Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151466 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Srie Wulan Nurhasty
"Penggunaan ventilasi mekanik yang memanjang merupakan salah satu komplikasi utama pada pasien pasca-bedah jantung yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Prediksi lama penggunaan ventilasi mekanik merupakan hal penting dalam penatalaksanaan pasien operasi jantung. Skor ACEF (Age, Creatinine, Ejection Fraction) merupakan sistem prediksi sederhana dengan menggunakan tiga variabel pra-bedah yang diukur secara objektif, memiliki performa yang baik dalam memprediksi morbiditas dan mortalitas pada pasien pasca-bedah jantung. Penggunaan skor ACEF dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pasca-bedah jantung belum ada, namun variabel yang dipakai pada sistem skor ini merupakan prediktor terkuat kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pasca-bedah jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan skor ACEF dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik yang memanjang pada pasien pasca-bedah jantung dewasa di PJT RSCM. Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif yang melibatkan 206 subjek penelitian yang menjalani operasi jantung terbuka di Pelayanan Jantung Terpadu RSCM. Hasil penelitian ini didapatkan hasil AUC = 0,6336 (95% CI : 0,55-0,71), nilai sensitivitas sebesar 35,8%, spesivisitas 88%, dan akurasi 67,48%. Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan Skor ACEF memiliki kemampuan prediksi yang kurang dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pada pasien pasca-bedah jantung.

Prolonged mechanical ventilation is one of the main complications in post-cardiac surgery patients that can cause morbidity and mortality. Prediction of the duration mechanical ventilation is important in the management of cardiac surgery patients. The ACEF score (Age, Creatinine, Ejection Fraction) is a simple prediction system using three measured pre-operative variables objectively, which performs well in predicting post-operative morbidity and mortality in cardiac surgery patients. The use of the ACEF score in predicting prolonged mechanical ventilation after cardiac surgery does not yet exist, but the variables used in this scoring system are the strongest predictors of prolonged mechanical ventilation after cardiac surgery. This study aims to determine the ability of the ACEF score to predict the incidence of prolonged of mechanical ventilation in post-cardiac surgery patients at RSCM PJT. This study is a retrospective cohort study involving 206 subjects who underwent open heart surgery at PJT RSCM. The results of this study showed that AUC = 0.6336 (95% CI: 0.55-0.71), the sensitivity is 35,8%; specificity is 88%, and accuracy is 67,48%. From the results obtained, it can be concluded that the ACEF score has poor predictive ability in predicting the incidence of prolonged mechanical ventilation in post-cardiac surgery patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reby Kusumajaya
"Latar belakang. Penyakit jantung bawaan PJB merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi pada anak dibandingkan dengan kelainan kongenital lainnya. Upaya memperbaiki struktur anatomi PJB mengharuskan dilakukannya bedah jantung korektif. Di balik perkembangan pintas jantung paru dan tata laksana pasca-bedah, sindrom curah jantung rendah low cardiac output syndrome, LCOS masih menjadi komplikasi mayor, sehingga diperlukan parameter untuk membantu diagnosis LCOS secara dini. Kadar laktat, gap pCO2 dan SvO2 dilaporkan berkorelasi terhadap penurunan curah jantung, morbiditas dan mortalitas pasca-bedah jantung.
Tujuan. Mengetahui peran kadar laktat, gap pCO2 arteri-vena dan SvO2 dalam deteksi dini sindrom curah jantung rendah pasca-bedah jantung terbuka pada anak.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dilaksanakan dari 1 Agustus hingga 30 Oktober 2017 di ICU Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Subyek adalah pasien anak yang menjalani bedah jantung terbuka. Pasca-bedah saat perawatan di ICU pasien dimonitor waktu terjadinya tanda-tanda klinis sindrom curah jantung rendah, serta dilakukan pemeriksaan kadar laktat, gap pCO2 dan SvO2 pada 15 menit, 4 jam dan 8 jam pasca-bedah. Analisis perbedaaan dilakukan menggunakan uji indepent T-test dan alternatifnya Mann-Whitney dengan nilai kemaknaan P

Background. Congenital heart disease CHD is the most common congenital disorder in children compared with other congenital abnormalities. To fix CHD requires corrective cardiac surgery. Behind the development of cardiopulmonary bypass surgery and post surgical intensive care, low cardiac output syndrome LCOS still become a major complication that require parameter to diagnose LCOS early lactate level, pCO2 gap and SvO2 were reported have correlation with decreasing of cardiac output, morbidity and post cardiac surgery mortality.
Objective. To find out the role of lactate levels, pCO2 gap arterial vein and SvO2 in early detection of low cardiac output syndrome in post open heart surgery in children.
Method. This study used a prospective cohort design. From 1 August until 30 October 2017 in ICU of Integrated Cardiac Centre Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Subjects were pediatric patients who underwent cardiac surgery. Post surgery procedure the patient's was monitored in ICU for clinical signs of low cardiac output syndrome and examined for lactate levels, gap pCO2 and SvO2 at 15 minutes, 4 hours and 8 hours. The difference analysis was performed using indepent T test and Mann Whitney as alternative with significance value P
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rahman
"ABSTRAK
Stroke iskemik merupakan salah satu komplikasi penting dan berdampak negatif pada operasi jantung yang menggunakan MPJP. Faktor intraoperatif dianggap berpengaruh terhadap kejadian stroke iskemik diantaranya mean arterial pressure (MAP), kecepatan rewarm, kadar glukosa darah, durasi bypass, durasi klem silang aorta, hemoglobin dan hematokrit. Penelitian ini merupakan studi analitik retrospektif dengan disain kasus-kontrol. Subjek dengan komplikasi stroke pascaoperasi jantung dengan MPJP selama periode januari 2016 sampai desember 2018 sebagai kelompok kasus dan pasien tanpa stroke iskemik pada periode yang sama sebagai kontrol. Jenis kelamin, usia, diabetes melitus dan hipertensi tidak memiliki perbedaan yang bermakna antara kelompok kasus dan kontrol (p >0,05). Hematokrit (p = 0,015, OR 0,939 [0,885-0,996]) dan durasi bypass (p = 0,027, OR 1,011 [1,001-1,021]) merupakan faktor intraoperatif yang berpengaruh terhadap kejadian stroke pascaoperasi. Prosedur operasi katup (p = 0,024, OR 3,127 [1,161-8,427]) dan aorta (p = 0,038, OR 3,398 [1,070-10,786]) memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stroke pascaoperasi. Disimpulkan bahwa faktor intraoperatif yang memengaruhi kejadian stroke iskemik pascaoperasi jantung dewasa yang menggunakan MPJP di RSJPDHK adalah durasi bypass dan nilai hematokrit. Prosedur operasi aorta dan katup memiliki risiko lebih tinggi terhadap kejadian stroke dibandingkan prosedur operasi jantung lain.

ABSTRACT
Ischemic stroke is one of the important complications and has a negative impact on cardiac surgery with cardiopulmonary bypass. Intraoperative factors were considered to have an effect on ischemic stroke events including mean arterial pressure (MAP), rewarm speed, blood glucose levels, bypass duration, aortic cross clamp duration, hemoglobin and hematocrit. The study was a retrospective analytic study with case-control design. Subjects with stroke complications following cardiac surgery with cardiopulmonary bypass during January 2016 to December 2018 as a case group and patients without stroke in the same period as controls. Gender, age, diabetes mellitus and hypertension did not have a significant difference between the case and control groups (p> 0.05). Hematocrit (p = 0.015, OR 0.939 [0.885-0.996]) and bypass duration (p = 0.027, OR 1.011 [1,001-1,021]) were an intraoperative factors that influences the incidence of postoperative stroke. Valve surgery (p = 0.024, OR 3.127 [1,161-8,427]) and aorta (p = 0.038, OR 3.398 [1,070-10,786]) had a significant association with postoperative stroke. It was concluded that intraoperative factors affecting the incidence of postoperative cardiac ischemic stroke using cardiopulmonary bypass in RSJPDHK were duration of bypass and hematocrit. Aortic and valve surgery procedures have a higher risk of stroke than other cardiac surgery procedures."
[, , ]: 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Julia Fitriany
"Latar belakang: Sepsis pascabedah jantung terbuka merupakan kondisi yang jarang terjadi tetapi memiliki mortalitas yang cukup tinggi. Gejala sepsis yang muncul pascabedah seringkali sulit dibedakan dengan kondisi inflamasi sistemik sehingga menimbulkan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis maupun overtreatment pada pasien. Presepsin merupakan salah satu penanda sepsis yang mulai banyak digunakan terutama pada populasi dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran presepsin dalam menegakkan diagnosis sepsis pascabedah jantung terbuka pada anak.
Tujuan: Untuk menguji performa diagnostik presepsin sebagai penanda sepsis pada anak pascabedahjantung terbuka dibandingkan dengan prokalsitonin (PCT).
Metode: Studi potong lintang terhadap 49 pasien anak pascabedah jantung terbuka yang dirawat di RSCM. Penelitian ini mencari nilai batas optimal presepsin untuk mendiagnosis sepsis pascabedah jantung terbuka pada anak yaitu pada hari pertama dan ketiga pascabedah, kemudian membandingkannya dengan prokalsitonin. Analisis kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batas optimal presepsin.
Hasil: Kadar presepsin hari pertama (T1) dan ketiga (T3) lebih tinggi pada subyek dengan sepsis daripada subyek yang tidak sepsis (median 415 pg/mL vs. 141,5 pg/mL pada hari pertama dan 624 pg/mL vs. 75,9 pg/mL pada hari ke tiga). Titik potong presepsin pada T1 dengan nilai 404 pg/mL memiliki performa untuk mendiagnosis sepsis dengan AUC 0,752 sedangkan presepsin T3 dengan nilai 203,5 pg/mL dengan AUC 0,945 yang lebih baik dibandingkan T1.
Simpulan: Presepsin dapat dijadikan suatu modalitas untuk memberikan nilai tambah dan pertimbangan bagi klinisi untuk menegakkan diagnosis sepsis pada pasien anak pascabedah jantung terbuka.

Background: Postoperative open-heart sepsis is a rare condition but has a fairly high mortality. Symptoms of sepsis that appear postoperatively are often difficult to distinguish from systemic inflammatory conditions, causing delays in establishing diagnosis and overtreatment in patients. Presepsin is one of the markers of sepsis that is starting to be widely used, especially in the adult population. This study is to identify the role of presepsin for diagnosing sepsis in post open-heart surgery in pediatric population.
Aim: To perform diagnostic test of presepsin as sepsis screening markers compares to procalcitonin (PCT) in post open-heart surgery.
Methods: Cross-sectional study of 49 postoperative open-heart pediatric patients treated at RSCM. This study looked for optimal cut-off values of presepsin for diagnosing open-heart postoperative sepsis in children on the first and third postoperative days, then compared it with procalcitonin. ROC curve analysis is performed to determine the optimal limit value of presepsin.
Result: First (T1) and third day (T3) PSP levels were higher in subjects with sepsis than non- sepsis (median 415 pg/mL vs. 141.5 pg/mL on first day and 624 pg/mL vs. 75.9 pg/mL on third day). ). T1 presepsin cut off 404 pg/ml had AUC of 0.772, while T3 presepsin cut off 203.5 og/ml had better AUC of 0.945. T3 is better for diagnosing sepsis.
Conclusion: Presepsin can be used as a modality to provide added value and consideration for clinicians to establish the diagnosis of sepsis in pediatric patients after open-heart surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Ita Susanti Pramono Widjojo
"Latar belakang: Operasi jantung membutuhkan larutan kardioplegia untuk menghentikan jantung. Saat ini sebagian besar larutan kardioplegia menggunakan mekanisme depolarisasi membran yang berisiko menyebabkan gangguan keseimbangan ion transmembran, aritmia, vasokonstriksi koroner, gangguan kontraktilitas, dan sindrom curah jantung rendah. Menunjukkan proteksi miokardium masih belum optimal. Henti jantung melalui polarisasi membran secara teori dapat memberikan proteksi miokardium yang lebih baik.
Tujuan: Diketahui kualitas proteksi miokardium henti jantung terpolarisasi dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.
Metode: Tinjauan sistematik dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Data didapatkan melalui pencarian dalam basis data Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, dan Embase.
Hasil: Dari penelusuran diperoleh empat studi yang memenuhi kriteria. Tiga studi dengan desain uji acak terkontrol, satu studi dengan desain kohort retrospektif. Jumlah sampel bervariasi dari 60 sampai 1000 subjek. Kualitas proteksi miokardium dinilai dari kejadian aritmia pascaoperasi, infark miokardium pascaoperasi, dan sindrom curah jantung rendah pascaoperasi. Satu studi melaporkan angka kejadian aritmia pascaoperasi yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok henti jantung terpolarisasi (p 0,010). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian infark miokardium pascaoperasi. Tiga studi melaporkan angka kejadian sindrom curah jantung rendah pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok henti jantung terpolarisasi namun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Henti jantung terpolarisasi berpotensi memberikan kualitas proteksi miokardium yang lebih baik dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.

Background: Cardioplegia is needed in cardiac surgery to arrest the heart to achieve a quiet and bloodless field. Depolarized cardiac arrest is widely used despite the risk of ionic imbalances, arrhythmias, coronary vasoconstriction, contractility dysfunction, and low cardiac output syndrome leading to suboptimal myocardial protection. Polarized cardiac arrest has a more physiological mechanism to arrest the heart, thus giving better cardioprotection qualities.
Objective: To assess the myocardial protection quality of polarized cardiac arrest compared with depolarized cardiac arrest.
Method: Systematic review with PRISMA-P protocol. The literature search was performed using Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, and Embase databases.
Result: Three randomized controlled trials and one retrospective cohort study were identified, with sample sizes varied between 60 to 1000 subjects. The quality of myocardial protection was assessed from postoperative arrhythmias, postoperative myocardial infarction, and postoperative low cardiac output syndrome. One study reported significantly lower postoperative arrhythmias in the polarized arrest group (p 0.010). There were no differences in postoperative myocardial infarction between the two intervention groups. Three studies reported lower postoperative low cardiac output syndrome in the polarized arrest group although not statistically significant.
Conclusion: Polarized cardiac arrest may give better myocardial protection than depolarized cardiac arrest.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Arbi
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah merupakan komplikasi yang cukup sering pascabedah jantung terbuka. Salah satu faktor yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan otak adalah faktor oksigenasi jaringan yang terganggu. Selama periode pascabedah gangguan oksigenasi jaringan masih tidak dapat disingkirkan sebagai penyebab POCD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 pascabedah terhadap kejadian POCD pada bedah jantung terbuka di RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah kohort prospektif dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Sebanyak 44 pasien bedah jantung terbuka elektif dilakukan uji neurokognisi pada 1 hari sebelum pembedahan dan hari ke 5 pascabedah. Subjek dinyatakan mengalami disfungsi kognitif pascabedah jika terjadi penurunan >20% dibandingkan dengan nilai uji prabedah, pada 2 dari 3 area kognisi. Nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 diambil dari kateter arteri dan kateter vena sentral pada 6 jam dan 24 jam pascabedah. Analisis data bivariat variabel numerik menggunakan Independent T-test atau Mann-Whitney dengan SPSS 20.0. Variabel dengan nilai p<0.25 pada analisis bivariat selanjutnya dimasukkan kedalam regresi logistik.
Hasil: Terdapat 23 dari 44 subjek (52,3%) mengalami POCD. Nilai Hb 6 jam pascabedah lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±1,15 vs 10,61±1,10 mg/dL, nilai p<0,001). Sama halnya dengan nilai Hb 24 jam pascabedah juga lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, nilai p<0,001). Nilai PaO2, SaO2, dan ScvO2 tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Analisis multivariat menunjukkan nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah sebagai variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian POCD.
Simpulan: Nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah memiliki hubungan dengan angka kejadian POCD pascabedah jantung terbuka.

Introduction. Postoperative cognitive dysfunction is a compilaction in open heart surgery. Factor that may involve is associated with impaired brain tissue oxygenation. The aim of this study is to investigate the association between postoperative value of Hb, PaO2, SaO2, and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Purpose: To evaluate association between postoperative value of Hb, PaO2,and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Methods. This study was prospective cohort held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. We included 44 elective open heart surgery patients tested forcognitive function on 1 day before surgery and postoperative day 5. Bloods were taken in 6 hours and 24 hours after surgery to measure postoperative value of Hb,PaO2, SaO2 and ScvO2. Subjects were categorized as POCD if there was decline >20% in postoperative neurocognitive test than preoperative. Data were comparedusing SPSS 20.0 software. Bivariate analysis with p-value above 0.25 were includedin logistic regression.
Results: There was 23 of 44 subjects (52.3%) became POCD. Hemoglobin value in 6 hours and 24 hours were significantly lower in POCD group [(9,13±1,15 vs10,61±1,10 mg/dL, p value<0,001) and (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, p value<0,001)]. PaO2, SaO2, and ScvO2 were not significantly different between twogroups. From multivariate analysis, it was found that hemoglobin value in 6 hours and 24 hours after surgery affect POCD in open heart surgery.
Conclusion: There is an association between hemoglobin values in 6 hours and 24 hours after surgery with POCD in open heart surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andhiky Raymonanda Madangsai
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang memiliki risiko kematian. Terdapat beberapa skor prediksi mortalitas jangka pendek yang saat ini digunakan untuk memprediksi risiko kematian 30 hari pasien pasca-bedah pintas arteri koroner salah satunya skor ACEF. Namun skor yang telah digunakan saat ini masih memerlukan penyempurnaan karena kemampuan prediksinya yang belum optimal. Peningkatan kadar glukosa darah berkaitan erat dengan peningkatan mortalitas. Namun peranan glukosa darah sebagai prediktor mortalitas belum terdapat dalam skoring ACEF.
Tujuan: Mengetahui kemampuan kadar glukosa darah satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner sebagai prediktor mortalitas 30 hari dan kemampuan sebagai modifikator skor ACEF.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani prosedur bedah pintas arteri koroner di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode januari 2015 hingga desember 2022. Pada data umur, kreatinin, fraksi ejeksi, glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan kematian dari rekam medis pasien dibuat model prediksi dan dilakukan analisis performa diskriminasi dan kalibrasi.
Hasil: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan variabel ACEF dari 322 pasien dikaji dan dianalisis. Terdapat 11,8% pasien meninggal dengan median Glukosa Darah Sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner 220.  Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner memiliki AUC terbesar 0,537. Skor ACEF memiliki AUC 0,843. Modifikasi skor ACEF dengan glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner berupa skor prediksi baru memiliki AUC 0,843
Simpulan: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner tidak dapat memprediksi mortalitas 30 hari.

Background: Coronary Artery Bypass Graft Surgery (CABG) is one of cardiac surgery with risk of mortality. There are already many scores to predict mortality in 30 days after CABG, one of them is ACEF score. Although it is relatively easy to use, ACEF score is still considered imperfect. Other studies have shown that hyperglycemia increases risk of mortality, including post CABG. Hyperglycemia or blood glucose is still rarely found in established scoring systems.
Objective: To find added predictive value of adding blood glucose to ACEF score in predicting 30-days post CABG mortality.
Methods: This study is a retrospective cohort study. Data was collected from medical records of patients who went CABG in RSUPN Cipto Mangunkusumo from January 2015 to December 2022. Age, creatinine, ejection fraction, and mortality were analyzed and synthesized to make new models. We calibrated and found the discrimination of new model.
Results: We analyzed one hour-post CABG blood glucose level and ACEF score component from 322 patients. Thity-day mortality following surgery was observed in 38 subjects (11.8%). The median blood glucose was 220. The AUC of blood glucose to predict 30-days mortality is 0,537. The AUC of ACEF score in this study is 0,843. The model of adding blood glucose to ACEF score has AUC 0,843.
Conclusion: One hour post CABG blood glucose level didn’t add predictive value to ACEF of 30 days post CABG mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Reza Ferdiansyah
"ABSTRAK
Tujuan
Penelitian mengenai penggunaan analisis faktor risiko dan mortalitas pada operasi
jantung masih menjadi perdebatan dan merupakan area yang sedang berkembang.
Analisis faktor risiko dalam penilaian suatu hasil pembedahan jantung merupakan hal
yang tidak dapat dihindari. Ahli bedah dan rumah sakit memerlukan suatu hasil
penilaian faktor risiko terhadap risiko kejadian mortalitas perioperasi agar dapat
menentukan keputusan klinis. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan
Parsonnet dan European System for Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE)
pada pasien yang menjalani perbaikan katup mitral dan memperkirakan faktor-faktor
risiko apa saja yang dapat mempengaruhi mortalitas perioperatif.
Pasien dan Metode
Dari bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2012, 96 pasien terpilih yang
telah menjalani operasi perbaikan katup mitral menggunakan mesin jantung paru dan
telah dilakukan analisis faktor risiko berdasarkan Parsonnet score and EuroSCORE .
seluruh faktor risiko dianalisis dengan analisis deskriptif, tabulasi silang, Pearson Chi
Square, dan uji Anova, keduanya juga dianalisis dengan kurva ROC
Hasil
Angka mortalitas riil sebesar 5,2 %. Berdasarkan Parsonnet score, nilai prediksi
mortalitas sebesar 18,26 % sementara pada EuroSCORE nilai prediksi mortalitas
sebesar 3,68 %. Hasil keduanya signifikan secara statistik. Nilai prediksi EuroSCORE
lebih mendekati angka kematian riil bila dibandingkan Parsonnet score .
Kesimpulan
EuroSCORE lebih unggul dibandingkan dengan Parsonnet score .Nilai prediksi
EuroSCORE lebih mendekati angka kematian riil . EuroSCORE merupakan alat ukur
yang baik dalam analisis faktor risiko dan mortalitas pada operasi perbaikan katup
mitral

ABSTRACT
Objective
The use of risk stratified mortality studies for analyzing surgical outcome in cardiac
surgery is obviously a developing area. Unfortunately, outcomes research in valve
repair surgery has been relatively limited. The risk stratification in the assessment of
cardiac surgical results is inevitable. Surgeons and hospitals need availability of risk
assessment result which may influence decision-making. Without risk stratification,
surgeons and hospitals treating high-risk patients will appear to have worse results
than others. Our purpose was to compare the performance of risk stratification models,
Parsonnet and European System for Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE)
in our patients undergoing mitral valve repair (MVr) and predict the risk factors that
influence inhospital mortality .
Patient and methods
From January 2010 to December 2012, 96 consecutive patients have undergone MVr
using cardiopulmonary bypass and scored according to Parsonnet score and
EuroSCORE algorithm. All risk factors were analyzed by descriptive analytic, cross
tabulation, Pearson Chi Square, and Anova test, both scores analyzed by ROC curve.
Results
Overall hospital mortality was 5,2 %. In Parsonnet model, predicted mortality was
18,26 % while in the EuroSCORE model, predicted mortality was 3,68 %. and it was
statistically significant for the Parsonnet score and EURO score . Parsonnet Score has
a higher sensitivity compared to the EuroSCORE. From the ROC curve, AUC for
Parsonnet score (0,905) higher than AUC for EuroSCORE (0,892). Problems with the
Parsonnet score of subjectivity, inclusion of many items not associated with mortality,
and the overprediction of mortality have been highlighted. Pre operative NYHA class,
age, ejection fraction , complication, etiology, EuroSCORE, and Parsonnet score
during mitral valve repair were statistically significant for affecting inhospital
mortality risk.
Conclusions
The EuroSCORE is more reasonable overall predictor of hospital mortality in our
patients undergoing MVr compared to Parsonnet score."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Mansjoer
"Latar Belakang. Lama rawat intensif pasien pascabedah jantung yang memanjang mempengaruhi alur pasien bedah jantung berikutnya. Pengaturan pasien berdasarkan lama rawat diperlukan agar alur pasien lancar.
Tujuan. Membuat prediksi lama rawat intensif 48 jam berdasarkan nilai skor dari model EuroSCORE dan model yang dimodifikasi dari faktor-faktor EuroSCORE.
Metode. Penelitian restrospektif dilakukan pada Januari 2012 - Desember 2013 pada 249 pasien yang menjalani bedah jantung di Unit Pelayanan Jantung RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Analisis survival dan regresi Cox dilakukan untuk membuat prediksi lama rawat intensif 48 jam.
Hasil. Median kesintasan lama rawat intensif 43 jam. Nilai skor EuroSCORE tidak memenuhi asumsi hazard proporsional. Model baru telah dibuat dari 7 variabel EuroSCORE yang secara substansi berhubungan dengan lama rawat intensif (AUC 0,67).
Kesimpulan. Model baru dari tujuh faktor EuroSCORE cukup dapat memprediksi lama rawat intensif 48 jam.

Background. Prolonged intensive care unit length of stay (ICU-LOS) in a postcardiac surgery may shortage of ICU beds due to clog of patient flow. Improving ICU-LOS may lead to better patient flow.
Objectives. To predict 48-hour ICU-LOS based on EuroSCORE model and to create a modified EuroSCORE factors model.
Methods. A retrospective study was conducted from January 2012 to December 2013 among 249 patients who underwent cardiac surgery at Integrated Cardiac Services, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Survival analysis and Cox?s regression were performed to make a prediction model for 48-hour ICU-LOS.
Results. Median survival of ICU-LOS was 43-hour. The EuroSCORE model did not meet the proporsional hazard assumption. A new substantial model from 7- EuroSCORE factors was created to predict 48 hours ICU-LOS (AUC 0.67).
Conclusions. Seven EuroSCORE factors was sufficient as a new model to predict the 48-hour ICU-LOS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Redo cardiac surgeries are challenging cases with a myriad of influential factors, ranging from the patient's pathology to the whimsy of the previous surgeon. Redo Cardiac Surgery in Adults, 2nd Edition clearly outlines practical approaches, surgical techniques, and management of associated conditions such as perioperative stroke and acute kidney function. It covers the spectrum of redo cardiac operations, including coronary artery bypass, mitral valve repair, reoperation for prosthetic mitral valve endocarditis, aortic arch reoperation, descending and thoracoabdominal aortic reoperation, and reoperations following endovascular aortic repair. All redo cardiac surgeries present a complex array of challenges beyond what the original procedure demands. "
New York: Springer, 2012
e20426022
eBooks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>