Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125621 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fatira Aurelia
"Emerging adulthood (EA) adalah masa transisi seseorang dari remaja ke dewasa. Dengan karakteristik identity exploration dan instability, EA terdorong untuk berinteraksi dengan banyak orang, di mana memahami emosi ekspresi wajah lawan berbicara menjadi sangat penting. Terdapat serangkaian studi terdahulu yang mengkaji terkait bias atensi ekspresi wajah Marah dan Senang dalam sebuah kerumunan (Anger vs Happiness Superiority Effect/ ASE vs HSE). Disayangkan, hasil dari studi terdahulu tidak konsisten menjelaskan ekspresi wajah mana yang lebih kuat dalam menangkap atensi seseorang. Untuk menjembatani hal tersebut, penelitian ini menguji pengaruh Kepuasan Hidup terhadap ASE. Penelitian ini menggunakan Kepuasan Hidup (SWLS) dan pengukuran waktu reaksi saat partisipan (N = 91, 18-29 tahun, belum menikah) merespon ekspresi wajah Marah dan Senang yang dikemas dalam modified emotional stroop task (Preston & Stansfield, 2008). Hasil analisis ANOVA menunjukkan ekspresi wajah marah secara implisit diprioritaskan dalam pemrosesan informasi bila dibandingkan dengan emosi senang. Ditemukan juga bahwa kelompok Kepuasan Hidup rendah menunjukkan ASE yang lebih besar ketimbang kelompok Kepuasan Hidup tinggi. Temuan ini menjelaskan mengapa informasi berisikan emosi marah mendapatkan lebih banyak atensi dari khalayak, daripada emosi senang. Dengan temuan ini, diharapkan EA di Indonesia dapat lebih sadar akan emosi yang ada dalam informasi yang mereka terima dan meningkatkan Kepuasan Hidup mereka.

Emerging adulthood (EA) is the transition from adolescence to adulthood. With the characteristics of identity exploration and instability, EA is encouraged to interact with many people, where understanding the emotions of the other person's facial expressions is very important. Series of previous studies examined attentional bias of Angry and Happy facial expressions in a crowd (Anger vs Happiness Superiority Effect/ASE vs HSE). Unfortunately, the results from previous studies have not consistently explained which facial expressions are stronger in capturing someone's attention. To bridge this, current study examines the effect of life satisfaction on ASE. This study used Life Satisfaction (SWLS) and reaction time measurements when participants (N = 91, 18-29 years old, not yet married) responded to angry and happy facial expressions in modified emotional stroop task (Preston & Stansfield, 2008). Results of ANOVA analysis show that angry facial expressions are implicitly prioritized in information processing when compared to happy emotions. It was also found that the low Life Satisfaction group showed a greater ASE than the high Life Satisfaction group. This findings explains why information containing angry emotions gets more attention from audiences than happy emotions. With this awareness, it is hoped that EAs in Indonesia can be more aware of the emotions in the information they receive and increase their Life Satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsya Lidya Mayori
"Perselisihan dan pertengkaran menjadi penyebab terbanyak perceraian pasangan di Indonesia. Penyebab ini tidak lepas dari komunikasi tidak lancar yang dapat disebabkan oleh Adverse Childhood Experience (ACE). Salah satu upaya yang dapat mengatasi dampak tersebut dan meningkatkan relationship satisfaction adalah melalui dyadic coping. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat peran dyadic coping dalam menjelaskan hubungan ACE terhadap relationship satisfaction. Partisipan penelitian ini adalah 260 dewasa muda terdiri atas 204 perempuan dan 57 laki-laki yang sudah menikah dan menetap di Jabodetabek. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Adverse Childhood Experience-Questionnaire, Dyadic Coping Inventory dan Relationship Assessment Scale. Hasil penelitian menemukan bahwa dyadic coping dapat memediasi secara parsial dampak negatif ACE terhadap kepuasan hubungan pasangan yang menikah. Dimensi dyadic coping seperti supportive DC, negative DC, dan common DC juga ditemukan dapat memediasi secara parsial dampak ACE terhadap relationship satisfaction.

Persistent conflicts and arguments are the leading causes of divorce in Indonesia. These disputes often result from poor communication, which can be linked to adverse childhood experiences (ACE). One effective approach to mitigate these impacts and enhance relationship satisfaction is through dyadic coping. This study aims to examine the mediating role of dyadic coping in the relationship between ACE and relationship satisfaction. The participants were 260 married young adults which consist of 207 women and 57 men residing in Jabodetabek. The measurement tools used were the Adverse Childhood Experience-Questionnaire, Dyadic Coping Inventory, and Relationship Assessment Scale. The results found that dyadic coping can partially mediate the negative impact of ACE on relationship satisfaction among married couples. Dyadic coping dimensions such as supportive DC, negative DC, and common DC has been found significant and can also partially mediate the relationship between ACE and relationship satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Welan Mauli Angguna
"Dewasa muda adalah kelompok masyarakat yang menikmati kemudahan teknologi, sehingga rentan untuk memiliki aktivitas fisik yang cenderung rendah. Aktivitas fisik yang rendah di usia muda merupakan faktor risiko penyebab kematian akibat penyakit degeneratif di masa depan. Masyarakat Indonesia termasuk negara dengan aktivitas fisik yang rendah, sehingga diperlukan promosi kesehatan yang tepat sasaran dengan memperhatikan faktor psikologis. Trait kepribadian dianggap sebagai faktor psikologis kuat dalam identifikasi aktivitas fisik, khususnya trait extraversion, conscientiousness, dan openness. Namun demikian, hubungan ketiga trait ini terhadap aktivitas fisik masih belum konsisten, hal ini memungkinkan adanya variabel lain yang memediasi hubungan tersebut. Untuk mempertahankan konsistensi tingkah laku dibutuhkan otonomi yang tinggi, begitu juga konsistensi untuk aktif melakukan aktivitas fisik. Otonomi merupakan derajat yang menunjukkan seberapa individu memiliki determinasi diri untuk termotivasi melakukan tingkah laku tertentu, dan motivasi yang berasal dari dalam diri merujuk pada otonomi yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji mekanisme hubungan ketiga trait dengan aktivitas fisik melalui mediasi otonomi. Penelitian dilakukan melalui lapor diri pada 59 laki-laki dan 144 perempuan dewasa muda berusia 20-40 tahun. Melalui analisa process mediasi (Hayes) ditemukan adanya mediasi sempurna antara trait extraversi dengan aktivitas fisik melalui otonomi, dan mediasi sebagian antara trait openness dan aktivitas fisik melalui otonomi. Conscientiousness tidak signifikan memengaruhi aktivitas fisik baik secara langsung maupun tidak langsung. Trait conscientiousness disarankan untuk diuji mediasi melalui presentasi diri terhadap aktivitas fisik.

Young adults are a group of community who enjoy technology, so it made them tend to have low physical activity. Low physical activity is a risk factor of degenerative diseases that cause death. Indonesia was a country that have lowest physical activity, so it's necessary to promote active physical activity to young adults by considering psychological factors. Personality was considered as a strong psychological factor that could predicted physical activity, especially extraversion, conscientiousness, and openness. However, their effects were still inconsistent, it allowed other variable to mediate their relationships. In order to maintain the consistency of behavior like physical activity, it required high autonomy. Autonomy is a degree to indicate how individual have self-determination to be motivated to perform certain behaviors, and the motivation was derived from inner-self that show high autonomy. This study aimed to examine the mechanisms of the trait effects to physical activity through the mediation of autonomy. The study was conducted by requiring data from self-report on 59 men and 144 young adult women aged 20-40 years. We analyzed the data by using mediation PROCESS (Hayes), and it was found a perfect mediation between extraversion and physical activity mediated by autonomy, and partially mediated of autonomy to the effects of openness and physical activity. However, conscientiousness did not significantly influence physical activity directly nor indirectly. Considering the communal culture of participants, we recommended to examine the effect of conscientiousness to physical activity through the mediation of self-presentation in future research."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T50360
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatchiati Farida Fitri
"
ABSTRAK
Hubungan (relationship) antar mahluk yang satu dengan yang lain sangat diperlukan atau dengan kata lain hubungan (human relation) adalah merupakan suatu kebutuhan (Fisher, 1994 ), dirnana ada 5 kebutuhan dalam suatu hubungan, yaitu: need for intimacy, need for social integration, need for being nurturant, need for assistance dan need for reassurancy of our own worth.
"Need for Intimacy" yaitu merupakan suatu kebutuhan yang sifat dan orientasinya kepada kebutuhan individual yang sangat pribadi. Dari hubungan yang demikian itulah diharapkan timbulnya proses hubungan percintaan - intimate of love (Mary Ann,l985).
Dalam proses hubungan percintaan tidak dapat dilepaskan dari berbagai unsur yang mendukungnya yaitu : adanya subyek, sarana-komunikasi, pasangan dan produknya adalah cinta. Kecendrungan dewasa ini bcrkomunikasi melalui komputer menyebabkan seseorang tidak perlu lagi bertatap muka secara fisik karena baik subyek ataupun pasangan telah dapat menggunakan komputer dan internet sebagai sarana atau alat untuk melakukan hubungan dan bahkan menjalin kasih sayang antara keduanya yang disebut dengan cinta. Apabila sampai pada tingkat yang demikian dan tetjadi pada individu yang awalnya belum pernah kenal tatap muka, maka hubungan tersebut dinamakan internet romance, yaitu hubungan percintaan melalui internet dimana individu jatuh cinta pada orang asing yang belum pernah tatap muka sebelumnya.
Cinta itu sendiri merupakan suatu proses yang terdiri atas 3 (tiga) komponen yaitu : "intimacy" itu sendiri pada tingkat awal, "Passion" dan "Commitment" (SternBerg, 1988 ) yang dalam penelitian ini diungkapkan sebagai proses tahap awal, proses lanjut dan proses akhir. Keberhasilan pencapaian commitment karena adanya intimacy, dimana intimacy sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas komunikasi.
Masyarakat pada umumnya masih asing dan belum percaya pada Internet romance bahwa hubungan percintaan dapat terjadi melalui internet dimana masing-masing individu belum mengenal satu sama Iain dan belum ada tatap muka umum dapat saling jatuh cinta, (Meng, 1994).
Dalam kaitan dengan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sebenarnya proses terjadinya hubungan Internet romance dan melihat faktor-faktor atau elemen apa yang mendukung individu terlibat dalam hubungan tersebut. Mengingat penelitian ini hendak mengetahui pengalaman dan penghayatan pribadi, maka penelitian ini dilaksanakan dengan metode kasus melalui wawancara mendalam dengan analisis kualitatif. Untuk itu peneliti membatasi tingkat pendidikan subyek yang diwawancarai, yaitu 20-30 tahun dengan minimun tingkat pendidikkan calon Sl, disamping sebagai mayoritas pemakai internet, juga dengan asumsi bahwa orang yang pendidikannya cukup tinggi dapat lebih mahir dalam mengeluarkan pendapat dan perasaannya secara verbal ( komunikatif ).
Dari ke-4(subyek) yang diwawancarai, Peneliti menemukan bahwa makin sering melakukan kontak atau chatting makin memberikan nilai positif dalam membentuk intimacy dimana hubungan yang berjalan melalui internet ini cendrung memerlukan frekuensi yang cukup tinggi dibanding di dunia nyata. Ini berarti keaktifan dalam hal ini sangat dibutuhkan (Grasha & Kirschenbaurn, 1980 ). Demikian pula mengingat bahwa komunikasi dalam internet romance ini tanpa kehadiran fisik yang bersangkutan, maka kualitas komunikasi jauh memperoleh perhatian penilaian dibanding apabila komunikasi dimana keduanya hadir secara fisik. Hal demikian menunjukkan bahwa setiap tutur-kata masing-masing akan direkam, dicatat, dan selalu diingat-ingat. Mengingat bahwa komunikasi dalam internet hanya mengandalkan kemampuan verbal dan pada umumnya berjalan dalam waktu yang cukup lama ( bisa sampai 5 atau 6 jam sehari bahkan Iebih ) maka seluruh aspek pribadi, tak jarang terungkapkan secara keseluruhan. Oleh karena itu melalui komunikasi internet dalam rangka membangun intimacy tersebut tidak jarang masing-masing lalu berawal dari adanya "Faktor keterbukaan", kemudian menimbulkan sikap "kepercayaan". Hal demikian menunjukkan bahwa komunikasi dalam lnternet-Romance orang mampu saling mengekspresikan dan menangkap elemen-elemen kepribadian sehingga dapat saling memberikan respon interpersonal secara positif untuk membangun ?intimacy"atau berespon negatif menolak. Dengan demikian proses komunikasi di internet ini, dipengaruhi 3 aspek, yaitu intensitas komunikasi, cara penyampaian komunikasi dimana subyek sering menggunakan simbol dan kalimat-kalimat spesial sebagai ungkapan elemen interpersonal, juga isi pembicaraan.
Dari penelitian ini ditemukan pula hal-hal yang mendorong subyek untuk online yaitu sebagai ekspresi cliri, mencari teman sekedar ngobrol, dan sengaja mencari pasangan. Walau pada awalnya subyek tidak serius dalam berrnain chairing, namun temyata charting mampu membawa individu ke arah pemikiran yang lebih serius. Dalam hal ini internet mampu menciptakan hubungan percintaan sampai ke jenjang pernikahan. Proses atau siklus terjadinya hubunganpun tidak jauh berbeda dengan yang didunia nyata., namun secara tehnis saja yang berbeda. Yang lebih menarik adalah ditemukannya suatu kepuasan bagi seorang subyek, bahwa dengan melalui hubungan Internet romance ini, kepribadian pasangan lebih mudah dapat dipahami dibanding dengan hubungannya di dunia nyata, hal ini menunjukkari bahwa hubungan Internet romance ternyata bisa terjadi dan tidak kalah mutunya dengan yang di dunia nyata.
Dari 7(tujuh)subyek yang akan diwawancarai, hanya 4(empat) subyek yang berhasil diwawancarai Peneliti. Dikarenakan ada yang balik ke Luar Negri untuk menyelesaikan studi dan ada yang kembali ke kota asalnya. Dari ke-4 subyek ini dua diantaranya masih dalam proses lanjut dimana belum ada tatap muka, dan 2 diantaranya akan melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Oeh karena itu, penelitian ini masih perlu pemantauan tindak lanjut mengingat para subyek belum ada yang berakhir sampai tuntas dan penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut, antara lain dengan meneliti perbedaan antara dewasa muda pria dan wanita dalam menjalani hubungan internet romance ini, atau meneliti bagaimana karakteristik kepribadian orang-orang yang bermain internet ataupun yang menjalin hubungan internet romance."
1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Faqih Fidini
"Saat memasuki dewasa muda, individu dihadapkan dengan tantangan terkait tugas perkembangan. Apabila dewasa muda gagal menghadapi tantangan tersebut, maka hal ini dapat berdampak pada kebahagiaan mereka. Dalam menghadapi tugas perkembangan tersebut, dewasa muda dapat menjalankannya melalui perilaku prososial. Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku prososial dan kebahagiaan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara perilaku prososial dan kebahagiaan autentik (pleasure, engagement, dan meaning) pada dewasa muda. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur Orientations to Happiness (OTH) dan Prosocialness Scale for Adults (PSA) yang telah diadaptasi ke Bahasa Indonesia. Penelitian ini terdiri dari 197 partisipan yang berasal dari usia masa dewasa muda dengan rentang usia 20–35 tahun (M = 22.65, SD = 2.70). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara perilaku prososial dan kebahagiaan autentik (pleasure, engagement, dan meaning) pada dewasa muda di Indonesia (p < 0.001). Hasil menunjukkan bahwa peningkatan dalam perilaku prososial juga disertai peningkatan pada orientasi pleasure, engagement, dan meaning pada dewasa muda.

When entering young adulthood, individuals are faced with challenges related to developmental tasks. If young adults fail to face these challenges, this can have an impact on their happiness. In facing these developmental tasks, young adults can do so through prosocial behavior. Previous research has shown that there is a positive relationship between prosocial behavior and happiness. Therefore, this study aims to look at the relationship between prosocial behavior and authentic happiness (pleasure, engagement, and meaning) in young adults. The research instruments used in this study are the Orientations to Happiness (OTH) and Prosocialness Scale for Adults (PSA) measurement tools that have been adapted to the Indonesian language. This study consisted of 197 participants from young adulthood with an age range of 20-35 years (M = 22.65, SD = 2.70). The results showed that there was a significant positive relationship between prosocial behavior and authentic happiness (pleasure, engagement, and meaning) in young adults in Indonesia (p < 0.001). Results suggest that increases in prosocial behavior are accompanied by increases in pleasure, engagement, and meaning orientations in young adults."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Karinka Febritta Anindyasari
"ABSTRAK
Selfie saat ini menjadi sebuah tren yang mendunia diiringi dengan teknologi kamera yang semakin berkembang pesat dan meluasnya fungsi sosial media. Selfie adalah sebuah foto diri yang diambil oleh dirinya sendiri, biasanya menggunakan kamera smartphone atau kamera webcam dan biasanya di unggah ke sosial media. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran locus of control dan trait kepribadian pelaku selfie pada emerging adulthood. Pengukuran intensitas selfie menggunakan alat ukur Skala Intensitas Selfie, pengukuran locus of control menggunakan alat ukur IE-Locus of Control Scale yang disusun oleh Rotter (1966) dan pengukuran trait kepribadian menggunakan alat ukur Big Five Inventory yang disusun oleh John dan Srisvatava (1999). Penelitian ini melibatkan 321 responden pelaku selfie pada kelompok usia emerging adulthood. Hasil penelitian menggambarkan bahwa responden rata-rata berada pada kelompok locus of control internal, lalu skor trait kepribadian tertinggi ada pada trait openness to experience. Melalui teknik ANOVA, hasil penelitian menunjukkan adanya pola linier positif antara intensitas selfie dengan trait extraversion. Namun, untuk intensitas selfie dengan locus of control serta trait kepribadian agreeableness, conscientiousness, neuroticism dan openness to experience menunjukkan pola linier yang negatif.

ABSTRACT
Nowadays, selfie has become world’s trend followed by rapid growing of camera technology and social media. Selfie is a photograph that one has taken of oneself, typically with a smartphone or webcam and uploaded to a social media website. This research purposes is to know the locus of control and selfie personality trait towards emerging adulthood. Selfie intensity was measured using an instrument named Selfie Intensity Scale, locus of control was measured using an instrument named IE-Locus of Control Scale made by Rotter (1966) and personality traits was measured using an instrument named Big Five Inventory made by John and Srisvatava (1999). This research involved 321 respondents of Selfie-Doers in the age of emerging adulthood. This research captured that the respondents tend to have internal locus of control, and then the highest personality traits score is on openness to experience trait. Using ANOVA technique, it indicates a positive linear pattern between selfie intensity and extraversion trait. However, intensity selfie with locus of control and personality trait agreeableness, conscientiousness, neuroticism and openness to experience shows negative linear pattern.
"
2015
S60655
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Putri Khairunnisa
"Pada beberapa waktu terakhir, perhatian terhadap subjective well-being mengalami peningkatan, khususnya yang terjadi pada kalangan usia dewasa muda. Salah satu faktor yang mungkin berkaitan dengan fenomena tersebut adalah maraknya penggunaan media sosial, mengingat jumlah dewasa muda di Indonesia yang menggunakan media sosial tergolong besar. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk melihat peran dari empat dimensi penggunaan media sosial yang terdiri image-based SMU, comparison-based SMU, belief-based SMU, dan consumption-based SMU dalam subjective well-being dewasa muda di Indonesia. Terdapat 125 responden dewasa muda pengguna media sosial yang direkrut dengan metode convenience sampling. Variabel subjective well-being diukur dengan The PERMA-Profiler dan penggunaan media sosial diukur dengan Social Media Use Scale (SMUS) yang sudah diadaptasi ke Bahasa Indonesia. Hasil analisis linear berganda menunjukkan bahwa empat dimensi penggunaan media sosial secara simultan berkontribusi dalam subjective well-being. Ditemukan hanya image-based, comparison-based, dan consumption-based SMU yang memiliki peran signifikan dalam subjective well-being, sedangkan peran dari belief-based SMU tidak signifikan. Temuan ini dapat diartikan bahwa penggunaan media sosial dewasa muda memiliki peran dalam kondisi subjective well-being mereka. Limitasi penelitian diulas lebih lanjut, dan disarankan agar penelitian di masa depan dapat mencoba melakukan kontrol terhadap durasi penggunaan media sosial, serta mempertimbangkan frekuensi dan tujuan penggunaan pada platform media sosial yang berbeda.

Over the past few years, attention to subjective well-being has increased, especially among young adults. One factor that may be related to this phenomenon is the widespread use of social media, given the large number of young adults in Indonesia who use social media. Therefore, this study aimed to look at the role of the four dimensions of social media use consisting of image-based SMU, comparison-based SMU, belief-based SMU, and consumption-based SMU in the subjective well-being of young adults in Indonesia. A total of 125 young adult social media users were recruited using convenience sampling method. Subjective well-being was measured with The PERMA-Profiler and social media use was measured with the Social Media Use Scale (SMUS), which has been adapted to Indonesian. The results of multiple linear analysis showed that four dimensions of social media use simultaneously contributed to subjective well-being. It was found that only image-based, comparison-based, and consumption-based SMU had a significant role in subjective well-being, while the role of belief-based SMU was not significant. This finding can be interpreted that young adults' social media use has a role in their subjective well-being. The limitations of the study were further reviewed, and it was suggested that future research could try to control for the duration of social media use, while also considering the frequency and purpose of use on different social media platforms."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Margaretha
"ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
self-efficacy dengan perilaku sehat pada individu emerging adulthood. Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif dengan sampel yang terdiri dari 266 individu
emerging adulthood yang berusia 18 sampai 25 tahun. Untuk mengukur selfefficacy,
alat ukur yang digunakan adalah General Self-Efficacy (GSE) Scale
(Schwarzer & Jerusalem, 1995). Untuk mengukur perilaku sehat, peneliti
menggunakan alat ukur perilaku sehat yang disusun sendiri oleh peneliti dengan
mengembangkan perilaku sehat menurut Becker (1979, dalam Notoatmodjo,
2003). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang
signifikan antara self-efficacy dengan perilaku sehat pada individu emerging
adulthood. Dengan menggunakan teknik pearson correlation, diperoleh nilai
koefisien hubungan sebesar 0,224 (p < 0,01). Arah positif dari hubungan berarti
bahwa semakin kuat self-efficacy yang dimiliki seseorang, maka perilaku sehatnya
juga semakin baik. Semakin lemah self-efficacy seseorang, semakin buruk pula
perilaku sehatnya.

ABSTRACT
The purpose of this study was to examine the relationship between selfefficacy
and health behavior in emerging adulthood individuals. This was a
quantitative research with a sample of 266 emerging adulthood individuals aged
18 to 25 years. To measure self-efficacy, General Self-Efficacy (GSE) Scale
(Schwarzer & Jerusalem, 1995) was used. To measure health behavior, a Likerttype
scale was developed based on Becker?s (1979 in Notoatmodjo, 2003) theory
of health behavior. The result showed a significant positive relationship between
self-efficacy and health behavior in emerging adulthood individuals. Employing
Pearson?s correlation technique, the correlation coefficient between self efficacy
and health behavior was 0,224 (p < 0,01). This indicated that individuals with
strong self-efficacy tend to have better health behavior, and individuals with weak
self-efficacy tend to tend to have bad health behavior. Theoretical and practical
implications were further discussed.
"
2016
S63068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Melina Santoso
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara gaya humor dan kualitas hubungan romantis. Responden dalam penelitian ini merupakan emerging adult yang sedang menjalin hubungan romantis berjumlah 317 orang berusia 18 sampai 25 tahun. Gaya humor diukur dengan menggunakan Daily Humor Styles Questionnaire DHSQ yang dimodifikasi oleh Caird dan Martin 2014, sedangkan kualitas hubungan romantis diukur dengan menggunakan Partner Behavior as Social Context PBSC yang disusun oleh Ducat dan Zimmer-Gembeck 2010.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara positif antara gaya humor affiliative r = 0,387, p < 0.05 dan gaya humor self-enhancing r = 0,244, p < 0.05 dengan kualitas hubungan romantis. Selain itu, terdapat hubungan yang signifikan secara negatif antara gaya humor self-defeating r = -0,118, p < 0.05 dan gaya humor aggressive r = -0,381, p < 0.05 dengan kualitas hubungan romantis.

This study was conducted to examine the correlation between humor styles and romantic relationship quality among emerging adult. Respondents in this study were 317 emerging adults, aged 18 to 25 currently in a romantic relationship. Humor styles was measured by Daily Humor Scale Questionnaire DHSQ modified by Caird and Martin 2014, and romantic relationship quality was measured by Partner Behavior as Social Context PBSC made by Ducat and Zimmer Gembeck 2010.
The result indicated there was significant positive correlation between affiliative humor style r 0,387, p 0.05 and self enhancing humor style r 0,244, p 0.05, and romantic relationship quality. Then, there was significant negative correlation between self defeating humor style r 0,118, p 0.05 and aggressive humor style r 0,381, p 0.05, and romantic relationship quality.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S69097
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Faustanisa Nursyah Wibowo
"Penelitian ini bertujuan untuk memahami mekanisme psikologis yang mendasari pengaruh kepribadian neuroticism pada tingkat kepuasan hidup dalam fase perkembangan emerging adulthood. Tingkat neuroticism yang tinggi mendorong individu mengalami afek negatif yang lebih kuat, serta memicu bias atensi terhadap informasi negatif yang kemudian mempengaruhi kepuasan hidup secara negatif. Penelitian ini menganalisis data 153 emerging adults menggunakan kuesioner BFI-44, PANAS, SWLS, dan mengerjakan tugas kognitif yakni Emotional Stroop Task. Hasil analisis PROCESS simple mediation (Model 4) dan moderated mediation (Model 14) menunjukkan bahwa neuroticism berkorelasi secara negatif dan signifikan dengan tingkat kepuasan hidup, dan hubungan ini dimediasi secara parsial oleh afek negatif. Penelitian ini juga menemukan bahwa efek mediasi dari afek negatif pada kepuasan hidup secara signifikan dimoderasi oleh bias negatif.  Secara spesifik, semakin kuat bias negatif, semakin kuat pula peran afek negatif sebagai mediator dalam memprediksi tingkat kepuasan hidup. Penelitian ini berhasil menunjukkan secara empirik bahwa peran atensi sangatlah penting dalam memperkuat pengaruh afek negatif pada tingkat kepuasan hidup individu, terutama di kalangan emerging adults dengan kepribadian neuroticism yang dominan.  

This study aims to understand the psychological mechanisms underlying the effect of the neuroticism trait on life satisfaction in the developmental phase of emerging adulthood. High neuroticism encourages individuals to experience more negative affect and triggers attentional bias toward negative information that negatively affects life satisfaction. This study collected data on 153 emerging adults using the BFI-44, PANAS, SWLS questionnaires, and a cognitive task, namely the Emotional Stroop Task. The results of the PROCESS analysis of simple mediation (Model 4) and moderated mediation (Model 14) showed that neuroticism was negatively and significantly correlated with life satisfaction, and this relationship was partially mediated by negative affect. The study also found that the mediating effect of negative affect on life satisfaction was significantly moderated by negative bias. Specifically, the stronger the negative bias, the stronger the role of negative affect as the mediator in predicting the level of life satisfaction. Thus, this study provides empirical evidence that the role of attention is very important in strengthening the effect of negative affect on life satisfaction, especially among emerging adults with a dominant neuroticism personality."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>