Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163997 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angeline Pandora Djuhadi
"Latar Belakang: Inklinasi gigi insisivus merupakan titik utama dalam menentukan rencana perawatan demi mewujudkan hasil yang estetis dan seimbang. Profil wajah seseorang sangat mempengaruhi persepsi estetika dan penampilan. Di Indonesia, penelitian mengenai hubungan inklinasi gigi insisivus dengan profil jaringan keras dan lunak wajah masih sangat jarang dilakukan, terutama pada pasien dengan maloklusi kelas II. Di sisi lain, pasien dengan maloklusi skeletal kelas II seringkali memiliki masalah pada inklinasi gigi dan profil wajah sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan. Tujuan: Mengetahui korelasi inklinasi gigi insisivus rahang atas dan bawah terhadap profil jaringan keras dan lunak wajah pada pasien maloklusi skeletal kelas II.Metode: Pengambilan sampel penelitian berupa radiograf sefalometri lateral digital pasien dengan skeletal kelas II yang diperiksa dengan alat yang terstandarisasi dari suatu klinik yang sama kemudian dilakukan identifikasi landmark dan analisis sudut dengan aplikasi OneChep untuk diperoleh data berupa besar sudut inklinasi insisivus dari analisis Eastman, profil jaringan keras wajah dari analisis Down, dan profil jaringan lunak wajah dari analisis Holdaway. Analisis data dengan uji korelasi Pearson. Hasil: Uji korelasi Pearson antara inklinasi insisivus rahang atas maupun rahang bawah terhadap seluruh parameter uji profil jaringan keras dan lunak wajah menunjukkan angka signifikansi lebih besar dari 0,05. Maka diperoleh hasil bahwa tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang atas terhadap profil jaringan keras wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah dan kecembungan wajah serta terhadap profil jaringan lunak wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah jaringan lunak pada pasien dengan skeletal kelas II. Tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang bawah terhadap profil jaringan keras wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah dan kecembungan wajah serta terhadap profil jaringan lunak wajah yang ditunjukkan dengan parameter sudut wajah jaringan lunak pada pasien dengan maloklusi skeletal kelas II. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara inklinasi gigi insisivus rahang atas maupun rahang bawah terhadap profil jaringan lunak dan keras wajah pada pasien dengan maloklusi skeletal kelas II.

Background: Incisors inclination is one of the main point on deciding the treatment plan to bring an aesthetic and balanced result. Facial profile also have a great impact on the perception of aesthetic and appearance. In Indonesia, research about the correlation of incisors inclination with facial profile is rarely done, especially in patient with class II skeletal malocclusion. On the other hand, patient with class II skeletal malocclusion usually have problems regarding incisors inclination and facial profile. Hence, research about the correlation on incisors inclination with soft and hard tissue facial profile is really important to conduct. Objective: Determine the correlation of incisors inclination with soft and hard tissue facial profile in patient with class II skeletal malocclusion. Method: 52 sample of lateral cephalometric radiograph from patient with class II skeletal malocclusion from standardized lab were analyzed with an application called OneChep to gain the data of incisors inclination from Eastman analysis, hard tissue facial profile from Down analysis, and soft tissue facial profile from Holdaway analysis. Then, the data was tested for correlation using Pearson Correlation test. Result: Pearson correlation test on class II skeletal malocclusion patient showed the significance value between maxillary and mandibular incisors inclinations towards hard and soft tissue facial profile were >0.05 on each of the parameter. The parameters used on hard tissue facial profile were facial angle and angle of convexity from Down analysis. The parameter used on soft tissue facial profile was soft tissue facial angle by Holdaway analysis. Thus, there were no correlation between maxillary incisors inclination and facial angle, angle of convexity and soft tissue facial angle, also no correlation between mandibular incisors inclination and facial angle, angle of convexity and soft tissue facial angle in patient with class II skeletal malocclusion. Conclusion: There were no correlation between maxillary and mandibular incisors inclination toward soft and hard tissue facial profile in patient with class II skeletal malocclusion.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Putri Secoria
"Latar Belakang : Pada sebagian besar kasus maloklusi skeletal kelas III terdapat kombinasi antara elemen dental dan skeletal yang bervariasi. Beberapa elemen tersebut diantaranya adalah pola kerangka vertikal wajah dan inklinasi insisivus mandibula. Hubungan antara gigi insisivus mandibula dan posisinya terhadap bidang mandibula seringkali menjadi pedoman dasar dokter gigi untuk merencanakan perawatan ortodontik, karena dianggap sebagai salah satu kunci dalam diagnostik ortodontik. Tujuan : Mengetahui perbedaan inklinasi insisivus mandibula pada kasus maloklusi skeletal kelas III dengan pola kerangka vertikal wajah Hipodivergen, Normodivergen, Hiperdivergen. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif numerik secara potong lintang. Penelitian dilakukan pada 54 sefalomeri lateral pasien ortodontik sesuai kriteria inklusi. Digunakan uji komparasi One-Way ANOVA dan uji Post Hoc Bonferroni untuk melihat perbedaan inklinasi insisivus mandibula antar kelompok. Hasil : Uji komparasi One-Way ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan bermakna secara statistik inklinasi gigi insisivus mandibula pada kasus maloklusi skeletal kelas III antara ketiga kelompok wajah tersebut. Selanjutnya berdasarkan uji Post Hoc Bonferroni menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna inklinasi insisivus mandibula pada kasus maloklusi skeletal kelas III dengan pola wajah Hipodivergen. Kesimpulan : Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara inklinasi gigi insisivus mandibular pada kasus maloklusi skeletal kelas III dengan pola kerangka vertikal wajah Hipodivergen, Normodivergen, dan Hiperdivergen.

Background : There are various combinations of dental and skeletal elements in most cases of class III malocclusion. Some of these elements include the vertical facial patterns and the mandibular incisors inclination. The relationship between the mandibular incisors and their position towards the mandibular plane is often the basic guideline for dentists to plan orthodontic treatment, because it is considered as one of the keys in orthodontic diagnostics. Objective : To compare the difference of mandibular incisor inclination in class III malocclusion cases with a Hypodivergent, Normodivergent, Hyperdivergent vertical facial patterns. Methods : This research was a comparative numerical analytic study with cross-sectional design. It was conducted on 54 lateral cephalometrics of orthodontic patients according to the inclusion criteria. One-Way ANOVA comparison test and Bonferroni Post Hoc test were used to see differences in the inclination of the mandibular incisors between groups. Results : One-Way ANOVA comparison test showed that there was a stastically significant difference in the mandibular incisor inclination in class III malocclusion cases between three facial groups. Furthermore, based on the Bonferroni Post Hoc test, it showed that there was a significant difference in the mandibular incisor inclination in class III malocclusion with a Hypodivergent facial pattern. Conclusion : There was a statistically significant difference between the inclination of the mandibular incisor in class III malocclusion with a Hypodivergent, Normodivergent, Hyperdivergent vertical facial patterns.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Eka Nurcahya
"ABSTRAK
Latar Belakang: Sindroma Down SD merupa kan kelainan genetik yang disebabkan oleh trisomi kromosom nomor 21. Kelainan ini menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan dan perkembangan orokraniofasial. Tujuan: Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi frekuensi klasifikasi maloklusi Angle dan profil jaringan lunak wajah Subtelny pada penyandang Sindroma Down di Jakarta. Metode: Deskriptif potong lintang, partisipan penelitian adalah penyandang Sindroma Down yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa di Jakarta. Klasifikasi maloklusi Angle ditentukan melalui pemeriksaan klinis, profil jaringan lunak wajah ditentukan melalui pengukuran sudut nasion N, subnasal Sn dan pogonion Pog pada foto profil digital. Hasil: Penelitian melibatkan 40 penyandang Sindroma Down dengan rentang usia 14-41 tahun. Klasifikasi maloklusi Angle kelas I ditemukan pada 14 orang 35, maloklusi Angle kelas II ditemukan pada 3 orang 7,5 dan maloklusi Angle kelas III ditemukan pada 23 orang 57,5 . Profil jaringan lunak wajah datar ditemukan pada 13 orang 32,5, profil jaringan lunak wajah cembung ditemukan pada 3 orang 7,5 dan profil jaringan lunak wajah cekung ditemukan pada 24 orang 60. Kesimpulan: Mayoritas penyandang Sindroma Down memiliki klasifikasi maloklusi Angle kelas III dan profil jaringan lunak wajah cekung.

ABSTRACT
Background Down Syndrome is genetically abnormality on chromosome 21. Phenotipically the abnormality was characterized by the defect on orocraniofacial growth. Aim The aim of this research was to describe frequency distribution Angles malocclusion classification and soft tissue facial profile of Subtelny on people with Down Syndrome in Jakarta. Method Descriptive study with cross sectional design, people with Down Syndrome age 14 41 years old in Sekolah Luar Biasa Special Schools in Jakarta was used as participants for this study. Angles malocclusion classification was determined by clinical examination, soft tissue profile was by measuring angle of soft tissue nasion N, subnasal Sn and pogonion Pog rsquo on digital profile picture. Results Result showed that Angles malocclusion classification class I was found in 14 people 35, Angles malocclusion class II was found in 3 people 7,5 and Angle rsquo s malocclusion class III was found in 23 people 57,5. Flat soft tissue facial profile was found in 13 people 32,5, convex soft tissue facial profile was found in 3 people 7,5 and concave soft tissue facial profile was found in 24 people 60. Conclusion Predominantly people with Down Syndrome has class III Angles malocclusion and concave soft tissue facial profile."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yesi Octavia
"Tujuan: Menganalisis hubungan antara ukuran saluran pernapasan faring pada maloklusi kelas I dan II dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Metode : Penelitian potong lintang ini melibatkan 126 sampel dengan usia 20-40 tahun yang dipilih secara konsekutif dan dibagi menjadi 2 grup berdasarkan sudut ANB yaitu : maloklusi kelas I dan II, kemudian dikelompokkan lagi menjadi 6 kelompok uji berdasarkan pola pertumbuhan skeletal vertikal (hipo-, normo-, dan hiperdivergen). Saluran pernapasan faring atas dan bawah diukur menggunakan analisis McNamara, sementara panjang saluran pernapasan faring diukur dari titik PNS-Eb. Uji hubungan ukuran saluran pernapasan faring dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal dilakukan menggunakan uji Pearson’s Chi-Square dan dilanjutkan dengan uji korelasi Gamma untuk melihat arah hubungannya. Hasil: Analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara lebar saluran pernapasan faring atas dan bawah pada maloklusi kelas I dan II dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Panjang saluran pernapasan faring pada maloklusi kelas II juga menunjukkan tidak ada hubungan dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal, berbeda dengan maloklusi kelas I yang menunjukkan adanya hubungan antara panjang saluran pernapasan faring dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Kesimpulan: Meskipun hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan, akan tetapi lebar saluran pernapasan faring atas pada maloklusi kelas II menunjukkan pola yang unik yaitu saluran pernapasan faring atas menyempit pada pola pertumbuhan skeletal vertikal yang semakin divergen. Temuan unik lainnya dari penelitian ini adalah panjang saluran pernapasan faring berkorelasi positif dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal pada maloklusi kelas I, yaitu semakin panjang saluran pernapasan faring dengan meningkatnya pola pertumbuhan skeletal vertikal.

Objective: To analyse the correlation between the pharyngeal airway morphology in class I and II malocclusions with vertical skeletal growth patterns. Methods: This cross-sectional study was involved 126 samples aged 20-40 years who were selected by consecutive sampling and divided into 2 groups; class I and class II malocclusions according to ANB angle. This group will be further be divided into 6 test groups based on the vertical skeletal growth patterns (hypodivergent, norm divergent, and hyperdivergent). Upper and lower pharyngeal airway width were measured using McNamara analysis, while pharyngeal airway length was measured from the PNS-Eb point. Pearson's Chi-Square test was used to test the correlation between pharyngeal airway morphology and vertical skeletal growth patterns and proceed with the Gamma correlation test to see the direction of the correlation. Results: Statistical analysis showed that there was no correlation between the upper and lower pharyngeal airway width in Class I and II malocclusions with vertical skeletal growth pattern. The length of the pharyngeal airway in class II malocclusion also showed no correlation with the vertical skeletal growth pattern, in contrast to the class I malocclusion which showed a statistical correlation between the pharyngeal airway length and the vertical skeletal growth pattern. Conclusion: Although the results of statistical analysis showed no statistical correlation, the upper pharyngeal airway width in class II malocclusion showed a unique trend, that the upper pharyngeal airway width narrowed with an increasingly vertical skeletal growth pattern. Another trend finding from this study is that the length of the pharyngeal airway is positively correlated with the vertical skeletal growth pattern in class I malocclusion i.e., the longer the pharyngeal airway, the greater were the vertical skeletal growth pattern.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Gabriella
"Latar Belakang: Penelitian persepsi Ortodontis dan masyarakat awam tentang profil wajah biasanya dilakukan untuk mengevaluasi kesepakatan di antara kelompok tersebut. Namun, masih sedikit penelitian yang menghubungkan persepsi dengan parameter jaringan lunak profil wajah. Tujuan: Mengetahui perbedaan persepsi ortodontis dan masyarakat awam dan korelasinya terhadap parameter jaringan lunak profil wajah menurut Arnett, Schwarz, dan Rickett. Metode: Penelitian ini adalah analitik korelatif dengan desain potong lintang. Foto profil 52 orang dinilai estetikanya oleh 17 ortodontis dan 17 masyarakat awam pada kuesioner. Uji korelasi Spearman dilakukan antara nilai modus persepsi VAS oleh Ortodontis dan masyarakat awam dengan selisih pengukuran parameter jaringan lunak Arnett, Schwarz, Rickett pada foto terhadap nilai normal. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara persepsi ortodontis dan masyarakat awam tentang profil wajah (p=0,001). Uji kappa menunjukkan kesepakatan antara Ortodontis dan masyarakat awam yang rendah (p=0,035 untuk persepsi estetika, p=0,112 untuk persepsi kecembungan). Terdapat korelasi linier negatif sedang yang bermakna secara statistik antara persepsi estetika Ortodontis dan parameter jaringan lunak profil wajah menurut Rickett (Ls/bibir atas) (r=-0,287, p=0,039), tetapi tidak terdapat korelasi linier yang bermakna secara statistik antara persepsi Ortodontis dan masyarakat awam dengan parameter jaringan lunak profil wajah menurut Arnett, Schwarz, dan Rickett (Li/bibir bawah). Kesimpulan: Terdapat korelasi antara persepsi Ortodontis dengan parameter jaringan lunak profil wajah menurut Rickett (Ls/bibir atas).

.Background: Facial profile perception of Orthodontists and Laypeople was usually studied to assess the agreement between them. However, there is still lack of study that correlates the facial profile perception with soft tissue parameters. Objectives: This study was aimed to evaluate the perception of Orthodontists and Laypeople about the facial profile and its possible correlation with soft tissue facial profile parameters according to Arnett, Schwarz, and Rickett. Methods: This study was correlative analytical study with cross-sectional design. The facial profile photographs of 52 people were rated by 17 Orthodontists and 17 Laypeople on the questionnaire. The correlation between the mode value of VAS perception score by Orthodontists and Laypeople with the difference of soft tissue facial profile parameters at photographs from the normal value according to Arnett, Schwarz, and Rickett was tested using Spearman's correlation. Results: Regarding the perception of Orthodontists and Laypeople on facial profile, statistically significant difference was detected (p=0.001). The Kappa statistic test showed poor agreement between Orthodontists and Laypeople in facial profile perception (p=0.035 for pleasantness, p=0.112 for convexity). The correlation test showed that there was statistically significant difference (moderate negative linear correlation) between Orthodontists’ perception with soft tissue facial profile parameters according to Rickett (Ls/upper lip) (r=-0.287, p=0.039), but there was no statistically significant difference (linear correlation) between Orthodontists’ and Laypeople’ perceptions with the soft tissue facial profile parameters according to Arnett, Schwarz, and Rickett (Li/lower lip). Conclusion: It was concluded that there was correlation between Orthodontists’ perception with soft tissue facial profile parameters according to Rickett (Ls/upper lip.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valerie Kartini
"Latar Belakang: Maloklusi adalah ketidakteraturan kesejajaran gigi dan/atau hubungan lengkung gigi dengan gigi yang tidak normal yang diakibatkan oleh berbagai faktor dan dapat menyebabkan ketidakpuasan estetika sampai masalah pada segi fungsional. Pasien dengan maloklusi memerlukan perawatan ortodonti salah satunya untuk memperbaiki maloklusi. Inklinasi dan angulasi gigi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan perawatan ortodonti yang stabil dan optimal. Tujuan: Mengetahui gambaran sudut inklinasi dan angulasi gigi anterior pada pasien maloklusi skeletal kelas I pasca perawatan ortodonti cekat di klinik spesialis ortodonti RSKGM FKG UI. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang (cross-sectional) menggunakan sampel berupa data sekunder rekam medik. Hasil: Dari 96 rekam medik pasien maloklusi kelas I yang telah selesai mendapatkan perawatan ortodonti cekat di Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, didapatkan rerata sudut U1-SN sebesar 105,60° ± 5,80°, rerata sudut U1-PP sebesar 114,55° ± 6,21°, rerata sudut L1-MP sebesar 93,63° ± 7,94°, dan rerata sudut IMPA adalah sebesar 96,40° ± 7,96°. Rerata angulasi gigi 11 sebesar 89,03° ± 3,26°, rerata angulasi gigi 21 sebesar 90,35° ± 3,07°, rerata angulasi gigi 31 sebesar 89,28° ± 4,33°, dan rerata angulasi gigi 41 sebesar 90,61° ± 5,04°. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tentang Gambaran Inklinasi dan Angulasi Gigi Anterior pada Pasien Maloklusi Kelas I Pasca Perawatan Ortodonti Cekat di Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, rerata sudut inklinasi gigi anterior pasien termasuk dalam kisaran nilai normal, kecuali pada sudut IMPA. Rerata sudut angulasi gigi anterior pasien relatif tegak dan paralel.

Background: Malocclusion is the irregularity of teeth and is considered as oral health problem resulting from various etiological factors causing esthetic dissatisfaction to functional impartment. Patients with malocclusion require orthodontic treatment to correct the malocclusion. Inclination and angulation of teeth are one of the factors that influence the success of stable and optimal orthodontic treatment. Objective: This study aims to describe the inclination and angulation of anterior teeth on class I malocclusion patients after fixed orthodontic treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI. Methods: Cross-sectional descriptive study is done using the secondary data found in the patient’s medical record. Results: From 96 medical records of class I malocclusion patients who have completed fixed orthodontic treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, the mean U1-SN angle is 105.60° ± 5.80°, the mean U1-PP angle is 114.55°. ± 6.21°, the mean angle of L1-MP is 93.63° ± 7.94°, and the mean angle of IMPA is 96.40° ± 7.96°. The mean angulation of tooth 11 is 89.03° ± 3.26°, mean angulation of tooth 21 is 90.35° ± 3.07°, mean angulation of tooth 31 is 89.28° ± 4.33°, and mean angulation of tooth 41 is of 90.61° ± 5.04°. Conclusion: Based on research on the Inclination and Angulation of Anterior Teeth on Class I Malocclusion Patients after Fixed Orthodontic Treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, the inclination of anterior teeth is within the normal range, except at the IMPA angle. The angulation of anterior teeth is relatively upright and parallel."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Thos case report described the skeletal and dental changes contributing to class II skeletal with mandibula retrognatism correction with Twin Blocks appliance. Cephalometric evaluation were compare between pre-treatment and after eight month treatment wearing Twin Blocks appliance at an 8 year, 1 month old girl patient. This short-term cephalometric study indicates that after eight month treatment with Twin Blocks appliance, the overjet reduces 3 mm correction of the first molar permanent from class II Angle (cusp to fossa) to class II Angle (cusp to cusp) and lengthening the mandible."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Avi Aisyah Ramadini
"Latar Belakang: Perlu dilakukan penelitian untuk melihat perbedaan gambaran jaringan lunak wajah pria dan wanita khususnya ras Deutro-Melayu. Profil wajah lurus dipilih karena profil wajah lurus tidak mengindikasikan adanya disproporsi dental dan fasial sehingga individu dengan profil wajah lurus diindikasikan memiliki oklusi normal serta penampilan wajah dan dental yang dapat diterima. Tujuan: Mengetahui gambaran jaringan lunak wajah pasien pria dan wanita ras Deutro-Melayu dengan profil wajah lurus di RSKGM FKG UI beserta perbedaannya. Metode: Penelitian ini menggunakan 56 rekam medis dan sefalogram lateral pasien pria dan wanita berusia 18-25 tahun ras Deutro-Melayu sebelum perawatan ortodonsia. Analisis dilakukan menggunakan uji T tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney. Hasil: 8 parameter pengukuran menunjukkan perbedaan bermakna antara pria dan wanita (p<0,05) yakni pada kecembungan fasial, kecembungan fasial total, sudut nasofrontal, sudut mentolabial, sudut servikomental, posisi hidung terhadap bidang fasial, posisi bibir atas terhadap bidang fasial, dan posisi bibir bawah terhadap bidang fasial. Pria menunjukkan hasil pengukuran yang lebih besar dibandingkan dengan wanita, kecuali pada sudut nasofrontal yang secara statistik menunjukkan nilai rerata wanita lebih besar dibandingkan pria. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara gambaran jaringan lunak wajah pria dan wanita ras Deutro-Melayu dengan profil wajah lurus.

Background: It is necessary to conduct research to see the difference of facial soft tissue profile in male and female especially Deutro-Malay race. Straight face profile is selected because it does not indicate any dental and facial disproportions, so that individuals with straight facial profiles are indicated to have normal occlusion and acceptable facial and dental appearance. Objective: To compare the difference of facial soft tissue image in Deutro-Malay male and female with straight facial profile. Method: This study used medical records and lateral cephalograms of 56 male and female patients aged 18-25 with Deutro-Malay race before orthodontic treatment. Measurement performed with independent sample T-test and Mann-Whitney test. Result: 8 measurement parameters showed significant difference (p<0,05) those are facial convexity, total facial convexity, nasofrontal angle, mentolabial angle, cervicomental angle, position of nose to facial plane, position of upper lip to facial plane, and position of lower lip to facial plane. Male showed larger measurements than female, except in nasofrontal angle that statistically showed that female's mean score was greater than male. Conclusion: There is a significant difference between facial soft tissue image in Deutro-Malay male and female with straight facial profile.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shierly Citra Setiawan
"Latar Belakang: Beberapa penelitian menyatakan bahwa perawatan ortodonti non ekstraksi pada kasus borderline menyebabkan perubahan inklinasi insisif atas dan bawah yang dapat mempengaruhi profil jaringan lunak pasien.
Tujuan: Mengetahui korelasi perubahan inklinasi insisif atas dan bawah terhadap perubahan besar sudut Nasolabial dan sudut Mentolabial sebelum dan sesudah perawatan ortodonti non ekstraksi pada maloklusi kelas I.
Metode: 26 sampel penelitian sefalometri lateral sebelum dan sesudah perawatan ortodonti non ekstraksi dilakukan penapakan dan pengukuran sudut I-SN, IMPA, sudut Nasolabial, dan sudut Mentolabial. Uji statistik menggunakan uji non parametrik Wilcoxon dan uji korelasi Spearman.
Hasil: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada sudut I-SN dan sudut Nasolabial sebelum dan sesudah perawatan namun, terdapat perbedaan yang bermakna pada IMPA dan sudut Mentolabial sebelum dan sesudah perawatan ortodonti. Uji korelasi menunjukkan terdapat korelasi negatif yang sangat lemah antara perubahan sudut I-SN terhadap perubahan sudut Nasolabial serta antara perubahan IMPA terhadap perubahan sudut Mentolabial.
Kesimpulan: Penurunan sudut I-SN disertai peningkatan sudut Nasolabial, meskipun korelasinya sangat lemah. Peningkatan sudut IMPA disertai peningkatan sudut Mentolabial, juga mempunyai korelasi yang sangat lemah.

Background: Some studies showed that non-extraction orthodontic treatment in borderline cases led to upper and lower incisor inclination changes that affected patient’s soft tissue profile.
Objective: To find out the correlation between upper and lower incisor inclination changes towards Nasolabial angle and Mentolabial angle value changes before and after non-extraction orthodontic treatment in class I malocclusion.
Method: There were 26 samples before and after lateral cephalometric of orthodontic non extraction treatment with measurement of I-SN, IMP, Nasolabial, and Mentolabial angles. Statistical test was done using non parametric Wilcoxon test and Spearman correlation test.
Result: No significant difference in I-SN angle and Nasolabial angle before and after orthodontic treatment. However, there was a significant difference in IMP and Mentolabial angles before and after orthodontic treatment. Correlation test showed a very weak negative correlation between I-SN and IMP angle changes towards Nasolabial and Mentolabial angle changes.
Conclusion: The decrease of I-SN angle is followed by the increase of Nasolabial angle, although the correlation is very weak. The increase of IMP angle is followed by the increase of Mentolabial angle, which also has a very weak correlation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Prabu Alfarikhi
"Latar Belakang: Profil wajah lurus merupakan profil wajah yang dianggap ideal dan menarik secara estetika. Perlu diketahui gambaran skeletal wajah pria dan wanita yang memiliki profil wajah lurus sebagai acuan dalam perawatan ortodonti. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran skeletal wajah antara pria dan wanita ras Deutro-Melayu yang memiliki profil wajah lurus beserta perbedaanya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang. Penelitian ini menggunakan 58 sefalogram lateral dari rekam medik pasien berusia 18-25 tahun, sebelum dilakukan perawatan ortodontik di RSKGM FKG UI. Dilakukan uji T tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney Hasil: Pria menunjukan nilai rerata sudut Y-axis, FMIA, IMPA, dan sudut interinsisal lebih besar daripada wanita. Nilai rerata sudut SNA, SNB, ANB, sudut fasial, sudut kecembungan, FMA, dan I-SN pada pria lebih kecil daripada wanita. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara gambaran skeletal wajah pria dan wanita ras Deutro-Melayu dengan profil wajah lurus.

Background: Straight facial profile is considered as a profile that ideal and aesthetically attractive. The facial skeletal image of male and female with straight facial profile is used as a reference in orthodontic treatment. Objective: This research’s aim is to understand the facial skeletal image of Deutro-Malay male and female with straight facial profile and its difference. Method: This research is an analytic observational research with cross sectional design. This research used 58 lateral cephalograms from medical records of patients within 18-25 years old, before the orthodontic treatment is applied in RSKGM FKG UI. Independent T test and Mann-Whitney test are conducted. Result: Male’s facial skeletal image shows the average point of Y-axis, FMIA, IMPA dan interincisal angle is bigger than female’s. The angle’s average point of SNA, SNB, ANB, facial angle and convexity angle, FMA and I-SN angle of male’s facial skeletal image are smaller than found in female. Conclusion: There is no significant differences between facial skeletal image of Deutro-Malay male and female race with straight facial profile.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>