistik, setelah adjustment terhadap faktor perancu eGFR, didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar kalium serum abnormal saat admisi dengan mortalitas selama perawatan dengan nilai p = 0,04 adjusted RR 2,184; 95 CI: 1,037-4,601. Terjadi peningkatan risiko mortalitas pada subjek dengan kadar serum kalium 4,0-

Background: Acute coronary syndrome ACS is the leading cause of increased morbidity and mortality across the globe. This mortality was known to be associated to the serum potassium level on admission. More studies are still needed due to rapid advancement in cardiovascular medicine especially in the era of interventional cardiology and also the conflicting results that exist between recent studies and established guidelines.
Aims: To determine association between serum potassium levels on admission of subjects with acute coronary syndrome and in-hospital mortality.
Methods: Included in the study were 673 acute coronary syndrome patients hospitalised in Indonesian National Cipto Mangunkusumo Hospital. The outcome of the study was all-cause in-hospital mortality. Logistic regression models adjusted for risk factors, hospital treatment, and co-morbidities were constructed.
Results: Total of 163 patients 24,22 with abnormal serum potassium K < 3,50 mEq/L or > 5,0 mEq/L and 510 subjects with normal serum potassium 75.78. Logistic regression analysis after adjustment of the confounder eGFR shows significant association between serum potassium level on admission and in-hospital mortality with p value of 0,04 adjusted RR 2.184; 95 CI: 1.037-4.601. The risk of dying for patients with serum potassium of 4.0-.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq
"Latar Belakang: Studi epidemiologi menunjukkan bahwa DM merupakan salah satu faktor dalam proses terjadinya aterosklerosis dan mempengaruhi secara nyata kesaldtan dan kematian akibat PIK. Dibandingkan dengan penderita bukan DM, penderita DM 2-4 kali lebih banyak menderita P3K dan 2-4 kali lebih banyak mengalami kematian jangka pendek setelah menderita serangan infark miokard akut Dewabrata mendapati 23,2% penderita infark miokard akut yang di rawat di RSCM selama periode 1994-1999. Data di Indonesia tersebut belum banyak menggambarkan bagaimana karakteristik penderita DM tersebut saat terbukti menderita infark miokard akut. Dengan demildan, gambaran penderita DM yang mengalami sindrom koroner akut merupakan ha! yang renting untuk diketahui, baik karakteristik klinis maupun komplikasi yang muncul akibat S1CA tersebut.
Tujuan. Penelitian ini ingin mengetahui prevalensi SKA pada penderita DM tipe-2. Penelitian ini juga ingin mengetahui karakteristik klinis dan komplikasi SKA pada penderita DM tipe-2 serta perbandingannya dengan penderita bukan DM. Metodologi. Studi potong lintang retrospektif untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik klinis serta studi kohort retrospektif untuk mengetahui perbandingan komplikasi SKA pads penderita DM tipe-2 dan penderita bukan DM, terhadap penderita yang dirawat di ICCU RSCM periode 1 Januari 2001 s.d. 31 Desember 2005.
Hasil. Didapatkan data: Prevalensi SKA penderita DM tipe-2: 34,2%. Awitan nyeri penderita DM lebih lama, 70,7% vs 53,4%, p=0,001; 1K 95%; DR=2,259 (1,372-3,719). Nyeri dada tidak khas, didapati penderita DM lebih banyak, 17,3% vs 9,8% p~ 0,041; 1K 95%; OR=1,713 (1,019-2,881)_ Komplikasi: Gagal jantung: penderita DM tipe-2 Iebih banyak: 39,35% vs 16,8%, p=0,001; 11(95%; RR-3,213 (1,992-5,182). Untuk komplikasi syok kardiogenik, didapati penderita DM tipe-2 Iebih banyak, 16,2% vs 8,9%, p= 0,031; IK 95%; RR==1,983 (1,057-3,721). Sedangkan komplikasi kematian didapati penderita DM tipe-2 lebih banyak, 17,3% vs 6,3%, dengan p= 0,001; 1K 95%; RR= 3,116 (1,556-6,239).
Simpulan. Didapatkan perbedaan karakteristik klinis SKA antara penderita DM tipe-2 dengan penderita SKA bukan DM. Awitan nyeri lebih lama dan keluhan nyeri dada yang tidak khan, Iebih banyak didapati Dada penderita DM tipe-2. Didapatkan juga perbedaan dalam hat komplikasi SKA. Kejadian gagal jantung, syok kardiogenik dan kematian didapatkan lebih tinggi pada penderita DM tipe-2.

Background. Epidemiologic studies revealed diabetes mellitus (DM) as one of the factors involved in atherosclerosis process. DM also influence morbidity and mortality-related to coronary artery disease (CAD). Compared to non diabetic patients, type -2 DM patients suffer CAD 2-4 times more often and had increased short term mortality rate due to acute myocardial infarction 2-4 times more likely. During 1994-1999, Dewabrata found 23.2% of all acute myocardial infarction patients was diabetic patients treated in ICCU Cipto Mangunkusumo hospital. Unfortunately these data did not describe the clinical characteristic and complication ACS in type -2 DM patients. Therefore it is important to know the clinical characteristics and ACS related complications in type-2 DM patients.
Objectives. To know the prevalence of type-2 DM among ACS patients, to learn clinical characteristics and ACS related complications in type-2 DM compared to non diabetic patients.
Methods. A cross sectional retrospective study was performed to know the prevalence of ACS in type -2 DM patients and their clinical characteristics_ A retrospective cohort study was performed to compare the differences in ACS related complications in type -2 DM and non diabetic patients who were hospitalized in ICCU Cipto Mangunkusumo hospital during 5 years period (January 1st, 200I December 31st, 2005).
Results. Prevalence of Type-2 DM among ACS patients : 34.2%. The onset of chest pain in type-2 DM patients was longer, 70.7% vs 53.4%, p=0.40l; CI 95%; OR=2.259 (1.372-3.719). Aypical chest pain were often in type-2 DM patients, 17.3% vs 9.8%; p= 0.041; CI 95%; OR 1.713 (L019 2.881). Heart failure as complications were more often found in type-2 DM patients, 39.35% vs 16.8%, p=0.001; CI 95%; RR=3.213 (1.992-5.182), cardiogenic shock were more often found in type-2 DM patients, 16.2% vs 8.9%, p= 0.031; CI 95%; RR 1.983 (1.057-3.721), and death were more often found in type-2 DM patients, 17.3% vs 6.3%, p= 0.001; CI 95%; RR= 3.116 (L556-6.239).
Conclusions. There are differences in clinical characteristics of ACS between type-2 DM patients and non diabetic patients; which are longer onset of chestpain and atypical chestpain more often in type-2 DM patients. There are also differences in complications related ACS between Type-2 DM patients and non diabetic patients; heart failure, cardiogenic shock, and death more often in Type-2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>