Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161067 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadine Nariendra
"Penggunaan cashback sebagai promosi pada Dompet Digital semakin masif. Ditunjukkan melalui pendanaan atas cashback mencapai Rp5,1 Triliun per tahunnya. Perpajakan atas transaksi cashback masih belum mencapai titik kepastian hukum. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menganalisis transaksi cashback pada Dompet Digital dari perspektif Pajak Penghasilan di Indonesia serta menganalisis desain kebijakan yang dapat diimplementasikan. Hasil yang diperoleh bahwa cashback secara substansi dikategorikan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk konsumsi dan menambah kekayaan dari sisi penerima penghasilan. Pengguna Dompet Digital sebagai penerima penghasilan dapat dikategorikan sebagai subjek pajak Orang Pribadi. Peraturan pajak yang berlaku atas transaksi cashback saat ini memberikan kesulitan administrasi. Penelitian ini merekomendasikan desain administrasi pajak penghasilan atas cashback yaitu PPh Final dengan skema withholding tax pada kisaran tarif 0% hingga 5% atas pertimbangan besaran PTKP. Dalam mendesain administrasi pajak atas cashback, perlu legal standing dalam bentuk Undang-Undang dengan mempertimbangkan 3 (tiga) parameter, yaitu besaran dan potensi cashback, biaya efektif dan biaya kepatuhan, serta ketersediaan data yang valid. Pengenaan pajak atas transaksi cashback dapat meningkatkan penerimaan pajak. Oleh karena itu, pertimbangan desain administrasi pajak yang adil serta kesiapan sistem terintegrasi dibutuhkan dalam kesuksesan perlakuan perpajakan pada ekosistem ekonomi digital, khususnya transaksi cashback pada Dompet Digital.

The use of cashback as a promotion on Digital Wallets is increasingly massive. Shown through funding for cashback reaching IDR 5.1 Trillion per year. Taxation on cashback transactions has not yet reached the point of legal certainty. This study uses a qualitative approach that aims to analyze cashback transactions on Digital Wallets from the perspective of Income Tax in Indonesia and analyze the design of policies that can be implemented. The results obtained that cashback is substantially categorized as an additional economic capability that can be used for consumption and increase wealth from the side of the income recipient. Digital Wallet users as income recipients can be categorized as individual tax subjects. The current tax regulations for cashback transactions present administrative difficulties. This study recommends the design of income tax administration for cashback, namely Final Income Tax with a withholding tax scheme at a rate range of 0% to 5% based on the consideration of the amount of non-taxable income. In designing tax administration for cashback, it is necessary to have legal standing in the form of a law by considering 3 (three) parameters, namely the amount and potential of cashback, effective costs and compliance costs, as well as the availability of valid data. The imposition of taxes on cashback transactions can increase tax revenue. Therefore, consideration of a fair tax administration design and the readiness of an integrated system are needed for successful tax treatment in the digital economy ecosystem, especially cashback transactions on Digital Wallets."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranti Aryanid
"Skripsi ini membahas mengenai perubahan tarif Pajak Penghasilan 21 final atas Pegawai Negeri Sipil golongan III yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2011. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan dasar pertimbangan pemerintah dalam menerapkan kebijakan perbedaan tarif Pajak Penghasilan 21 final atas honorarium dan imbalan lain yang diterima Pegawai Negeri Sipil golongan III dan IV, menganalisis bagaimana implementasinya, dan menjelaskan dampak kebijakan perbedaan tarif Pajak Penghasilan final tersebut terhadap take home pay Pegawai Negeri Sipil. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dasar pertimbangan pemerintah dalam menerapkan kebijakan perbedaan tarif Pajak Penghasilan 21 final atas honorarium dan imbalan lain yang diterima Pegawai Negeri Sipil golongan III dan IV adalah untuk menciptakan rasa keadilan bagi masing-masing golongan. Implementasi dari kebijakan perubahan tarif Pajak Penghasilan 21 final atas honorarium dan imbalan lain yang diterima Pegawai Negeri Sipil golongan III dan IV yaitu atas golongan III dikenakan tarif 5% dan golongan IV dikenakan tarif 15%.
Dampak yang ditimbulkan dengan adanya perbedaan tarif tersebut yaitu terjadi ketimpangan take home pay antara Pegawai Negeri Sipil golongan III dan IV karena perbedaan tarif dibedakan berdasarkan golongan, bukan berdasarkan jumlah honorarium dan imbalan lain yang diterima. Hendaknya pemerintah dalam membuat kebijakan diikuti dengan pengetahuan mengenai besaran honorarium dan imbalan yang diterima Pegawai Negeri Sipil sehingga tidak terjadi ketimpangan take home pay.

This paper will discuss withholding tax income art. 21 final of tariff alteration on 3rd rank of Public Servants that had been regulated in a Government Regulation number 80, year of 2010 which has been applied since 1 January 2011. The purpose of this research is to explain a government's base consideration in implementing of withholding tax income art. 21 final of tariff differentiation policy over honorarium and other rewards where the 3rd and 4th rank of Public servants received, and to analyze on how to implement it and elaborates the impact of this withholding tax income final of tariff differentiation against their take home pay. This research is using a qualitative method by descriptive research type.
Research output has concluded that government's basic consideration during implementing withholding tax income art. 21 final of tariff differentiation policy over other rewards and honorarium that shall be received by 3rd and 4th rank public servants were to build an equal justice to the grade respectively. Withholding tax income art. 21 final of tariff alteration policy implementation over other rewards and honorarium which had been received by 3rd and 4th rank of public servants state that 3rd rank will be taxed on 5% rate and 15% for 4th rank.
A consequences had incurred of tariff differentiation shows that there is a take home pay imbalances among 3rd and 4th rank of public servants since tariff differentiation is differed based on grade not by other rewards and honorarium. Supposedly for the government in making of policy shall be followed by knowledge of rewards and honorarium measurement for Public Servants in order to prevent a take home pay imbalances.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ervin Tryaztama Fahlevie
"Skripsi ini menganalisis alternatif kebijakan pajak penghasilan yang paling tepat untuk diterapkan atas penghasilan transaksi mata uang kripto khususnya bitcoin. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif untuk menganalisis faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam desain kebijakan pajak penghasilan atas mata uang kripto khususnya bitcoin dan alternatif kebijakan pajak penghasilan atas transaksi mata uang kripto di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam desain kebijakan pajak penghasilan atas transaksi mata uang kripto khususnya bitcoin terdiri atas faktor-faktor adopsi mata uang kripto dan faktor- faktor desain kebijakan pajak. Faktor-faktor adopsi mata uang kripto terdiri atas faktor technical, economy, social, dan personal. Faktor-faktor desain kebijakan pajak terdiri atas faktor pendapatan, biaya perpajakan, keadilan, dan administratif. Menganalisis kelebihan dan kekurangan alternatif kebijakan pajak penghasilan atas transaksi mata uang kripto di Indonesia yaitu pengenaan pajak penghasilan final dan pajak penghasilan normal atau tidak final. Dalam desain kebijakan pajak penghasilan atas transaksi mata uang kripto di Indonesia harus mementingkan kesejahteraan dan peningkatan kehidupan sosial masyakat Indonesia serta harus mengembangkan industri mata uang kripto di Indonesia.

This thesis analyzes the most appropriate alternative income tax policies to apply to cryptocurrency transaction earnings, especially bitcoin. The approach used in this study is qualitative to analyze the factors considered in the design of income tax policy on cryptocurrencies, especially bitcoin and alternative income tax policy on cryptocurrency transactions in Indonesia. The results of this study show that the factors considered in the design of income tax policy on cryptocurrency transactions especially bitcoin consist of factors of adoption of cryptocurrencies and design factors of tax policy. Cryptocurrency adoption factors consist of technical, economic, social, and personal factors. Tax policy design factors consist of income, taxation costs, fairness, and administrative factors. Analyzing the advantages and disadvantages of alternative income tax policies on cryptocurrency transactions in Indonesia, namely the imposition of final income tax and normal or non-final income tax. In the design of income tax policy on cryptocurrency transactions in Indonesia should attach importance to the welfare and improvement of social life of the Indonesian people and should develop the cryptocurrency industry in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sijabat, Tiopi Roihut Togi Immanuel
"Perdagangan internasional semakin berkembang membuat perjanjian perdagangan bebas antar negara semakin banyak. Perjanjian perdagangan bebas berdampak pada peningkatan nilai impor Indonesia aktivitas impor merupakan salah satu objek pajak di Indonesia Pemerintah melakukan kenaikan tarif Pajak Penghasilan atas aktivitas impor. Penelitian ini mengangkat permasalahan dasar pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor dan proses formulasinya. Konsep-konsep yang digunakan antara lain konsep kebijakan publik formulasi kebijakan publik kebijakan fiskal kebijakan pajak impor perdagangan internasional tarif dan fungsi pajak. Pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi reguleren pajak menjadi dasar pertimbangan utama pemerintah dalam merumuskan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor. Proses formulasi kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor sesuai dan memenuhi tahap tahap kebijakan publik.

Growth of international trade makes free trade treaty is also increasing. The free trade treaty effect the increase of Indonesian import rate, which is one of the object of taxation in Indonesia. Government increased the rate of income tax article 22. This research raised the issue of basic considerations of the government in making policy of increase in income tax rate article 22 imports and the process of the formulation. Concepts used are public policy, formulation of public policy, import international trade rate fiscal policy taxation policy and tax function. Qualitative research approach with the types of descriptive research. Research showed that regulerend function of tax became the major consideration in formulating income tax art 22 rates increase policies. The process of policy formulations fullfill stages of public policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56310
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najla Fauziani Deyanputri
"Penelitian ini membahas mengenai analisis formulasi kebijakan pajak pengecualian pengenaan pajak penghasilan atas dividen luar negeri yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi. Pengecualian pengenaan pajak penghasilan atas dividen luar negeri bagi wajib pajak orang pribadi yang terjadi akibat pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengindikasikan terjadinya pergeseran sistem pajak Indonesia yang semula menganut sistem pajak worldwide menjadi sistem pajak semi teritorial. Pengeleminasian pajak penghasilan atas dividen merupakan salah satu kebijakan yang cukup krusial mengingat proporsi penerimaan pajak Indonesia masih mengandalkan dari sektor pajak penghasilan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Kebijakan ini belum sepenuhnya melalui tahapan proses formulasi kebijakan akibat tidak ditemukannya alternatif kebijakan masalah. Kebijakan pengecualian dividen dari luar negeri yang diterima oleh wajib pajak pribadi dilatarbelakangi oleh kondisi laju pertumbuhan perekonomian Indonesia bergerak lamban yang disebabkan oleh daya saing Indonesia yang dinilai rendah, terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi secara global, kurang meratanya pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia, kurang optimalnya kapasitas produksi nasional yang disebabkan oleh kurang berkembangnya industri manufaktur, permasalahan efektifitas reformasi birokrasi serta tata kelola data yang dinilai masih kurang baik, sehingga menghambat kemudahan dalam berusaha (ease of doing business).

This study discusses to analyze the formulation tax policy of exemption from the imposition of income tax on foreign dividends received by individual taxpayers. The exemption of income tax on foreign dividends for individual taxpayers that occurred as a result of the ratification of Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 indicates a shift in the Indonesian tax system which originally adhered to the worldwide tax system to a semi-territorial tax system. Elimination of income tax on dividends is one of the most crucial policies considering the proportion of Indonesia's tax revenue still relies on the income tax sector. This research is a descriptive qualitative research. This policy has not yet fully gone through the stages of the policy formulation process due to the absence of alternative policy problems. The policy of exemption from foreign dividends received by private taxpayers is motivated by the condition of Indonesia’s slow pace of economic growth due to Indonesia’s low competitiveness, global economic slowdown, uneven economic growth among regions in Indonesia, less than optimal capacity. National production caused by the lack of development of the manufacturing industry, problems in the effectiveness of bureaucratic reform and data management which are considered to be still not good, thus hampering the ease of doing business. However, this policy still needs to be reviewed considering the self-assessment system adopted by the Indonesian tax system and improvements in the administration side in terms of supporting regulations regarding investment provisions made outside of financial institutions to avoid tax evasion loopholes and tax disputes."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arisca Citra
"Produsen emas batangan merupakan salah satu yang ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan emas batangan di dalam negeri sebagaimana diatur dalam PMK 107/PMK.010/2015. Penelitian ini menganalisis permasalahan proses formulasi kebijakan pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan emas batangan oleh produsen emas batangan. Pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Kebijakan pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan emas batangan oleh produsen emas batangan bertujuan untuk mengamankan penerimaan negara. Proses formulasi kebijakan ini tidak sesuai dengan tahap-tahap kebijakan publik berdasarkan teori model rasional kebijakan publik Patton-Saurcki.

Gold bullion producers is one designated as the collector of Article 22 Income Tax on the sale of gold bullion in the country as it is stated in PMK 107 PMK 010 2015. This study analyzed the problem of policy formulation process of Income Tax Article 22 on the sale of gold bullion by gold bullion producers. This study used qualitative approach with descriptive research Article 22 Income Tax Policies on the sale of gold bullion by gold bullion producer aims to secure nation's revenue The policy formulation process does not comply with public policy stage based on Pattton Saurcki theoretical model of rational public policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S61666
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siborutorop, Toga M. P.
"Serelah adanya krisis moneter pada tahun 1991 yang mana salah satu penyebabnya adalah kekurang hati-hatian dari banyak pemaahaan besar dalam mengelola keuangannya pada saat tersebut banyak peruqahaan mengambil pinjaman dalam valuta asing terutama USD, walaupun pendapatan yang diperoleh untuk membayar hutangnya tersebut dalam mata uang rupiah. Hal ini disebabkan oleh karena besarnya selisih tingkat bunga rupiah dengan tingkat bunga pinjaman valuta asing dan dilain pihak kurs rupiah terhadap mata uang asing sangatlah kuat.
Krisis ekonomi mengakibatkan perusahaan- perusahaan mengalami kesulitan dalam membayar hutangnya yang dalam valula asing tersebut, dan pada akhirnya mengakibatkan kebangkitan.
Belajar dari hal tersebut diatas, timbul kebutuhan akan instrument derivatif guna menutup resiko yang diakibatkan oleh perubahan kurs mata uang asing dan juga perubahan tingkat bunga. Pada saal ini banyak jenis-jenis derivatif yang digunakan oleh perbankan dan perusahaan-perusahaan lainnya dalam mengelola resikonya. lnstrument derivatif dirasakan semakin cepat variasi nya demikian juga jumlah transaksinya.
Dilain pihak salah satu tujuan ulama dari pajak adalah untuk meningkatkan penerimaan negara Untuk ini diperlukan peraturan perpajakan yang memberikan kepastian hukum, bersifat adil, tidak menimbulkan distorsi dalam perekonomian atau tidak menggangu arus modal masuk yang dibutuhkan hagi pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya juga haruslah ekonomis dalam hal administrasinya.
Penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan yang diperoleh melalui buku, artikel penelitian. peraturan-peraluran perpajakan yang berlaku , Selain itu juga dilakukan pencarian informasi kepada pejabat dibidang perpajakan, konsulen pajak dan wajib pajak.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan belum adanya peraturan perpajakan yang komprehensif dalam hal derivalif. Hal ini disebabkan karena demikian majunya instrument derivatif, sehingga kebanyakan lebih melihat hakekat ekonominya dan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku saja untuk memperhitungkan pajak atas transaksi derivatif.
Selain itu juga dari uraian dapat dilihat peraturan-peraturan yang dibuat terkadang lebih mementingkan penerimaan pajak dan kurang memperhatikan hakikat ekonomi dari derivatif itu sendiri.
Pada akhirnya disarankan untuk melakukan penelitian yang Iebih mendalam dan komprehensif untuk perpajakan atas transaksi derivalif yang mana melibatkan ahli-ahli dalam instrument derivatif seperti Bank Indonesia. Sehingga dapat diciptakan peraturan perpajakan yang dapat meningkaikan penerimaan negara dan dilain pihak hakekat ekonomi tetap diperhatikan sehingga tidak menggangu penumbuhan perekonomian.

Alier financial crisis in 1997, in which one of the causes is imprudence of big companies in managing their financial matter, many companies have taken loan in foreign currency whereas their income for paying their debt is in rupiah. This happen due to interest rate of rupiah higher than interest rate of foreign currency and also exchange rate of rupiah is relatively strong compare to other currency.
The economic crisis caused many companies face difficulty in paying their debt in foreign currency and finally resulted in bankruptcy.
Learning from this problem, there is a need of derivative instruments to mitigate risk offoreign exchange rate and interest rate. Currently there are many types of derivatives used by banks and other companies for risk management. Derivative instruments growth so fast both in types and amount of transactions.
On the other side, one of the main objectives of tax is increase the government revenue. Due to that, there is a need for tax regulation which give certainty in law, equality, and not distorting economic or incoming fund which is needed for economic growth and linally should be efficient in administrative matter.
This research was done through library study from books, articles and current tax regulations. In addition to that, searching of information was also done by interviewing tax officer, tax consultant and companies.
Result of the research shows that there are no comprehensive tax regulation for derivative. This is due to the advances of derivative instrument therefore mostly look at the economic substance and using accounting principle in calculating tax on derivative.
On the other hand, from the analysis it is found that in some taxes regulation that has been made occasionally put the importance ofgetting the tax revenue and less attention to the economic substance of derivative itsellf.
Finally, it suggests that a comprehensive research should be conducted for taxation on derivatives transaction which shall involve expetts in derivative instruments such the Central Bank. This will result in creating tax regulation that will increase govemment revenue and on the other side will as well put attention to the economic substance, so that will not distort the economic growth."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shifa Taranandita
"Dari berbagai sisi, kaum perempuan dan kelompok rentan di Indonesia masih sering mendapat perlakuan yang tidak adil karena kedudukannya, termasuk dalam hal perlakuan dalam kebijakan pajak penghasilan orang pribadi. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perspektif gender dalam kebijakan tax reliefs pada pajak penghasilan orang pribadi yang pada dasarnya dirancang agar kebutuhan dasar wajib pajak telah terpenuhi sebelum membayar pajak dan untuk menggambarkan ability to pay wajib pajak. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis perbandingan konten kebijakan tax reliefs PPh OP di negara Singapura, Malaysia, dan Thailand. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini dilakukan dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara mendalam. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa kebijakan PTKP yang saat ini berlaku di Indonesia masih berupa general deduction dengan alasan kesederhanaan dan tidak responsif terhadap kondisi kesenjangan gender. Sementara itu, Singapura, Malaysia, dan Thailand, telah menerapkan kebijakan PTKP dengan tidak hanya melihat dari sisi penghasilan, tetapi juga kondisi sebenarnya dari wajib pajak, seperti kaum disabilitas, ibu melahirkan dan menyusui, dan kelompok lansia. Guna mendorong terwujudnya keadilan gender, pemerintah perlu memberikan ruang dan fleksibilitas dalam perencanaan kebijakan pajak yang mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan dari perempuan dan kaum rentan. Selain itu, diperlukan juga penyesuaian terhadap isi kebijakan yang saat ini berlaku dengan mengubah ketentuan yang cenderung hanya memberatkan satu pihak, yaitu perempuan, mengingat perempuan merupakan pihak yang setara dan memiliki kontribusi yang berharga, bukan hanya sebagai kelompok yang rentan dan tidak mampu mendorong perubahan.

From various sides, women and vulnerable groups in Indonesia still often receive unfair treatment because of their position, including in terms of treatment in personal income tax policy. Therefore, the purpose of this study is to find out how the gender perspective in the tax reliefs policy on personal income tax is basically designed so that the basic needs of taxpayers have been met before paying taxes and to illustrate the ability to pay taxpayers. In addition, this research also analyzes the comparison of the content of the tax reliefs policy on personal income tax in Singapore, Malaysia, and Thailand. Through a qualitative approach, this research was conducted with literature study data collection techniques and field studies through in-depth interviews. Based on the results of the research, it is known that the PTKP (personal exemption) policy which currently applicable in Indonesia is still in the form of a general deduction for reasons of simplicity and is not responsive to the conditions of the gender gap. To date, Singapore, Malaysia, and Thailand, have implemented PTKP policies by not only looking at the income side, but also the actual conditions of taxpayers, such as people with disabilities, birth and nursing mothers, and the elderly. To encourage the realization of gender-neutral policy, the government needs to provide space and flexibility in tax policy planning that considers the conditions and needs of women and vulnerable people. In addition, it is also necessary to adjust the content of the current policy by changing provisions that tend to only burden one party, namely women, considering that women are equal parties and have valuable contributions, not just as a group that is vulnerable and unable to drive change."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novelia Irva Nelga
"Pada tahun 2016 pemerintah mengeluarkan kebijakan penurunan tarif pajak penghasilan atas pengalihan tanah dan bangunan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016. Peraturan ini dikeluarkan dalam rangka mendukung industri properti yang melemah beberapa tahun terakhir, sehingga menyebabkan harga ndash; harga properti melambung tinggi yang salah satu penyebabnya adalah tingginya pajak penghasilan yang harus ditanggung perusahaan dan menyebabkan investor enggan berinvestasi di Indonesia serta masyarakat berpenghasilan rendah semakin tidak mampu membeli properti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui justifikasi dan implikasi kebijakan penurunan tarif pajak penghasilan atas pengalihan tanah dan bangunan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa justifikasi penurunan tarif pajak penghasilan ini adalah untuk kemudahan berusaha, meningkatkan investasi, dan melindungi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, implikasi penurunan tarif pajak penghasilan ini bagi penerimaan pajak adalah menurunnya penerimaan pajak dan implikasi bagi perusahaan real estate adalah tidak adanya penurunan harga properti setelah penurunan tarif pajak penghasilan dan penjualan properti juga sampai saat ini juga belum menunjukkan peningkatan.

In 2016 the government issued a policy to reduce the income tax rate on the transfer of land and buildings through Government Regulation No. 34 of 2016. This regulation was issued in order to support the property industry that weakened in recent years, causing property prices to soar which one of the causes is the high income tax to be borne by companies and causing investors reluctant to invest in Indonesia as well as low income people are increasingly unable to buy property. The purpose of this study is to find out the justification and implication of the policy of decreasing income tax rate on the transfer of land and buildings. This research is a qualitative research with descriptive design.
The results show that the justification of the reduction of income tax rates is for ease of business, increase investment, and protect low income communities. In addition, the implication of this reduction in income tax rates for tax revenues is the decline in tax revenues and the implications for real estate firms is the absence of declining property prices after the decline in income tax rates and property sales has also not shown an increase.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herawati
"Biaya jabatan adalah biaya untuk mendapat, menagih, dan memelihara penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, namun, dalam konsep yang lebih sederhana dan terstandarisasi. Kebijakan biaya jabatan mengalami perubahan terakhir di tahun 2008 dan belum dilakukan penyesuaian kembali hingga saat ini. Kondisi perekonomian Indonesia mengalami kedinamisan sehingga jika dilihat secara garis besar, besaran kebijakan biaya jabatan tidak merepresentasikan kondisi terkini. Selain itu, terdapat perbedaan perlakuan biaya antara business income dan employment income melatar belakangi kajian terhadap penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penentuan besaran maksimal biaya jabatan dan memperoleh gambaran tentang kesesuaian besaran batas maksimal biaya jabatan berdasarkan tinjauan perkembangan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Selain itu, penelitian ini turut meninjau kesesuaian biaya jabatan berdasarkan prinsip tax fairness sebagai prinsip utama dalam menetapkan kebijakan pajak penghasilan dan kerap kali digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi model, konsep, dan pengukuran keadilan pajak. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan post-positivisme dengan metode penelitian convergent mixed method. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan survei kepada Pegawai Tetap di DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor penentu biaya jabatan ditentukan oleh inflasi, biaya transportasi, dan biaya yang tidak ditunjang oleh perusahaan. Kebijakan biaya jabatan perlu disesuaikan secara berkala dengan memperhatikan tingkat inflasi dan dinamika biaya yang tidak ditunjang oleh perusahaan. Kemudian, jika ditinjau berdasarkan prinsip tax fairness menunjukkan bahwa kebijakan biaya jabatan belum sepenuhnya memenuhi prinsip tax fairness. Rekomendasi yang diajukan dari penelitian ini adalah perlu dilakukannya evaluasi biaya jabatan secara berkala dan mempertimbangkan faktor determinan lain selain dengan biaya transportasi.

Occupational expenses are the costs of obtaining, collecting and maintaining income related to employment, but in a simplified and standardized concept. The occupational expenses policy was updated in 2008 and the policy has not been readjusted to the present. Indonesia's economic conditions are dynamic, therefore, if examined in general, the amount of the occupational expenses policy does not represent the current conditions. In addition, there are differences in expense treatment between business income and employment income that are the background for the analysis of this research. This research aims to identify the determination of the maximum amount of the occupational expenses and obtain an overview of the appropriateness of the maximum amount based on a review of the current of Indonesia's economic conditions. In addition, this research also examines the appropriateness of occupational expenses based on the tax fairness principle as the main principle in determining income tax policy and frequently used as a method to evaluate tax fairness models, concepts, and measurements. This research was conducted using a post-positivism approach with a convergent mixed method. Data collection was conducted through in-depth interviews and surveys to permanent employees in DKI Jakarta. The results of the research show that the determinants of occupational expenses are determined by inflation, transportation costs, and costs that are not provided by the company. The occupational expense should be adjusted periodically in consideration of the inflation and the dynamics of cost that are not covered by the company. In other cases, if examined in accordance to the tax fairness principles, the occupational expenses policy is not entirely fulfilling the tax fairness principles. The recommendation proposed from this research is that occupational expenses policy need to be evaluated periodically and should be considered determinants of occupational expenses other than transportation cost."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>