Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148940 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rina Puspitasari
"Penelitian ini adalah tentang perlindungan hukum terhadap konsumen satuan rumah susun sebagai kreditur konkuren dalam kasus kepailitan dari debitur (pelaku pembangunan rumah susun), sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 32/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. Selama ini banyak ditemukan penjualan rumah susun yang belum dibangun namun tetap dilakukan perbuatan hukum pengikatan jual beli dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Pada akhirnya hal tersebut menimbulkan sengketa ketika terjadi kepailitan dari pelaku pembangunan. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dijadikan dasar pembelian rumah susun yang belum dibangun, dan perlindungan hukum terhadap konsumen satuan rumah susun sebagai kreditur konkuren dalam konteks kepailitan debitur (pelaku pembangunan). Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan dengan didukung oleh wawancara dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dinyatakan bahwa akta PPJB dapat dijadikan dasar untuk peralihan hak atas tanah apabila harga yang sudah disepakati bersama telah dibayar lunas dan objeknya sudah dikuasai oleh pembeli. Adapun terkait perlindungan hukum terhadap konsumen satuan rumah susun sebagai kreditur konkuren sangat lemah karena tidak ada ketentuan yang dengan tegas mengatur tentang itu. Selama ini di dalam pengaturan tentang pembayaran pengembalian kepada kreditur, besaran yang diterima oleh kreditur konkuren adalah sisa dari hasil pembayaran kepada kreditur lainnya, dalam hal ini adalah kreditur separatis dan kreditur preferens. Dengan demikian apabila hasil penjualan dari boedel pailit debitur sudah habis, maka kreditur konkuren tidak mendapatkan apapun, meski ia sudah membayar lunas.

This research describes protection law for apartment costumers as concurrent creditors in bankruptcy cases from debtors (apartment developers), as stated in the Decision of the Commercial Court at the Central Jakarta District Court Number 32/Pdt.Sus- PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. All this time, many apartment sales have not been built, but it is done a legal act that binds sale and purchase in the Sale and Purchase Agreement (SPA). In the end, it creates a dispute when the apartment developer is bankrupt. Therefore, the problem described in this study is regarding the deed of the Sale and Purchase Agreement (SPA). That agreement is the basis for purchasing apartments that have not been built and protection law for consumers of apartment units as concurrent creditors in the context of debtor bankruptcy (apartment developer). This normative juridical research uses secondary data through literature study supported by interviews and then analyzed qualitatively. From the analysis results, it can be stated that the SPA deed can be used as the basis for transferring land rights if the mutually agreed price has been fully paid and the buyer has controlled the object. The protection law for apartment consumer units or concurrent creditors is fragile because there are no regulated provisions. In the repayment plan to creditors, the amount received by concurrent creditors is the rest of the proceeds payments to other creditors, in this case, the separatist creditors and preferred creditors. Therefore, if the proceeds from the sale of the debtor's bankrupt bank are exhausted, the concurrent creditor does not get anything, even though he has fully paid the debt."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Hotbin M.
"ABSTRAK
KETERLAMBATAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SECARA KESELURUHAN SEBAGAI SARANA KREDITUR MENDAPATKAN PELUNASAN PIUTANG MENURUT UNDANG-UNDANG KEPAILITAN Analisis Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 44/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 26 Desember 2012 Jo. Nomor : 44/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 05 November 2012 Tesis ini membahas tentang kewajiban PT Jaya Nur Sukses selaku pengembang rumah susun untuk menyelesaikan pembangunan rumah susun secara keseluruhan. Keterlambatan penyelesaian pembangunan secara keseluruhan merupakan denda yang menurut Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 dapat dikualifisir sebagai utang dalam arti luas. Tesis ini merupakan penelitian yuridis-normatif yang mengutamakan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selain penyerahan unit satuan rumah susun, pengembang berkewajiban menyelesaikan pembangunan rumah susun secara keseluruhan yang dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Keterlambatan penyelesaian pembangunan memberi hak kepada para pembeli unit satuan rumah susun mengajukan tuntutan kepada pengembang melalui pranata hukum kepailitan. Konsep utang sebagai dasar permohonan kepailitan saat ini terlalu luas sehingga Undang-Undang Kepalitan perlu kiranya diperbaharui, dan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana perlu diberikan batasan sehingga tidak terjadi penyimpangan hakikat kepailitan dan tidak dapat ditafsirkan secara berbeda-beda yang pada akhirnya dapat dijadikan sarana oleh pihak ketiga yang tidak beritikad baik.

ABSTRACT
RETARDMENT OF FLATS CONSTRUCTION AS A MEANS FOR CREDITORS IN OBTAINING CREDIT SETTLEMENT ACCORDING TO BANKCRUPTY CODE Analysis Of The Commercial Court In Central Jakarta District Court Number 44 PKPU 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst, 26 Desember 2012 Jo. Number 44 PKPU 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst, 05 November 2012 This thesis elaborating the obligation of PT Jaya Nur Sukses as flats developer in completing the construction of flats. The retardment of flats construction was defined as fine or sanctions, which based on constitution of the Republic of Indonesia Number 37 2004, could be constituted as debts. This thesis could be defined as yuridical normative research which prioritize primary method of research in obtaining secondary data. From the research, it was shown that developer obligated both in completing flats construction as a whole and handing over each flat units. The retardment gave a right for debitors in submiting lawsuit to the developer via legal institution. The concept of debt as the basis of lawsuit is considered too comprehensive so that amandement of the law is needed. Facts or circumstance that has been proved simply need to be restricted equitably to avoid deviation and not to be interpreted differntly by unresponsible parties."
2017
T47125
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Ria Nanda
"Penelitian ini berfokus pada kedudukan kreditur korporasi asing sebagai pemegang Hak Tanggungan yang mendapatkan pengalihan piutang atas nama (cessie). Dalam konteks kepailitan, hal tersebut dapat memunculkan sengketa, sebagaimana ditemukan dalam kasus di Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 86/Pdt.Sus/PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai kedudukan subjek Hak Tanggungan karena adanya pengalihan piutang atas nama (cessie) kepada korporasi asing dan peran Notaris/PPAT dalam pembuatan akta cessie dan pencatatan Hak Tanggungan karena adanya cessie. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan serta dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis tersebut dapat dinyatakan bahwa korporasi asing tidak dapat menjadi subjek Hak Tanggungan yang dibebankan di atas tanah Hak Milik karena berdasarkan ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) khususnya Pasal 21 ayat (1), hanya Warga NegaraIndonesia yang dapat mempunyai Hak Milik, sehingga pengalihan piutang atas nama tersebut menjadi batal demi hukum. Adapun akta cessie yang dibuat oleh Notaris menjadi tidak memiliki jaminan kebendaan karena objeknya tidak bisa dikuasai. Selain itu PPAT juga tidak dapat mendaftarkan Hak Tanggungan yang diperoleh dari cessie karena subjek cessie adalah korporasi asing.

The research focused on legal standing of foreign corporate creditor as mortgage holder obtaining the transfer receivables on behalf of cessie. In the context of bankruptcy, this led to disputes, as found in the case of Commercial Court Decision at the Central Jakarta District Court number 86/Pdt.Sus/PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. The issues raised in this study were regarding the legal standing of the subject of Mortgage Rights obtained from the transfer of cessie to foreign corporations and the role of a notary/ PPAT in arranging cessie deed and recording the Mortgage due to the cessie. This normative juridical research used secondary data collected through literature study and analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be stated that foreign corporations cannot be the subject of Mortgage that was imposed the proprietary land, as based on the provisions in Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles (UUPA), Article 21 paragraph (1), only Indonesian Citizens can have Ownership Rights, so that the transfer of receivables in that name is null and void. The cessie deed arranged by a notary does not have material guarantees since the object cannot be controlled. In addition, PPAT also cannot register Mortgage obtained from cessie because the subject of cessie is a foreign corporation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bryan Imanuel
"Kebutuhan akan tempat tinggal merupakan kebutuhan penting bagi semua orang. Dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan terbatasnya ketersediaan tanah di masa sekarang, pihak pengembang mulai membangun pembangunan rumah tinggal dalam bentuk rumah susun. Rumah susun atau apartemen adalah bentuk dari perumahan vertikal yang dimiliki secara pemilikan bersama dengan perbandingan proporsional. Namun dalam perkembangannya pembangunan rumah susun mengalami berbagai macam kendala, salah satu di antaranya berupa kendala dalam hal pembangunan dan kendala finansial yang dapat berujung pada pihak pengembang dinyatakan pailit. Contohnya kasus Apartemen Bliss Park dimana pihak pembeli dan pengembang melakukan PPJB dengan akta di bawah tangan. Tak lama kemudian, pengembang Apartemen Bliss Park dipailitkan oleh para kreditornya karena alasan finansial. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang kedudukan hukum dan hak pembeli satuan rumah susun yang membeli rumah susun tersebut, dan bagaimanakah seharusnya PPJB dibuat oleh pihak pengembang. Penelitian ini mengunakan metode penelitian yuridis normatif dengan bentuk penelitian deskriptif analitis dimana penulis menelaah dan menjelaskan permasalahan yang diteliti secara analitis. Hasil penelitian ini adalah bahwa kedudukan hukum bagi pembeli yang mengunakan akta di bawah tangan tidak begitu kuat di mata hukum karena akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, namun pembeli dapat menuntut haknya kepada pelaku pembangunan setelah proses kepailitan selesai dilaksanakan. Selain itu, Peraturan PUPR No. 11 Tahun 2019 dibuat untuk melindungi kepentingan pembeli rumah susun. Peraturan PUPR No. 11 Tahun 2019 menetapkan bahwa akta PPJB jual beli rumah harus dibuat di hadapan Notaris dan mengikuti format yang telah ditentukan dalam PUPR tersebut.

The need of housing is an important need. With the increase of population and the limited availability of land, developers started to build housing in the form of flats. Flats are a form of vertical housing that is owned jointly in proportion. Along the development of flats, it had experienced various obstacles, one of them being construction and financial problems that lead into the bankruptcy of said developer. For example, the case of Bliss Park Apartment where the buyers and developers had made Sale and Purchase (S&P) in a privately made deed. The developer was then declared bankrupt by its creditors for financial reasons. The problems raised in this study are the legal status and rights of the buyers of the apartments, and how the S&P deed should be made by the developers. This study uses a normative juridical research method with a descriptive analytical research where the research will analyse and explain the problem of the study in an analytical way. This study finds that the legal position for buyers with a privately made deed is not legally strong because privately made deeds do not have perfect proof of strength, but the buyers can claim their rights to the developers after the bankruptcy process is completed. In addition, PUPR Regulation No. 11 of 2019 was made to protect the interests of apartment buyers, which stipulates that the S&P deed of houses must be made before a notary and following the format specified in the PUPR"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desta Rian Hidayat
"Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UURS) telah mengatur mengenai pelaksanaan jual beli secara pre-project selling dimana pengembang rumah susun selaku penjual dapat melakukan pemasaran sebelum rumah susun selesai dibangun dengan memenuhi persyaratan Pasal 42 dan Pasal 43 UURS, namun dalam pelaksanaannya penjual tidak memenuhi persyaratan tersebut. Sebagaimana dalam kasus Ciputat Resort Apartment, rumah susun yang dijual oleh PT. Megakarya Maju Sentosa yang dimohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 282/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN Niaga Jkt.Pst. Para pembeli satuan unit rumah susun tidak memperhatikan ketentuan Pasal 42 dan Pasal 43 UURS, dimana penjual tidak memenuhi persyaratan kemudian pembeli menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Permasalahan muncul ketika penjual dimohonkan PKPU dan para pembeli sebagai kreditur konkuren dalam hal pemenuhan ganti ruginya ditempatkan sebagai pihak yang memperoleh pembagian secara proporsional. Oleh karenanya, dalam tesis ini permasalahan yang akan diangkat oleh penulis mengenai tanggung jawab keabsahan PPJB yang dibuat tanpa memenuhi persyaratan Pasal 43 UURS dan penyelesaian terhadap kewajiban penjual yang dipailitkan kepada para pembeli selaku kreditur konkuren. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif, tipologi penelitian preskriptif, data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, sekunder dan tersier, pengumpulan data dengan studi dokumen dan wawancara, metode analisis kualitatif serta bentuk hasil penelitian preskriptif analitis. Terhadap PPJB yang tidak memenuhi persyaratan Pasal 43 UURS adalah tidak sah apabila para pihak masih berusaha memenuhinya maka masih dianggap sebagai suatu perjanjian yang mengikat. Sedangkan tanggung jawab penjual yang dipailitkan dalam memenuhi kewajibannya diatur sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU

purchase by pre-project selling method, where the condominium developer as the seller
could carry out marketing while the condominium is under construction by fulfilling the requirements of Article 42 and 43 of the Indonesian Condominium Law, in fact the seller not always meet these requirements. Based on The Ciputat Resort Apartment’s case, the condominium sold by PT. Megakarya Maju Sentosa which requested a Postponement of Debt Settlement Obligation toward Commercial Court Verdict Number 282/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN Niaga Jkt.Pst. The purchaser of this
condominium had an absence with due observance of the provisions of Article 42 and 43 of the Indonesian Condominium Law. Where the purchaser were not eligible but sign the Sale and Purchase Binding Agreement on Land and Building. The problem arises when the seller is petitioned by Postponement of Debt Settlement Obligation and the purchaser as the concurrent creditor for their fulfillment of compensation was placed as the party who receives a proportionate share or commonly called by paripassu. Therefore, the main problem of this thesis is about the liability of the validity of the Sale and Purchase Binding Agreement on Land and Building which was made without completing the requirements given by Article 43 of the Indonesian
Condominium Law. Besides, about the settlement of the seller’s bankruptcy which mainly concerning about their responsibility to their concurrent creditor. This research uses normative judicial research, prescriptive research typology, secondary data consisting of primary, secondary and tertiary legal materials, data collection by documents and interview, qualitative analysis method and the result of this research by prescriptive analytical. The Sale and Purchase Binding Agreement on Land and Building that does not meet the requirements of Article 43 of the Indonesian Condominium Law is invalid. In case of the parties insist to fulfill it, it will consider as a binding agreement. Meanwhile, the responsibility of the seller who declared bankruptcy is regulated in the Indonesian Bankruptcy Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlina
"Dalam suatu kepailitan, terdapat berbagai pihak yang memiliki kepentingan, seperti debitor yang berutang dan kreditor yang berpiutang. Karenanya harus diadakan pengaturan-pengaturan mengenai kepailitan. Hukum Kepailitan yang berlaku sekarang ini adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kepailitan tidak hanya dapat diajukan oleh kreditor, tetapi juga dapat diajukan oleh debitor sendiri. Tetapi hal tersebut memberikan celah bagi debitor untuk melarikan diri. Dalam hal tersebut, Hakim harus bersikap aktif karena pemeriksaan permohonan kepailitan bersifat sederhana. Mengenai pelunasan utangnyapun, kreditor tidak dapat melakukan apapun apabila debitor berdalil tidak mempunyai aset berharga. Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif dan menggunakan teori hermeneutika hukum.

In a bankruptcy, there are many parties who have an interest in it, called Debtor who owes and Creditor who has receivables. Therefore, there should ne a sufficient regulation to keep everything related to bankruptcy measured. The bankruptcy law which regulates the bankruptcy in Indonesia is Law No. 37 Year 2004. Bankruptcy is not only stated by creditor, debtor is also capable to put his own state into bankruptcy and the debtor may exploit it in order to escape from the debts. Pertaining to that issue, the judge is expected to be more active in consideration of the nature of the examination in bankruptcy petition is simple. Concerning the debts settlement, the creditor would be helpless if the debtor can not provide any adequate assets to repay the debts. This research is jurisdicial normative type of research and using the theory of hermeneutika law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T30810
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alfredo Joshua Bernando
"Penerapan hukum kepailitan di Indonesia untuk menyatakan pailitnya seseorang atau suatu perusahaan membutuhkan pembuktian sederhana, dimana hanya membutuhkan syarat mempunyi dua atau lebih kreditur dan mempunyai setidaknya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pembuktian yang sangat sederhana ini tidak menyertakan insolvency test sebagai salah satu syarat untuk mendasari pertimbangan Majelis Hakim untuk memutus pailit dalam putusan pengadilan niaga. Hal ini cenderung tidak proporsional karena merugikan pihak debitur, dimana Prinsip Keadilan adalah salah satu Prinsip atau Asas yang mendasari Hukum Kepailitan di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya insolvency test dapat menunjukan bahwa seseorang atau suatu perusahaan sebagai debitur dalam keadaan solven atau insolven, sehingga dapat dipertimbangkan apakah aset-aset yang dimiliki oleh debitur dapat membayar utang-utangnya atau tidak. Tidak adanya penerapan insolvency test dalam proses kepailitan menutup kemungkinan untuk melihat hal-hal tersebut sehingga debitur dapat dengan mudah untuk dipailitkan. Sehingga, insolvency test perlu untuk diterapkan dalam proses kepailitan serta diperbaharui peraturannya agar tidak menciderai prinsip keadilan yang menjadi dasar dari hukum kepailitan di Indonesia.

The application of bankruptcy law in Indonesia to declare someone or a company bankrupt requires simple proof, where it only needs the condition of having two or more creditors and at least one debt that has matured and is demandable. This very simple proof does not include the insolvency test as one of the conditions to substantiate the consideration of the Judges' Panel to decide bankruptcy in a commercial court ruling. This tends to be disproportionate as it harms the debtor, where the Principle of Justice is one of the principles underlying Bankruptcy Law in Indonesia, namely Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The existence of an insolvency test can show that an individual or a company as a debtor is in a solvent or insolvent condition, so it can be considered whether the assets owned by the debtor can pay off its debts or not. The lack of the application of the insolvency test in the bankruptcy process closes the possibility of examining these matters, making it easy to declare bankruptcy for debtors. Thus, the insolvency test needs to be applied in the bankruptcy process and its regulations need to be updated to avoid undermining the principle of justice that is the basis of bankruptcy law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairun Nisa
"Pengertian utang yang ada di dalam KUHP Perdata merupakan rujukan yang diimplementasikan kedalam UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Terkait utang yang sangat sederhana pembuktiannya yang diatur dalam UU Kepailitan tersebut, berimbas pada mudahnya suatu entitas hukum dapat dimohonkan pailit di pengadilan niaga. Bahkan atas suatu penerbitan Purchasing Order oleh distributor, yang tidak mendapatkan approval, hal tersebut dapat dikatakan sebagai utang dalam UU Kepailitan, karena tidak adanya batas yang disebut dengan “pembuktian utang sederhana”. Sedangkan, didalam KUHPerdata pada pasal 1457 dan 1458, suatu jual beli dianggap telah terjadi ketika adanya kesepakatan mengenai barang dan harga yang telah diperjanjikan sebelumnya, dimana antara pemenuhan hak dan kewajiban berimbang.
Penelitian ini membahas mengenai dua purchasing order yang diterbitkan oleh PT Prima Jaya Informatika, selaku distributor produk kartu prima yang dikeluarkan oleh PT Telkomsel, yang tidak mendapatkan approval dari PT Telkomsel, dimana akhirnya PT Prima Jaya Informatika menganggap hal tersebut sebagai utang. Atas dasar utang tersebutlah, dengan disertai kreditur lain, PT Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit ke pengadilan niaga Jakarta pusat, dimana pada tahap ini PT Telkomsel diputus pailit, namun PT Telkomsel mengajukan upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung, yang dalam keputusannya mencabut keadaan pailit PT Telkomsel. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui utang yang seperti apakah yang dapat diajukan permohonan pailit menurut ketentuan peraturan yang berlaku.

Understanding of existing debt in the Civil Code is a reference implemented into the Act 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. Debt related to a very simple proof set forth in the bankruptcy laws, impact on the ease of an entity may be filed bankruptcy laws in the commercial court. In fact, on a purchasing order issuance by the distributor, who did not get approval, it can be considered as debt in the bankruptcy laws, the absence of limits called "proof of debt is simple". Whereas, in the Civil Code Articles 1457 and 1458 at a purchase is deemed to have occurred when the agreement on the goods and the price has been agreed previously, where the fulfillment of balanced rights and obligations.
This study discusses the two purchasing order issued by PT Prima Jaya Informatika, as the distributor of "prima" card products issued by PT Telkomsel, which did not get approval from PT Telkomsel, which ultimately PT Prima Jaya Informatics regarded it as a debt. On the basis of that debt, along with other creditors, PT Prima Jaya Informatika filed a bankruptcy petition to the central Jakarta commercial court, which at this stage PT Telkomsel disconnected bankruptcy, but PT Telkomsel filed an appeal in the Supreme Court, in a decision to revoke the bankrupt state of PT Telkomsel. The purpose of this study was to determine whether the debt as a bankruptcy petition may be filed in accordance with regulatory requirements.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45859
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Azzahra Hanifah
"Penyelesaian sengketa perbankan syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sempat menimbulkan dualisme antara kewenangan Pengadilan Niaga dan Pengadilan Agama, khususnya dalam perkara kepailitan yang melibatkan perbankan syariah. Undang-undang tersebut membolehkan bank syariah untuk memilih Pengadilan Niaga sebagai forum penyelesaian sengketanya. Padahal sengketa perbankan syariah yang timbul berdasarkan suatu akad syariah tentulah harus diselesaikan dengan ketentuan syariah pula demi melindungi tujuan hukum Islam maupun hak-hak umat Islam. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 kemudian menegaskan bahwa kewenangan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama, sekaligus mencabut kewenangan Pengadilan Niaga untuk menangani sengketa perbankan syariah karena mengandung ketidaksesuaian antara perjanjian yang mendasari sengketa dengan mekanisme penyelesaian sengketanya. Penelitian yang dilakukan dengan metode yuridis-normatif ini berfokus untuk menganalisis kesesuaian antara akad dan penyelesaian sengketa dalam Putusan Nomor 10/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. Putusan tersebut menunjukkan bahwa terdapat prinsip dasar hukum Islam dan perbankan syariah yang terpaksa disimpangi karena penggunaan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu hubungan antara bank syariah dan nasabah yang menurut hukum Islam merupakan hubungan kemitraan menjadi hubungan kreditor-debitor. Hal ini berimplikasi pada perubahan kedudukan para pihak dan juga paradigma dalam memandang perikatan berdasarkan akad syariah yang dalam kasus ini merupakan Akad Pembiayaan Murabahah. Oleh karena itu, sengketa pembiayaan syariah haruslah diselesaikan di Pengadilan Agama apabila para pihak memang hendak menempuh jalur litigasi.

Sharia banking dispute resolution stipulated in Law Number 21 of 2008 concerning Sharia Banking has created a dualism between the authority of the Commercial Court and the Religious Court, especially in bankruptcy cases involving Islamic banks. The law allows Islamic banks to choose the Commercial Court as a forum for resolving their disputes. Whereas sharia banking disputes that arise based on a sharia contract must be settled with sharia provisions as well to protect the objectives of Islamic law and the rights of Muslims. The decision of the Constitutional Court Number 93/PUU-X/2012 then confirmed that resolving sharia banking disputes was the authority of the Religious Court. The decision revoked the authority of the Commercial Court to handle sharia banking disputes because it contained a discrepancy between the agreements underlying the dispute and the dispute settlement mechanism. This juridical-normative research focuses on analyzing the suitability between the contract and settlement of disputes in Decision Number 10/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. The verdict shows that there are basic principles of Islamic law and Islamic banking which are forced to be deviated because of the use of Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy, namely the relationship between Islamic banks and customers which according to Islamic law is a partnership relationship into a creditor-debtor relationship. This has implications for changes in the position of the parties and also the paradigm of looking at the engagement based on the sharia contract which in this case is the Murabahah Financing Agreement. Therefore, sharia financing disputes must be resolved in the Religious Courts if the parties really want to take the litigation path."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Gde Notaria Perdana Dewi
"ABSTRAK
Kepailitan suatu perusahaan sudah tentu membawa dampak, baik terhadap perusahaan itu sendiri maupun terhadap para krediturnya. Dengan dipailitkannya suatu perusahaan maka harta perusahaan tersebut akan diurus oleh kurator dan dibagi rata kepada para krediturnya. Tetapi pembayaran kepada kreditur ini didasarkan pada urutan kreditur. Kreditur separatis memegang hak jaminan dari debitur, sehingga kreditur tersebut dapat langsung mengeksekusi jaminan yang ada di tangannya. Kreditur preferren adalah kreditur yang karena undang-undang diberi tingkatan yang lebih tinggi daripada kreditur lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutang, misalnya saja utang pajak. Dan yang terakhir adalah kreditur konkuren yang akan mendapatkan pembagian jika setelah dibagi dengan kreditur separatis dan konkuren harta debitur pailit masih ada. Jika dilihat dalam kasus kepailitan Batavia airlines, konsumen masuk kedalam kreditur konkuren, padahal kebutuhan akan tiket pesawat adalah kebutuhan yang real time. Dengan tidak didahulukannya pembayaran kompensasi tiket kepada konsumen hal ini tentu sangat merugikan konsumen. Konsumen membutuhkan tiket dengan segera, karena mereka pasti telah memiliki kepentingan untuk bepergian pada hari yang telah mereka tentukan tersebut. Undang- undang kepailitan harus disinkronkan dengan undang-undang perlindungan konsumen, sehingga ketentuan perlindungan konsumen dapat diterapkan pada saat terjadi kepailitan.

ABSTRACT
Bankruptcy of a company is certainly an impact to both the company itself and to its creditors. Bankrupted a company with the assets of the company will be taken care of by the curator and equally distributed to its creditors, but the payments to creditors is based on the order of creditors. Secure creditor holds a security interest of the debtor, so that the lender can directly execute the guarantee that is in hand. Creditors Prefferen are creditors that since the law was given a higher level than other creditors solely based on the nature of receivables, such as tax debt. And the last is that unsecured creditors will get a share if after split with separatists and unsecured creditors bankrupt debtors assets are still there. If seen in the case of bankruptcy Batavia airlines, consumers enter the unsecured creditors, but will need is a plane ticket that needs real time.With no ticket in the earlier compensation payments to the consumers it is certainly very detrimental to consumers. Consumers need a ticket immediately, because they certainly have an interest in traveling on the day that they had determined it. Bankruptcy laws must be synchronized with the consumer protection laws, so that the consumer protection provisions could be applied in the event of bankruptcy."
2013
T35400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>