Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75190 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farhan Muhammad Ashardi
"Poli(ε-kaprolakton) (PCL) merupakan biomaterial yang telah umum digunakan aplikasi medis. Akan tetapi aplikasinya sebagai pembalut luka yang dapat terdegradabel masih sangat jarang, karena sifat PCL yang cenderung hidrofobik dibanding dengan polimer biodegradabel lainnya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh plasma terhadap sifat hidrofilisitas film PCL. Film PCL difabrikasi menggunakan metode solvent casting dengan pelarut DCM. Perlakuan plasma dilakukan terhadap PCL film dengan variasi waktu 1, 2, dan 3 detik. Perlakuan tersebut dilakukan untuk memodifikasi gugus fungsi yang ada pada PCL sehingga tercipta gugus polar mengandung oksigen. Selanjutnya, PCL plasma setelah perlakuan dicangkok dengan Gelatin melalui crosslinking dengan Glutaraldehida (GA). Perubahan morfologi permukaan, ikatan kimia, dan hidrofilisitas dikarakterisasi menggunakan SEM, FTIR, dan Uji Sudut kontak, secara berurutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan plasma telah berhasil meningkatkan hidrofilitas permukaan film PCL pada waktu optimal 1 detik dengan nilai sudut kontak terendah yaitu 47,00o. Setelah pencangkokan dengan gelatin, sudut kontak semakin menurun menjadi 42,28 o. Hal ini menunjukkan perlakuan plasma dapat dijadikan sebagai salah satu strategi yang cepat dan murah untuk meningkatkan sifat hidrofilitas PCL sebagai pembalut luka.

Poly(ε-caprolactone) (PCL) is a biomaterial that has been widely used in medical applications. However, its application as a degradable wound dressing is still very rare, due to the hydrophobic nature of PCL compared to other biodegradable polymers. The purpose of this study was to determine the effect of plasma on the hydrophilicity of PCL films. PCL film was fabricated using solvent casting method with DCM solvent. Plasma treatment was carried out on PCL films with time variations of 1, 2, and 3 seconds. The treatment was carried out to modify the functional groups present in PCL so as to create polar groups containing oxygen. Furthermore, the plasma PCL after treatment was grafted with Gelatin through crosslinking with Glutaraldehyde (GA). Changes in surface morphology, chemical bonding, and hydrophilicity were characterized using SEM, FTIR, and Contact Angle Test, respectively. The results of this study indicated that plasma treatment has succeeded in increasing the surface hydrophilicity of the PCL film at an optimal time of 1 second with the lowest contact angle value of 47.00o. After grafting with gelatin, the contact angle decreased further to 42.28o. This results showed that plasma treatment can be used as a quick and inexpensive strategy to increase the hydrophilicity of PCL as a wound dressing"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Rahmawanty
"Daging ikan haruan (Channa striatus) dipercaya dapat digunakan untuk
menyembuhkan luka karena mengandung protein, asam amino esensial, lemak dan
asam lemak yang berperan dalam proses penyembuhan luka. Tujuan dari penelitian
ini ialah membuat gel yang mengandung serbuk daging ikan haruan sebagai
penyembuh luka. Pada penelitian ini digunakan serbuk daging ikan haruan (Channa
striatus) sebagai zat aktif sebanyak 1 gram pada formula 1 dan 2 gram pada formula 2
yang mengandung protein 87,55% dan 15 jenis asam amino esensial serta kandungan
lemak 7,16% dan 29 jenis asam lemak berdasarkan hasil analisis. Serbuk daging ikan
haruan dibuat dengan cara gelasi ionik menggunakan kitosan dan natrium
tripolifosfat. Selanjutnya dibuat menjadi gel menggunakan HPMC sebagai gelling
agent. Sediaan gel yang dihasilkan dikarakterisasi in vitro dan dievaluasi secara in
vivo pada penyembuhan luka. Terhadap suspensi dan gel yang dihasilkan dilakukan
karakterisasi fisik dan kimia. Hasil pengukuran suspensi formula 1 dan formula 2
adalah sebagai berikut : ukuran partikel berturut-turut 491,8 - 665,5 nm, 481,8 –
828,1 nm; indeks polidispersitas 0,512, 0,456; nilai potensial zeta (+)29,15mV,
(+)29,35mV; kedua formula mempunyai partikel berbentuk sferis. Dari hasil uji in
vivo sediaan gel serbuk daging ikan haruan dapat digunakan sebagai penyembuh luka.

Meat of snakehead fish (Channa striatus) has been reported can be used for wound
healing because contains protein, essential amino acids, lipid, and fatty acids that
influenced wound healing process. The present study was performed in order to
formulate gels contain meat powder of snakehead fish for wound healing. The
formulas were used 1 gram (formula 1) and 2 gram (formula 2) meat powder of
snakehead fish as an active ingridient, and contain 87.55 % protein, 15 amino acids,
7.16% lipid, and 29 fatty acids. Meat powder of snakehead fish have been made use
ionic gelation method with chitosan and sodium tripolyphosphate and formulated to
gel form using HPMC as gelling agent. Gels had been formulated, charactherized and
evaluated in vivo for wound healing. Suspenses and also gels have been
physicochemical charactherized. The results showed that suspenses (formula 1 and
formula 2) have particle size in range 491.8-665.5 nm and 481.8-828.1 nm;
polidispersity index 0.512 and 0.456; zeta potential (+)29.15 mV and (+)29.35 mV;
both of formulas have sferichal particles. In vivo study showed that gels from meat
powder of snakehead fish have wound healing effect.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T35983
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Anggraeni
"Telah dibuat film sambung silang kitosan-tripolifosfat yang mengandung asiatikosida sebagai pembalut bioaktif untuk luka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari parameter yang berpengaruh dalam pembuatan film sambung silang kitosan-tripolifosfat, mempelajari karakteristik film yang dihasilkan, mempelajari profil pelepasan asiatikosida dari film, serta mempelajari aktivitas penyembuhan lukanya secara in vivo. Film dibuat dalam empat formula F1, F2, F3, dan F4 dengan memvariasikan konsentrasi tripolifosfat antara lain 0%, 4%, 8%, dan 12% b/b kitosan. Sambung silang kitosan-tripolifosfat dibuat dengan metode gelasi ionik dan film dibuat dengan metode penguapan pelarut. Cairan pembentuk film (CPF) dan film yang dihasilkan dikarakterisasi yang meliputi spektroskopi FTIR, turbidimetri, viskositas, ketebalan, sifat mekanik, daya mengembang, laju transmisi uap air, kekuatan bioadhesif, profil pelepasan asiatikosida dari film, dan aktivitas penyembuhan luka secara in vivo pada luka mekanik terbuka derajat tiga. Hasilnya menunjukkan bahwa film F2, F3, dan F4 memiliki karakteristik yang lebih baik, terutama sifat mekaniknya daripada F1 dengan karakteristik terbaik ditunjukkan oleh F4. Persen kumulatif pelepasan asiatikosida pada jam ke enam dari film F1, F2, F3, dan F4 berturut-turut 84,8%, 72,1%, 73,4%, dan 72,0% dengan kinetika pelepasan dikontrol oleh proses difusi dan erosi. Film sambung silang kitosan-tripolifosfat (F4) belum menunjukkan aktivitas penyembuhan luka yang lebih baik dibandingkan kontrol dan aktivitas yang ditunjukkan tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05) pada jenis luka yang diujikan (luka kering).

Cross-linked chitosan-tripolifosfat films containing asiaticoside have been prepared as bioactive dressing. The objectives of this research were to study the parameters that affect in preparation of cross-linked chitosan-tripolyphosphate films, to study the characteristics of the resulting films, to study the release profile of asiaticoside from the films, and to study in vivo wound healing activity. The Films were formulated in four formulas termed F1, F2, F3, and F4 by varying the concentration of tripolyphosphate including 0%, 4%, 8%, and 12% w/w of chitosan. Cross-linked chitosan-tripolyphosphate was prepared by ionic gelation technique and the films were prepared by casting/ solvent evaporation technique. Film-forming fluids (CPF) and the resulting films were characterized, including spectroscopy FTIR, turbidimetry, viscosity, film thickness, mechanical properties, swelling degree, water vapor transmission rate, bioadhesive property, release profil of asiaticoside from the film, and in vivo wound healing activity on third degree mechanical open wound. The result showed that F2, F3, and F4 films had better characteristics especially in mechanical properties than F1 film and the best characteristics was showed by F4 film. Cumulative release of asiaticoside at sixth hours from F1, F2, F3, and F4 films respectively were 84,8%, 72,1%, 73,4%, and 72,0% with the release kinetics were controlled by diffusion and erosion process. Chross-linked chitosan-tripolyphosphate film (F4) has not showed better wound healing activity than control and the activity wasn't significantly different on the type of wound that was tested (dry wound)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T31069
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Liftyawati
"Pada penelitian ini dikembangkan material unggul berupa hidrogel mikrosfer komposit γ-PGA/Alg/AgNP yang diaplikasikan sebagai pembalut luka sehingga dapat menyeimbangkan kelembaban jaringan luka dan membantu dalam proses hemostasis tubuh karena sifatnya yang hidrofilik dan memiliki struktur berupa jejaring tiga dimensi. Dilakukan pengujian waktu pembekuan darah untuk mengetahui kemampuan hidrogel dalam membantu proses hemostasis tubuh. Dilakukan pengujian aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram positif (Staphylococcus aureus) dan gram negatif (Escherichia coli). Karakterisasi diamati dengan menggunakan instrumentasi spektrofotometer UV-Vis, FT-IR, XRD, SEM-EDS dan TEM. Pengujian kapasitas swelling maksimum untuk hidrogel mikrosfer komposit γ-PGA/Alg terbaik dengan rasio massa (2:8) didapatkan hasil sebesar 261,6 (g/g) dan hidrogel γ-PGA/Alg/AgNP dengan rasio massa (1:4) didapatkan sebesar 80,8 (g/g). Hidrogel γ-PGA/Alg memiliki nilai kapasitas swelling maksimum lebih tinggi dibandingkan dengan hidrogel γ-PGA/Alg/AgNP. Selanjutnya dilakukan variasi medium perendaman, hidrogel γ-PGA/Alg/AgNP dalam media perendaman larutan asam (HCl) memiliki kapasitas swelling maksimum lebih tinggi dibandingkan dalam aquades dan larutan basa (NaOH). Pengujian release ion Ag+ pada hidrogel γ-PGA/Alg/AgNP rasio massa (1:4) menunjukkan kesesuiaian nilai maksimum tertinggi dengan pengujian kapasitas swelling-nya yakni sebesar 5,46 %. dan untuk kapasitas loading sebesar 80,15 (ppm/gr). Kinetika swelling γ-PGA/Alg dan γ-PGA/Alg/AgNP mengikuti orde pseudo pertama dengan parameter lajunya masing-masing sebesar 6,06 menit dan 44,64 menit. Pengujian waktu pembekuan darah atau CBT (clotting blood time) menunjukkan bahwa hidrogel γ-PGA/Alg/AgNP memiliki kemampuan hemostasis atau penggumpalan darah tercepat yakni selama 98,7 sekon. Hasil pengujian aktivitas antibakteri, berdasarkan literatut jurnal diketahui bahwa S.aureus lebih resisten dibandingkan E.coli.

In this research developed material in the form of γ-PGA/Alg/AgNP composite microsphere hydrogel which was applied as a wound dressing so that it can balance the wound tissue moisture because it is hydrophilic and has a three dimensional network structure. Clotting blood time was tasted to determine the ability of hydrogel to assist the body's hemostasis. Antibacterial activity test was done to against gram positive bacteria (Staphylococcus aureus) and gram negative (Escherichia coli). Hydrogel was characterized by spectrophotometer UV-Vis, FT-IR, XRD, SEM-EDS and TEM. Testing the maximum swelling capacity for the γ-PGA/Alg composite microscope hydrogel with the best mass ratio (2:8) results of 261.6 (g/g) and γ-PGA/Alg/AgNP hydrogel with mass ratio (1:4) obtained at 80.8 (g/g). γ-PGA/Alg hydrogels have a higher maximum swelling capacity than dibandingkan γ-PGA/Alg/AgNP hydrogels. Furthermore, the variation of immersion medium, γ-PGA/Alg/AgNP hydrogel in acid solution (HCl) immersion media has a maximum swelling capacity higher than in aquades and base solutions (NaOH). The release of Ag+ ions on the γ-PGA/Alg/AgNP hydrogel mass ratio (1:4) showed the highest maximum value of conformity with the swelling capacity test which was 5.46%. and for loading capacity of 80.15 (ppm/gr). Swelling kinetics of γ-PGA/Alg and γ-PGA/Alg/AgNP follow the first pseudo order with the speed parameters of 6.06 minutes and 44.64 minutes, respectively. Tests of blood clotting time or CBT (clotting blood time) showed that the γ-PGA/Alg/AgNP hydrogel has the ability to hemostasis or the fastest blood clotting during 98.7 seconds. The results of antibacterial activity testing, based on the journal literatut, it is known that S. aureus is more resistant than E.coli."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nissia Ananda
"Latar Belakang: Pembentukan jaringan parut terkait dengan fibroblast yang dihasilkan selama fase proliferasi dan salah satu strategi untuk menekan pembentukannya yang berlebihan adalah dengan menggunakan bahan perawatan luka. Penggunaan obat herbal saat ini diminati karena menghindari efek samping obat sintetik dan Hydnophytum formicarum berpotensi sebagai antioksidan dan anti inflamasi. Tujuan Penelitian: Menganalisis pengaruhekstrak Hydnophytum formicarum terhadap kerapatan kolagen, angiogenesis, panjang luka, dan reepitelisasi penyembuhan luka. Metode Penelitian: 24 ekor tikus Sprague Dawley dibagi dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Luka dibuat menggunakan biopsy punch. Empat ekor tikus dari tiap kelompok di nekropsi pada hari ke 4, 7 dan 14. Analisa kerapatan kolagen, angiogenesis, panjang luka, dan reepitelisasi dilakukan menggunakan pemeriksaan hematoksilin eosin dan masson’s trichrome. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada angiogenesis, panjang luka, reepiteliasasi antar kelompok. Angiogenesis pada kelompok perlakuan memiliki jumlah yang lebih sedikit namun lebih matur. Selain itu terdapat interaksi antara pengaplikasian ekstrak Hydnophytum formicarum dan hari nekropsi terhadap kerapatan kolagen dan tingkat reepitelisasi. Kesimpulan: Penggunaan ekstrak Hydnophytum formicarum mempengaruhi pembentukkan jaringan parut yang ditunjukkan kerapatan kolagen, angiogenesis, reepitelisasi, dan panjang luka pada fase granulasi. Tidak terdapat kelainan spesifik pada luka pada kelompok perlakuan. Inhibisi angiogenesis pada aplikasiHydnophytum formicarum berhubungan dengan pembentukan jaringan parut pada luka.

Background: Formation of scar tissue associated with fibroblast and wound care material is used to suppress the formation of excessive scar tissue. Herbal medicine is currently popular because it avoids the side effects of synthetic drugs and Hydnophytum formicarum has antioxidant and anti-inflammation potential. Purpose: Analyzing the effects of Hydnophytum formicarum extract on collagen density, angiogenesis, wound length, reepithelialization in wound healing. Material and Method: 24 mice are divided in the control and treated group. Wounds were made using biopsy punch. Four rats from each group were necropsed on day 4, 7 and 14. Collagen density, angiogenesis, wound length, reepithelialization were then analyzed using hematoxylin eosin and masson’s trichrome staining. Results: There were significant differences in the results of the angiogenesis analysis, wound length, reepitheliasation between the groups. Angiogenesis in the treatment group had smaller number but more mature. There was interaction between the application of Hydnophytum formicarum extract and necropsy day on collagen density and reepithelialization rate. Conclusion: Hydnophytum formicarum extracts affected the formation of scar tissue as indicated by collagen density, angiogenesis, reepithelialization, wound length in granulation phases. Inhibition of angiogenesis in the application of Hydnophytum formicarum is related to the formation of scar tissue in the wound."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toto Subiakto
"ABSTRAK
Penyakit kusta pada stadium lanjut sering disertai luka kusta yang terjadi akibat kerusakan saraf
perifer sehingga terjadi kehilangan sensitifitas sensorik. Luka kusta yang terjadi pada pasien
penyakit kusta sangat sulit disembuhkan karena pasien datang ke tempat pelayanan kesehatan
telah mengalami kondisi yang berat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan
efektifitas perawatan luka antara menggunakan madu dengan ethacridine 0,1% terhadap
perbaikan luka kusta di Rumah Sakit Kusta Sitanala Tangerang. Penelitian ini mengunakan
equivalent pretest-posttest control group design. Jumlah sampel penelitian 16 responden terdiri
dari 8 responden kelompok madu(intervensi) dan 8 responden kelompok ethacridine 0,1%
(kontrol). Teknik pengambilan sampel yaitu consecutive sampling dan acak sederhana. Analisis
data yang digunakan yaitu uji t independent. Hasil penelitian menunjukan responden perawatan
luka dengan madu maupun ethacridine 0,1% terjadi penurunan skor luka rata-rata pada hari ke-6
dan ke-12. Setelah diuji dengan uji t-independent test diperoleh madu lebih efektif dibandingkan
ethacridine 0,1%. Kesimpulan penelitian ini adalah perawatan luka menggunakan madu lebih
efektif dibandingkan perawatan luka dengan ethacridine 0,1% terhadap perbaikan luka kusta.
Saran penelitian yaitu perlu adanya kebijakan dari institusi pelayanan kesehatan untuk
mengakomodasi penggunaan madu sebagai topikal perawatan luka kusta. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang topikal madu terhadap penyembuhan luka luka kusta.

ABSTRACT
Leprosy wound is one of chronic complication of leprosy disease, as the result of damaged
peripheral nerve toward loss of sensation. The process of leprosy wound healing last longer. The
aim of this study was to evaluate the differences of effectiveness wound care between honey and
ethacridine 0,1% as a topical agent for leprosy wound healing at Sitanala Leprosy Hospital,
Tangerang. Equivalent pretest-posttest control group design was used in this study. The sample
size were 16 patients with chronic wound, consisted 8 patients as intervention group and 8
patiens as control group. Sample were selected by simple random and consecutive sampling
technique. Correlation and t-independent test were used to examine the difference of wound care
effectiveness between honey and ethacridine 0.1% as topical agent. The result showed that The
honey more effective than ethacridine 0.1% as topical agent in wound care of leprosy. There
was decreased PUSH SCORE at 6th and 12th days after wound care to be done.
Recommendations of this research that the health institution should accommodate honey to be
used as topical agent. Further research about honey as topical agent in wound healing to be
conducted.
"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Nur Handayani
"Depresi pasien ulkus diabetikum dapat menurunkan respon imun dan inflamasi yang dibutuhkan pada proses penyembuhan luja. Penelitian kuasi eksperimen ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh pengelolaan depresi dengan pranayama terhadap perkembangan proses penyembuhan ulkus diabetikum di RS pemerintah Aceh. Hasil penelitian menunjukkan latihan pranayama dapat mempengaruhi perkembangan proses penyembuhan ulkus dan penurunan skor depresi, namun tidak ditemukan pengaruh pengelolaan depresi dengan pranayama terhadap perkembangan proses penyembuhan ulkus diabetikum.

Depression on patient with diabetic ulcer impair immune and inflammation response that are needed in wound healing process. The urpose of this quasi experiment research was to identified the effect of pranayama on patient diabetic ulcer in Aceh government hospital. The result showed that pranayama has positive effect to wound healing progress and to decrease the depression score. But there was no effect of controlling depression by pranayama to wound healing progress."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T28391
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Juniarti
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai proses penyembuhan luka dengan menggunakan ekstrak metanol daun Jatropha multifida L. berdasarkan mekanisme penurunan jumlah leukosit PMN dan peningkatan jumlah sel fibroblas.
Metode: bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak metanol dari daun Jatropha multifida Subyek penelitian terdiri dari 36 ekor tikus putih jantan galur Spraque Dawlay umur 2 bulan dengan berat badan sekitar 150-200 g. Hewan coba dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok I (negatif kontrol merupakan kelompok hewan coba yang dilukai tanpa diobati; kelompok II (kontrol positif) merupakan kelompok hewan coba yang diobati dengan Bethasone-N; Kelompok III (kontrol pelarut) merupakan kelompok yang diobati dengan alkohol 70% sedangkan kelompok IV (kelompok perlakuan) merupakan kelompok yang diobati dengan meneteskan 10 mg ekstrak metanol daun Jatropha multifida. Setiap kelompok terdiri dari 3 ekor tikus yang masing-masing dibagi lagi menjadi kelompok waktu dekapitasi pada hari ke 3, 6, dan 13. Pada jaringan luka dibuat sediaan histologi dengan pewarnaan HE dan dilanjutkan dengan menghitung jumlah leukosit PMN dan fibroblas.
Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa penurunan jumlah leukosit PMN pada kelompok perlakuan dengan ekstrak metanol daun Jatropha multifida relatif lebih baik dibandingkan dengan kontrol negatif, kontrol positif dan kontrol pelarut. Peningkatan jumlah fibroblas terjadi pada hari ke 6 dan 13 setelah perlakuan. Simpulan: ekstrak metanol daun Jatropha multifida dapat mengobati luka sayat lebih baik dibandingkan dengan kontrol negatif, kontrol positif dan kontrol pelarut.

Objective: The aim of this study was to evaluate the effects of methanol extract of Jatropha multifida leaves on the wound healing process and to investigate the wound healing activity based on reduced numbers of PMN (polymorpho nuclear) leukocytes and increased numbers of fibroblasts.
Method: methanol extract of dried leaves of Jatropha multifida was used in the wound healing activity studies. The study subjects were 36 white male Sprague Dawlay rats aged 2 months with 150-200 gram body weight. The subjects were divided into 4 groups and experimentally injured: Group I (negative control) underwent injury without subsequent treatment; group II (positive control) received topical treatment with Bethasone-N after injury; group III (solvent control) was treated with 70% methanol; group IV (treatment group) was treated with 10 mg methanol extract of Jatropha multifida Each group consisted of 3 rats, which were decapitated on days 3, 6, and 13 after the start of treatment. Histological preparation was stained with hematoxyline-eosin (HE) and was continuously examined by counting the numbers of PMN leukocytes and fibroblasts as indicators of wound healing on days 3, 6, and 13 of treatment.
The study showed lower numbers of PMN leukocytes in subjects treated with the extract of Jatropha multifidaas compared to the other groups. The numbers of fibroblasts were significantly higher on days 6 and 13 of treatment. In conclusion, the treatment of injuries with methanol extract of leaves from Jatropha multifida provided better results compared to the other groups in our study."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Telah dilakukan uji pemanfaatan getah pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum Lamb) dalam penyembuhan luka bakar pada kulit tikus putih (Rattus novergicus). Penyembuhan luka bakar dievaluasi dengan menghitung jumlah leukosit PMN dan jumlah fibroblas pada hari ke 7, 14, dan 21 setelah perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan jumlah leukosit PMN pada subjek yang diobati dengan getah pisang ambon relatif lebih signifikan dibandingkan dengan kontrol negatif dan positif (Bioplacenton ®). Sebaliknya, peningkatan jumlah fibroblas secara signifikan ditunjukkan pada hari ke-14 dan ke-21 setelah perawatan. Kesimpulannya, pengobatan dengan getah pisang Ambon pada luka bakar memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kedua kontrol positif dan negatif.

A study of ambonese plantain banana (Musa paradisiaca var sapientum Lamb) treatment in burn wound healing on the skin of white rats (Rattus novergicus) has been conducted. The wound healing of burn injuries was evaluated by counting the number of PMN leukocytes and fibroblasts at the 7th, 14th, and 21st days following the treatment. The study showed that the decrease in number of PMN leukocytes of subjects treated with ambonese plantain banana was relatively more significant compared to both negative and positive control (Bioplacenton®). In contrast, an increasing number of fibroblasts was significantly demonstrated at the 14th and 21st days after treatment. In conclusion, ambonese plantain banana treatment in burn injuries will provide bett er results compared to both positive and negative controls."
Depok: Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI, 2012
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Yulian Fitriani
"Pendahuluan: Celah orofasial (COF) memerlukan perawatan palatoplasti untuk menutup fistula yang terdapat di palatum. Akan tetapi, pembentukan jaringan parut di area operasi berkaitan erat dengan gangguan pertumbuhan. Modifikasi teknik bedah dan pendekatan farmakologi telah diteliti untuk mengetahui efeknya terhadap pembentukan jaringan parut dan keberhasilan palatoplasti. Ikan gabus, Channa striata, merupakan salah satu ikan endemik Asia Tenggara yang secara empiris dipercaya dapat membantu penyembuhan, terutama pascamelahirkan. Sejumlah penelitian telah menunjukan efek dari ekstrak Channa striata terhadap penyembuhan luka, namun belum ada penelitian pada penyembuhan luka di palatum tikus. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek ekstrak Channa striata terhadap penyembuhan luka di palatum tikus secara histologis. Metode: Sebanyak 36 tikus Sprague dawley dibuatkan luka pada palatum dengan metode punch biopsy. Dari 36 tikus tersebut, dibagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok perlakuan dengan kombinasi topikal dan peroral ekstrak Channa striata, kelompok kontrol positif diberi gel gengigel dan suplemen vitamin C, dan kelompok kontrol negatif dirawat dengan gel tanpa bahan aktif. Kemudian dilakukan pengamatan pada hari ke-3, -7, dan - 14 setelah perlakuan secara klinis untuk mengamati luas luka mikroskopik. Sebanyak 4 tikus dari masing-masing perlakuan dinekropsi pada setiap hari pengamatan untuk dibuatkan preparat pengamatan histologis. Pewarnaan hematoksilin dan eosin dilakukan untuk mengamati panjang luka mikroskopik, reepitelisasi, dan angiogenesis, sedangkan pewarnaan Masson’s trichrome digunakan untuk mengamati kerapatan kolagen. Hasil dan Pembahasan: Pada hasil pengamatan ukuran luka, didapatkan bahwa terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05) ukuran luka makroskopik pada hari ke-3 dan -14, reepitelisasi pada hari ke -7 dan -14, dan kerapatan kolagen pada hari ke-14. Di sisi lain, tidak terdapat perbedaan bermakna antarperlakuan pada pengamatan panjang luka mikroskopik dan angiogenesis. Ekstrak Channa striata terbukti dapat berdampak pada penyembuhan luka di palatum tikus. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini, terlihat bahwa pemberian ekstrak Channa striata topikal dan peroral dapat mengurangi ukuran luka tikus, meningkatkan tingkat reepitelisasi, meningkatkan kerapatan kolagen, dan meningkatkan angiogenesis secara signifikan pada beberapa titik waktu yang diukur, tetapi efektivitasnya lebih rendah daripada gel gengigel dan vitamin C.

Introduction: Orofacial clefts (OFC) require palatoplasty treatment to close the fistulae present in the palate. However, scar tissue formation at the surgical site is closely associated with growth disturbance. Modification of surgical techniques and pharmacological approaches have been investigated for their effects on scar tissue formation and palatoplasty success. Snakehead fish, Channa striata, is one of the fish endemic to Southeast Asia that is empirically believed to aid healing, especially postpartum. A number of studies have shown the effect of Channa striata extract on wound healing, but there has been no study on wound healing in the palate of rats. This study aims to look at the effect of Channa striata extract on wound healing in the rat palate histologically. Methods: A total of 36 Sprague Dawley rats were wounded on the palate by punch biopsy method. The 36 rats were divided into 3 groups, namely the treatment group with topical and peroral combination of Channa striata extract, the positive control group was given gengigel gel and vitamin C supplement, and the negative control group was treated with gel without active ingredients. Then observations were made on day-3, -7, and -14 after clinical treatment to observe the microscopic wound area. A total of 4 rats from each treatment were necropsied on each observation day to make histological observation preparations. Hematoxylin and eosin staining was performed to observe microscopic wound length, re-epithelialization, and angiogenesis, while Masson's trichrome staining was used to observe collagen density. Results and Discussion: In the observation of wound size, there was a statistically significant difference (p<0.05) in macroscopic wound size on days 3 and 14, re-epithelialization on day 7 and 14, and collagen density on day 14. On the other hand, there was no significant difference between treatments in the observation of microscopic wound length and angiogenesis. Channa striata extract was shown to have an impact on wound healing in the rat palate. Conclusion: Based on this study, it was shown that topical and peroral administration of Channa striata extract can reduce the size of rat wounds, increase the rate of re-epithelialization, increase collagen density, and enhance angiogenesis significantly at several time points measured, but its effectiveness is lower than gengigel gel and vitamin C."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>