Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45927 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sudarmo S. Purwohudoyo
Jakarta: UI-Press, 1984
611.1 SUD p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sjukri Karim
Jakarta: UI-Press, 2005
PGB 0213
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Relly Sofiar
"Latar Belakang
Hemodialisa membutuhkan suatu akses vaskuler yang fungsional dan adekuat untuk mendapatkan hasil terbaik, bagi Negara berkembang seperti Indonesia tingginya biaya perawatan dan tenaga ahli masih merupakan hal yang harus ditanggapi serius oleh semua pihak. NKF-KDOQI menetapkan tiga Tujuan utama suatu unit hemodialisa antara lain meningkatkan pemakaian AV Fistula, Mengurangi pemakaian kateter hingga 10% dan Deteksi dini dari disfungsi akses vaskuler. Hingga saat ini belum ada gambaran akses vaskular yang terdapat di unit hemodialisa RSUPN Ciptomangunkusumo sehingga dapat dibandingkan dengan guideline, dan diharapkan mendapat masukan untuk pelayanan terbaik bagi pasien.
Metode
Penelitian ini berupa deskriptif retrospektif, Populasi penelitian adalah pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa dengan akses vaskuler fistula AV dan kateter vena sentral di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Mei – Desember 2012. Data dari rekam medis penderita
diketahui mengenai tanggal hemodialisa pertama kali, tanggal pembuatan akses vaskuler pertama
kali, jenis akses vaskuler yang digunakan pertama kali serta konversi yang mengikutinya, serta
lokasi akses vaskuler tersebut.
Hasil
Didapatkan 234 data pasien yang aktif menjalani hemodialisa di unit hemodialisa RSUPN
Ciptomangunkusumno Jakarta dari bulan Mei – juni 2012, terdiri dari 146 laki laki dan 88
perempuan , rerata umur 49.04 tahun dengan rentang umur 11 tahun sampai 78 tahun. Diantara
pasien tersebut , 122 (52.1%) pasien dengan AV fistula, dan pasien yang membuat AV Fistula
sebelum hemodialisa pertama hanya pada 7 pasien (1.2%) 1 pasien menggunakan graft PTFE,
dengan lokasi tersering untuk AV Fistula adalah Radiocephalica sebanyak 29.4%, 48 pasien
menggunakan central venous catheter, dimana 28 pasien dengan longterm catheter (12%) dan
sisanya dengan shortterm catheter (8.5%). Direct Puncture digunakan oleh pasien sebagai cara
yang dipakai pertama kali melakukan hemodialisa, sebanyak 49.6%. dari keseluruhan pasien
yang pernah menjalani pemasangan AV fistula mengalami primary failure sebanyak 10.65%, dan
secondary failure sebanyak 7.37%.
Kesimpulan
Masalah pada suatu unit hemodialisa tidaklah sederhana dan untuk mencapai suatu hasil yang
terbaik diperlukan kerjasama dari sebuah tim multidisiplin vaskular akses yang terdiri dari ahli
ginjal hipertensi, ahli bedah vaskular, ahli radiologi, dan perawat dialisa. Dengan seorang
koordinator yang berdedikasi tinggi yang selalu memperbaharui data base pasien dan update
terbaru dari perkembangan akses vaskuler.

Background
A vascular access that mantained to be functioning and adequate is a must to achieve the best
result in haemodialysis procedure. For a developing country like Indonesia, a high cost and
expertise in vascular access maintenance reluctantly a serious issues. NKF-KDOQI has
established three primary goals for a haemodialysis unit to achieve, to increase the placement of
native fistulas as vascular access at initiation of hemodialysis procedure until 65 %, to discourage
catheter insertion until 10% and early detection of vascular access dysfunction. Recently at Cipto
Mangunkusumo hospital, there are no profile of vascular access in haemodialysis unit to figure
out the condition and compare with guideline.
Method
This is a descriptive retrospective study with a CRF (Chronic Renal Failure) patients that undergo
hemodialysis with natve fistula and catheter as their vascular access in Cipto Mangunkusumo
hospital from May to December 2012. Data collected from medical record included dates when
initiates their hemodialysis procedure, diagnose of CRF, creation of fistula or other vascular
access, and complication that has occurred.
Results
From 234 patients that undergo hemodialysis procedure from May to December 2012, there werre
146 male and 81 female, with median age of 49.04 years old and distance within 11 – 78 years
old. Among these patients 122(52%) with fistula an 1 patient with graft but only 7 patients (1.2%)
that use native fistula to initiate their hemodialysis procedure. The most location for fistula were
on left radiocephalic in 29.4% of patients, 48 patients use catheter for their vascular access that
ionclude 12% long term and 8.5 % long term catheter. There were 49.6% patients with direct
venous puncture to initiate their hemodialysis. From all fistulas that created there were 10.65%
primary failure and 7.37% secondary failure.
Conclusion
Problems in hemodialysis unit is not as simple as that, and to achieve the best result require the
concerted effort of multivariariate vascular access team that consist nephrologist, vascular
surgeon, radiologist, and nurse with a chief coordinator that updating vascular access patients
database and its development
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Novia Putri
"ABSTRAK

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Salah satu komplikasi yang banyak ditemukan adalah neuropati perifer. Neuropati perifer menyebabkan perubahan pada biomekanik pasien sehingga terjadi keterbatasan mobilitas fisik yang dapat menurunkan kemampuan melakukan aktivitas fisik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati perifer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penghalang yang berhubungan dengan aktivitas fisik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati perifer. Penelitian ini merupakan penelitian analisis korelatif dengan desain cross sectional pada 77 orang sampel di Poliklinik Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu DKI Jakarta. Uji statistik yang digunakan untuk melihat hubungan dua variabel adalah chi square dan uji multivariat dengan logistik berganda untuk melihat faktor yang paling dominan. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan antara nyeri neuropati, sensasi kaki, dan deformitas kaki dengan aktivitas fisik jalan kaki dan peregangan statis. Malas dan pengetahuan berhubungan dengan aktivitas fisik peregangan statis pada responden, dimana malas merupakan faktor dominan. Sedangkan pengetahuan, status fungsional, dan rasa takut berhubungan dengan aktivitas fisik jalan kaki responden, dimana status fungsional merupakan faktor dominan. Aktivitas fisik jalan kaki dan peregangan statis merupakan jenis aktivitas fisik yang direkomendasikan pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati perifer, dimana jalan kaki merupakan aktivitas fisik yang paling banyak dilakukan pasien karena sederhana, tidak membutuhkan alat, mudah, dan dapat dilakukan kapan saja.


ABSTRACT

 


Diabetes mellitus is a chronic disease that can cause various complications. One of complication that commonly found is peripheral neuropathy. Peripheral neuropathy causes changes in the biomechanics, resulting limited physical mobility which can reduce the ability to perform physical activity in type 2 diabetes melitus patients with peripheral neuropathy. This study aimed to determine the barriers related to physical activity in type 2 diabetes mellitus with peripheral neuropathy. This study was a correlative analysis study with a cross sectional design in 77 people sampled at government hospital of Pasar Minggu Jakarta. The statistical test used to see the relationship between two variables is chi square and multivariate test with multiple logistics to see the most dominant factors. The results indicate that there is no relationship between neuropathic pain, foot sensation, and foot deformity with physical activity of walking and static stretching. Laziness and knowledge are related to the physical activity of static stretching, which laziness is the dominant factor. While knowledge, functional status, and fear are related to the physical activity of walking, which functional status is the dominant factor. Physical activity of walking and static stretching are type of physical activity that recommended in type 2 diabetes mellitus with peripheral neuropathy, where walking is a the most frequent of physical activity in patients as it is simple, no tools requirement,  easy, and can be done at any time.

 

"
2019
T53919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Aurora Sicilia
"Edema makula diabetik (EMD) merupakan penyebab tersering hilangnya penglihatan
pada pasien retinopati diabetik. Anti vascular endothelial growth factor (VEGF)
diketahui dapat memberikan perbaikan anatomi dan tajam penglihatan pada EMD.
Namun mayoritas kasus membutuhkan injeksi anti-VEGF berulang. Penelitian ini
menilai perubahan central macular thickness (CMT) dan tajam penglihatan setelah
terapi kombinasi intravitreal Bevacizumab (IVB) dan panretinal photocoagulation
(PRP) dibandingkan dengan monoterapi IVB berulang pada EMD. Dua puluh delapan
mata dengan EMD pada Nonproliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) berat
dirandomisasi ke dalam kelompok IVB berulang (n=14) dan kelompok IVB + PRP
(n=14). CMT dan best-corrected visual acuity (BCVA) dinilai sebelum dan 1, 2 dan 3
bulan setelah terapi. Median CMT menurun secara signifikan pada kelompok IVB
berulang (-136.5 μm) dan kelompok IVB + PRP (-114 μm). Median BCVA
meningkat secara signifikan pada kelompok IVB berulang (9 hutuf) dan kelompok
IVB + PRP (9 huruf). Tidak ditemukan perbedaan CMT dan BCVA yang bermakna
antara kedua kelompok studi pada akhir follow-up."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luhur Pribadi
"Latar belakang: Kondisi hipoksia masih merupakan potensi paling berbahaya pada saat terbang, dan berhubungan dengan angka kejadian kecelakaan pesawat baik saat latihan atau tugas operasi. Deteksi dini terhadap efek fisiologis hipoksia sangat penting untuk mencegah bencana dalam penerbangan sipil dan militer.1Saat ini ada beberapa penelitian mengenai efek fisiologi pada hipobarik hipoksia terutama di bidang vascular. Fungsi endotel perifer vaskular dapat dinilai melalui pengukuran fungsi vasomotor. Tes non-invasif untuk menilainya dapat menggunakan pemeriksaan flow mediated dilation (FMD). Sejauh belum ada penelitian yang mencari hubungan antara fungsi endotel pembuluh darah perifer terhadap hipoksia sebagai acuan awal deteksi dini faktor risiko terjadinya hipoksia hipobarik pada awak pesawat.
Tujuan: Untuk mengetahui manfaat pemeriksaan disfungsi endotel terhadap hipoksia hipobarik
Metode: Sebanyak 59 awak pesawat TNI AU yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala dan latihan uji latih hipoksia d LAKESPRA SARYANTO dilakukan pemeriksaan FMD kemudian dihubungkan dengan menggunakan uji statisik antara WSE dan FMD.
Hasil: Didapatkan proporsi yang mengalami disfungsi endotel sebesar 23.7 %. Sedangkan proporsi subjek dengan WSE yang tidak normal sebesar 32%.Tidak terdapat hubungan bermakna antara disfungsi endotel dengan WSE (p=0,357) dan nilai r = 0,111.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara disfungsi endotel dengan WSE.

Background: Hypoxia is still the most dangerous potential during flight, and is associated with the incidence of aircraft accidents both during training or operating duty. Early detection of physiological effects of hypoxia is very important to prevent mishap in civil and military flights. Currently there are several studies on the physiological effects of hypobaric hypoxia especially in the vascular. Vascular peripheral endothelial function can be assessed through measurement of vasomotor function. Non-invasive tests to assess can use flow mediated dilation (FMD). As far as there has been no research looking for a relationship between peripheral vascular endothelial function and hypoxia as an initial reference to early detection of risk factors for hypobaric hypoxia in aircrew
Objective: To determine the relationship between endothelial dysfunction examined by FMD against hypoxia with time of useful consciousness (TUC) parameters.
Methods: A total of 59 Indonesian Air Force crews conducting periodic medical examinations and hypoxic training in LAKESPRA SARYANTO were performed FMD examination and analyzed by correlation statistics between FMD and TUC.
Results: There was a proportion of 23.7% endothelial dysfunction. While the proportion of subjects with abnormal TUC was 32%. There was no significant relationship between endothelial dysfunction and TUC (p = 0.357) and r value = 0.111
Conclusion: There is no significant relationship between endothelial dysfunction and time of useful consciousness
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurnajmia Curie Proklamartina
"ABSTRAK
Defek septum atrium (DSA) berpotensi meningkatkan resistensi vaskular paru (RVP). Pada studi-studi terdahulu peningkatan RVP ditandai dengan pembentukan takik pada kurva spektral Doppler pulmonal. Terdapat perbedaan pola pembentukan takik pada jenis HP yang berbeda. Salah satu parameter penilaian pola ini yaitu notch ratio (NR). Belum terdapat studi yang menilai korelasi antara NR dengan RVP pada pasien DSA sekundum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara NR dengan RVP pada pasien DSA sekundum. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan consecutive sampling pada pasien DSA sekundum berusia ≥18 tahun yang menjalani kateterisasi jantung pada bulan Maret-Oktober 2019 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Uji korelasi Pearson atau Spearman dilakukan menggunakan parameter NR dari ekokardiografi dan pulmonary artery resistance index (PARI) dan pulmonary vascular resistance/systemic vascular resistance (PVR/SVR) dari kateterisasi jantung. Dari 50 pasien yang dianalisis, didapatkan NR dan RVP memiliki korelasi negatif sedang signifikan untuk PARI (r = -0,410; p = 0,03) dan PVR/SVR (r = -0,430; p = 0,002). Variabel perancu yang memiliki korelasi signifikan dengan NR yaitu stroke volume/pulse pressure (r = 0,384; p = 0,006), yang tereliminasi dari analisis multivariat dengan metode backward. Terdapat korelasi negatif sedang antara NR dan RVP pada pasien DSA sekundum.

ABSTRACT
Atrial septal defect (ASD) potentially increases pulmonary vascular resistance (PVR). In previous studies high PVR was marked by pulmonary Doppler spectral curve notching. There were distinct patterns of notch formation in different types of PH. One of the parameter to assess these patterns is notch ratio (NR). There is no study yet assessing correlation between NR and PVR in secundum ASD patients. This study aims to evaluate correlation between NR and PVR in this population. Cross sectional study with consecutive sampling was conducted in secundum ASD patients ≥18 years old undergoing cardiac catheterization from March until October 2019 in National Cardiovascular Center Harapan Kita. Pearson or Spearman correlation analysis was done using NR parameter from echocardiography and pulmonary artery resistance index (PARI) and pulmonary vascular resistance/systemic vascular resistance (PVR/SVR) from cardiac catheterization. From 50 patients analyzed, NR and PVR have significant moderate negative correlations for PARI (r = -0,410; p = 0,03) and PVR/SVR (r = -0,430; p = 0,002). Confounding variable with significant correlation with NR is stroke volume/pulse pressure (r = 0,384, p = 0,006), which was eliminated from multivariate analysis with backward method. There is a moderate negative correlation between NR and RVP in secundum ASD patients."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rizki Maulana
"Latar belakang: Intervensi endovaskular aorta perkutan rutin dilakukan dan menjadi pilihan tatalaksana invasif aneurisma atau diseksi aorta serta penyakit katup aorta. Komplikasi vaskular pasca intervensi sering terjadi pada pasien dengan diameter arteri femoralis komunis yang lebih kecil. Namun terdapat perbedaan bermakna dari diameter arteri femoralis komunis antara populasi Kaukasia dan Asia terkait komplikasi vaskular. Pada populasi Indonesia belum ada data terkait diameter arteri femoralis komunis dengan komplikasi vaskular.
Tujuan: Mengetahui diameter minimal arteri femoralis komunis sebagai prediktor komplikasi vaskular pasca intervensi endovaskular aorta perkutan pada populasi Indonesia.
Metode: Pasien yang dilakukan intervensi endovaskular aorta perkutan, diukur diameter arteri femoralis komunis dengan CT scan. Pasien dievaluasi kejadian komplikasi vaskular selama perawatan pasca tindakan.
Hasil: Terdapat 101 pasien dengan 135 arteri femoralis komunis yang menjadi sampel penelitian. Dibagi menjadi dua kelompok ukuran diameter arteri femoralis komunis berdasarkan median 7,6 mm, yaitu diameter ≥7,6 mm dan diameter <7,6 mm. Dari analisis multivariat, tidak terdapat hubungan bermakna antara kategori diameter arteri femoralis komunis dengan komplikasi vaskular pasca intervensi endovaskular aorta perkutan (p 0,38). Variabel lain yang berhubungan dengan kejadian komplikasi vaskular adalah jenis kelamin perempuan (p 0,03) dan RSAF ≥0,82 (p <0,001).
Kesimpulan: Diameter arteri femoralis komunis tidak dapat menjadi prediktor kejadian komplikasi vaskular pasca intervensi endovaskular aorta perkutan pada populasi Indonesia karena berdasarkan analisis multivariat tidak ditemukan hubungan yang bermakna.

Background: Percutaneus endovascular aorta repair has been routinely performed and become the primary choice of invasive therapy for aortic aneurism, aortic dissection and aortic valve disease. The occurrence of vascular complications resulting from intervention, often occurs in patients with smaller common femoral artery. However there is a significant difference in the diameter of common femoral artery between the Caucasian and Asian populations related to the incidence of vascular complications. Objectives: To investigate the minimal diameter of common femoral artery as a predictor of vascular complications after percutaneus endovascular aorta repair in the Indonesian population.
Methods: Patients who performed percutaneus endovascular aorta repair, measured the diameter of the common femoral artery with a CT scan and than evaluated for the occurrence of vascular complications after procedure.
Results: 101 patients with 135 common femoral arteries are divided into two groups based on median of common femoral arteries (7,6 mm), diameter ≥7,6 mm and diameter <7,6 mm. From multivariate analysis, there is no significant association between the common femoral artery diameter and vascular complications after percutaneous aortic endovascular repair (p 0,38). Other variables that related to the incidence of vascular complications were female (p 0.03) and RSAF ≥0.82 (p <0.001).
Conclusion: Diameter of common femoral artery can not be used as predictor of vascular complications after percutaneus endovascular aorta repair in the Indonesian population because based on multivariate analysis there was no significant relationship."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arles
"Latar Belakang: Derajat keparahan karsinoma hepatoselular (KHS) yang dinilai dengan klasifikasi Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) merupakan faktor prognostik utama KHS. Penilaian kadar serum Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dianggap dapat mencerminkan tingkat keparahan KHS. Namun, belum ada kesepakatan mengenai hubungan tingkat keparahan KHS dengan kadar serum VEGF.
Tujuan : Mengetahui hubungan kadar serum VEGF dengan tingkat keparahan KHS dengan menilai perbedaan rerata kadar serum VEGF pada berbagai tingkat keparahan KHS.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang untuk menentukan hubungan antara kadar serum VEGF dengan tingkat keparahan KHS berdasarkan klasifikasi BCLC. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo antara bulan Januari 2015 dan Mei 2015. Uji statistik yang digunakan untuk menilai hubungan kadar serum VEGF dengan klasifikasi BCLC ialah analisis one way ANOVA, dan dilanjutkan dengan analisis post hoc Tukey Schaffe.
Hasil : Sebanyak 61 subyek KHS diikutkan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini tidak ditemukan subyek dengan BCLC stage 0. Rerata kadar serum VEGF BCLC stage A adalah 288,26±156,6 pg/ml; BCLC stage B: 434±164,8 pg/ml; BCLC stage C: 785,57±194,25 pg/ml; BCLC stage D: 1537,97±660,62 pg/ml. Analisis one way ANOVA menunjukkan perbedaan bermakna (P<0,001) antara kadar serum VEGF dengan tingkat keparahan KHS berdasarkan klasifikasi BCLC. Analisis post hoc dengan Tukey Schaffe menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara BCLC stage A dan C (p<0,05) serta BCLC stage A dan D (p< 0.001), BCLC stage B dan D (p<0.001), dan BCLC stage C dan D (p<0.001). Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara subyek dengan BCLC stage A dan B, dan antara BCLC stage B dan C.
Kesimpulan : Didapatkan kadar serum VEGF yang meningkat sesuai dengan tingkat keparahan KHS berdasarkan klasifikasi BCLC terutama untuk BCLC stage B ke atas.

Background : The severity of Hepatocellular Carcinoma (HCC) stratified by Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) staging classification has been one of the main prognostic factors of patients with HCC. Serum vascular endothelial growth factor (VEGF) examination can be reflect to predict the severity of HCC. Although, there is no consensus among experts about the severity of HCC staging and serum VEGF levels.
Aim : To determine the association between serum VEGF levels and severity of HCC.
Methods : A cross-sectional study to determine the association between serum VEGF levels and the severity of HCC stratified by BCLC staging classification. The study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2015 and May 2015. One way ANOVA analysis was used to assess the association between serum VEGF levels and BCLC classification staging. Post hoc analysis will be done using Tukey Schaffe test.
Results: There were 61 HCC subjects included to this study. There were no subjects with BCLC stage 0. The mean VEGF serum level in patients with BCLC stage A was 288.26 ± 156.6 pg / ml; BCLC stage B: 434 ± 164.8 pg / ml; BCLC stage C: 785.57 ± 194.25 pg/ml; and BCLC stage D: 1537.97 ± 660.62 pg/ml. One way ANOVA showed significant statistical difference (P <0.001) between mean serum VEGF levels and the severity in all BCLC stages. Post hoc analysis using Tukey Schaffe test showed significant stastical difference between BCLC stage A and C (p<0.05), BCLC stage A and D (p<0.001), BCLC stage B and D (p<0.001), and BCLC stage C and D (p<0.001). There were no significant statistical differences between patients with BCLC stage A and B, and between BCLC stage B and C.
Conclusion: We found that increased levels of serum VEGF were associated with the severity of HCC based on BCLC staging classification, especially in patients with BCLC stage B and upwards.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Rathariwibowo
"Kondisi kritis iskemia tungkai merupakan manifestasi dan stadium akhir penyakit arteri perifer (PAP) yang dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi bagi penderitanya. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi kritis iskemia tungkai pada penderita PAP. Beberapa faktor tersebut diantaranya faktor usia, jenis kelamin, penyakit diabetes mellitus, hipertensi, kebiasaan merokok dan penyakit chronic kidney disease dengan tujuan agar pencegahan dan pelayanan terhadap pasien penderita PAP dapat ditingkatkan. Metode penelitian adalah studi potong lintang.
Hasil penelitian dengan analisis regresi logistik biner menunjukkan kejadian kondisi kritis iskemia tungkai pada penderita PAP berhubungan secara signifikan oleh faktor diabetes mellitus (OR=3,5; 95% CI=1,431-8,533), hipertensi (OR=2,62; 95% CI=1,064-6,442), dan kebiasaan merokok (OR=2,92; 95% CI=1,059-8,035). Usia, jenis kelamin, dan chronic kidney disease tidak berhubungan signifikan terhadap kondisi kritis iskemia tungkai pada penderita PAP.

Critical limb ischemia is the manifestation dan the last stage of perifer artery disease (PAD) which improves high risk of morbidity and mortality for its patient. Thus its needed to perform a research about factors related to critical limb ischemia in perifer artery disease’s patients, including age, gender, diabetes mellitus, hypertension, smoking habit, and chronic kidney disease in purpose to increase prevention and treatment satisfactory of PAD’s patients. The research method is cross-sectional study.
The result with binary logistic regression analysis shows that critical limb ischemia in PAD's patients significantly related by diabetes mellitus (OR=3,5; 95% CI=1,431-8,533), hypertension (OR=2,62; 95% CI=1,064-6,442), and smoking habit (OR=2,92; 95% CI=1,059-8,035). Age, gender, and chronic kidney disease are not significantly related to critical limb ischemia in PAD’s patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>