Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119344 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fajar Sesario
"Latar Belakang: Manajemen jalan napas pada bayi dan anak memiliki kesulitan tersendiri karena ukurannya yang lebih kecil, proporsi struktur anatomi yang berbeda dari orang dewasa, dan risiko hipoksemia yang lebih tinggi daripada orang dewasa. Berbagai intervensi telah dilakukan untuk meningkatkan efisiensi intubasi endotrakea pada bayi dan anaknya, salah satunya adalah dengan memanipulasi bentuk dan sudut ETT. ETT spiral merupakan salah satu hasil manipulasi bentuk dan sudut ETT di mana ETT dengan stylet fleksibel dipuntir secara manual. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji klinis efektivitas penggunaan ETT spiral dibandingkan dengan ETT tanpa stylet pada intubasi pasien anak usia 1 bulan sampai 6 tahun dengan menggunakan videolaringoskop.
Tujuan: Membandingkan angka keberhasilan first attempt, akurasi penempatan, waktu penempatan, dan efek samping penggunaan ETT spiral dibandingkan dengan ETT tanpa stylet pada intubasi pasien anak usia 1 bulan-6 tahun dengan menggunakan videolaringoskop.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis terandomisasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama September sampai dengan November 2021. Sebanyak 50 subjek yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi dirandomisasi dan dikelompokkan ke dalam kelompok ETT spiral dan ETT tanpa stylet. ETT spiral dibentuk dengan cara memuntir ETT dengan bantuan alat yang dibuat oleh peneliti. Keberhasilan first attempt, akurasi penempatan, waktu penempatan dan efek samping dari kedua jenis ETT dicatat dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis komparasi kategorik/numerik tidak berpasangan.
Hasil: Hubungan antara keberhasilan intubasi first attempt pada ETT spiral dan ETT tanpa stylet adalah 80 % vs 64% dan  dengan nilai  p = 0.208 tidak bermakna. Perbandingan total intubation time pada kedua jenis ETT didapatkan tidak signifikan (46.532±5.195 detik ETT spiral vs 48.376±4.952 detik ETT tanpa stylet; nilai p = 0.205). Perbandingan total tube handling time pada kedua jenis ETT didapatkan bermakna, di mana ETT spiral menunjukkan perbedaan rata-rata waktu yang lebih singkat dibandingkan ETT tanpa stylet (16.764±3.572 detik vs 18.828±3.654 detik; p = 0.049). Penempatan ETT berhubungan signifikan dengan jenis ETT, di mana ETT spiral memiliki kemungkinan penempatan ETT di sentral yang lebih besar dibandingkan dengan ETT tanpa stylet dengan nilai p = 0.015. Tidak ada satupun subjek yang mengalami efek samping pada kedua jenis ETT.
Kesimpulan: Angka keberhasilan intubasi first attempt, didapatkan data yang tidak bermakna, namun dilihat dari nilai total tube handling time dan akurasi penempatan ETT di sentral, terdapat perbedaan yang bermakna.

Background: Airway management in infants and children has its own difficulties due to its smaller size, different proportions of anatomical structures than adults, and a higher risk of hypoxaemia than adults.  Various interventions have been carried out to increase the efficiency of endotracheal intubation in infants and their children, one of which is by manipulating the shape and angle of the ETT.  Spiral ETT is one of the results of manipulation of the shape and angle of the ETT where the ETT with flexible stylets is twisted manually.  This study aims to conduct a clinical trial of the effectiveness of the use of a spiral ETT compared to an ETT without a stylet in intubating pediatric patients aged 1 month to 6 years using a videolaryngoscope.
Objective: To compare the successful first attempt intubation, placement accuracy, placement time, and side effects using a spiral ETT compared to an ETT without a stylet in intubating pediatric patients aged 1 month-6 years using a videolaryngoscope.
Methods: This study was a randomized clinical trial at Cipto Mangunkusumo General Hospital during September to November 2021. A total of 50 subjects who met the inclusion and exclusion criteria were randomized and grouped into spiral ETT and styletless ETT groups.  The spiral ETT was formed by twisting the ETT with the help of a tool made by the researcher.  Placement accuracy, placement time and side effects of both types of ETT were recorded and analyzed using the unpaired categorical/numeric comparative analysis method.
Results: The relationship between successful first attempt intubation in spiral ETT and ETT without stylet was 80% vs 64% and with p value = 0.208 was not significant. The comparison of total intubation time for both types of ETT was not significant (46.532±5.195 seconds spiral ETT vs 48.376±4.952 seconds ETT without stylet; p value = 0.205). The comparison of the total tube handling time for the two types of ETT was significant, where the spiral ETT showed a shorter average difference than the standard ETT (16,764±3.572 seconds vs 18,828±3.654 seconds; p = 0.049). ETT placement was significantly related to the type of ETT, where spiral ETT had a greater likelihood of central ETT placement compared to styletless ETT with p value = 0.015. None of the subjects experienced side effects on both types of ETT.
Conclusion: The success rate of first attempt intubation, obtained data that is not significant, but seen from the total tube handling time and the accuracy of the placement of the ETT in the center, there is a significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfikar
"Latar belakang: Intubasi merupakan standar emas untuk menjaga patensi jalan nafas. Rapid Sequence Induction (RSI) adalah metode induksi anestesia yang cepat untuk mencapai kontrol jalan nafas dengan meminimalkan risiko regurgitasi dan aspirasi lambung. Video laringoskop CMAC® mempermudah tampilan visualisasi laring sehingga diharapkan mempermudah angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya.
Tujuan: Membandingkan angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya dengan teknik RSI antara video laringoskop CMAC® dan laringoskop konvensional Macintosh.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal. Total 120 pasien Ras Melayu yang memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenuhi kriteria penolakan dan menandatangani informed consent, menjalani operasi elektif dengan anestesia umum fasilitasi intubasi dengan induksi teknik RSI dibagi dalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok dengan menggunakan video laringoskop CMAC® dan laringoskop konvensional Macintosh. Penilaian yang diambil adalah angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya antara dua kelompok. Data yang terkumpul di olah dengan SPSS dan di uji statisik.
Hasil: Angka keberhasilan intubasi pertama kali upaya dengan video laringoskop CMAC adalah 81,7% dan pada laringoskop konvensional adalah 76,3%. Uji statistik chi-square didapatkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05)
Simpulan: Angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya menggunakan video laringoskop CMAC® dibandingkan laringoskop konvensional dengan teknik RSI pada ras Melayu tidak lebih tinggi.

Background: Intubation is the gold standard for maintaining airway patency. Rapid Sequence Induction (RSI) is a rapid method of induction of anesthesia to achieve airway control by minimizing the risk of gastric regurgitation and aspiration. The CMAC® laryngoscope video facilitates laryngeal visualization so that it is expected to facilitate the success rate of intubation at the first attempt.
Objective: To compare the first attempt success rate of intubation with the RSI technique between CMAC® video laryngoscope and conventional Macintosh laryngoscope Method: This study was a single blind randomized clinical trial. Total 120 patients Malay Race who met the inclusion criteria, did not meet the exclusion criteria and signed the consent, undergoing elective surgery with general anesthesia and intubation with RSI induction techniques then divide into two treatment groups, namely the group using CMAC® video laryngoscope and conventional Macintosh laryngoscope. The assessment taken was the first attempt success rate of intubation between the two groups. The collected data is analyze and statistically tested with SPSS.
Results: The first attempt success rate of intubation with CMAC® laryngoscope video was 81.7% and the conventional laryngoscope was 76.3%. Chi-square test found no significant difference between two group (p> 0.05).
Conclusion: The first attempt success rate of intubation using CMAC® video laryngoscope compared conventional laryngoscopy with RSI technique in the Malay race is statistically not significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ananto Wiji Wicaksono
"Latar Belakang: Intubasi nasotrakeal adalah manajemen jalan napas yang banyak digunakan, terutama pada operasi di daerah oral. Beragam perangkat ditemukan untuk melakukan teknik intubasi, seperti video laringoskop. Penggunaan Video Laringoskop C-MAC® (CMAC) memungkinkan visualisasi glottis yang lebih baik bila dibandingkan dengan laringoskop Machintosh. Pada kasus jalan napas sulit, CMAC meningkatkan angka kesuksesan intubasi orotrakeal. Namun perangkat ini
tidak umum digunakan pada intubasi nasotrakeal. Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 86 subjek penelitian untuk membandingkan keberhasilan intubasi dan durasi waktu intubasi nasotrakeal pada pasien dewasa ras Melayu antara penggunaan laringoskop video C-MAC® dengan penggunaan laringoskop konvensional Macintosh. Kriteria penolakan adalah sulit jalan napas, kehamilan, penyakit jantung iskemik akut, gagal jantung, blok derajat 2 atau 3, hipertensi tak terkontrol, Sindrom Guillen Barre, Myasthenia Gravis, dan
kontraindikasi intubasi nasotrakeal. Hasil: Penggunaan CMAC meningkatkan angka keberhasilan upaya pertama kali intubasi (RR 1,265, CI 95% (1.084-1.475)) dan membutuhkan durasi waktu
intubasi yang lebih singkat (nilai p<0,001) dibandingkan penggunaan laringoskop konvensional Macintosh pada populasi dewasa ras Melayu. Simpulan: Pada pasien dewasa ras Melayu, intubasi nasotrakeal lebih mudah dengan menggunakan video laringoskop CMAC dibandingkan dengan menggunakan laringoskop konvensional Macintosh. Kemudahan intubasi didefiniskan sebagai keberhasilan upaya pertama kali yang lebih sering dan waktu prosedur intubasi yang lebih singkat.

Background: Nasotracheal intubation is a widely used airway management, especially in oral surgery. Various devices were found to perform intubation techniques, such as video laryngoscopes. The use of the C-MAC® Video Laryngoscope (CMAC) enables better glottis visualization compared to the
Machintosh laryngoscope. In the case of a difficult airway, CMAC increases the success rate of orotracheal intubation. However, this device is not commonly used in nasotracheal intubation. Methods: A single blinded randomized clinical trial study of 86 subjects has been done to compare the success of intubation and duration of nasotracheal intubation
in adult Malay patients between the use of C-MAC® video laryngoscopes and the use of a conventional Macintosh laryngoscope. Exclution criteria are difficult airway, pregnancy, acute ischemic heart disease, heart failure, second or third degree block, uncontrolled hypertension, Guillen Barre syndrome, Myasthenia Gravis, and contraindications to nasotracheal intubation. Results: The use of CMAC increased the success rate of the first attempt at intubation (RR 1,265, 95% CI (1,084-1,475)) and required a shorter duration of intubation (p value <0.001) than the use of conventional Macintosh laryngoscopes in the adult Malay race population. Conclusion: In adult Malay patients, nasotracheal intubation is easier using the CMAC video laryngoscope compared to using a conventional Macintosh
laryngoscope. The ease of intubation is defined as the high rate of successful first attempt and the shorter time of the intubation procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Antonius W.
"Latar belakang: World Health Organization (WHO) telah menyatakan COVID-19 menjadi pandemi pada April 2020. Komplikasi yang berpotensi dan terus mengancam adalah gagal napas akut yang membutuhkan intubasi. Intubasi dikatakan memiliki risiko penyebaran viral load yang tinggi. Perlindungan terhadap tenaga kesehatan menjadi hal yang harus dilakukan secara konsisten tanpa melupakan keselamatan pasien yang menjalani prosedur intubasi pipa endotrakeal. Penelitian ini ditujukan sebagai studi pendahuluan untuk melihat pengaruh dari penggunaan APD dan jenis laringoskop terhadap proses intubasi yang dilakukan pada pandemi COVID-19.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan (preliminary study) dengan uji klinis acak terbuka (open randomized clinical trial). Pengambilan data penelitian dilakukan di kamar operasi IGD, Unit Pelayanan Bedah Pusat (UPBT), UPK Mata Kirana, dan kamar operasi Cleft and Craniofacial Center (CCC) RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada bulan Agustus hingga September 2020. Intubasi dilakukan oleh residen Anestesiologi dan Terapi Intensif tahap II atau magang. Populasi subjek adalah pasien yang bukan tersangka dan bukan terkonfirmasi COVID-19 sesuai dengan penapisan oleh tim Pinere RSCM.
Hasil: Durasi total proses intubasi cenderung lebih panjang pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskopi video dibandingkan kelompok lainnya. Keberhasilan percobaan pertama tindakan intubasi lebih banyak pada kelompok yang menggunakan laringoskop direk. Kejadian desaturasi paling banyak terjadi pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskop direk. Komplikasi cedera jalan napas selama proses intubasi paling banyak ditemukan pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskop direk
Kesimpulan: Terdapat perbedaan antara ketiga kelompok penelitian yang menggunakan tingkat APD dan jenis laringoskopi yang berbeda pada studi pendahuluan ini.

Introduction: World Health Organization (WHO) declare COVID-19 pandemi on April 2020. One of the fatal complications of COVID-19 are respiratory failure with the need of an intubation. However, intubation has been reported as high-risk viral load spread. Protection for healthcare workers should be done consistently without jeopridizing patient’s safety, especially in intubation process. This pilot study is aimed to describe the effect of level 3 PPE usage and types of laryngoscope to intubation process in COVID-19 pandemic.
Method: This study is a preliminary study with open randomized clinical trial. Data collection was conducted in operating room, central operating room, Kirana opthalmology centre, and Cleft and Craniofacial Center (CCC) of Cipto Mangunkusumo National hospital on August to December 2020. The intubation process was done by anesthesiology and intensive care residents at the second phase (second until third year) of recidency. Subjects are non COVID-19 suspect which has been examined by Pinere RSCM team.
Results: Total duration of intubation was tend to longer in level 3 PPE with video guided laryngoscopy. First time success was higher in the group with direct laryngoscopy. Complicaton such as desaturation and airway injury was higher in level 3 PPE with direct laryngoscope.
Conclusion: There is a difference of intubation process between the PPE groups and the use of laryngoscopy in this pilot study. Therefore, further study can be conducted.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zeta Auriga
"Pendahuluan: Pemasangan pipa nasogastrik (NGT) pada pasien terintubasi memiliki beberapa kesulitan. Beberapa metode pemasangan NGT telah diteliti dengan tujuan untuk mencari cara yang lebih mudah, cepat dan kurang traumatik bagi pasien. Metode chin lift merupakan cara baru yang digunakan untuk memasang NGT pada pasien terintubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan, lamanya waktu pemasangan dan kejadian komplikasi bercak darah saat pemasangan NGT pada pasien terintubasi antara metode chin lift dan reverse Sellick.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis, acak dan tersamar tunggal yang dilakukan pada 210 pasien yang menjalani anestesia umum terintubasi lalu dilakukan randomisasi untuk dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok A menggunakan metode chin lift dan kelompok B menggunakan metode reverse Sellick untuk pemasangan NGT. Angka keberhasilan, lamanya waktu pemasangan dan kejadian komplikasi bercak darah dicatat pada penelitian ini.
Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna (p=0,786) antara angka keberhasilan pemasangan NGT pada kelompok chin lift (79,2%) dengan reverse Sellick (81,7%). Lamanya waktu pemasangan dan kejadian komplikasi bercak darah saat pemasangan NGT juga tidak berbeda bermakna.
Simpulan: chin lift tidak meningkatkan keberhasilan pemasangan pipa nasogastrik (NGT) pada pasien terintubasi dibandingkan dengan metode reverse sellick.

Introduction: Nasogastric tube (NGT) insertion in intubated patients has several difficulties. Several researches of NGT insertion have been conducted aiming to find the fastest, easiest, and less traumatic method to the patients. Chin lift is the new method to insert the NGT in intubated patients. The aim of this study is to compare the success rate, duration of insertion, and the incidence of blood spot complications of NGT insertion in intubated patients between chin lift and reverse Sellick's methods.
Methods: This study is a single blinded randomized controlled trial. 210 patients who underwent general anesthesia and intubated were randomly allocated into two groups. Group A is the chin lift method and group B is the reverse Sellick's method. The success rate, duration of insertion, and the incidence of blood spot complications were noted in this study.
Results: There were no significant differences (p = 0.786) between the success rate of NGT insertion in the chin lift group (79.2%) and the reverse Sellick's group (81.7%). The duration of insertion, and the incidence of blood spot complications during NGT insertion were also not significantly different.
Conclusion: The chin lift method did not increase the success rate of NGT insertion in intubated patients compared to the reverse sellick method.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jacky
"Latar Belakang : Tatalaksana jalan napas dan intubasi merupakan salah satu kompetensi utama dalam pendidikan anestesiologi. Kegagalan intubasi dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas bagi pasien. Idealnya intubasi dilakukan dalam satu kali percobaan. Salah satu faktor yang meningkatkan kegagalan intubasi adalah jalan napas sulit. Video laringoskop dapat meningkatkan keberhasilan intubasi namun belum ada penelitian yang membandingkan dua video laringoskop dengan bilah khusus jalan napas sulit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan intubasi residen anestesi FKUI menggunakan video laringoskop CMAC D-Blade dengan McGrath X-Blade pada manekin jalan napas sulit.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian eksperimental analitik dengan desain cross over randomized controlled trial. Penelitian ini dilakukan bulan Juni 2022. Subjek penelitian sebanyak 81 orang yang diambil dengan metode randomisasi residen anestesiologi FKUI, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri atas 41 orang yang melakukan intubasi dengan CMAC D-Blade terlebih dahulu kemudian menggunakan McGrath X-Blade dan kelompok 2 sebanyak 40 orang yang melakukan sebaliknya. Uji stastistik data kategorik berpasangan menggunakan uji McNemar dan data numerik berpasangan dengan uji Wilcoxon Signed Rank Test.
Hasil : Keberhasilan CMAC D-Blade lebih tinggi pada manekin jalan napas sulit (ekstensi leher terbatas, buka mulut terbatas dan edema lidah) dengan nilai p<0.001 namun risk ratio masing-masing sebesar 1.284, 1.245 dan 1.003 sehingga secara statistik tidak signifikan. Keberhasilan intubasi dengan CMAC D-Blade pada ke tiga model manekin adalah sebesar 70.4%, 75.3% dan 74.1% dibandingkan McGrath X-Blade sebesar 39.5%, 24.7% dan 38.3%. Keberhasilan intubasi dalam satu kali percobaan menggunakan D-Blade adalah sebesar 64.9%,59% dan 63.3% dibandingkan X-Blade sebesar 40.6%, 37.9% dan 45.2%
Kesimpulan : Video laringoskop CMAC D-Blade memiliki keberhasilan intubasi yang lebih baik dibandingkan McGrath X-Blade. Penggunaan CMAC D-Blade memiliki jumlah upaya percobaan intubasi lebih sedikit dibandingkan McGrath X-Blade

Background : Airway management and intubation is one of the main competency in anesthesiology study program. Failure of intubation can lead to morbidity and mortality. Ideally intubation has to be done in one attempt. One of the factor that can cause failure of intubation is difficult airway. Video laryngoscope can increase success rate of intubation but there is no any research of comparison two difficult airway video laryngoscope blade. This study aims to compare succesfull intubation by resident of anesthesiology faculty of medicine Universitas Indonesia using CMAC D-Blade and McGrath X-Blade in difficult airway mannequine.
Methods : This is an experimental analitic study, we did the cross over randomized controlled trial in which the participants are assigned randomly to a sequence using CMAC D-Blade and McGrath X-Blade on June 2022. Total 81 participants were collected by random sampling and divided into two groups. Group 1 (n=41) did the intubation with CMAC D-Blade first and then using McGrath X-Blade. Group 2 (n=40) did the intubation with McGrath X-Blade first and then using CMAC D-Blade. Researher obtained the data and analyzed using McNemar test for categoric data and Wilcoxon Signed Rank Test for numeric data.
Result : Success rate using CMAC D-Blade is higher in the difficult airway mannequin (limited neck extention, limited mouth opening and tongue edema) compare to McGrath X-Blade with p value p<0.001, although the p value is lower that 0.05 but the risk ratio consecutively are 1.284, 1.245 and 1.003 so the result was not significant by the statistic. Success rate of intubation with CMAC D-Blade consecutively are 70.4%, 75.3% and 74.1% compare with McGrath X-Blade 39.5%, 24.7% and 38.3%. First attempt success rate with D-Blade consecutively are 64.9%,59% and 63.3% compare with X-Blade 40.6%, 37.9% and 45.2%
Conclusion : Video laryngoscope CMAC D-Blade has higher intubation success rate compare with McGrath X-Blade. CMAC D-Blade has less intubation attempt compare with McGrath X-Blade
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur’aini Alamanda
"Latar Belakang : Intubasi endotrakeal dan laringoskopi direk merupakan standar baku mas dalam tatalaksana jalan nafas baik pada keadaan emergency ataupun tidak. Peningkatan tanggapan kardiovaskular karena rangsangan simpatis merupakan komplikasi tersering saat intubasi. Tanggapan kardiovaskular ini dapat berbahaya bagi pasien-pasien yang berisiko, terutama yang memiliki masalah gangguan jantung dan serebrovaskular. Metode pemilihan bilah merupakan salah satu teknik non farmakologi yang digunakan untuk mengurangi tanggapan kardiovaskular yang timbul akibat intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tanggapan kardiovaskular dan kemudahan intubasi antara laringoskop McCoy dan Macintosh.
Metode : Uji klinis acak tersamar tunggal, dengan 78 pasien yang akan menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu McCoy dan Macintosh. Kriteria inklusi adalah 18-65 tahun dengan status fisik ASA 1 dan ASA 2 tanpa penyulit jalan nafas. Midazolam 0,05mg/kgBB dan fentanyl 2mcg/kgBB diberikan 2 sebagai agen koinduksi. Induksi anestesia menggunakan propofol 2mg/kgBB, dilanjutkan dengan pemberian rocuronium 0,6mg/kgBB setelah dipastikan hilangnya refleks bulu mata. Tanggapan kardiovaskular yang diukur (tekanan sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, dan laju denyut nadi). Intubasi dikatakan mudah bila dilakukan dalam waktu kuang dari 10 menit dan tidak lebih dari 3 kali percobaan.
Hasil : Pada menit pertama pasca intubasi, tekanan darah sistolik, diastolik, dan lau denyut nadi kelompok McCoy lebih tinggi dibandingkan Macintosh, dengan perbedaan tekanan sistolik -2,38 (-9,93-5,16), tekanan diastolik -1,07(-7,313-5,15 95%IK), laju denyut nadi 2,79(-2,69 – 8,28). Pada menit ke-3 pasca intubasi, tekanan sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, dan laju denyut nadi kelompok McCoy tetap lebih tinggi dibandingkan dengan Macintosh, dengan perbedaan tekanan sistolik -1,23 (-8,51-6,05), tekanan diastolik -0,97(-6,69-4,75), tekanan arteri rerata -0,65(-6,27-4,97), dan laju denyut nadi 0,89(-3,99-5,78).
Kesimpulan : Intubasi dengan laringoskop McCoy tidak mampu menekan tanggapan kardiovaskular yang timbul akibat rangsang nyeri dan stimulasi simpatis.

Background : Endotracheal intubation with direct laryngoscopy is the gold standard of airway management. Increasing cardiovascular response due to sympathetic stimulation is the most common complication during intubation. This cardiovascular response can be dangerous for patients at risk, especially those who have cardiac and cerebrovascular disorders. The blade selection method is a non pharmacological technique that can be employed to reduce cardiovascular response of intubation. This study aims to compare the cardiovascular response and intubation ease between McCoy and Macintosh laryngoscopy.
Method : This is a single blind randomized clinical study on 78 adult patients undergoing endotracheal intubation for elective general anesthesia. Subjects are divided into 2 groups: McCoy and Macintosh. The inclusion criteria were age 18-65 years old with physical status ASA 1 and ASA 2 without airway difficulty. All patients received the same anesthesia regiment of midazolam 0,05mg/kg, fentanyl 2mcg/kg, propofol 2mg/kg, and rocuronium 0,6mg/kg. After loss of eyelash reflex, laryngoscopy was performed Cardiovascular response measured includes systolic pressure, diastolic pressure, mean arterial pressure, and heart rate. Intubation is considered to be easy if it is done in less than 10 minutes and not more than 3 trials.
Results: In the first minute after intubation, systolic, diastolic blood pressure, and heart rate in McCoy group were higher than Macintosh group, with a difference in systolic pressure of -2.38 (-9.93-5.16) mmHg, diastolic pressure -1.07 (-7.313-5.15 95% CI) mmHg, pulse rate 2.79 (-2.69-8.28) beats per minute. In the 3rd minute after intubation, systolic pressure, diastolic pressure, mean arterial pressure, and heart rate of McCoy group remained higher compared to the Macintosh, with a difference of systolic pressure -1.23 (-8.51-6.05) mmHg, pressure diastolic -0.97 (-6.69-4.75) mmHg, mean arterial pressure -0.65 9-6.27-4.97) mmHg, and pulse rate 0.89 (-3.99-5.78) beats per minute
Conclusion : Intubation with McCoy’s laryngoscope was unable to suppress cardiovascular response arising from pain and sympathetic stimulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shendy Meike Sari
"Latar belakang. Bonfils adalah alat fiberoptik kaku yang dapat digunakan untuk intubasi baik pada jalan nafas normal maupun sulit. Penelitian ini membandingkan teknik pendekatan midline dan retromolar dalam melakukan intubasi dengan Bonfils pada suatu pelatihan dengan subjek penelitian adalah PPDS Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM tahap mandiri dan paripurna. Pelatihan pada maneken ini dilakukan di SIMUBEAR (Simulation Based Education and Research Center) IMERI (Indonesian Medical Education and Research Institute). Subjek tidak terbiasa menggunakan Bonfils, sehingga pelatihan ini menjadi kesempatan yang baik. Terdapat 10 langkah DOPS (Direct Observation of Procedural Skills) yang harus dikerjakan oleh setiap subjek untuk masing-masing teknik. Penelitian ini menilai DOPS, lama waktu intubasi dan jumlah upaya yang dilakukan untuk melakukan intubasi dengan Bonfils.
Metode. Penelitian ini merupakan uji eksperimental, acak, tidak tersamar, crossover yang dilakukan pada bulan September 2018. Subjek penelitian sebanyak 45 orang yang diambil dengan metode total sampling, dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda dalam sekuens. Kelompok 1 terdiri dari 23 orang yang melakukan intubasi dengan Bonfils pendekatan midline terlebih dahulu kemudian pendekatan retromolar dan kelompok 2 terdiri dari 22 orang yang melakukan sebaliknya. Uji statistik data kategorik berpasangan menggunakan uji McNemar dan data numerik berpasangan dengan uji Wilcoxon Signed Ranks Test.
Hasil. Keberhasilan intubasi dengan Bonfils melalui pendekatan midline pada DOPS 1, DOPS 2 dan pada kasus jalan nafas sulit sebesar 71,1%, 86,7%, 88,9%, sedangkan pada pendekatan retromolar adalah 68,8%, 68,9%, 64,4%. Lama waktu intubasi yang diperlukan untuk pendekatan midline pada jalan nafas normal dan sulit adalah 59 (18-224) detik dan 55 (24-146) detik, sedangkan pada pendekatan retromolar adalah 64 (38-200) detik dan 74,5 (26-254) detik. Kemudahan melakukan intubasi dengan Bonfils dinilai dari jumlah upaya yang dilakukan oleh subjek sebanyak 1x, yaitu pada pendekatan midline 64,4% dan retromolar 35,6% pada jalan nafas normal, dan 66,7% serta 46,7% pada jalan nafas sulit.
Simpulan. Keberhasilan dan kemudahan intubasi dengan Bonfils melalui pendekatan midline lebih baik dibandingkan dengan pendekatan retromolar pada maneken.

Background. The Bonfils Intubation Fibrescope is a rigid optical instrument for performing orotracheal intubation has becomes a useful device in the management of normal and difficult airways. In this study, we compared midline and retromolar approach techniques using Bonfils in simulation-based training that would allow the highest level residents of Anesthesiology Department perform tracheal intubation faster and a higher success probability. Data were collected from 45 participants using an airway simulator in SIMUBEAR (Simulation Based Education and Research Center) IMERI (Indonesian Medical Education and Research Institute). The participants who uncommon using Bonfils were randomly assigned to a sequence of techniques to use. These two techniques become a challenge for the participants. The ten steps of DOPS (Direct Observation of Procedural Skills) were performed with each technique. We did the assessment of DOPS, time of intubation, and the amount of attempt of intubation.
Methods. We did the randomized crossover trials in which participants are assigned randomly to a sequence of techniques using Bonfils with midline and retromolar approach on September 2018. These 45 participants were collected by total sampling method, divided into two groups. Group 1 (n=23) did the intubation using midline approach first then retromolar and group 2 (n=22) did the retromolar first then midline approach. Each participant was being trained using those techniques by ten steps of DOPS, then they were tested to intubate a mannequin on normal and difficult airways. The researchers obtained the DOPS scores, time of intubation, and the amount of intubation attempts. We analyzed this study using McNemar test for categoric data and Wilcoxon Signed Ranks test for numeric data.
Results. This study compared the success rate, intubaton time and the amount of intubation attempts using Bonfils with midline and retromolar approach. It was found that the success rate in midline approach was better than retromolar. For the ease rate, we obtained data from the intubation time and the amount of intubation attempts. The intubation time in midline approach (59 (18-224) s and 55 (24-146) s) was shorter than retromolar (64 (38-200) s and 74,5 (26-254) s) in normal and difficult airways respectively. And also we found that 64,4% participants could did one attempt of intubation using Bonfils with midline approach and only 35,6% participants did the retromolar approach.
Conclusions. Success and ease rate of intubation using Bonfils with midline approach is better than retromolar approach techniques in mannequin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Boni Nurcahyo
"Introduction: Mechanical ventilation as the management of acute respiratory distress syndrome (ARDS) in critically ill COVID-19 patient is still controversial, including timing of intubation. The delay of intubation can cause patient self-induced lung injury (P-SILI). However, early intubation which resulted in prolonged mechanical ventilation can cause complications. Therefore, a systematic review is needed to provid information regarding the timing of intubation related to the clinical outcome of the patient.
Methods: Database searching from PubMed, The Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL), ProQuest, and Scopus was conducted and penelitianes were selected based on the eligibility criteria. It includes prognostic penelitianes of adult COVID-19 patients with ARDS and mechanically ventilated. The penelitianes were critically appraised for risk of bias using Quality In Prognosis Penelitianes (QUIPS) tool.
Result: We included seven penelitianes involving 1395 adult COVID-19 patients with ARDS and mechanically ventilated, with two different methods.. Five of them assessed mortality in two groups of patients, early and late intubation, while two others determined the mean or median of intubation time in survivor and non-survivor group. All of the penelitianes showed no association between timing of intubation and mortality. Most of the penelitianes have low risk of bias for its respective domain, with only three penelitianes showed medium risk of bias due to unclear definition of prognostic factors.
Conclusion: Mortality of critically ill COVID-19 adult patient cannot be predicted only with timing of intubation, yet many factors contributed to the prognosis.

Pendahuluan: Ventilasi mekanik merupakan salah satu manajemen ARDS pada pasien dewasa COVID-19 yang sakit kritis yang masih sering diperdebatkan, salah satunya terkait waktu inisiasi intubasi. Keterlambatan intubasi dapat menyebabkan patient self-induced lung injury (P-SILI). Namun, intubasi yang terlalu dini juga dapat memberikan komplikasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan telaah sistematis yang dapat memberikan informasi apakah intubasi dini pada fase awal penyakit memberikan luaran yang lebih baik pada pasien COVID-19 dewasa.
Metode: Telaah sistematis dilakukan melalui pencarian penelitian pada basis data PubMed, CENTRAL, ProQuest, dan Scopus, dan dilakukan seleksi penelitian sesuai dengan kriteria eligibilitas. risiko bias dinilai dengan instrument Quality in Prognosis Penelitianes (QUIPS).
Hasil: Dilakukan analisis terhadap 7 penelitian dengan total subyek 1395 pasien COVID-19 dewasa berat yang memerlukan ventilasi mekanik, dengan pendekatan penilaian yang berbeda, dimana 5 penelitian menilai mortalitas pada kelompok pasien intubasi dini dan intubasi tunda, dan 2 penelitian lainnya menilai rerata atau median dari waktu inisiasi intubasi pada kelompok yang meninggal dan hidup. Seluruh penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara waktu intubasi dengan mortalitas. Kebanyakan penelitian memiliki risiko bias yang rendah untuk setiap domain, kecuali tiga penelitian dengan risiko bias menengah karena tidak mendefinisikan faktor prognosis dengan jelas.
Kesimpulan: Mortalitas pasien COVID-19 dewasa yang sakit kritis tidak hanya dapat diprediksi dari waktu pemberian intubasi, tetapi banyak faktor lain yang mempengaruhinya.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriana Lukmasari
"Latar belakang: Intubasi endotrakeal merupakan tindakan yang cukup rumit dan memiliki risiko tinggi. Intubasi endotrakeal neonatus memiliki angka keberhasilan yang rendah pada percobaan pertama (first attempt) yaitu 20,3% dikarenakan kondisi desaturasi atau bradikardia. Angka mortalitas dan gangguan neurodevelopmetal meningkat pada neonatus yang gagal pada percobaan pertama intubasi. Penggunaan teknik HFN sebagai oksigenasi tambahan saat percobaan intubasi terbukti meningkatkan keberhasilan intubasi endotrakeal neonatus akan tetapi teknik tersebut memerlukan perangkat tambahan yang tidak selalu tersedia di fasilitas kesehatan. Teknik oksigenasi tambahan berupa VTP nasal dengan kanula RAM belum pernah diteliti.
Tujuan: Untuk mengetahui efikasi ventilasi tekanan positif nasal dengan kanula RAM terhadap keberhasilan intubasi endotrakeal bayi prematur.
Metode: Uji klinis terbuka yang dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni 2024. Sampel penelitian adalah bayi prematur usia gestasi ≥ 25 minggu sampai 34 minggu dengan asfiksia berat atau distres napas berat atau apnea yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan randomisasi dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol (VTP standar) dan kelompok perlakuan (VTP standar yang ditambahkan VTP nasal dengan kanula RAM).
Hasil: Terdapat 78 sampel yang terdiri dari 39 kelompok perlakuan dan 39 kelompok kontrol. Keberhasilan intubasi pada kelompok perlakuan adalah 84,6% dibandingkan kelompok kontrol 41% dengan nilai Absolute Risk Reduction (ARR) 44% dan Number Need to Treat (NNT) 2. Kejadian desaturasi pada kelompok perlakuan adalah 10,3% dibandingkan kelompok kontrol 59% dengan nilai Absolute Risk Reduction (ARR) 49% dan Number Need to Treat (NNT) 2. Rerata rentang waktu sampai terjadi desaturasi pada kelompok perlakuan sebesar 46 detik dibandingkan kelompok kontrol 29,74 (p=0,142).
Kesimpulan: VTP nasal dengan kanula RAM meningkatkan keberhasilan intubasi endotrakeal neonatus dan mengurangi desaturasi. Rerata rentang waktu sampai terjadi desaturasi secara klinis bermakna antara kedua kelompok penelitian.

Background: Endotracheal intubation in neonates is a complex and risky procedure, with a low initial success rate of 20.3% primarily due to desaturation or bradycardia. Neonates who fail in the first attempt of endotracheal intubation are at increased risk of mortality and neurodevelopmental disorders. High-flow nasal (HFN) techniques have been shown to enhance the success of neonatal endotracheal intubation, but their implementation may be limited by the availability of necessary equipment in healthcare settings. Additional oxygenation techniques such as Nasal Positive Pressure Ventilation (PPV) through a RAM cannula in neonatal endotracheal intubation has not been studied.
Objective: To evaluate the efficacy of nasal positive pressure ventilation with ram cannula compared to the outcomes of endotracheal intubation in preterm neonates.
Methods: Open clinical trials conducted from January to June 2023. The research sample consists of preterm neonates with a gestational age of ≥ 25 weeks to 34 weeks with severe asphyxia or severe respiratory distress or apnea that meet the inclusion criteria. Randomization was performed and divided into 2 groups, namely the control group (standard PPV) and the treatment group (standard PPV with the addition of nasal PPV with RAM cannula).
Results: The study sample included 78 neonates consisting of 39 in the treatment groups and 39 in the control groups. The intubation success rate in the treatment group was 84.6%, significantly higher than the 41% success rate observed in the control group. This discrepancy resulted in an Absolute Risk Reduction (ARR) of 44% and a Number Needed to Treat (NNT) of 2. Furthermore, the occurrence of desaturation in the treatment group was notably lower at 10.3% compared to 59% in the control group, leading to an Absolute Risk Reduction (ARR) of 49% and a Number Needed to Treat (NNT) of 2. The mean time to desaturation in the treatment group was 46 seconds compared to 29.74 seconds in the control group (p=0.142).
Conclusion: Nasal PPV with RAM canula improves the success of neonatal endotracheal intubation and decrease desaturation episodes. There is a clinically significant difference in the mean time interval until desaturation occurs between the two research groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>