Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154666 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabila Humaira Yasmin Darmawan
"Referendum kemerdekaan merupakan salah satu mekanisme yang digunakan sebuah komunitas bangsa dalam memperjuangkan pengakuan terhadap identitasnya. Dari berbagai referendum kemerdekaan yang terjadi pada abad ke-21, hampir seluruhnya memiliki tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi yang ditunjukkan dari angka voter turnout di atas mayoritas, kecuali referendum kemerdekaan Catalunya pada tahun 2017. Sejak tahun 2000-an, dinamika dan ketegangan sosial, politik, dan ekonomi antara Catalunya dengan Spanyol memunculkan tuntutan otonomi yang lebih besar, bahkan kemerdekaan. Kampanye kemerdekaan yang diorganisasi di tingkat akar rumput maupun elite akhirnya berujung pada penyelenggaraan referendum pada 1 Oktober 2017 oleh Pemerintah Otonom Catalunya. Namun, referendum tersebut hanya dihadiri oleh 43% dari seluruh pemilih sah. Penelitian ini mendalami alasan rendahnya angka turnout dalam referendum tersebut dengan menggunakan tesis Máiz tentang faktor-faktor politik dalam mobilisasi nasional dan etnis. Penelitian ini menemukan bahwa prakondisi etnis dalam gagasan tentang bangsa Catalunya digunakan oleh massa dan dimanipulasi oleh para elit yang mencari dukungan elektoral dalam berbagai pemilu tingkat regional. Hubungan dua arah yang saling mempengaruhi di antara keduanya membantu melebarkan peluang politik gerakan pro-kemerdekaan. Namun, kampanye pro-kemerdekaan tersebut hanya populer di kalangan masyarakat yang memang mendukungnya. Sebagian masyarakat lain menjadi silent majority yang tidak melihat insentif material dengan kemerdekaan Catalunya sebagaimana dikampanyekan oleh massa dan para elite politik.

An independence referendum has become one of the mechanisms employed by a national, historic minority to achieve recognition of their identity. Since the 21st century, generally all independence referendums saw a high number of voter turnout except the peculiar case of the Catalan independence referendum in 2017. Catalonia has seen social, political, and economic tensions with the Spanish government which have escalated a greater demand for autonomy and independence since the 2000s. Independence campaigns were organized and sustained for years at the grassroot and elite level and culminated in the October 1st independence referendum by the Catalan Autonomous Government. The referendum, however, only saw the participation of 43% of the total eligible voters. Utilizing Máiz’s thesis on political factors in explaining the ethnic and national mobilization, this research seeks to explain the low turnout number of the Catalan referendum. This research found that the ethnic preconditions of the Catalan nation is used by the masses and manipulated by elites who pursued electoral support in regional elections. The two-way relationship between pro-independence masses and the political elites influenced each other and helped broaden the movement’s political opportunity. However, the pro-secession campaign was only popular among the population who support it, while the rest of the Catalan people became a silent majority who did not see the material incentive of declaring an independence as promoted by the other group and politicians."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Al Harkan
"ABSTRAK
Media merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi, menjadi jalur informasi antara warga negara, partai politik, dan pemerintah, termasuk dalam konteks pemilihan umum. Namun kini di masa ketika media berkembang pesat dengan kehadiran internet dan media baru, studi perilaku pemilih dalam pemilihan umum (pemilu) masih terbatas pada 3 pendekatan utama sosiologis, psikologis, dan ekonomi, politik; maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk meneliti efek beberapa jenis media terhadap perilaku pemilih serta dibandingkan dengan pengaruh faktor-faktor sosiologis dan ekonomi-politik. Dengan menggunakan metode penelitian data agregat pada level provinsi dan teknik analisis Structural Equation Modeling Partial Least Square (SEM-PLS), penelitian ini menerapkan 32 model pengujian untuk menguji pengaruh variabel-variabel media, sosiologis, dan ekonomi-politik secara parsial, serta model gabungan untuk menguji pengaruh seluruh variabel secara bersama-sama. Penelitian ini menemukan bahwa efek media terhadap voter turnout dan vote direction dalam pemilu legislatif Indonesia 2019 cenderung lemah dan belum ditemukan pola yang dapat menjelaskan perilaku pemilih Indonesia secara baik. Penelitian ini merekomendasikan agar penelitian berikutnya dapat menggunakan data yang lebih detail pada tingkat kabupaten/kota. serta mendorong adanya pengembangan akses publik terhadap data-data statistik Indonesia untuk meningkatkan kualitas penelitian yang menggunakan data agregat.

ABSTRACT
Media is one of the main pillars in a democratic system, being an information channel between citizens, political parties and the government, including in the context of elections. But now in a time when the media is developing rapidly with the presence of the internet and the new media, the study of voter behavior in general elections is still limited to 3 main approaches, namely sociological, psychological, and political economic approach; therefore this study aims to examine the effect of several types of media on voter behavior and compare with the influence of sociological and political-economic factors. Using aggregate data research methods from provincial level and Partial Least Square Structural Equation Modeling (PLS-SEM) analysis techniques, this study applies 32 test models to partially test the influence of media, sociological and political-economic variables, and a combined model to test the effect all variables together. This study found that the effect of the media on voter turnout and vote direction in the 2019 Indonesian legislative elections tends to be weak and no patterns have been found that can explain the behavior of Indonesian voters properly. This study recommends that in the future a similar study can be conducted by using more detailed data in districts level; also broadly to develop public access to Indonesian statistical data to improe the quality of aggregate data researches."
2020
T55405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudistira Adnyana
"Masalah penelitian ini adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perilaku memilih pasangan Anak Agung Gde Agung - Sudikerta dalam pilkada di Kabupaten Badung tahun 2005. Dari beberapa pendekatan yang dikemukakan Dennis Kavanagh, penelitian ini menggunakan dua pendekatan yakni: pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih adalah, kepemimpinan, identifikasi pat-tai, isu-isu politik dan identifikasi "kasta".
Dari 386 responden yang diambil secara purposive di 62 desa menunjukkan bahwa faktor kepemimpinan lebih dominan mempengaruhi perilaku memilih. Sebagian besar responden berpendapat kepemimpinan Anak Agung Gde Agung mempengaruhi perilaku memilih mereka. Preferensi memilih Anak Agung Gde Agung sebagian besar karena unsur "kharisma" dari kebangsawanannya disamping kemampuannya "Kharisma" bangsawan menurut Anderson harus dilihat secara antropologis-kultural, di mana "kharisma" lebih merupakan sifat yang menurut anggapan dari para pengikutnya ada pada pemimpin itu. Ini menunjukkan preferensi memilih bersifat carnpuran antara unsur tradisioiial dan rasional.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa dalam pemilihan langsung terdapat kecenderungan bahwa faktor kepemimpinan lebih dominan mempengaruhi perilaku memilih. Signifikansi teoritis penelitian ini adalah dalam pemilihan langsung di tingkat lokal di mana kultur tradisionalnya masih kuat, perilaku memilih dipengaruhi oleh pendekatan psikologis dan pendekatan sosiologis secara bersamaan. Menurut Anak Agung Gde Putra Agung, unsur "kharisma" dari bangsawan didukung oleh sistem "kasta", merupakan pendekatan sosiologis. Sementara preferensi terhadap kemampuan rnencenninkan orientasi individual pemilih, merupakan pendekatan psikologis.
Penelitian ini merekomendasikan beberapa hal. Pertama, diperlukan peningkatan sosialisasi politik oleh ages-agen sosialisasi untuk mengintemalisasikan nilai-nilai demokrasi sehingga dapat mengembangan demokrasi di masa datang. Kedua, diperlukan kajian-kajian tentang perilaku memilih secara lebih luas dan mendalam terutama untuk mengetahui karakteristik pendukung partai-partai di Bali pada pemilu-pemilu pasca Orde Baru.

The subject of this research is what factors influencing the behavior for electing deputy and vice of regent candidates Anak Agung Gde Agung - Sudikerta in the local regent election in Badung Regency in 2005. From some approaches reveal by Dennis Kavanagh, this research had used approaches those are sociological approach and psychological approach. The factors influencing the behavior to vote are the leadership, party identification, political issues and "caste" identification.
From 386 respondents taken purposively in 62 villages had indicated that more dominantly, leadership factors had influenced. Most of respondents had made opinion that Anak Agung Gde Agung leadership had influenced their behavior to vote. Respondents' preference to vote for Anak Agung Gde Agung mostly because of nobility status besides because of his competences. According to the Anderson it should be viewed in cultural and anthropological natures. By which charisma more representing that of according to the followers inherent to this leader. Variedly , it reflected the preference to vote focused on the traditional and rational/modern element.
The conclusion drawn from this research that there was the tendency in which more dominantly, leadership factors influencing voting behavior. was more dominant compared to other factors. The theoretical significance from this research was that in the direct election at local level in which its traditional culture is still strong and simultaneously, the voting behavior trend to be influenced by psychological and sociological. approaches. According to Anak Agung Gde Putra Agung, the charisma element of nobility supported by "caste" system as sociological approach. Meanwhile the preference to the capability reflected orientation of voting behavior a psychological approach.
This research recommends some issues. The First, it is required the increasing of political socialization through agents who socialize the political issues in order to internalize values of democracy to be developed in the future. Secondly, it is required studies on voting behavior both more deeply and diversely specially, to know the characteristics of supporting parties in Bali for general elections post New Order Regime.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22113
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gotfridus Goris Seran
"Ditinjau dari aspek pemberian suara pemilih dalam pemilihan umum, tingkat partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum 1992 di Dati II Belu boleh dikatakan tinggi. Dari keseluruhan pemilih di Belu sebanyak 120.978 orang terdapat 118.590 pemilih (98,03 %) yang secara sah berpartisipasi memberikan suaranya dalam pemilihan umum 1992. Dari suara sah tersebut, Golkar mampu menguasai partisipasi politik pemilih dalam bentuk pemberian dukungan suara sebanyak 111.685 suara (94,18 %). Partisipasi politik pemilih ini terutama berasal dari segmen massa pemilih yang belum begitu memadai tingkat pendidikan, tingkat kehidupan ekonomi, dan sistem komunikasinya. Masyarakat pemilih dengan kondisi obyektif demikian gampang dimobilisasi. Mobilisasi dalam rangka penguasaan partisipasi politik pemilih oleh Golkar Dati II Belu tersebut ditempuh melalui elite yang direkrut dalam menghadapi pemilihan umum 1992.
Analisis mengenai rekrutmen elite dalam rangka penguasaan partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum 1992 oleh Golkar Dati II Belu menunjukkan setidak-tidaknya tiga hal. Pertama, dalam rangka penguasaan partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum 1992 Golkar Dati II Belu menempuh pola rekrutmen elite secara patrimonial. Pola patrimonial dalam rekrutmen elite ini ditempuh dengan dasar pemahaman bahwa setiap elite memiliki pengaruh besar terhadap massa pengikutnya sehingga elite yang direkrut oleh Golkar Dati II Belu untuk dicalonkan menjadi anggota DPRD dapat mempengaruhi dan menggalang massa pengikutnya untuk memberikan dukungan suaranya kepada Golkar. Dalam rangka pemilihan umum 1992 rekrutmen elite dalam Golkar (36 elite) secara konvensional ditempuh melalui jalur-jalur politik yang telah tersedia dengan Jalur A 3 elite (8,33 %), Jalur B 26 elite (72, 22 %), dan Jalur C 7 elite (19,45 %). Rekrutmen elite melalui jalur-jalur politik ini pada gilirannya dapat membentuk suatu keterikatan patrimonial-klientelistik antara elite dan massa pemilih sehingga dalam masyarakat patrimonial seperti masyarakat Dati II Belu elite dipandang sebagai tokoh panutan dimana himbauan, saran, dan nasehat seorang tokoh panutan dipakai oleh massa pemilihnya sebagai rujukan dalam berperilaku, termasuk perilaku memilih dalam pemilihan umum.
Kedua, dalam rekrutmen elitenya Golkar Dati II Belu juga menempuh pola korporatis. Dalam rangka pemilihan umum 1992 rekrutmen elite dalam Golkar yang ditempuh melalui jalur-jalur politik konvensional terutama didominasi oleh elite yang memposisikan diri sebagai aparat personifikasi kepentingan negara sebanyak 32 elite (88,89 %) dengan rincian 3 elite KBA atau Jalur A (8,33 %), 26 elite birokrasi atau Jalur B (72,22 %), dan 3 elite ormas pimpinan birokrat atau Jalur C (8,33 %). Sedangkan sisanya sebanyak 4 elite (11,11 %) berasal dari 1 elite ormas bukan pimpinan birokrat (2,78 %) dan 3 elite informal (8,33 %) yang merepresentasikan kepentingan massa rakyat. Konfigurasi rekrutmen elite seperti ini pada dasarnya menunjukkan bahwa Golkar yang memposisikan diri sebagai partai penguasa berupaya untuk mengkooptasikan berbagai kekuatan dalam rangka menjaga kekuasaan secara internal melalui pembentukan kekuasaan dalam Golkar dan melakukan pengendalian dan penguasaan massa rakyat secara eksternal melalui Golkar sebagai partai korporatis. Dalam pola korporatis ini, elite direkrut dari posisi-posisi penting dalam organisasi dan kelompok sosial yang hegemonik. Rekrutmen elite demikian dapat juga mencerminkan perwakilan kepentingan dan korporatisasi melalui organ-organ pendukung Golkar seperti ditunjukkan melalui jalur-jalur politik yang pada dasarnya berwujud ormas-ormas afiliasi.
Ketiga, elite, baik dari Jalur A, Jalur B, maupun Jalur C, yang direkrut menurut mekanisme penunjukan oleh Golkar Dati II Belu dalam pemilihan umum 1992, melakukan penggalangan berbagai kekuatan untuk dapat memberikan dukungan suaranya kepada Golkar. Penggalangan ini ditempuh melalui setidak-tidaknya tiga cara, yaitu (1) merangkul kalangan birokrat termasuk KBA, (2) merangkul elite ormas dan elite informal, dan (3) membangun hubungan dialogis antara Golkar dan massa rakyat melalui elite, formal maupun informal, yang direkrut tersebut. Intensnya penggalangan ini didukung pula dengan setidak-tidaknya tiga bentuk rekayasa politik, yaitu (1) meregulasi birokrasi termasuk ABRI dalam bentuk penggalangan anggota-anggotanya ke dalam wadah tunggal KORPRI, pensterilan birokrasi dari kekuasaan partai politik, dan pengaturan monoloyalitas termasuk melalui sumpah jabatan, (2) melekatkan struktur organisasi kepengurusan Golkar pada struktur birokrasi kekuasaan, dan (3) menyediakan dua jalur politik sekaligus, yaitu Jalur A dan Jalur B, di dalam Golkar yang pada dasarnya merepresentasikan kepentingan negara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Widiana
"ABSTRAK
Pendanaan pembangunan melalui transfer ke daerah merupakan salah satu modal
dalam pembangunan daerah yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dalam era
desentralisasi. Kemandirian fiskal merupakan indikator utama dalam mengukur
kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan
daerah. Kemandirian keuangan daerah tercermin dalam Derajat Desentralisasi
Fiskal dan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah. Derajat Desentralisasi Fiskal
adalah rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah
(TPD), sedangkan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah adalah rasio Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pengeluaran Daerah (TKD) dalam APBD.
Tingkat kemandirian keuangan daerah provinsi di Indonesia selama periode tahun
2003-2010, baik dilihat dari nilai Derajat Desentralisasi Fiskal maupun nilai Rasio
Kemandirian Keuangan Daerah, termasuk dalam kategori sedang karena nilainya
masih berada diantara 30 sampai dengan 40 persen.

ABSTRACT
Development funding through regional transfer is one of the capital provided by
the Central Government for regional development in this decentralization era.
Fiscal independence is the key indicator to measure the local government’s ability
to self-finance their activities. The independence of regional finance is reflected in
the Degree of Fiscal Decentralization and the Ratio of Regional Finance
Independence. Degree of Fiscal Decentralization is the ratio of Regional Revenue
(PAD) to Total Regional Revenue (TPD), while the Ratio of Regional Finance
Independence is the ratio of Regional Revenue (PAD) to Total of Regional
Expenditure (TKD) in Local Budget (APBD). If it is viewed from the Degree of
Fiscal Decentralization value and the Regional Finance Independence Ratio value,
the level of Regional Finance Independence in Indonesian provinces over the
period of 2003-2010 is included in medium category for the value remains in the
range of 30 up to 40 percent."
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T43330
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haikal Putra Samsul
"Independensi bank sentral sebagai bentuk hubungan bank sentral dan negara mengalami tren peningkatan yang signifikan pasca runtuhnya Sistem Bretton Woods. Tulisan ini berupaya untuk menganalisis fenomena peningkatan bank sentral yang independen dari negara melalui kajian terhadap perdebatan konsep independensi bank sentral di antara dua paradigma dominan, yaitu Keynesianisme dan Neoliberalisme. Dalam prosesnya, tulisan ini memanfaatkan metode tipologi dan taksonomi dalam melakukan survei literatur. Argumen utama yang muncul dari analisis tersebut adalah bahwa narasi literatur yang berkembang dan diterima secara masif di tingkat global dalam isu hubungan bank sentral dan negara telah didominansi oleh perspektif paradigma Keynesianisme dan Neoliberalisme. Berdasarkan survei literatur dengan mengandalkan dua metode utama tersebut, tulisan ini juga menemukan kalau narasi independensi bank sentral masih lebih terbatas hanya pada negara maju dan negara Barat yang kemudian menjadi kesenjangan literatur. Oleh karena itu, terdapat tiga poin yang disasar dalam mendalami topik ini, yaitu pemahaman terhadap interpretasi independensi bank sentral, argumentasi kritis sebagai justifikasi independensi bank sentral, dan peranan bank sentral yang independen dalam arsitektur finansial dan moneter global dilihat dari sudut pandang Keynesianisme dan Neoliberalisme.

Central bank independence as a form of central bank-state relations experienced a significant increase after the collapse of the Bretton Woods System. This paper seeks to observe the phenomenon of increasing central bank that is independent from the state through deep analyzes to the debate over the concept of central bank independence among two dominant paradigms, Keynesianism and Neoliberalism. Using typology and taxonomy as the main methods, this paper argues that Keynesianism and Neoliberalism have dominated academic narratives in mainstream literatures over this debate. Literature review also found that the concept of central bank independence within these two paradigms is still limited only from developed and Western countries which later became literature gaps. Therefore, there are three main points elaborated in this paper, which are the interpretation of central bank independence, critical arguments as justification for central bank independence, and the role of independent central bank in global financial and monetary architecture from the perspective of Keynesianism and Neoliberalism."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Fajar Utomo
"Angka partisipasi pemilih muda di Indonesia menunjukkan tren penurunan di setiap pemilihan umum. Padahal, tingkat partisipasi ini terkait dengan legitimasi pemerintahan terpilih. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran mediasi pengetahuan politik dan efektivitas politik internal dalam hubungan antara penggunaan media sosial untuk aktivitas politik dan perilaku memilih. Penelitian ini bersifat korelasional dengan menggunakan sampel siswa di Indonesia berusia 18-26 tahun dengan rata-rata usia 20,85 tahun (SD = 1.363). Data dari 216 partisipan menunjukkan bahwa tidak ada peran mediasi ketika pengetahuan politik dan efikasi politik internal digunakan sebagai mediator dalam hubungan antara penggunaan media sosial untuk aktivitas politik dan perilaku memilih. Namun, peneliti menemukan hasil korelasi positif yang signifikan ketika efikasi politik internal digunakan sebagai mediator langsung dari penggunaan media sosial ke perilaku memilih.

The participation rate of young voters in Indonesia shows a decreasing trend in every general election. In fact, this level of participation is related to the legitimacy of the elected government. This study aims to examine the mediating role of political knowledge and the effectiveness of internal politics in the relationship between the use of social media for political activity and voting behavior. This research is correlational using a sample of students in Indonesia aged 18-26 years with an average age of 20.85 years (SD = 1.363). Data from 216 participants shows that there is no mediating role when political knowledge and internal political efficacy are used as mediators in the relationship between the use of social media for political activities and voting behavior. However, we found a significant positive correlation when internal political efficacy was used as a direct mediator from social media use to voting behavior."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agita Naufal Khuluqin Azhiim
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara jenama politik kandidat dengan perilaku memilih, dengan fokus pada pemilihan umum atau politik. Penelitian ini dilakukan kepada dewasa muda sebanyak 278 orang dengan partisipan dengan rentan usia 18-25 tahun. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran tentang karakteristik demografis partisipan. Selanjutnya, analisis inferensial digunakan dengan menerapkan pearson correlation untuk mengevaluasi hubungan antara jenama politik kandidat dan perilaku memilih. Penelitian ini juga menggunakan partial correlation untuk mengeksplorasi variabel-variabel tambahan yang mungkin memiliki hubungan tersebut, seperti seberapa sering melihat postingan, sejak kapan melihat sosial media mengenai Ganjar Pranowo, dan rasa dekat dengan partai politik PDI-P. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai hubungan jenama politik kandidat dan perilaku memilih pemilih, dengan implikasi yang relevan dalam konteks politik dan pemilihan umum.

This research aims to test the hypothesis that there is a positive and significant relationship between candidate political brand and voting behavior, focusing on general elections or political contexts. The study involved 278 young adults with participants ranging from 18 to 25 years old. Descriptive and inferential analyses were employed in this research. Descriptive analysis was conducted to provide an overview of the demographic characteristics of the participants. Furthermore, inferential analysis was utilized by applying person correlation to evaluate the relationship between candidate political brand and voting behavior. Additionally, partial correlation was used to explore additional variables that may influence this relationship, such as the frequency of viewing posts, the duration of exposure to social media content about Ganjar Pranowo, and the sense of closeness to the PDI-P political party. The results of this research are expected to contribute to the understanding of the influence of candidate political brand on voters' behavior, with relevant implications in the political and general election context."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>